Senin, 29 Agustus 2011

REVIEW : DI BAWAH LINDUNGAN KA'BAH



"Sampai kapanpun, emas takkan setara dengan loyang dan sutra tak sebangsa dengan kapas." - Emak



Seandainya saja product placement (iklan dalam film) tidak berseliweran kesana kemari. Seandainya saja tidak ada dubbing yang menggelikan. Seandainya saja subtitle Inggris yang disisipkan tidak ngawur dan menggunakan susunan gramatikal yang baik. Seandainya saja aksentuasi para tokoh patuh pada setting tempat. Seandainya saja tulisan 'based on Buya Hamka's novel' pada poster dihilangkan dan diganti menjadi 'adaptasi bebas'. Seandainya saja tidak ada sesumbar yang mengatakan bahwa Di Bawah Lindungan Ka'bah diberi kucuran dana raksasa sebesar Rp 25 Miliar dan digadang-gadang sebagai 'Titanic versi Indonesia'. Di Bawah Lindungan Ka'bah mungkin saja menjadi film yang memuaskan banyak kalangan. Seperti yang diucapkan Emak (Yenny Rachman) kepada Hamid (Herjunot Ali), "makin tinggi harapan, makin sakit jatuhnya." Dengan janji-janji manis yang ditawarkan, tentu tidak mengherankan jika kemudian penonton berharap banyak terhadap karya terbaru Hanny R. Saputra ini. Apalagi versi novelnya merupakan salah satu karya sastra lokal terbaik dari salah satu sastrawan terbaik dalam angkatan pujangga Balai Pustaka. Ekspektasi pun membuncah.



Pada tahun 1981, Asrul Sani telah mengadaptasi bebas novel Di Bawah Lindungan Ka'bah menjadi sebuah film berjudul Para Perintis Kemerdekaan. Alih-alih memilih untuk setia 100% pada novel Hamka tersebut, film justru dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan kritik sosial terhadap pemerintah tanpa menghilangkan esensi dari cerita. Misi Asrul Sani berjalan sukses dan dihadiahi banyak puja puji dari berbagai kalangan. Hanny R. Saputra tidak mengikuti jejak Asrul Sani dan tetap teguh pada ciri khasnya. Dibantu oleh dua penulis skenario langganannya, Armantono dan Titien Wattimena, Di Bawah Lindungan Ka'bah menjelma menjadi sebuah film metal alias mellow total. Sepanjang durasi film, saya mencatat hanya ada satu adegan Hamid dan Zainab (Laudya Cynthia Bella) yang tak melibatkan air mata, yakni ketika mereka saling sapa dari balik pagar kayu. Sialnya, adegan yang seharusnya bisa manis itu tercoreng lantaran durasinya yang kelewat lama dan dubbing yang sangat kasar. Saya pun langsung mual dibuatnya.





Menerjemahkan sebuah novel dengan halaman yang tipis (konon, novel Hamka ini hanya setebal 66 halaman) ke dalam layar lebar sama susahnya dengan mengejewantahkan tulisan beratus-ratus halaman. Untuk mengakalinya, Armantono dan Titien pun menambahkan sejumlah konflik yang tidak ditemukan dalam novel. Konflik yang sangat dramatis, menghadirkan kenyataan hidup yang pahit. Bagaimanapun juga, Hamid dan Zainab tidak akan pernah bisa disatukan. Plot kreasi duo penulis naskah ini diyakini mampu menguras air mata penonton. Tak peduli sekonyol apapun pengarahan Hanny R. Saputra dan bagaimana logika penonton tersakiti, air mata penonton perempuan akan tetap tumpah. Bukan bermaksud genderisasi, namun seperti inilah kenyataannya. Saya menyaksikannya sendiri. Begitu pula ketika saya menyaksikan film dengan dramatisasi yang gagal, Surat Kecil Untuk Tuhan. Walau begitu, Di Bawah Lindungan Ka'bah tercatat beberapa kali sukses membuat saya terharu. Bukan perihal kisah cinta tak sampai Hamid dan Zainab, namun seputar hubungan Hamid dengan ibunya. Akting Yenny Rahman sungguh memukau. Herjunot Ali juga mampu mengimbangi akting artis senior ini dengan apik. Ada chemistry diantara mereka berdua. Apabila saya diminta untuk memaknai arti dari ironis, maka itu adalah Laudya Cynthia Bella yang tidak nyambung dengan Herjunot Ali. Lempeng. Menunjukkan sebuah romantisme yang banal.



Bersetting di tahun 1920-an di Sumatera Barat, Di Bawah Lindungan Ka'bah adalah mengenai dua sejoli yang sedang dirundung asmara namun terpaksa tak bisa bersatu karena perbedaan kelas sosial. Konflik memuncak tatkala Hamid melakukan sesuatu yang dianggap tak pantas kepada Zainab hingga dirinya diusir dari kampung. Untuk menghidupkan nuansa Minangkabau pada zaman dahulu, dibangun set yang megah plus tidak ketinggalan kincir air ciri khas sang sutradara. Sinematografi arahan Rachmat Syaiful sanggup menghadirkan gambar-gambar cantik yang menyejukkan mata. Special Effects yang dipakai pun layak diacungi jempol, sekalipun penggunaannya di adegan terakhir kentara sekali palsunya. Jika ada yang mengganjal di hati saya selain tidak adanya chemistry, dubbing plus subtitle yang membuat kepala terasa cenat cenut dan product placement yang muncul seenak udel, maka itu adalah aksentuasi dari para pemain. Saya sebenarnya sudah bosan membahas masalah ini karena ini adalah sesuatu yang klise namun tak ada upaya dari para sineas untuk membenahinya. Apakah bujet sebesar itu tidak sanggup untuk mendatangkan dialect coach? Terkadang terdengar sangat Jakarta, terlalu Sunda atau malah campur baur. Semrawut. Bukti bahwa sineas kita masih menyepelekan detail. Pada akhirnya upaya untuk menjadikan Di Bawah Lindungan Ka'bah menjadi sebuah film romantis yang megah layak untuk diapresiasi. Masih banyak ditemukan kekurangan, tapi jelas merupakan suatu kemajuan dibanding film sejenis semacam Ayat-Ayat Cinta dan dwilogi Ketika Cinta Bertasbih. Sebenarnya Di Bawah Lindungan Ka'bah adalah sebuah film yang berpotensi menjadi sebuah suguhan yang apik, namun ternodai oleh keteledoran tim produksi yang kurang cermat dalam mengurus detail. Sungguh disayangkan.



