Minggu, 27 November 2011

REVIEW : THE RAID


"Nggak semua polisi bisa dibeli." - Rama

The Raid
atau dikenal terlebih dahulu dengan judul Serbuan Ma
ut, telah menggemparkan dunia maya ketika film ini diberitakan telah menggondol People’s Choice Award di Midnight Madness Toronto Film Festival. Menjadi semakin heboh saat Sony Pictures dikabarkan telah membeli hak distribusinya untuk peredaran dunia dan Mike Shinoda (Linkin Park) diajak untuk mengisi musik latar. Belum juga beredar secara luas, kabar mengenai The Raid akan dibuat remake oleh Hollywood telah kencang berhembus. Sesuatu yang sangat membanggakan bagi perfilman Indonesia tentu saja. Apa yang begitu istimewa dari film ini sehingga banyak penonton dan kritikus film asing berdecak kagum dibuatnya? Maka ketika film keempat dari sutradara asal Wales, Gareth Evans, ini direncanakan untuk diputar sebagai film penutup dari pagelaran INAFFF, ribuan penonton pun berbondong-bondong menyerbu Blitz Megaplex Grand Indonesia untuk mendapatkan tiketnya. Dengan jumlah tiket yang dicetak terbatas, tidak semua penonton kebagian jatah. Beruntung sekali Cinetariz bisa menjadi salah satu dari sedikit penonton yang memperoleh kesempatan untuk menyaksikan The Raid jauh sebelum filmnya dirilis secara resmi di bioskop-bioskop Indonesia pada tahun 2012 nanti.

Dengan trailer yang telah cukup banyak menyuguhkan sejumlah adegan kekerasan yang brutal dan memompa adrenalin, saya pun bertanya-tanya, apa lagi yang akan ditawarkan oleh Gareth Evans? Maksud saya, trailer-nya yang sedemikian komplit bisa saja merusak kenikmatan saat menyaksikan The Raid. Maka tidak mengherankan jika kemudian banyak penonton yang menurunkan ekspektasinya guna menghindari kekecewaan. Dan, Gareth Evans tidak mengecewakan siapapun. The Raid dibuka dengan Rama (Iko Uwais) yang tengah mempersiapkan diri untuk misi besar pertamanya. Setelah sepersekian menit penonton menikmati adegan yang syahdu bersama Rama dan keluarganya, Gareth Evans langsung menyeret kita pada sejumlah adegan yang memiliki ritme bertolak belakang dengan opening sequence tadi. Rama bergabung bersama pasukan elit pimpinan Sersan Jaka (Joe Taslim) dan Letnan Wahyu (Pierre Gruno) yang berusaha untuk mendobrak markas besar seorang bandar narkoba bernama Tama (Ray Sahetapy) yang konon belum terjamah oleh siapapun, termasuk para penegak hukum. Operasi kemanusiaan ini pun seketika berubah menjadi operasi bunuh diri tatkala terbongkar fakta bahwa para penghuni markas besar ini bukanlah sekumpulan penjahat kelas teri biasa. Mereka memiliki kemampuan bela diri yang tinggi dan siap membantai siapapun yang berani menginjakkan kaki di rumah mereka.


Hanya ada dua kata yang bisa menggambarkan seperti apa performa The Raid secara keseluruhan, keren gila! Siapapun yang mengatakan Indonesia tidak akan pernah bisa membuat film aksi sekelas Hollywood, sebaiknya tutup mulut sedari sekarang. Inilah bukti bahwa film Indonesia pun mampu bertarung di taraf internasional. Dibandingkan dengan Merantau, The Raid cenderung tidak peduli dengan naskah. Bisa dibilang, apa yang hendak dituturkan oleh Gareth Evans bisa dirangkum hanya ke dalam satu kalimat saja. Yang menjadi fokus adalah adegan tarungnya yang dikemas sedemikian rupa. Sejak pasukan elit memasuki area kekuasaan Tama, jangan harap Anda bisa bernafas. It’s filled with many breathtaking sequences. Saya sarankan Anda untuk ke toilet terlebih dahulu sebelum film dimulai karena The Raid tidak memberikan jeda untuk beristirahat. The Raid jelas bukan jenis tontonan yang cocok bagi Anda yang tidak tahan melihat kekerasan. Suara tembakan, desingan peluru, pukulan maupun tendangan bertubi-tubi menjadi pemandangan yang wajar selama satu jam pertama. Sisanya, Anda akan dihadapkan pada pemandangan yang lebih indah dengan mayat bergelimpangan, darah yang bercucuran dan tubuh yang tersayat-sayat. Semuanya disajikan dengan realistis. Kamera handheld pun dimanfaatkan, dan sang sinematografer, Matt Flannery, mampu beberapa kali menyajikan momen yang membuat ngilu.

