Minggu, 14 Agustus 2011

REVIEW : SECONDS APART



Apapun bisa dijadikan film oleh Hollywood, termasuk mengenai saudara kembar. Film yang melibatkan saudara kembar, baik identik maupun tidak, banyak ditemukan di Hollywood. Genrenya pun beragam dan rasanya hampir semua genre film pernah memakainya. Hal ini sama sekali tidak mengherankan mengingat anak kembar memang memiliki daya tarik tersendiri. Saya pun sebenarnya memiliki minat yang lebih terhadap anak kembar karena terkadang saya berharap memiliki saudara kembar. Sepertinya menyenangkan. Dan film yang menggunakan anak kembar sebagai bintang utama kebanyakan selalu asyik untuk ditonton. Entah sudah berapa kali saya menyaksikan The Parent Trap. Film-film dari si kembar Olsen, seberapa buruknya itu, tak pernah saya lewatkan. Yang paling mengesankan saya selain The Parent Trap tentunya Adaptation. Sementara dari genre horror, siapa yang bisa melupakan si kembar Grady dari The Shining dan si kembar Mantle dari Dead Ringers? Dua film dari era 80-an ini sukses membuat bulu kuduk saya bergidik ngeri. Memasuki era millenium ternyata sulit menemukan film yang serupa. Kejutan hadir saat Seconds Apart muncul. Film yang diperkenalkan melalui After Dark Horrorfest pada awal tahun 2011 ini ternyata cukup menarik untuk disimak.



Kematian misterius sejumlah atlet dalam sebuah pesta menjelang pertandingan besar menarik perhatian Detektif Lampkin (Orlando Jones) yang masih menyimpan trauma atas tewasnya sang istri dalam sebuah kebakaran. Pengakuan dari seorang saksi mata yang kekasihnya menjadi salah satu korban menuntun Lampkin pada dua remaja kembar yang aneh dan anti sosial, Seth (Gary Entin) dan Jonah (Edmund Entin). Memang ada yang tidak yang beres dengan si kembar Trimble, namun Lampkin selalu kesulitan mengumpulkan bukti. Sementara itu, korban terus berjatuhan. Tidak ada kesamaan diantara para korban, kecuali Seth dan Jonah selalu berada di tempat kejadian perkara. Siapa sebenarnya si kembar Trimble ini? Seperti halnya Dead Ringers dan kebanyakan film lain, konflik dipicu oleh kehadiran seorang gadis. Eve (Samantha Droke), seorang siswi baru, menarik perhatian Jonah. Hubungan si kembar pun merenggang. 'The Project' yang sejak awal film menjadi misi utama mereka pun terbengkalai. Lampkin melihat kekacauan ini sebagai sebuah celah untuk menuntaskan kasus.





Saya sama sekali tidak menduga akan mendapat sebuah tontonan menegangkan yang digarap secara apik melalui Seconds Apart. Tulisan buatan George Richards berhasil dituangkan Antonio Negret ke dalam bentuk pita seluloid dengan menarik. Premisnya mungkin terlihat sangat klise dan mudah ditebak, namun Seconds Apart ternyata tidak seperti itu. Adegan pembukanya dikemas dengan baik dan menegangkan serta sanggup membuat saya tercekat. Rasa pesimis saya terhadap film ini pun mendadak sirna dan saya memutuskan untuk duduk manis menyaksikan film ini hingga akhir. Ah, ternyata duduk manis saat menyaksikan sebuah film horror memang hampir mustahil untuk dilakukan. Tanpa memaksa memedi untuk tampil di layar, Seconds Apart memanfaatkan atmosfir dan akting para pemainnya untuk membuat penonton merasa tidak nyaman. Memasuki rumah keluarga Trimble bukanlah sesuatu yang menyenangkan dan rasanya manusia normal manapun enggan untuk menjejakkan kaki di rumah tersebut setelah melihat apa yang ada di dalamnya. Ini bukan rumah berhantu dimana pintu mendadak tertutup dengan sendirinya. Kengerian dipicu oleh tindak tanduk si kembar dan orang tua mereka yang ganjil. Desain interior rumah yang antik turut membuat atmosfir menjadi semakin tidak menyenangkan.



Itu semua tentu tidak akan terwujud jika para pemainnya tidak mengerahkan kemampuan akting terbaik mereka. Si kembar Entin memainkan peran mereka dengan sempurna. Tanpa perlu berkata-kata, hanya dengan ekspresi muka saja sudah mampu membuat saya merinding. Namun yang paling mencuri perhatian adalah Orlando Jones dan Morgana Shaw yang berperan sebagai ibu dari si kembar. Lampkin yang rapuh dan tertekan dimainkan dengan cemerlang oleh Jones yang sebelumnya kerap tampil buruk di film yang dibintanginya. Ini sekaligus menjadi ajang pembuktian bahwa dia tidak hanya bisa melawak, yang bagi saya sama sekali tidak lucu, namun juga bisa berakting dengan baik. Peran yang tepat adalah kuncinya. Seconds Apart juga sedikit banyak disisipi oleh adegan yang penuh darah (gore). Hebatnya, hampir semua kekejian itu hanyalah fantasi dari para tokohnya semata. Karena itulah efek psikologisnya malah lebih terasa. Tidak diumbar secara berlebihan, namun sanggup membuat saya ngilu melihatnya. Apa yang menjadi misteri di Seconds Apart memang beberapa telah dibeberkan sejak awal film, namun bukan berarti film menjadi tak menarik. Negret tahu betul bagaimana caranya membuat penonton tetap betah hingga akhir. Tensi terus ditingkatkan di setiap menitnya. Ending yang cukup mengejutkan diolah dengan sangat baik dan tidak terkesan membodohi penonton. Dan, Seconds Apart pun berhasil mengawali dan mengakhiri kisahnya dengan memesona. Tidak sabar rasanya untuk melihat apa yang akan ditawarkan oleh Negret di film ketiganya nanti.



Acceptable

Tidak ada komentar:

Posting Komentar