Acceptable

Jumat, 26 Agustus 2011

REVIEW : TENDANGAN DARI LANGIT



"Indonesia itu jagonya main di kandang sendiri. Kalo di kandang lawan? Mandul!! " - Mitro



Film Indonesia yang dirilis menjelang libur Lebaran rata-rata memiliki kualitas yang apik dan dapat dipertanggungjawabkan. Tahun ini pun tidak berbeda jauh. Tendangan Dari Langit, film kedua dari Hanung Bramantyo di tahun 2011 ini, langsung mencuri hati saya. Sebagai sebuah film olahraga, Tendangan Dari Langit masih menerapkan plot yang klise. Seorang remaja miskin dari desa yang ingin menjadi pemain sepak bola, sang ayah yang tidak memberi restu, kisah cinta dengan gadis tercantik di sekolah yang tidak berjalan mulus, hingga sahabat yang setia mendukung dan difungsikan sebagai pelawak. Struktur semacam ini sering kita temui dalam film olahraga manapun, termasuk King dan Garuda di Dadaku dari Indonesia. Apa lagi yang bisa ditawarkan? Rasanya kebanyakan penonton pun tertarik untuk menyaksikan film ini karena faktor Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan. Skenario racikan Fajar Nugroho memang bertutur sangat sederhana dan klise, namun secara mengejutkan tetap efektif. Hanung Bramantyo mengemasnya dengan menarik, sekaligus sebagai sebuah pembuktian kepada khalayak luas bahwa dia adalah sutradara yang serba bisa. Film olahraga pun bukan menjadi masalah besar baginya.



Jangan tertipu dengan tampilan posternya yang seolah mengisyaratkan bahwa Bachdim-lah yang menjadi pemain utama disini. Bachdim tampil tak lebih dari 30 menit dan itupun hanya baru muncul di paruh akhir. Pemain baru, Yosie Kristanto, yang berperan sebagai Wahyu adalah sentral dari film ini. Dia adalah sebuah karakter stereotip dari film olahraga. Berasal dari sebuah desa yang terletak di lereng Gunung Bromo, Langitan, dan memiliki bakat yang besar terhadap sepak bola. Mungkin saja bakat besar dari Wahyu hanya akan tertutupi oleh debu pasir Bromo jikalau Pak Lek Hasan (Agus Kuncoro), seorang manajer sepak bola amatiran, tidak memintanya untuk bermain bagi klub kecamatan Karang Sari. Sang ayah, Pak Darto (Sudjiwo Tejo), diposisikan sebagai sebuah karakter antagonis bagi impian Wahyu karena beliau tidak mengizinkan putra kesayangannya itu bermain bola. Tapi tentu saja larangan itu bukan tanpa suatu alasan. Masa lalu yang kelam membuatnya terpaksa untuk menghalangi Wahyu meraih mimpinya. Sekeras apapun Pak Darto melarang, Wahyu tak gentar. Pertemuan secara tak sengaja dengan Timo Scheunemann di Malang kala hendak mendukung gadis yang disukainya di lomba debat menjadi titik terang.







Segalanya tidak lantas menjadi mudah sekalipun Pak Darto kemudian berbalik mendukung Wahyu sepenuhnya. Kisah cinta monyet Wahyu dengan Indah (Maudy Ayunda) turut merumit. Saat semua permasalahan ini menemukan jalan pemecahannya sendiri-sendiri, Hanung mengakhiri Tendangan Dari Langit dengan sebuah adegan pertandingan sepak bola yang gegap gempita. Bukan sebuah pertandingan palsu yang hanya menyorot para pemain utama dan sebagian penonton saja, Faozan Rizal memindahkan apa yang biasa kita saksikan secara live di stadion dan televisi ke dalam bentuk tayangan untuk layar lebar. Sekalipun hanya sebuah fiksi, efek dramatis nan menegangkan yang biasa kita alami saat menyaksikan pertandingan sepak bola bisa ditemukan disini. Secara tidak sadar Anda akan turut berteriak 'Gol!!!' dan bertepuk tangan dengan meriah saat pahlawan kita berhasil mencetak angka. Dengan durasi yang hampir mencapai dua jam, film berjalan dengan menghibur. Tak sekalipun ditemukan momen yang membosankan. Drama, komedi dan adegan pertandingannya yang seru ditakar dengan pas sehingga menghasilkan sebuah film yang gurih.



Naskah apik dari Fajar Nugroho yang banyak disisipi dengan dialog cerdas nan menggelitik yang khas Jawa Timuran serta kritik sosial yang acapkali menyinggung bobroknya manajemen sepak bola di negeri kita tercinta ini ditingkahi dengan akting apik dari para pemainnya. Agus Kuncoro, Sudjiwo Tejo, Toro Margens dan Yati Surachman menunjukkan kapasitasnya sebagai aktor papan atas dengan permainan yang layak mendapat acungan dua jempol. Yosie Kristanto pun tak membuat malu Hanung Bramantyo. Kehadiran Joshua Suherman dan Jordi Onsu yang ditempatkan di gardu penghibur masih dalam batasan yang wajar, justru tanpa kehadiran mereka film mungkin akan terasa sepi. Selain menawarkan adegan pertandingan yang terbilang epik untuk ukuran film Indonesia, Faozan Rizal tentu tak lupa mengeksplor keindahan alam Bromo. Tampilan visual Tendangan Dari Langit lebih cantik dan memesona ketimbang King. Rasa kekecewaan saya terhadap film-film terakhir buatan Hanung Bramantyo pun terbayarkan. Nyatanya sebuah film dengan ide sederhana malah justru lebih bermakna ketimbang film besar yang ambisius. Pesan untuk tidak pernah menyerah terhadap mimpi kita walaupun berbagai cobaan mendera tersalurkan dengan baik melalui sebuah film keluarga yang dibungkus sederhana namun cantik. Tendangan Dari Langit adalah sebuah pengalaman sinematik yang menyenangkan.



Exceeds Expectations

Sabtu, 20 Agustus 2011

REVIEW : KUNG FU PANDA 2



"The only thing that matters is what you choose to be now." - Po



Apa yang membuat Kung Fu Panda menjadi begitu istimewa hingga film pertamanya bisa mengeruk $631 juta dari peredaran di seluruh dunia padahal film animasi ini mengandalkan formula yang sama seperti kebanyakan animasi lainnya, hewan yang bisa berbicara dan kisah tentang zero to hero? Keputusan pintar tim penulis skenario menggabungkan ide klise ini dengan martial art menjadikannya menarik. Saat menyaksikan Panda, kita seakan sedang menyaksikan film kung fu lawas, namun dalam bentuk animasi dan lebih komikal. Aksi Po (Jack Black) juga sedikit banyak mengingatkan saya pada Stephen Chow di Kung Fu Hustle. Namun ternyata saya tidak berhasil klik dengan film animasi bikinan pesaing Pixar, DreamWorks, ini. Saya masih lebih menyukai Shrek dan Shrek 2 yang menurut saya jauh lebih menghibur. Saat sekuelnya dilempar ke pasaran, saya tidak begitu antusias untuk menyaksikannya. Namun melihat respon positif dari para kritikus sedikit banyak membuat saya penasaran. Ekspektasi rendah dipasang untuk Kung Fu Panda 2, demi menghindari kekecewaan. Secara mengejutkan, Panda 2 ternyata sukses mencuri hati saya. Melebihi dari apa yang saya harapkan terhadap film ini.



Saat kebanyakan sekuel cenderung hanya merupakan pengulangan dari film sebelumnya, Kung Fu Panda 2 mengeksplor lebih dalam dari apa yang telah diceritakan di prekuelnya. Sutradara debutan, Jennifer Yuh Nelson, beruntung dibekali naskah yang kuat untuk film perdananya ini. Panda 2 memiliki tokoh jahat yang mematikan, meskipun kemampuan bela dirinya tidak begitu hebat. Shen Long (Gary Oldman), seekor merak yang gila kekuasaan, menggunakan senjata api untuk menaklukkan China. Ketika Soothsayer (Michelle Yeoh) meramalkan bahwa akan ada ksatria berkulit hitam dan putih yang mengalahkannya, Shen pun membasmi seluruh populasi panda yang ada di China. Shen digambarkan ahli dalam melontarkan belati, persis seperti pemain sirkus. Penampilannya cantik, namun terlihat angkuh. Jika dilihat sekilas, Shen bukanlah tandingan yang sepadan bagi Po, Tigress (Angelina Jolie), Mantis (Seth Rogen), Viper (Lucy Liu), Monkey (Jackie Chan), dan Crane (David Cross). Senjata ciptaannya lah yang menjadi lawan sesungguhnya bagi The Furious Five. Selain kisah epik mengenai pertarungan penuh dendam, penonton juga diajak untuk menyelami masa lalu dari Po.





Tentu Anda tidak benar-benar berfikir bahwa ayah kandung Po adalah Mr. Ping (James Hong) yang merupakan seekor angsa, bukan? Dalam sebuah kilas balik yang dimunculkan dalam bahasa gambar yang sangat cantik, terungkap fakta mengenai orang tua Po. Penjelasan singkat ini rupanya efektif untuk membuat mata berkaca-kaca. Jika dalam prekuelnya penuh dengan kegilaan, maka sekuel ini tampil lebih kelam. Apakah ini karena pengaruh bergabungnya Guillermo del Toro dan Charlie Kaufman? Bisa jadi. Adegan-adegan pemancing tawa tentu masih banyak disisipkan disana sini, akan tetapi intensitasnya jauh berkurang. Kung Fu Panda 2 lebih serius dalam bertutur. Plot utama mengenai pemimpin lalim, Shen Long, yang epik disampaikan dengan sedikit seram (untuk penonton cilik) sementara kisah masa lalu Po lebih mengharu biru. Justru inilah yang membuat saya menyukai Kung Fu Panda 2. Film ini hadir dalam paket yang komplit dengan kombinasi antara drama yang menyentuh, aksi yang seru serta komedi yang segar. Koreografi pertarungannya lebih menarik dan menegangkan ketimbang sebelumnya. Aksi Furious Five saat menyergap istana Shen sanggup membuat saya menahan nafas.



Poin paling positif yang membuat saya berdecak kagum adalah animasinya yang terlihat sangat halus dan mulus. Nyaris sempurna. Konon, setiap bulu Po ini di-render dengan susah payah. Bayi Po membuat para penonton dengan serempak berkata "imut banget!" Ya, setelah menyaksikan Panda 2, saya jadi ingin memelihara seekor panda. Kemajuan dalam animasi tidak hanya ditampilkan melalui sosok Po, tetapi juga diwujudkan dalam tampilan hujan, pemandangan alam pedesaan di China serta pertarungan di istana. Semua ini akan terasa lebih menakjubkan jika disaksikan dalam bentuk 3D. Seperti halnya dalam tradisi film animasi DreamWorks, bintang-bintang terkenal pun dikerahkan untuk menyumbang suara. Jack Black, Gary Oldman dan Dustin Hoffman (sebagai Master Shifu) sanggup menyatu dengan tokoh yang mereka suarakan. Sementara Jackie Chan dan Jean-Claude Van Damme sepertinya dipanggil hanya untuk menaikkan gengsi film. Seandainya digantikan oleh dubber lain pun tak masalah, rasanya hanya sedikit yang mengenali suara Chan dan Van Damme di film ini. Menjelang akhir, tanda-tanda akan hadirnya sekuel mulai nampak. Setelah kepuasan yang saya dapatkan ketika menyaksikan hiburan yang menyenangkan dari Kung Fu Panda 2 ini, maka Kung Fu Panda 3 sangat saya nantikan. Semoga saja franchise Panda ini tidak bernasib sama dengan franchise Shrek yang semakin lama semakin mengecewakan.



Exceeds Expectations

Rabu, 17 Agustus 2011

REVIEW : FAST FIVE



"You only live once, lets do this!" - Roman



Siap untuk kembali mengikuti petualangan di jalanan bersama Dominic Toretto (Vin Diesel)? Maka, kencangkan sabuk pengaman Anda karena kali ini Dominic melakukan aksinya dengan lebih kencang, liar, menegangkan, dan tentunya tanpa otak. Franchise ini pun terus melanglang buana, setelah mengobrak abrik Amerika, Jepang, dan Mexico, kali ini Brazil siap untuk ditaklukkan. Mungkin pertanyaan terbesar dari calon penonton adalah, apa lagi yang bisa ditawarkan oleh franchise ini? Film sebelumnya, Fast & Furious, terbukti hanya menyajikan sebuah tontonan aksi yang kosong dan mudah dilupakan. Seperti halnya Dominic, saya pun lelah. Lelah jika franchise ini terus dilanjutkan tanpa ada perubahan yang berarti. Justin Lin dan Chris Morgan menyadari kesalahan yang telah mereka perbuat di Tokyo Drift dan Fast & Furious. Maka jika Anda berpikir bahwa sudah saatnya franchise ini diakhiri karena telah kehabisan bahan bakar, coba pikir lagi. Lin enggan untuk menutupnya dengan pahit. Fast Five atau Fast & Furious 5: Rio Heist (judul yang dipakai di Indonesia) mampu menawarkan sebuah hiburan yang sangat menyenangkan. Berkali-kali lipat lebih enak untuk dinikmati ketimbang Transformers 3 yang terlalu ribet.