Tentu kurang afdol jika pertarungan antara pasukan elit dengan kroni-kroni Tama disajikan lewat adu senjata. Iko Uwais dan Yayan Ruhian kembali berduet dengan manis menghasilkan gerakan-gerakan pencak silat yang memesona. Adegan klimaks yang memertemukan Iko Uwais, Yayan Ruhian, dan Doni Alamsyah, dalam satu ruang adalah bukti kejeniusan Iko Uwais dan Yayan Ruhian dalam mengolah koreografi laga. Sangat menegangkan. Selama kurang lebih 101 menit, Gareth Evans memang tidak membiarkan para penonton untuk duduk tenang. Jika Anda tidak bisa menahan diri, maka kata-kata kotor akan dengan mudah mengalir dari mulut. Dan ya, naskah racikan Gareth Evans pun dipenuhi dengan dialog yang kasar. Serangkaian kata-kata kotor tapi cerdas kerap meluncur dari Ray Sahetapy, Yayan Ruhian, Doni Alamsyah, dan kawan-kawan, yang secara efektif mampu membuat penonton terpingkal-pingkal. Ray Sahetapy menunjukkan tajinya sebagai aktor watak yang berkelas disini. Tanpa perlu berakting berlebihan, rasa ngeri sudah menyebar kemanapun setiap dia hadir. Para aktor lain pun bermain pas sesuai dengan porsinya. Yang justru saya khawatirkan dari The Raid adalah ketika film ini dikirim ke LSF. Sedikit saja potongan, maka buyar segalanya. The Raid lebih enak untuk dinikmati apa adanya.

Outstanding

Jumat, 18 November 2011

REVIEW : THE TWILIGHT SAGA: BREAKING DAWN PART 1


"No measure of time with you will be long enough. But we'll start with forever."

Akhirnya, Bella Swan (Kristen Stewart) dan Edward Cullen (Robert Pattinson) bersatu dalam tali pernikahan setelah hubungan keduanya selalu mengalami tarik ulur selama tiga seri lamanya. Tapi tentu saja pernikahan bukan menjadi tujuan akhir dari The Twilight Saga. Stephenie Meyer, dengan kejamnya, tidak begitu saja membiarkan pasangan paling lebay dalam sejarah sastra dunia ini menikmati kehidupan rumah tangga dengan damai sentosa. Dalam Breaking Dawn, masih ada badai-badai yang menghadang mencoba untuk memisahkan Bella dan Edward. Manusia dan vampir tidak akan bisa bersatu dengan mudah. Terlebih banyak pihak yang tidak memberikan restu terhadap hubungan dua sejoli ini. Jacob Black (Taylor Lautner) adalah yang paling terang-terangan menyatakan keberatannya. Apakah kisah cinta segitiga yang melibatkan Bella, Edward, dan Jacob kembali terulang sekalipun Bella dan Edward telah menikah? Sebuah pertanyaan retoris sebenarnya. Anda yang hafal dengan seluk beluk The Twilight Saga atau pecandu opera sabun, tentu mengetahui jawabannya. Hanya saja, gangguan dari Jacob tidak seintensif sebelumnya. Tidak ada lagi alasan bagi Bella untuk bergalau ria memikirkan calon pendamping hidup yang tepat. Lagipula, dia masih 18 tahun. Ada apa dengan anak muda zaman sekarang?

The Twilight Saga: Breaking Dawn dibagi menjadi dua bagian menyusul permintaan Stephenie Meyer kepada Summit Entertainment yang meminta agar jilid terakhir ini dibuat dalam dua bagian karena kisahnya yang panjang dinilai tidak akan cukup apabila disampaikan dalam 120 menit. Oh, come on! Katakan saja jika alasan utamanya adalah demi mengeruk keuntungan yang lebih besar. Ditangani oleh Bill Condon, sutradara Dreamgirls sekaligus penulis naskah Chicago, Breaking Dawn Part I diharapkan bisa tampil lebih baik ketimbang prekuek-prekuelnya. Film dibuka dengan adegan pernikahan Edward dan Bella yang harus diakui digarap dengan sangat cantik. Dekorasi altar dan tempat resepsi yang indah, sinematografi yang aduhai, hingga tata rias dan busana yang melenakan mata, mampu mewujudkan impian para twihards untuk melihat acara pernikahan sakral dua tokoh favorit mereka. Sebelum menuju ke momen yang romantis ini, kita dibuat terlelap terlebih dahulu oleh naskah buatan Melissa Rosenberg dengan dialog yang super cheesy dan adegan yang dipanjang-panjangkan. Namun ini masih belum seberapa dengan apa yang terjadi di menit-menit selanjutnya.

