Rabu, 17 Agustus 2011

REVIEW : FAST FIVE



"You only live once, lets do this!" - Roman



Siap untuk kembali mengikuti petualangan di jalanan bersama Dominic Toretto (Vin Diesel)? Maka, kencangkan sabuk pengaman Anda karena kali ini Dominic melakukan aksinya dengan lebih kencang, liar, menegangkan, dan tentunya tanpa otak. Franchise ini pun terus melanglang buana, setelah mengobrak abrik Amerika, Jepang, dan Mexico, kali ini Brazil siap untuk ditaklukkan. Mungkin pertanyaan terbesar dari calon penonton adalah, apa lagi yang bisa ditawarkan oleh franchise ini? Film sebelumnya, Fast & Furious, terbukti hanya menyajikan sebuah tontonan aksi yang kosong dan mudah dilupakan. Seperti halnya Dominic, saya pun lelah. Lelah jika franchise ini terus dilanjutkan tanpa ada perubahan yang berarti. Justin Lin dan Chris Morgan menyadari kesalahan yang telah mereka perbuat di Tokyo Drift dan Fast & Furious. Maka jika Anda berpikir bahwa sudah saatnya franchise ini diakhiri karena telah kehabisan bahan bakar, coba pikir lagi. Lin enggan untuk menutupnya dengan pahit. Fast Five atau Fast & Furious 5: Rio Heist (judul yang dipakai di Indonesia) mampu menawarkan sebuah hiburan yang sangat menyenangkan. Berkali-kali lipat lebih enak untuk dinikmati ketimbang Transformers 3 yang terlalu ribet.


Langsung melanjutkan dari ending Fast & Furious, Lin kembali membuka film dengan aksi di jalanan yang mengasyikkan. Sutradara yang satu ini tahu betul bagaimana cara memulai sebuah film aksi. Brian O’Conner (Paul Walker) dan Mia Toretto (Jordana Brewster) tidak akan membiarkan Dominic dikirim ke penjara. Dalam sebuah pembukaan yang singkat namun mendebarkan, mereka berhasil menggulingkan bis penjara. Tidak ada korban jiwa dalam insiden ini, kecuali hilangnya satu narapidana paling diburu. Siapa lagi jika bukan Dominic. Akibat atas perbuatan mereka ini, Brian, Mia, dan Dom, pun menjadi buronan paling dicari. Mereka pun melarikan diri ke Rio de Janeiro, Brazil. Belum sempat merasakan kehidupan yang tenang, seorang kawan lama menawari pekerjaan yang berbahaya untuk mencuri tiga mobil dari kereta yang berjalan. Dalam keadaan tidak memiliki uang, mereka menerima pekerjaan ini. Namun segalanya menjadi tidak terkendali tatkala Zizi (Michael Irby), anak buah dari pemimpin kartel narkoba di Brazil, Hernan Reyes (Joaquim de Almeida), membunuh tiga agen DEA di kereta. Sementara Zizi berhasil lolos, ketiga jagoan kita ini malah menjadi tersangka utama. Pihak FBI pun meminta bantuan agen DSS, Luke Hobbs (Dwayne Johnson), untuk menangkap mereka.

Dalam pelarian, Mia mengaku kepada Brian dan Dominic bahwa dia sedang hamil. Dominic pun turut memberi pengakuan bahwa dia juga sudah lelah terus melarikan diri. Sebuah keputusan pun dibuat. Mereka akan melakukan aksi terakhir dengan merampok harta milik Hernan yang mencapai $100 juta. Tentu perampokan dengan skala besar ini tidak mungkin dilakukan dengan bermodalkan tiga orang saja. Maka film pun menjadi ajang reuni ketika anggota yang direkrut adalah tokoh-tokoh dari film sebelumnya. Film menjadi ramai dan tampaknya keluarga Toretto telah menjadi besar, bahkan sebelum Mia melahirkan. Hebatnya, Chris Morgan memberi setiap tokoh dengan porsi yang layak. Kehadiran muka-muka lama ini difungsikan dengan benar, bukan hanya sekadar untuk membuat Fast Five menjadi terlihat meriah. Ada kontribusi yang mereka sumbangkan terhadap film. Tyrese Gibson dan Ludacris, serta Tego Calderon dan Don Omar, mempunyai tujuan yang sama untuk memancing tawa penonton dengan celetukan mereka yang konyol dan segar. Tidak ada unsur dominasi atau karakter yang malah nampak menyebalkan ketimbang lucu. Tapi tetap saja selucu apapun Tyrese Gibson, bintang sesungguhnya di Fast Five adalah Dwayne Johnson atau The Rock. Kehadirannya disambut meriah oleh para penonton. Dia berhasil menciptakan klik dengan para sesepuh franchise. Jika ada yang terasa kurang nendang, maka itu adalah Elsa Pataky yang berperan sebagai Elena Neves. Chemistry-nya dengan Dominic terasa hambar. Belum mampu mengimbangi pesona Michelle Rodriguez. Sementara untuk villain-nya sendiri, digambarkan seperti di film aksi pada umumnya. Bengis dan menyebalkan, tapi bodoh.

Durasi 130 menit dimanfaatkan oleh Lin dengan bijaksana. Rio de Janeiro terlihat indah, meski Stephen F. Windon seharusnya bisa mengeksplor lebih. Windon terlalu asyik menyoroti pantat para gadis berbikini sih. Tapi setidaknya apa yang menjadi inti dari franchise ini tidak dilupakan, kebut-kebutan di jalanan dengan mobil bagus. Yang membuatnya menjadi terasa istimewa dibanding film-film sebelumnya adalah kali ini tidak hanya menyoal adu cepat dan perlawanan dengan pemimpin kartel saja, tetapi ada plot lain tentang perampokan. Ini seperti menyaksikan gabungan antara The Fast & The Furious dengan The Italian Job. Bagusnya, untuk bisa mendapat ketegangan ini penonton tidak perlu menunggunya di 30 menit terakhir karena Lin dan Morgan dengan sangat murah hati telah menggebernya sejak menit awal. Tapi tentu saja klimaks yang melibatkan sebuah brankas adalah yang paling mendebarkan. Untuk menciptakan adegan seseru ini yang membuat Rio de Janeiro terlihat seperti puing, tidak membutuhkan sentuhan special effects yang berlebihan. Dalam sebuah video yang dirilis oleh pihak studio, adegan aksi yang terjadi menjelang ending ini dilakukan tanpa bantuan dari tim special effects. Sungguh mengesankan. Setelah kekacauan demi kekacauan yang terjadi sepanjang film, dalam artian positif, Fast Five langsung menyeruak ke posisi puncak dengan label sebagai film terbaik dalam seri The Fast & The Furious. Penuh dengan aksi yang seru, humor yang lucu, twist yang bagus dan tentu saja para pemain yang solid. Inilah hiburan yang sesungguhnya, meskipun terlalu banyak kemustahilan disana sini. Jika Anda menyaksikan film ini di bioskop, bersabarlah sedikit saat closing credit mulai bergulir. Ada kejutan manis bagi Anda yang menonton film ini dengan tuntas.

Exceeds Expectations

Tidak ada komentar:

Posting Komentar