Langsung melanjutkan dari ending Fast & Furious, Lin kembali membuka film dengan aksi di jalanan yang mengasyikkan. Sutradara yang satu ini tahu betul bagaimana cara memulai sebuah film aksi. Brian O’Conner (Paul Walker) dan Mia Toretto (Jordana Brewster) tidak akan membiarkan Dominic dikirim ke penjara. Dalam sebuah pembukaan yang singkat namun mendebarkan, mereka berhasil menggulingkan bis penjara. Tidak ada korban jiwa dalam insiden ini, kecuali hilangnya satu narapidana paling diburu. Siapa lagi jika bukan Dominic. Akibat atas perbuatan mereka ini, Brian, Mia, dan Dom, pun menjadi buronan paling dicari. Mereka pun melarikan diri ke Rio de Janeiro, Brazil. Belum sempat merasakan kehidupan yang tenang, seorang kawan lama menawari pekerjaan yang berbahaya untuk mencuri tiga mobil dari kereta yang berjalan. Dalam keadaan tidak memiliki uang, mereka menerima pekerjaan ini. Namun segalanya menjadi tidak terkendali tatkala Zizi (Michael Irby), anak buah dari pemimpin kartel narkoba di Brazil, Hernan Reyes (Joaquim de Almeida), membunuh tiga agen DEA di kereta. Sementara Zizi berhasil lolos, ketiga jagoan kita ini malah menjadi tersangka utama. Pihak FBI pun meminta bantuan agen DSS, Luke Hobbs (Dwayne Johnson), untuk menangkap mereka.

Dalam pelarian, Mia mengaku kepada Brian dan Dominic bahwa dia sedang hamil. Dominic pun turut memberi pengakuan bahwa dia juga sudah lelah terus melarikan diri. Sebuah keputusan pun dibuat. Mereka akan melakukan aksi terakhir dengan merampok harta milik Hernan yang mencapai $100 juta. Tentu perampokan dengan skala besar ini tidak mungkin dilakukan dengan bermodalkan tiga orang saja. Maka film pun menjadi ajang reuni ketika anggota yang direkrut adalah tokoh-tokoh dari film sebelumnya. Film menjadi ramai dan tampaknya keluarga Toretto telah menjadi besar, bahkan sebelum Mia melahirkan. Hebatnya, Chris Morgan memberi setiap tokoh dengan porsi yang layak. Kehadiran muka-muka lama ini difungsikan dengan benar, bukan hanya sekadar untuk membuat Fast Five menjadi terlihat meriah. Ada kontribusi yang mereka sumbangkan terhadap film. Tyrese Gibson dan Ludacris, serta Tego Calderon dan Don Omar, mempunyai tujuan yang sama untuk memancing tawa penonton dengan celetukan mereka yang konyol dan segar. Tidak ada unsur dominasi atau karakter yang malah nampak menyebalkan ketimbang lucu. Tapi tetap saja selucu apapun Tyrese Gibson, bintang sesungguhnya di Fast Five adalah Dwayne Johnson atau The Rock. Kehadirannya disambut meriah oleh para penonton. Dia berhasil menciptakan klik dengan para sesepuh franchise. Jika ada yang terasa kurang nendang, maka itu adalah Elsa Pataky yang berperan sebagai Elena Neves. Chemistry-nya dengan Dominic terasa hambar. Belum mampu mengimbangi pesona Michelle Rodriguez. Sementara untuk villain-nya sendiri, digambarkan seperti di film aksi pada umumnya. Bengis dan menyebalkan, tapi bodoh.

Durasi 130 menit dimanfaatkan oleh Lin dengan bijaksana. Rio de Janeiro terlihat indah, meski Stephen F. Windon seharusnya bisa mengeksplor lebih. Windon terlalu asyik menyoroti pantat para gadis berbikini sih. Tapi setidaknya apa yang menjadi inti dari franchise ini tidak dilupakan, kebut-kebutan di jalanan dengan mobil bagus. Yang membuatnya menjadi terasa istimewa dibanding film-film sebelumnya adalah kali ini tidak hanya menyoal adu cepat dan perlawanan dengan pemimpin kartel saja, tetapi ada plot lain tentang perampokan. Ini seperti menyaksikan gabungan antara The Fast & The Furious dengan The Italian Job. Bagusnya, untuk bisa mendapat ketegangan ini penonton tidak perlu menunggunya di 30 menit terakhir karena Lin dan Morgan dengan sangat murah hati telah menggebernya sejak menit awal. Tapi tentu saja klimaks yang melibatkan sebuah brankas adalah yang paling mendebarkan. Untuk menciptakan adegan seseru ini yang membuat Rio de Janeiro terlihat seperti puing, tidak membutuhkan sentuhan special effects yang berlebihan. Dalam sebuah video yang dirilis oleh pihak studio, adegan aksi yang terjadi menjelang ending ini dilakukan tanpa bantuan dari tim special effects. Sungguh mengesankan. Setelah kekacauan demi kekacauan yang terjadi sepanjang film, dalam artian positif, Fast Five langsung menyeruak ke posisi puncak dengan label sebagai film terbaik dalam seri The Fast & The Furious. Penuh dengan aksi yang seru, humor yang lucu, twist yang bagus dan tentu saja para pemain yang solid. Inilah hiburan yang sesungguhnya, meskipun terlalu banyak kemustahilan disana sini. Jika Anda menyaksikan film ini di bioskop, bersabarlah sedikit saat closing credit mulai bergulir. Ada kejutan manis bagi Anda yang menonton film ini dengan tuntas.