Bagian pertama dari Breaking Dawn adalah mengenai pernikahan, bulan madu, masa-masa kehamilan, dan kelahiran. Bagi siapapun yang mengharapkan Breaking Dawn part I akan disesaki dengan aksi laga dan adegan yang mencekam, maka bersiaplah untuk kecewa. Demi menggambarkan betapa indahnya bulan madu yang dilalui oleh Bella dan Edward saja memakan waktu sekitar separuh dari durasi film. Apa yang diceritakan disini hanya berputar-putar mengenai malam pertama Bella dan Edward, bermain catur, berhubungan seks lagi, bermain catur lagi, berhubungan seks lagi, bermain catur lagi. Bukankah lebih tepat jika film ini diberi judul “The Neverending Honeymoon” atau “The Neverending Intercourse”? Demi mencegah terjadinya kebosanan pada penonton, disisipkan humor-humor menggelitik yang secara mengejutkan cukup efektif. Adegan seks yang digembar-gemborkan bakal panas ternyata biasa saja dan cenderung tidak natural. Agaknya usaha Summit Entertainment untuk mempertahankan agar Breaking Dawn tetap mengantongi rating PG-13 (Remaja) turut berpengaruh terhadap penggambaran adegan bulan madu. Selama satu jam pertama, Breaking Dawn Part I tidak memberikan lonjakan yang berarti dalam alur penceritaan. Dengan romansa yang serba berlebihan plus minimnya konflik, film terasa sangat lambat dan cenderung monoton. Condon dan Rosenberg terlalu berlama-lama dalam menyajikan porsi bulan madu yang seharusnya bisa dipersingkat. Maka jangan heran jika kemudian ada penonton menggorok lehernya sendiri saking tersiksanya melihat Bella dan Edward berasyik masyuk.

Bulan madu belum juga selesai, Bella sudah ketahuan berbadan dua. Keluarga Cullen mendadak panik, terlebih Alice (Ashley Greene) tidak mendapatkan visi tentang apa yang akan terjadi kepada Bella. Melihat kondisi Bella yang semakin lama semakin lemah, Edward dan Jacob memiliki inisiatif untuk mengaborsi janin yang tumbuh di dalam perut Bella. Akan tetapi, Bella menolak. Di lain pihak, kawanan werewolf menyusun rencana untuk membunuh Bella yang dianggap membawa ‘makhluk’ yang membahayakan bagi mereka. Jacob membelot. Dia memutuskan untuk membela Bella, yang artinya dia bersekutu dengan Edward, musuh abadinya. Ketika perut Bella sudah siap untuk ‘meledak’, film baru mulai enak diikuti. Secara perlahan, tensi ketegangan terus dinaikkan. Kristen Stewart mulai terlihat melebur dengan karakter yang dimainkannya sedangkan Robert Pattinson dan Taylor Lautner tetap tidak berbeda jauh dengan sebelumnya. Taylor Lautner gagal memancarkan emosi ketika Jacob dipaksa untuk memilih keluarga atau musuhnya. Menit-menit terakhir di Breaking Dawn Part I adalah momen terbaik dari film ini. Menegangkan, menyeramkan, sekaligus memilukan. Tampaknya The Twilight Saga telah menemukan sutradara yang tepat. Adegan terakhir dari Breaking Dawn Part I adalah favorit saya, selain adegan pernikahan di awal film. Tak pelak lagi, ini adalah seri terbaik dari The Twilight Saga, sejauh ini. Seandainya saja Bill Condon tidak berlama-lama dengan adegan resepsi pernikahan dan bulan madu, maka Breaking Dawn Part I akan lebih mengena. Lagi-lagi hanya twihards saja yang akan bertepuk tangan setelah film usai.

Acceptable

Note : Jangan terburu-buru keluar setelah film usai, ada adegan tersembunyi yang layak untuk ditunggu di pertengahan closing credit.

Rabu, 16 November 2011

REVIEW : SANG PENARI


"Ronggeng itu bukan cuma perkara nari, tetapi juga urusan kasur, urusan dapur, urusan sumur," begitu ujar Nyai Kartareja (Dewi Irawan) kepada Srintil (Prisia Nasution). Inilah yang kemudian membuat Srintil mengalami pergolakan batin. Menjadi ronggeng ternyata tidaklah seindah bayangan Srintil. Sejatinya, dia hanya ingin menari, tidak ingin menjalani upacara 'buka kelambu.' Namun ini telah menjadi konsekuensi yang harus diterima oleh Srintil atas keputusannya untuk memilih menjadi ronggeng. Sebuah keputusan yang dibuat untuk menebus kesalahan kedua orang tuanya yang tanpa sengaja meracuni penduduk Dukuh Paruh dengan tempe bongkrek. Sang kekasih, Rasus (Oka Antara), tidak sepaham dengan Srintil. Dia menentang keputusan Srintil untuk menjadi ronggeng. Menjadi ronggeng, berarti Srintil menjadi milik Dukuh Paruk, bukan hanya Rasus seorang. Siapapun yang mampu membayar mahal, mampu 'mencicipi' tubuh Srintil dengan bebas. Sebelum 'buka kelambu' dimulai, Srintil secara sembunyi-sembunyi melepaskan keperawanannya kepada Rasus. Sayangnya ini tidak memiliki arti apapun bagi mereka berdua. Rasus minggat ke kota setelah berhubungan badan dengan Srintil.

