'Thank God!' itulah yang pertama kali terlontar dari mulut saya setelah menyaksikan Transformers: Dark of the Moon di bioskop. Setelah lampu bioskop dinyalakan, saya tidak sabar untuk segera pulang dan segera menyaksikan film lain ketimbang berlama-lama di dalam gedung bioskop menikmati credit title-nya. Menonton Dark of the Moon adalah sebuah pengalaman tersendiri karena sudah lama sejak The Last Airbender, saya tidak merasakan rasa lelah yang sedemikian dahsyat setelah menonton suatu film. Saya jadi teringat kembali pada pengakuan sang sutradara, Michael Bay, yang mengatakan bahwa seri kedua dari Transformers, Revenge of the Fallen, adalah sebuah film yang buruk dan berjanji akan memperbaiki kualitasnya di seri ketiganya kelak. Ya, Bay ternyata bukanlah tipe sutradara yang suka obral janji. Dia memenuhi janjinya. Namun perkara tidak lantas berakhir disitu saja. Ehren Kruger yang pernah khilaf menyajikan naskah kosong melompong di film kedua ternyata terlalu bersemangat untuk membuat film ketiga ini jadi lebih baik. Penulis skenario yang melahirkan film apik macam Arlington Road dan The Skeleton Key ini menimbun Dark of the Moon dengan plot bercabang yang niatnya ingin terlihat berisi namun malah membuat penonton tersiksa lahir batin.
Dark of the Moon mengawali kisahnya dengan menjanjikan. Kisah nyata dan fiksi dipadukan menjadi satu. Pemerintah Amerika Serikat ternyata mempunyai rencana lain seputar pendaratan manusia pertama di bulan. Kru Apollo 11 diminta untuk menyelidiki benda misterius yang terjatuh di bulan. Yang mereka temukan disana adalah sebuah pesawat alien bernama Ark yang berisi sejumlah bangkai robot. Konon, kapal yang membawa muatan penting ini berhasil melarikan diri tatkala terjadi perang besar di planet Cybertron. Pesawat ini sempat dinyatakan hilang hingga ditemukan oleh kru Apollo 11. Penemuan ini lantas dirahasiakan oleh pemerintah selama bertahun-tahun, termasuk kepada Autobots yang membantu mereka. Dan, sajian pembuka yang menarik itu pun diakhiri sampai disini. Apa yang tersaji selanjutnya adalah mengenai betapa ribetnya kehidupan Sam Witwicky (Shia LaBeouf) yang haus akan pengakuan dan kekasih barunya yang sekilas mengingatkan saya pada Cinta Laura, Carly (Rosie Huntington-Whiteley). Menjadi lulusan dari universitas yang tergabung dalam Ivy League dan dua kali menyelamatkan dunia ternyata tidak membuat Sam mendapat pekerjaan dengan mudah. Saat plot mulai bergelut dengan masalah pekerjaan Sam, saya mulai kebingungan. Apakah saat ini saya sedang menyaksikan Wall Street 3 : Dark of the Money? Kruger kelewat bertele-tele dalam menjabarkan permasalahan personal Sam dan apa yang akan dihadapi oleh manusia.
Rahasia pemerintah belakangan tercium oleh para robot. Autobots mengetahui keberadaan Sentinel Prime, sesepuh Autobots, yang tengah koma di bulan. Optimus pun menyambanginya dan membawanya ke bumi untuk kemudian dihidupkan dengan menggunakan energi 'Matrix of Leadership'. Sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Alih-alih bergabung dengan Autobots untuk mewujudkan perdamaian dunia, Sentinel justru mengkhianati Optimus dengan mengumpulkan 'The Pillars' yang tercecer demi kepentingan pribadi. Hubungan antara manusia, Autobots, Decepticons dan Sentinel Prime pun merumit. Serumit naskah buatan Kruger. Harus diakui, menonton sebuah film dengan durasi melebihi 150 menit bukanlah perkara yang mudah dan menyenangkan. Jika tidak dilandasi naskah yang kuat, akan berakhir menjadi tontonan yang menjemukan. Dark of the Moon sungguh melelahkan. Apa yang dinanti-nantikan baru dihadirkan oleh Bay pada 30 menit terakhir. Ibaratnya seperti seseorang yang sedang makan di restoran dan menantikan makanan utama disajikan, namun sang pelayan tidak kunjung datang. Sembari menunggu, lagu pengantar tidur mengiringi. Seperti itulah yang saya alami. Sebelum penonton digiring menuju pertarungan keren dengan special effects yang mampu membuat mulut menganga, penonton diajak untuk menikmati kisahnya yang sangat membosankan terlebih dahulu. Saking membosankannya, saya menjadi saksi mata atas tumbangnya dua penonton di dalam bioskop (baca: tertidur lelap).