Exceeds Expectations

Minggu, 14 Agustus 2011

REVIEW : SECONDS APART



Apapun bisa dijadikan film oleh Hollywood, termasuk mengenai saudara kembar. Film yang melibatkan saudara kembar, baik identik maupun tidak, banyak ditemukan di Hollywood. Genrenya pun beragam dan rasanya hampir semua genre film pernah memakainya. Hal ini sama sekali tidak mengherankan mengingat anak kembar memang memiliki daya tarik tersendiri. Saya pun sebenarnya memiliki minat yang lebih terhadap anak kembar karena terkadang saya berharap memiliki saudara kembar. Sepertinya menyenangkan. Dan film yang menggunakan anak kembar sebagai bintang utama kebanyakan selalu asyik untuk ditonton. Entah sudah berapa kali saya menyaksikan The Parent Trap. Film-film dari si kembar Olsen, seberapa buruknya itu, tak pernah saya lewatkan. Yang paling mengesankan saya selain The Parent Trap tentunya Adaptation. Sementara dari genre horror, siapa yang bisa melupakan si kembar Grady dari The Shining dan si kembar Mantle dari Dead Ringers? Dua film dari era 80-an ini sukses membuat bulu kuduk saya bergidik ngeri. Memasuki era millenium ternyata sulit menemukan film yang serupa. Kejutan hadir saat Seconds Apart muncul. Film yang diperkenalkan melalui After Dark Horrorfest pada awal tahun 2011 ini ternyata cukup menarik untuk disimak.



Kematian misterius sejumlah atlet dalam sebuah pesta menjelang pertandingan besar menarik perhatian Detektif Lampkin (Orlando Jones) yang masih menyimpan trauma atas tewasnya sang istri dalam sebuah kebakaran. Pengakuan dari seorang saksi mata yang kekasihnya menjadi salah satu korban menuntun Lampkin pada dua remaja kembar yang aneh dan anti sosial, Seth (Gary Entin) dan Jonah (Edmund Entin). Memang ada yang tidak yang beres dengan si kembar Trimble, namun Lampkin selalu kesulitan mengumpulkan bukti. Sementara itu, korban terus berjatuhan. Tidak ada kesamaan diantara para korban, kecuali Seth dan Jonah selalu berada di tempat kejadian perkara. Siapa sebenarnya si kembar Trimble ini? Seperti halnya Dead Ringers dan kebanyakan film lain, konflik dipicu oleh kehadiran seorang gadis. Eve (Samantha Droke), seorang siswi baru, menarik perhatian Jonah. Hubungan si kembar pun merenggang. 'The Project' yang sejak awal film menjadi misi utama mereka pun terbengkalai. Lampkin melihat kekacauan ini sebagai sebuah celah untuk menuntaskan kasus.





Saya sama sekali tidak menduga akan mendapat sebuah tontonan menegangkan yang digarap secara apik melalui Seconds Apart. Tulisan buatan George Richards berhasil dituangkan Antonio Negret ke dalam bentuk pita seluloid dengan menarik. Premisnya mungkin terlihat sangat klise dan mudah ditebak, namun Seconds Apart ternyata tidak seperti itu. Adegan pembukanya dikemas dengan baik dan menegangkan serta sanggup membuat saya tercekat. Rasa pesimis saya terhadap film ini pun mendadak sirna dan saya memutuskan untuk duduk manis menyaksikan film ini hingga akhir. Ah, ternyata duduk manis saat menyaksikan sebuah film horror memang hampir mustahil untuk dilakukan. Tanpa memaksa memedi untuk tampil di layar, Seconds Apart memanfaatkan atmosfir dan akting para pemainnya untuk membuat penonton merasa tidak nyaman. Memasuki rumah keluarga Trimble bukanlah sesuatu yang menyenangkan dan rasanya manusia normal manapun enggan untuk menjejakkan kaki di rumah tersebut setelah melihat apa yang ada di dalamnya. Ini bukan rumah berhantu dimana pintu mendadak tertutup dengan sendirinya. Kengerian dipicu oleh tindak tanduk si kembar dan orang tua mereka yang ganjil. Desain interior rumah yang antik turut membuat atmosfir menjadi semakin tidak menyenangkan.



Itu semua tentu tidak akan terwujud jika para pemainnya tidak mengerahkan kemampuan akting terbaik mereka. Si kembar Entin memainkan peran mereka dengan sempurna. Tanpa perlu berkata-kata, hanya dengan ekspresi muka saja sudah mampu membuat saya merinding. Namun yang paling mencuri perhatian adalah Orlando Jones dan Morgana Shaw yang berperan sebagai ibu dari si kembar. Lampkin yang rapuh dan tertekan dimainkan dengan cemerlang oleh Jones yang sebelumnya kerap tampil buruk di film yang dibintanginya. Ini sekaligus menjadi ajang pembuktian bahwa dia tidak hanya bisa melawak, yang bagi saya sama sekali tidak lucu, namun juga bisa berakting dengan baik. Peran yang tepat adalah kuncinya. Seconds Apart juga sedikit banyak disisipi oleh adegan yang penuh darah (gore). Hebatnya, hampir semua kekejian itu hanyalah fantasi dari para tokohnya semata. Karena itulah efek psikologisnya malah lebih terasa. Tidak diumbar secara berlebihan, namun sanggup membuat saya ngilu melihatnya. Apa yang menjadi misteri di Seconds Apart memang beberapa telah dibeberkan sejak awal film, namun bukan berarti film menjadi tak menarik. Negret tahu betul bagaimana caranya membuat penonton tetap betah hingga akhir. Tensi terus ditingkatkan di setiap menitnya. Ending yang cukup mengejutkan diolah dengan sangat baik dan tidak terkesan membodohi penonton. Dan, Seconds Apart pun berhasil mengawali dan mengakhiri kisahnya dengan memesona. Tidak sabar rasanya untuk melihat apa yang akan ditawarkan oleh Negret di film ketiganya nanti.