Rasa simpati pun tersemat kepada Srintil yang dengan bertanggung jawab menjalani kehidupan sebagai ronggeng sekalipun hati kecilnya menangis dan menginginkan kebebasan. Ketika Rasus mengajaknya untuk melarikan diri, dia menolak. Srintil merasa perlu untuk mengabdi kepada Dukuh Paruh, walau itu berarti harus berpisah dengan orang yang dikasihinya. Sementara itu, Rasus memiliki jalan hidup yang berbeda setelah diterima menjadi tentara oleh Sersan Binsar (Tio Pakusadewo). Intensitas pertemuan dua sejoli ini kian berkurang. Seiring berjalannya waktu, Srintil makin moncer sebagai ronggeng. Akan tetapi bukan ini yang menggerakkan hati Rasus untuk menemui kekasihnya, melainkan ketika Sersan Binsar mengabarkan Dukuh Paruh telah 'merah'. Perlu diingat, Sang Penari mengambil setting di tahun 1960-an, ketika komunis menjadi ancaman utama. Sang sutradara, Ifa Isfansyah, tidak perlu secara gamblang menyebutkan nama PKI karena setting dan aktivitas-aktivitas yang dilancarkan oleh Bakar (Lukman Sardi) telah cukup menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi. Noda hitam dalam sejarah Indonesia ini dituturkan dengan cukup mendalam, sekalipun Ifa Isfansyah masih terlalu berhati-hati. Bisa dimengerti, terlebih masyarakat Indonesia masih belum siap untuk dicekoki sejarah bangsa yang kelam dengan jelas. Tidak terbayang bagaimana kejamnya LSF dalam memainkan guntingnya apabila permasalahan yang sensitif ini disampaikan secara blak-blakan
.
Kartareja (Slamet Rahardjo) pun tak berkutik. Selama 'bisnis' ronggengnya berjalan dengan mulus, cara apapun dia tempuh. Dengan mudahnya warga Dukuh Paruk masuk dalam perangkap, nihilnya kemampuan baca tulis menjadi penyebab utama. Srintil tak luput menjadi korban. Begitu mendengar kekasihnya ditangkap, Rasus segera mengambil cuti demi menyelamatkan sang pujaan hati. Ifa Isfansyah merangkum novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala, menjadi sebuah film yang padat berdurasi 109 menit. Naskahnya yang ringkas tangkas ditangani langsung oleh Ifa Isfansyah beserta sang penulis novel, Ahmad Tohari. Mereka berdua mendapat bantuan dari Salman Aristo dan Shanty Harmayn untuk memolesnya agar lebih cantik. Sang Penari tidak mengadaptasi ketiga novel Ahmad Tohari tersebut secara langsung, plot utama hanya sekadar terinspirasi saja sehingga film ini tidak lebih dari interpretasi dari si pembuat film. Penonton tidak bisa protes ketika bagian yang dianggap penting terpangkas karena bagaimanapun ini adalah penafsiran dari Ifa Isfansyah dan tim penulis naskah.

Ketika Oka Antara bermain nyaris tanpa cela sebagai pemuda desa lugu yang kemudian bertransformasi sebagai aparat negara, Prisia Nasution juga tak kalah gemilangnya berperan sebagai Srintil yang sebatang kara. Permainan cantik mereka berdua menutup performa apik dari barisan aktor pendukung. Untuk sekali ini, Lukman Sardi tak termaafkan. Sementara Oka Antara berusaha mati-matian untuk berbicara Ngapak dengan fasih, Lukman Sardi dan beberapa aktor lainnya terlalu malas untuk memelajarinya. Bahasa Indonesia yang dilogat Jawa-kan masih terdengar dimana-mana, dan ini sangat mengganggu. Tidak adanya penjelasan yang jelas mengenai setting tempat juga menjadi masalah lainnya. Seberapa jauh jarak antara Dukuh Paruk, Pasar Dawuan dan markas tentara tidak terjelaskan hingga akhir film. Beberapa karakter nampak mudah sekali berpindah-pindah tempat, sehingga muncul pertanyaan, apakah ini satu kompleks?. Ifa Isfanyah pun terkesan terlalu terburu-buru untuk mengakhiri film. Ada rasa tidak puas ketika credit title mulai bergulir. Dengan banyaknya permasalahan yang tak terjelaskan, rasanya tak ada yang keberatan jika durasi diperpanjang hingga 20 menit lebih lama. Beruntung adegan terakhir yang cantik hasil bidikan Yadi Sugandi lumayan mengobati kekecewaan. Sepanjang film, Yadi Sugandi bermain-main dengan kamera menghasilkan gambar yang tidak hanya indah tetapi juga efektif. Ditingkahi dengan tata busana cantik buatan Chitra Subiyanto serta tata musik yang menghanyutkan oleh Aksan dan Titi Sjuman sekalipun hanya mengandalkan cello dan denting calung, Sang Penari pun sedap dipandang. Ifa Isfanyah memang masih melakukan cukup banyak blunder di film keenamnya ini, akan tetapi itu tidak menutupi fakta bahwa Sang Penari adalah film Indonesia terbaik di tahun 2011.