Duplikat Cinta Laura alias Rosie Huntington-Whiteley secara mengejutkan malah lebih pas untuk berada dalam film ini ketimbang Megan Fox. Aktingnya memang membuat saya segera mengambil tasbih dan membaca istighfar sebanyak mungkin dan chemistry-nya dengan LaBeouf sama sekali tidak nyambung, namun setidaknya dia tidak annoying seperti Fox, saya bahkan pernah berharap Mikaela ditelan hidup-hidup oleh Megatron di Revenge of the Fallen. Dia pun difungsikan dengan benar, tidak hanya sebagai pemanis belaka. Namun tentu dia tidak kalah ajaibnya dengan Fox. Saya tidak bisa berhenti tertawa saat melihatnya melewati semua petualangan yang mendebarkan dengan high heels yang masih melekat di kaki indahnya. Dia pun masih tetap terlihat cantik dan modis meski udah ketiban gedung dan kena ranjau berkali-kali. LaBeouf semakin terasah kemampuan aktingnya, namun Frances McDormand dan John Malkovich adalah bintang sesungguhnya. Mereka membuktikan bahwa mereka memang layak untuk disebut sebagai aktor papan atas. Apalagi mereka yang paling berjasa untuk membuat saya tetap melek hingga menit terakhir, selain tentunya karena saya memikirkan berapa duit yang harus saya korbankan. Jika ada yang tidak penting, maka itu adalah Ken Jeong, Patrick Dempsey dan John Turturro. Namun saya lebih berharap agar Bay menyingkirkan dua robot peliharaan Sam, yang saya tidak peduli siapa nama mereka, selama-lamanya. Gak lucu blas, malah annoying to the max!
Memberi kritikan pedas kepada seri Transformers berarti siap untuk menerima segala tuduhan dari fans-nya. Seperti halnya Twilight Saga, tuduhan tersebut biasanya akan berakhir pada kritik balik terhadap tulisan si pengritik atau film yang disukai oleh si pengritik. Salah besar jika Anda menganggap saya tidak suka dengan seri Transformers. Saya sangat menikmati seri pertama, namun seri-seri selanjutnya membuat hati ini pedih membayangkannya. Siapapun yang mengikuti tulisan Cinetariz tentu tahu meskipun saya sangat menggemari Harry Potter, tapi saya berulang kali melancarkan serangan kepada versi film Half-Blood Prince. Saya hanya berusaha jujur atas apa yang saya lihat. Dark of the Moon, pada kenyataannya, tidak lebih dari ajang pamer special effects dengan cerita yang dipaksakan. Saya tidak mengharapkan sebuah cerita berkelas Oscar, tapi mbok ya jangan menyepelekan cerita. Percuma saja megah tapi isinya kosong. Ada kepuasan yang lebih saat naskah, akting, tampilan visual dan efek megah berpadu menjadi satu. The Dark Knight, anyone? Seperti itulah seharusnya film blockbuster dibuat. Dark of the Moon mungkin menyenangkan untuk saat ini (mungkin lho ya!), tapi apakah akan tetap dikenang hingga 10 tahun ke depan? Jika Michael Bay adalah tipe sutradara yang menerima kritik, maka film berikutnya masih patut untuk dinantikan. Dark of the Moon, meskipun tetap tidak menarik, menunjukkan usahanya untuk memperbaiki diri setelah kecaman demi kecaman di film sebelumnya. Setidaknya dia tidak seperti sutradara di negeri kita yang menutup mata dan telinga sembari berkata dalam hati, "terserah apa kata lu, yang penting duit gue ngalir deres."
Poor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar