Jumat, 26 Agustus 2011

REVIEW : TENDANGAN DARI LANGIT



"Indonesia itu jagonya main di kandang sendiri. Kalo di kandang lawan? Mandul!! " - Mitro



Film Indonesia yang dirilis menjelang libur Lebaran rata-rata memiliki kualitas yang apik dan dapat dipertanggungjawabkan. Tahun ini pun tidak berbeda jauh. Tendangan Dari Langit, film kedua dari Hanung Bramantyo di tahun 2011 ini, langsung mencuri hati saya. Sebagai sebuah film olahraga, Tendangan Dari Langit masih menerapkan plot yang klise. Seorang remaja miskin dari desa yang ingin menjadi pemain sepak bola, sang ayah yang tidak memberi restu, kisah cinta dengan gadis tercantik di sekolah yang tidak berjalan mulus, hingga sahabat yang setia mendukung dan difungsikan sebagai pelawak. Struktur semacam ini sering kita temui dalam film olahraga manapun, termasuk King dan Garuda di Dadaku dari Indonesia. Apa lagi yang bisa ditawarkan? Rasanya kebanyakan penonton pun tertarik untuk menyaksikan film ini karena faktor Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan. Skenario racikan Fajar Nugroho memang bertutur sangat sederhana dan klise, namun secara mengejutkan tetap efektif. Hanung Bramantyo mengemasnya dengan menarik, sekaligus sebagai sebuah pembuktian kepada khalayak luas bahwa dia adalah sutradara yang serba bisa. Film olahraga pun bukan menjadi masalah besar baginya.



Jangan tertipu dengan tampilan posternya yang seolah mengisyaratkan bahwa Bachdim-lah yang menjadi pemain utama disini. Bachdim tampil tak lebih dari 30 menit dan itupun hanya baru muncul di paruh akhir. Pemain baru, Yosie Kristanto, yang berperan sebagai Wahyu adalah sentral dari film ini. Dia adalah sebuah karakter stereotip dari film olahraga. Berasal dari sebuah desa yang terletak di lereng Gunung Bromo, Langitan, dan memiliki bakat yang besar terhadap sepak bola. Mungkin saja bakat besar dari Wahyu hanya akan tertutupi oleh debu pasir Bromo jikalau Pak Lek Hasan (Agus Kuncoro), seorang manajer sepak bola amatiran, tidak memintanya untuk bermain bagi klub kecamatan Karang Sari. Sang ayah, Pak Darto (Sudjiwo Tejo), diposisikan sebagai sebuah karakter antagonis bagi impian Wahyu karena beliau tidak mengizinkan putra kesayangannya itu bermain bola. Tapi tentu saja larangan itu bukan tanpa suatu alasan. Masa lalu yang kelam membuatnya terpaksa untuk menghalangi Wahyu meraih mimpinya. Sekeras apapun Pak Darto melarang, Wahyu tak gentar. Pertemuan secara tak sengaja dengan Timo Scheunemann di Malang kala hendak mendukung gadis yang disukainya di lomba debat menjadi titik terang.







Segalanya tidak lantas menjadi mudah sekalipun Pak Darto kemudian berbalik mendukung Wahyu sepenuhnya. Kisah cinta monyet Wahyu dengan Indah (Maudy Ayunda) turut merumit. Saat semua permasalahan ini menemukan jalan pemecahannya sendiri-sendiri, Hanung mengakhiri Tendangan Dari Langit dengan sebuah adegan pertandingan sepak bola yang gegap gempita. Bukan sebuah pertandingan palsu yang hanya menyorot para pemain utama dan sebagian penonton saja, Faozan Rizal memindahkan apa yang biasa kita saksikan secara live di stadion dan televisi ke dalam bentuk tayangan untuk layar lebar. Sekalipun hanya sebuah fiksi, efek dramatis nan menegangkan yang biasa kita alami saat menyaksikan pertandingan sepak bola bisa ditemukan disini. Secara tidak sadar Anda akan turut berteriak 'Gol!!!' dan bertepuk tangan dengan meriah saat pahlawan kita berhasil mencetak angka. Dengan durasi yang hampir mencapai dua jam, film berjalan dengan menghibur. Tak sekalipun ditemukan momen yang membosankan. Drama, komedi dan adegan pertandingannya yang seru ditakar dengan pas sehingga menghasilkan sebuah film yang gurih.



Naskah apik dari Fajar Nugroho yang banyak disisipi dengan dialog cerdas nan menggelitik yang khas Jawa Timuran serta kritik sosial yang acapkali menyinggung bobroknya manajemen sepak bola di negeri kita tercinta ini ditingkahi dengan akting apik dari para pemainnya. Agus Kuncoro, Sudjiwo Tejo, Toro Margens dan Yati Surachman menunjukkan kapasitasnya sebagai aktor papan atas dengan permainan yang layak mendapat acungan dua jempol. Yosie Kristanto pun tak membuat malu Hanung Bramantyo. Kehadiran Joshua Suherman dan Jordi Onsu yang ditempatkan di gardu penghibur masih dalam batasan yang wajar, justru tanpa kehadiran mereka film mungkin akan terasa sepi. Selain menawarkan adegan pertandingan yang terbilang epik untuk ukuran film Indonesia, Faozan Rizal tentu tak lupa mengeksplor keindahan alam Bromo. Tampilan visual Tendangan Dari Langit lebih cantik dan memesona ketimbang King. Rasa kekecewaan saya terhadap film-film terakhir buatan Hanung Bramantyo pun terbayarkan. Nyatanya sebuah film dengan ide sederhana malah justru lebih bermakna ketimbang film besar yang ambisius. Pesan untuk tidak pernah menyerah terhadap mimpi kita walaupun berbagai cobaan mendera tersalurkan dengan baik melalui sebuah film keluarga yang dibungkus sederhana namun cantik. Tendangan Dari Langit adalah sebuah pengalaman sinematik yang menyenangkan.



Exceeds Expectations

Tidak ada komentar:

Posting Komentar