Exceeds Expectations

Minggu, 13 November 2011

INAFFF 2011 : IMMORTALS


Sutradara asal India yang terkenal dengan imajinasi visualnya yang indah tapi rada nyeleneh, Tarsem Singh, kembali menggebrak layar lebar dengan karya terbarunya setelah lima tahun vakum. Film terbarunya yang bertajuk Immortals ini mengangkat Mitologi Yunani sebagai bahan dasar naskah. Dengan desain poster yang menggoda, trailer yang menjajikan serta dibubuhkannya tulisan 'from the producer of 300', mau tidak mau para penikmat film akan mengantisipasi Immortals sebagai film epik yang memiliki kekuatan sebesar Para Spartan dari 300, terlebih Tarsem Singh memperoleh kucuran dana yang lebih tinggi nominalnya ketimbang yang didapat oleh Zack Snyder. Tapi itu saja tentu tidak menjamin bahwa film ini akan lebih menggelegar ketimbang 300, apalagi masih segar di ingatan penonton bagaimana Louis Leterrier mengacak-acak Mitologi Yunani dalam Clash of the Titans dengan tambahan naskah yang 'mengerikan', akting yang mengkhawatirkan plus 3D yang membuat mata sakit. Rasa pesimis juga muncul disebabkan jejak rekam Tarsem Singh yang 'so-so' dan belum terasah menghasilkan film berbujet raksasa. Film perdananya, The Cell, biasa saja, dan The Fall, yang menjadi Closing Film di pagelaran INAFFF yang pertama, hanya sedikit lebih baik dari The Cell.

Raja Hyperion (Mickey Rourke) menyatakan perang kepada umat manusia menyusul kekecewaannya kepada Dewa karena doanya tidak dikabulkan. Demi mewujudkan rencananya, Raja Hyperion pun berburu Busur Epirus buatan Dewa Perang, Ares (Daniel Sherman), yang konon katanya mampu memberikan kekuatan yang luar biasa bagi siapapun yang memilikinya. Para dewa tidak bisa turut campur dalam masalah ini, maka jalan satu-satunya untuk menghentikan Raja Hyperion adalah dengan mengutus seorang manusia. Melalui Theseus (Henry Cavill), Zeus (Luke Evans) meminta pertolongan. Theseus sendiri diliputi rasa dendam yang membara kepada Raja Hyperion setelah ibunya dibantai di depan mata kepalanya sendiri. Dengan bantuan seorang peramal, Phaedra (Freida Pinto), dan seorang pencuri yang senasib dengannya, Stavros (Stephen Dorff), Theseus pun memburu Raja Hyperion. Tapi tentu saja segalanya tidak berjalan dengan mudah. Visi dari Phaedra yang seringkali membingungkan, jumlah pasukan yang tidak seimbang, hingga jatuhnya Busur Epirus ke tangan Raja Hyperion, menjadi masalah yang harus dihadapi oleh Theseus dan pasukannya.


Immortals adalah sebuah film epik fantasi yang bertumpu pada polesan CGI yang megah, visualisasi yang indah, serta adegan-adegan pembantaian penuh darah untuk menutupi naskah yang kosong. Vlas dan Charley Parlapanides tidak memberikan nyawa ke dalam tulisan mereka sehingga konflik yang dihadirkan hampir tidak memiliki greget. Sebuah titik balik yang terjadi ketika ibu dari Theseus dibantai seharusnya mampu menggugah emosi penonton, terutama untuk berempati kepada si karakter utama. Yang justru terjadi adalah adegan in berlalu begitu saja tanpa meninggalkan kesan apapun seakan ini bukan menjadi sesuatu yang berpengaruh terhadap perkembangan karakter Theseus. Malahan, duo penulis naskah menambahkan adegan-adegan yang terasa kurang penting dan dipaksakan untuk masuk yang sayangnya justru mengacaukan ritme alih-alih memaniskan film. Dengan drama yang tidak memiliki dinamika yang baik, secara otomatis adegan laga pun dijadikan sebagai tameng penyelamat. Hanya saja, Tarsem Singh baru memasukannya di penghujung film. Penonton dipaksa untuk melewati fase-fase yang membosankan terlebih dahulu sebelum akhirnya menikmati perang akbar yang disuguhkan dalam durasi yang relatif singkat.