Acceptable

Jumat, 12 Agustus 2011

REVIEW : THE SONG OF SPARROWS



Adalah Majid Majidi, sutradara kelahiran tahun 1959, yang berjasa memperkenalkan perfilman Iran kepada dunia. Filmnya yang berjudul Children of Heaven meraih banyak puja puji dari berbagai kritikus dunia, mendapatkan pundi-pundi dollar dengan jumlah yang sangat memuaskan dan tentu saja yang paling berharga, nominasi Oscar. Iran memang masih memiliki sutradara hebat lain macam Abbas Kiarostami, Jafar Panahi atau Samira Makhmalbaf, namun Majidi-lah yang membuat masyarakat pecinta film melirik film-film buatan Iran. Tanpa dia, kita mungkin tidak akan mengetahui bahwa ada banyak sekali film bagus dari negara yang masih dipenuhi dengan konflik ini. Tidak perlu efek khusus yang menggelegar atau kisah rumit untuk menciptakan film yang menarik. Cukup dibutuhkan kisah yang sederhana dengan naskah yang kuat, permainan akting yang apik serta penanganan yang tepat. Ide cerita pun bisa berasal darimana saja. Sutradara Iran cenderung suka mengambil dari apa yang terjadi di sekitar mereka. Sederhana, namun sarat akan pesan sosial. Film Iran juga mengajarkan bahwa banyaknya peraturan bukanlah suatu hambatan, namun suatu tantangan yang justru mampu menajamkan kreativitas. Bagaimana, bung Naya, Kakay dan Rampung?



Film paling anyar karya Majid Majidi, The Song of Sparrows, tetap sederhana dalam berkisah. Ini adalah sebuah kisah tentang kehidupan Karim (Reza Naji), seorang ayah dari tiga anak dalam menghadapi berbagai persoalan hidup setelah dirinya dipecat dari pekerjaannya di peternakan burung unta setelah salah satu burung unta seharga $2.000 lepas dari kandang dalam sebuah insiden yang dituturkan dengan lucu. Belum cukup cobaan mendera, datang cobaan lainnya. Alat bantu pendengaran milik putrinya rusak setelah tanpa sengaja terjatuh ke dalam lumpur. Untuk membeli baru, dia tidak memiliki uang. Ditemani dengan sepeda motor kesayangannya, Karim pun menuju Tehran untuk memperbaiki alat bantu pendengaran ini. Saat hendak pulang ke rumah dengan kekecewaan, seorang pria yang tengah terburu-buru mengira Karim sebagai tukang ojek. Dia tidak kuasa untuk menolak. Karim lantas mencium adanya peluang disini. Daripada menganggur di rumah, bukankah lebih baik menjadi tukang ojek, toh ini halal? Kehidupan di Tehran yang keras dan sangat bertolak belakang dengan kampung halamannya perlahan mulai mengubah Karim. Istrinya, Nargess (Maryam Akbari), khawatir dengan suaminya. Selain menyoroti tentang kehidupan Karim, Majid Majidi juga mengajak kita untuk melihat fantasi polosnya anak lelaki Karim, Hossein (Hamid Aghazi), dan konco-konconya yang bermimpi menjadi miliarder dengan mengembangbiakkan ikan emas.





The Song of Sparrows adalah sebuah film yang dirangkai dengan sangat indah. Harus diakui, Majid Majidi adalah seorang master dalam menuturkan kisah. Durasi 96 menit terasa singkat. Menyaksikan The Song of Sparrows bagaikan makan permen nano nano, penuh sensasi dengan perasaan yang terus dicampur aduk. Ada kalanya kita dibuat tertawa, namun di menit lain Majidi membuat kita terharu dan pedih, dan di menit yang lain kita dibuat tegang. Semua itu ditampilkan dengan realistis, tanpa ada kesan dibuat-buat. Majidi ingin memperlihatkan kepada penontonnya bagaimana kota besar dan gaya hidup modern mampu mengubah seseorang. Di awal film Karim digambarkan sebagai seorang ayah yang penyayang, namun setelah beberapa lama merasakan kehidupan Tehran, dia berubah menjadi seseorang yang temperamen dan serakah. Perubahan karakter Karim diwujudkan dengan sangat brilian oleh akting Reza Naji. Tak heran jika kemudian dia mendapat banyak penghargaan atas perannya ini. Aktor langganan Majid Majidi ini sanggup membuat saya gemas sepanjang film. Percampuran antara menaruh rasa simpati dan sebal. Tekanan atas tanggung jawab untuk menghidupi keluarganya serta kehidupan kota yang sangat berbeda menjadi alasan Karim mudah terpancing emosinya.



Menyenangkan rasanya melihat Reza Naji dikelilingi oleh aktor-aktor lokal berbakat yang bermain natural sebagai istinya, anak-anaknya, tetangganya dan rekan bisnisnya. Permainan apik dari para aktornya ditingkahi dengan sinematografi cantik Tooraj Mansouri. Penggunaan juktaposisi dalam mengekspos kehidupan Tehran yang serba semrawut dan pedesaan di Iran yang damai dan menyejukkan sungguh menarik. Namun yang membuat saya berdecak kagum adalah adegan dimana Karim membawa daun pintu bercat biru melintasi ladang dan ketika Karim menyamar sebagai burung unta. Gambar yang ditampilkan sangat cantik. Iringan musik tar dan senar dari Hossein Alizadeh yang merdu mengiringi adegan-adegan dalam The Song of Sparrows sanggup menciptakan nuansa tersendiri yang mungkin tidak akan kita temui dalam film non-Iran. Dengan pesan-pesannya yang indah tanpa kesan menggurui, The Song of Sparrows menjelma menjadi sebuah film berseni dengan realisme sosial yang tinggi. Saya sangat puas dengan film ini ditilik dari segi apapun. Bagi Anda yang jatuh cinta dengan Children of Heaven, saya sangat merekomendasikan film ini. Ditonton di saat Ramadhan seperti sekarang ini malah jauh lebih nikmat.



Outstanding

Rabu, 10 Agustus 2011

REVIEW : TRANSFORMERS: DARK OF THE MOON



'Thank God!' itulah yang pertama kali terlontar dari mulut saya setelah menyaksikan Transformers: Dark of the Moon di bioskop. Setelah lampu bioskop dinyalakan, saya tidak sabar untuk segera pulang dan segera menyaksikan film lain ketimbang berlama-lama di dalam gedung bioskop menikmati credit title-nya. Menonton Dark of the Moon adalah sebuah pengalaman tersendiri karena sudah lama sejak The Last Airbender, saya tidak merasakan rasa lelah yang sedemikian dahsyat setelah menonton suatu film. Saya jadi teringat kembali pada pengakuan sang sutradara, Michael Bay, yang mengatakan bahwa seri kedua dari Transformers, Revenge of the Fallen, adalah sebuah film yang buruk dan berjanji akan memperbaiki kualitasnya di seri ketiganya kelak. Ya, Bay ternyata bukanlah tipe sutradara yang suka obral janji. Dia memenuhi janjinya. Namun perkara tidak lantas berakhir disitu saja. Ehren Kruger yang pernah khilaf menyajikan naskah kosong melompong di film kedua ternyata terlalu bersemangat untuk membuat film ketiga ini jadi lebih baik. Penulis skenario yang melahirkan film apik macam Arlington Road dan The Skeleton Key ini menimbun Dark of the Moon dengan plot bercabang yang niatnya ingin terlihat berisi namun malah membuat penonton tersiksa lahir batin.



Dark of the Moon mengawali kisahnya dengan menjanjikan. Kisah nyata dan fiksi dipadukan menjadi satu. Pemerintah Amerika Serikat ternyata mempunyai rencana lain seputar pendaratan manusia pertama di bulan. Kru Apollo 11 diminta untuk menyelidiki benda misterius yang terjatuh di bulan. Yang mereka temukan disana adalah sebuah pesawat alien bernama Ark yang berisi sejumlah bangkai robot. Konon, kapal yang membawa muatan penting ini berhasil melarikan diri tatkala terjadi perang besar di planet Cybertron. Pesawat ini sempat dinyatakan hilang hingga ditemukan oleh kru Apollo 11. Penemuan ini lantas dirahasiakan oleh pemerintah selama bertahun-tahun, termasuk kepada Autobots yang membantu mereka. Dan, sajian pembuka yang menarik itu pun diakhiri sampai disini. Apa yang tersaji selanjutnya adalah mengenai betapa ribetnya kehidupan Sam Witwicky (Shia LaBeouf) yang haus akan pengakuan dan kekasih barunya yang sekilas mengingatkan saya pada Cinta Laura, Carly (Rosie Huntington-Whiteley). Menjadi lulusan dari universitas yang tergabung dalam Ivy League dan dua kali menyelamatkan dunia ternyata tidak membuat Sam mendapat pekerjaan dengan mudah. Saat plot mulai bergelut dengan masalah pekerjaan Sam, saya mulai kebingungan. Apakah saat ini saya sedang menyaksikan Wall Street 3 : Dark of the Money? Kruger kelewat bertele-tele dalam menjabarkan permasalahan personal Sam dan apa yang akan dihadapi oleh manusia.





Rahasia pemerintah belakangan tercium oleh para robot. Autobots mengetahui keberadaan Sentinel Prime, sesepuh Autobots, yang tengah koma di bulan. Optimus pun menyambanginya dan membawanya ke bumi untuk kemudian dihidupkan dengan menggunakan energi 'Matrix of Leadership'. Sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Alih-alih bergabung dengan Autobots untuk mewujudkan perdamaian dunia, Sentinel justru mengkhianati Optimus dengan mengumpulkan 'The Pillars' yang tercecer demi kepentingan pribadi. Hubungan antara manusia, Autobots, Decepticons dan Sentinel Prime pun merumit. Serumit naskah buatan Kruger. Harus diakui, menonton sebuah film dengan durasi melebihi 150 menit bukanlah perkara yang mudah dan menyenangkan. Jika tidak dilandasi naskah yang kuat, akan berakhir menjadi tontonan yang menjemukan. Dark of the Moon sungguh melelahkan. Apa yang dinanti-nantikan baru dihadirkan oleh Bay pada 30 menit terakhir. Ibaratnya seperti seseorang yang sedang makan di restoran dan menantikan makanan utama disajikan, namun sang pelayan tidak kunjung datang. Sembari menunggu, lagu pengantar tidur mengiringi. Seperti itulah yang saya alami. Sebelum penonton digiring menuju pertarungan keren dengan special effects yang mampu membuat mulut menganga, penonton diajak untuk menikmati kisahnya yang sangat membosankan terlebih dahulu. Saking membosankannya, saya menjadi saksi mata atas tumbangnya dua penonton di dalam bioskop (baca: tertidur lelap).



Duplikat Cinta Laura alias Rosie Huntington-Whiteley secara mengejutkan malah lebih pas untuk berada dalam film ini ketimbang Megan Fox. Aktingnya memang membuat saya segera mengambil tasbih dan membaca istighfar sebanyak mungkin dan chemistry-nya dengan LaBeouf sama sekali tidak nyambung, namun setidaknya dia tidak annoying seperti Fox, saya bahkan pernah berharap Mikaela ditelan hidup-hidup oleh Megatron di Revenge of the Fallen. Dia pun difungsikan dengan benar, tidak hanya sebagai pemanis belaka. Namun tentu dia tidak kalah ajaibnya dengan Fox. Saya tidak bisa berhenti tertawa saat melihatnya melewati semua petualangan yang mendebarkan dengan high heels yang masih melekat di kaki indahnya. Dia pun masih tetap terlihat cantik dan modis meski udah ketiban gedung dan kena ranjau berkali-kali. LaBeouf semakin terasah kemampuan aktingnya, namun Frances McDormand dan John Malkovich adalah bintang sesungguhnya. Mereka membuktikan bahwa mereka memang layak untuk disebut sebagai aktor papan atas. Apalagi mereka yang paling berjasa untuk membuat saya tetap melek hingga menit terakhir, selain tentunya karena saya memikirkan berapa duit yang harus saya korbankan. Jika ada yang tidak penting, maka itu adalah Ken Jeong, Patrick Dempsey dan John Turturro. Namun saya lebih berharap agar Bay menyingkirkan dua robot peliharaan Sam, yang saya tidak peduli siapa nama mereka, selama-lamanya. Gak lucu blas, malah annoying to the max!



Memberi kritikan pedas kepada seri Transformers berarti siap untuk menerima segala tuduhan dari fans-nya. Seperti halnya Twilight Saga, tuduhan tersebut biasanya akan berakhir pada kritik balik terhadap tulisan si pengritik atau film yang disukai oleh si pengritik. Salah besar jika Anda menganggap saya tidak suka dengan seri Transformers. Saya sangat menikmati seri pertama, namun seri-seri selanjutnya membuat hati ini pedih membayangkannya. Siapapun yang mengikuti tulisan Cinetariz tentu tahu meskipun saya sangat menggemari Harry Potter, tapi saya berulang kali melancarkan serangan kepada versi film Half-Blood Prince. Saya hanya berusaha jujur atas apa yang saya lihat. Dark of the Moon, pada kenyataannya, tidak lebih dari ajang pamer special effects dengan cerita yang dipaksakan. Saya tidak mengharapkan sebuah cerita berkelas Oscar, tapi mbok ya jangan menyepelekan cerita. Percuma saja megah tapi isinya kosong. Ada kepuasan yang lebih saat naskah, akting, tampilan visual dan efek megah berpadu menjadi satu. The Dark Knight, anyone? Seperti itulah seharusnya film blockbuster dibuat. Dark of the Moon mungkin menyenangkan untuk saat ini (mungkin lho ya!), tapi apakah akan tetap dikenang hingga 10 tahun ke depan? Jika Michael Bay adalah tipe sutradara yang menerima kritik, maka film berikutnya masih patut untuk dinantikan. Dark of the Moon, meskipun tetap tidak menarik, menunjukkan usahanya untuk memperbaiki diri setelah kecaman demi kecaman di film sebelumnya. Setidaknya dia tidak seperti sutradara di negeri kita yang menutup mata dan telinga sembari berkata dalam hati, "terserah apa kata lu, yang penting duit gue ngalir deres."



Poor

Minggu, 07 Agustus 2011

REVIEW : HELLO GHOST


Bersyukurlah bagi Anda yang dibesarkan dan tinggal dalam keluarga yang harmonis dan penuh cinta. Itu merupakan suatu nikmat yang patut disyukuri. Ada berjuta-juta orang di luar sana yang tidak bisa merasakan kasih sayang dari keluarga. Percaya atau tidak, mereka akan melakukan apapun demi bisa merasakan kehangatan keluarga. Keluarga adalah harta yang paling besar dan tak ternilai harganya, seburuk apapun keluarga tersebut. Mungkin itulah yang ingin disampaikan oleh sineas merangkap penulis skenario, Kim Yeong-tak, dalam film pertama buatannya, Hello Ghost. Sebuah komedi drama yang sangat menyentuh dengan pesan universal mengenai keluarga. Cha Tae-hyeon yang angkat nama lewat My Sassy Girl dan belakangan semakin menanjak popularitasnya berkat Sad Movie, My Girl and I, Highway Star dan Speedy Scandal, didapuk menjadi pemeran utama sekaligus mengurusi departemen musik. Kali ini Cha Tae-hyeon memerankan seorang pemuda yang mengalami kekosongan dalam hidupnya. Menjalani hidup adalah suatu hal yang sulit, terlebih tanpa adanya keluarga di sekitarnya. Bahkan dia sendiri tidak ingat pernah memiliki keluarga.

Karena sebab itulah, Cha Tae-hyeon atau Kang Sang-man memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Malangnya, Tuhan masih belum mengizinkan Kang Sang-man untuk menemui-Nya. Berbagai percobaan untuk bunuh diri berakhir dengan kegagalan. Sebagai konsekuensi dari perbuatannya, Kang Sang-man 'diizinkan' untuk melihat hantu. Tidak semua hantu, tetapi hanya empat hantu. Suatu hal yang sangat menyebalkan bagi Sang-man. Keempat hantu ini; hantu wanita yang selalu menangis, hantu perokok berat, hantu kakek, dan hantu bocah, memang sama sekali tidak menyeramkan, namun sangat merepotkan. Untuk mengusir mereka, menurut seorang cenayang, dia harus memenuhi permintaan setiap hantu. Permintaan mereka sangat sederhana. Meskipun Sang-man awalnya cenderung tak ikhlas melakukan ini semua, perlahan tapi pasti dia mulai merasakan bahwa para hantu ini ternyata memberi energi positif. Selain memertemukannya dengan seorang perawat cantik, Jeong Yeon-soo (Kang Ye-won), gaya hidup Sang-man pun berubah total. Dia memelajari banyak hal baru. Gairah untuk menjalani hidup pun tumbuh.


Satu lagi sebuah film yang indah datang dari negeri gingseng. Tanpa diduga, Hello Ghost menyajikan sebuah kisah yang sangat menarik dan menyentuh. Sekitar satu jam pertama Yeong-tak mengajak kita untuk berkenalan dengan setiap hantu yang mengikuti Sang-man sekaligus memperlihatkan usaha dari Sang-man untuk menaklukkan hati Yeon-soo. Pada bagian ini, saya susah untuk menahan tawa. Dengan melihat penampilan para hantu saja sudah membuat tertawa ngakak. Perhatikan bagaimana saat hantu kakek dengan ekspresi wajah yang unik itu 'meminjam tubuh' Sang-man. Cha Tae-hyeon sekali lagi bermain mengesankan. Aktor berbakat ini memang sangat cocok bermain di ranah komedi. Interaksinya bersama para hantu diwujudkan dalam bentuk yang komikal dan pastinya akan sulit bagi Anda untuk tidak tertawa. Skrip buatan Yeong-tak sungguh rapi. Bobot dialognya dalam takaran yang pas dan humornya, meski terkadang cukup klise dan slapstick, tidak terkesan dipaksakan. Namun yang menjadi kredit tersendiri adalah kemahirannya dalam mengolah alur dengan cerdik sehingga akhir cerita tidak mudah ditebak.

Sebenarnya memadukan komedi yang segar dengan drama yang menyentuh bukanlah sesuatu yang baru di perfilman Asia, khususnya Korea Selatan. Akan tetapi apa yang disuguhkan oleh Yeong-tak saat menuju akhir film cukup mengecoh saya yang sedari awal melakukan tebak-tebak manggis. Bagi Anda yang mudah terharu saat menonton film, sangat disarankan untuk menyiapkan tissue sebelum menyaksikan film ini. Apa yang dihadirkan di menit-menit terakhir sungguh membuat dada terasa sesak. Hello Ghost, dengan caranya yang cerdas dan efektif, telah mengajarkan saya untuk lebih menghargai keluarga. Sempat terjadi debat yang sangat panas antara Sang-man dengan Yeon-soo mengenai arti pentingnya sebuah keluarga. Mereka memiliki pandangan yang bertolak belakang. Yeon-soo digambarkan sebagai pihak apatis. Belakangan setelah sang ayah wafat, Yeon-soo tersadar. Apa yang dikatakan oleh Sang-man benar adanya. Sayang sekali, penyesalan memang selalu datang terlambat. Yeong-tak pun mengakhiri Hello Ghost dengan manis. Saya sama sekali tidak menduga jika film dengan ide cerita yang terkesan konyol ini justru membawa banyak pelajaran berharga. Tak heran jika kemudian Chris Columbus tertarik untuk me-remake film ini.

Exceeds Expectations