Satu-satunya yang bisa membuat saya melek hingga akhir adalah keberanian Tarsem Singh dalam mempertontonkan adegan-adegan penuh muncratan darah dan tubuh yang tercerai berai. Selain itu, parade kostum-kostum ajaib yang menjadi ciri khas Tarsem Singh kembali dimunculkan disini. Lihat saja bagaimana uniknya kostum yang dikenakan oleh para peramal, Raja Hyperion beserta pasukannya, dan para dewa. Khusus untuk para dewa, saya tidak sanggup untuk menahan ketawa setiap kali mereka muncul dengan balutan kostum yang sulit untuk saya ungkapkan dengan kata-kata. Yang pasti, saya tidak sendirian. Sebagian besar penonton pun terkejut saat melihat penampilan para Dewa Yunani versi Tarsem Singh ini. Unik sih, tapi kok jadi terkesan tidak berwibawa ya? Jika menilik performa para aktor dan aktrisnya, maka hanya Henry Cavill dan Mickey Rourke saja yang bermain cukup apik. Freida Pinto tak lebih dari sekadar pemanis saja. Sementara yang bisa diingat dari Stephen Dorff, Kellan Lutz dan Luke Evans adalah mereka nyaris selalu bertelanjang dada di sepanjang film. Dengan kualitas yang cukup memprihatinkan seperti ini, maka tujuan Immortals untuk menyamai kualitas 300 gagal tercapai. Bahkan Immortals tidak lebih baik dari Clash of the Titans.

Poor

2D atau 3D? Lebih baik berhemat dengan menonton versi 2D-nya saja.

Sabtu, 12 November 2011

INAFFF 2011 : OPENING NIGHT


Saya sama sekali tidak menduga jika akan menjadi salah satu dari sekian blogger yang beruntung mendapatkan undangan untuk datang ke Opening & Closing Night INAFFF11. Sesuatu yang membahagiakan tentu saja. Sebenarnya saya sudah ingin menghadiri INAFFF (Indonesia International Fantastic Film Festival) sejak gelaran pertama di tahun 2007, tapi karena jarak yang cukup jauh, biaya transportasi yang tinggi, dan kesibukan sekolah / kuliah serta tetek bengeknya, saya pun selalu gagal untuk menikmati film-film yang diputar di INAFFF. Tahun lalu sempat berencana untuk menghadiri INAFFF di Bandung bersama seorang teman, tapi sekali lagi rencana tidak berhasil diwujudkan. Ketika tahun ini saya tidak lagi mengharapkan apapun, sebuah keajaiban datang. Saya mendapatkan undangan! Wuhuuuuu... Tentu saja saya tidak membuang kesempatan ini begitu saja, sekalipun dihadang dengan tugas kuliah dan organisasi yang seabrek. Meski hanya bisa mencicipi film yang diputar saat Opening dan Closing, saya sudah sangat bahagia. Apalagi film yang dijadikan penutup adalah Serbuan Maut (The Raid) karya Gareth Evans yang baru saja menggondol People's Choice Award di Midnight Madness, Toronto Film Festival.

INAFFF di tahun kelimanya ini akan memutar lebih dari 40 film bergenre horror, thriller, sci-fi, dan fantasi, dari seluruh dunia. Selain pemutaran film seperti biasa, tahun ini juga akan dimeriahkan dengan acara Film Making Session bersama Lala Timothy, produser Pintu Terlarang. Sebagai film pembuka, INAFFF memilih film fantasi anyar bikinan Tarsem Singh, Immortals. Film ini dirilis di Indonesia pada tanggal yang sama dengan jadwal edar di Amerika Serikat, 11 November 2011. Masih segar banget, baru keluar dari oven *halah*. Jumat malam, 11 November 2011, pukul 20.30, lobby Blitz Megaplex Grand Indonesia sudah dipadati ratusan calon penonton yang sudah tidak sabar untuk segera menerjang auditorium 2, salah satu audi besar di Blitz GI yang digunakan untuk pembukaan INAFFF. Diantara tamu undangan dan penonton yang antri rapi memanjang, saya sempat melihat beberapa artis, sineas serta produser berpengaruh di Indonesia, seperti Rio Dewanto, Sigi Wimala, Alex Abbad, Affandi Abdul Rachman, Joko Anwar, Aming, Gareth Evans, Putrama Tuta, Joe Taslim, hingga Vera Lasut, turut hadir.

Sebelum Immortals dimulai, dua orang penting dibalik penyelenggaraan festival ini, Rusli Eddy dan Trisiska Putri, terlebih dahulu menyapa penonton. "Semua yang berada disini, ayo mengacungkan tangan!," teriak Trisiska Putri yang disambut penonton dengan mengacungkan jari ke atas. Wanita yang akrab disapa Noni ini metransfer energi positif kepada para penonton yang tampak sangat antusias dan penuh semangat. Setelah Trisiska Putri turun dari panggung, Direktur Festival INAFFF, Rusli Eddy mengambil alih untuk menyampaikan sambutannya. Disela-sela opening speech-nya, Rusli Eddy juga sedikit membeberkan sejarah singkat INAFFF yang dulunya bernama Screamfest Indonesia. Ternyata pemerintah sempat meragukan festival ini. "Kok bikin festival yang isinya film horror semua? Kan film horror jelek-jelek?," ujar Rusli Eddy menirukan ucapan salah satu petinggi kita kala itu. Namun itu tidak mengendurkan semangatnya untuk menghadirkan festival yang berbeda di negeri ini. Terbukti, resistensi pemerintah ternyata salah. Basis penggemar INAFFF semakin bertambah dari tahun ke tahun. INAFFF juga memberikan bukti bahwa tidak semua film horror itu memiliki kualitas yang buruk.

Yang membanggakan dari pagelaran INAFFF kelima ini adalah kehadiran tiga film Indonesia yang akan turut meramaikan festival yang berlangsung selama 10 hari dari 11 hingga 20 November 2011. Ketiga film tersebut adalah Serbuan Maut (The Raid), The Perfect House, dan FISFiC VOL. 1. Bahkan The Raid dan FISFiC VOL. 1 menjadi film yang paling diminati oleh para penonton. Tiketnya terjual habis hanya dalam hitungan menit! Semoga saja ini pertanda bahwa masyarakat Indonesia masih mengharapkan adanya film horror/thriller Indonesia yang berkualitas. Acara kemudian dilanjut dengan bagi-bagi hadiah secara gratis. Penonton diminta untuk mengecek apakah ada isolasi hitam atau amplop di samping kursi, di bawah kursi atau di dalam majalah Total Film Indonesia yang dibagikan secara gratis. Penonton yang tidak beruntung masih mendapatkan kesempatan untuk memperoleh kaos dan poster yang dilemparkan oleh panitia. Benar-benar seru. Seorang rekan sesama movie blogger, sigilahoror, disambut oleh panitia secara khusus karena niat banget datang jauh-jauh dari Bali hanya untuk INAFFF. Salut!

Acara inti pun dimulai, pemutaran film 'Immortals' yang menandai dimulainya INAFFF11. Namun sebelumnya penonton disuguhi cuplikan dari Modus Anomali, FISFiC VOL. 1, LA Lights Indie Movie, dan Serbuan Maut (The Raid). Riuh tepuk tangan dan sorak sorai pun menggema. Setelah film utama diputar, secara serempak penonton pun dengan khidmat menyaksikannya. Di bawah arahan Tarsem Singh, Immortals menyajikan visualisasi yang indah. Review lengkap mengenai film ini, akan saya posting kemudian. Yang membuat saya puas malam itu bukanlah Immortals, tetapi kesempatan bertemu dengan rekan sesama movie blogger yang luar biasa serta 'orang film' secara langsung. Untuk berkumpul seperti ini sangatlah sulit karena kesibukan masing-masing. Tanpa INAFFF, mungkin kita akan kesulitan untuk bisa 'kopi darat'. Bagi saya, disinilah menariknya festival ini. Memberikan hiburan menyenangkan dengan film-film seru yang akan membuat kita menjerit, bersorak dan bertepuk tangan, dan setelahnya dibahas secara ringan bersama teman-teman. Sebuah festival film yang sangat menyenangkan untuk dihadiri. Tidak perlu berpikir berat untuk bisa menikmati suguhannya. Just having fun!

Jumat, 04 November 2011

REVIEW : 5 CENTIMETERS PER SECOND


"A chain of short stories about their distance."

Jepang tidak hanya dikenal sebagai pencetak film horror yang menyeramkan, tetapi juga pusatnya film animasi. Kedua genre ini telah melekat dan menjadi produk unggulan dari Negeri Sakura. Animasi Jepang, atau lebih dikenal sebagai Anime, telah tersohor di berbagai belahan dunia, setara dengan kepopuleran produk dari Amerika Serikat. Tidak hanya versi layar lebar saja yang mendunia, tetapi juga versi serial serta OVA (khusus dirilis dalam bentuk home video). Kekuatan dari anime adalah jalan cerita yang cenderung unik, animasi yang rapi serta penggarapan yang tidak main-main. Meski begitu, kebanyakan anime merupakan adaptasi dari manga (komik Jepang), hanya segelintir yang berani mengusung ide cerita asli. Makoto Shinkai adalah sedikit diantaranya. Nah, di tahun 2007 silam, Makoto Shinkai melalui CoMic Wave Inc. merilis film panjang keduanya yang masih berbau romantisme. Shinkai sensei menulis naskah serta memproduseri sendiri film arahannya yang berjudul 5 Centimeters Per Second ini. Setelah sukses dituangkan dalam bentuk film, 5 Centimeters Per Second lantas diangkat ke novel dan manga.

Shinkai sensei membagi kisah 5 Centimeters Per Second menjadi tiga segmen dimana setiap segmennya berpusat pada seorang tokoh bernama Takaki Tono. Dalam Cherry Blossom, Takaki terpaksa berpisah dengan sahabatnya, Akari Shinohara, karena pekerjaan orang tua Akari menuntut mereka untuk pindah ke kota lain. Setelah setahun berpisah, Takaki memutuskan untuk berjumpa dengan Akari. Reuni ini bukannya tanpa alasan. Takaki akan pindah ke kota yang sangat jauh sehingga kemungkinan Takaki dan Akari untuk berjumpa lagi sangat tipis. Dia ingin bertemu Akari untuk terakhir kalinya. Perjalanan Takaki pun mengalami banyak rintangan yang menguji kesetiaan masing-masing. Memasuki Cosmonaut, kisah bergulir semakin rumit. Takaki yang sekarang sudah kelas 3 SMA harus menentukan masa depannya seusai SMA. Teman sekelasnya, Kanae, menaruh perasaan kepada Takaki sejak pertama kali mereka bertemu di bangku SMP. Setelah beberapa tahun bersama, Kanae masih juga tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. Yang menjadi masalah adalah, sekeras apapun Kanae berusaha memberi sinyal, Takaki tidak menghiraukannya. Ada wanita lain yang telah menempati hatinya. 5 Centimeters Per Second menjadi segmen penutup dalam film anime romantis berdurasi 65 menit ini. Segmen ini bersetting di masa kini dan menyoroti perkembangan hubungan Takaki dan Akari setelah mereka memasuki dunia kerja.


Artwork yang tersaji dalam 5 Centimeters Per Second digarap dengan sangat mengagumkan. Adegan hujan salju di segmen pertama, pedesaan Jepang di segmen kedua, dan bunga berguguran di segmen ketiga, tergambar indah dan terkesan nyata. Tata visual yang cantik ini turut didukung dengan para dubber yang melebur dengan karakter masing-masing. Musik gubahan Tenmon turut berperan dalam mengaduk-aduk emosi penonton. Pemilihan lagu lawas dari Masayoshi Yamazaki, 'One More Time, One More Chance', sebagai lagu penutup terasa pas mengiringi montage yang getir. Naskah racikan Shinkai sensei, sekalipun tidak menawarkan sesuatu yang baru, tetap layak dihujani pujian terutama dalam keberaniannya menyuguhkan topik yang berat mengenai kisah percintaan serta ending-nya yang berpotensi menimbulkan kontroversi, terutama diantara para penonton yang mengharapkan 'happily ever after' atau pemecahan yang memuaskan seputar hubungan Takaki dan Akari.

5 Centimenters Per Second menjadi bukti lain bahwasanya anime bukan hanya untuk dikonsumsi oleh anak-anak. Dengan jalan cerita yang cukup berat, 5 Centimeters Per Second menyasar segmentasi penonton dewasa yang memiliki pemikiran yang lebih terbuka mengenai cinta terlebih Shinkai sensei berusaha menghindarkan film ini dari kesan picisan. Pesan yang ingin disampaikan ternyata sedikit lebih berat dari yang saya kira. Ini bukan mengenai 'kalau jodoh tak kemana' atau cinta lama bersemi kembali, tetapi menyoal bagaimana 'moving on' setelah hubungan di masa lalu kandas. Ketiga segmen dalam film ini pun lebih tepat disebut sendu ketimbang romantis. Bukan film yang tepat bagi yang mencari tontonan romantis yang bikin meleleh. Layaknya film Jepang pada umumnya, 5 Centimeters Per Seconds pun berjalan dengan perlahan dan sunyi. Saat menontonnya, saya merasakan rasa sesak di dalam dada. Penonton pun akan diminta untuk memaknai kembali arti dari cinta, kebahagiaan, dan kedewasaan.

Exceeds Expectations

Selasa, 01 November 2011

25 FILM PALING MENCEKAM DEKADE LALU - BAGIAN 2

Dalam bagian 1, kita telah melongok film-film apa saja yang berhasil menempati posisi 'honorable mentions' serta 25 hingga 11 dalam Halloween Edition '25 Film Paling Mencekam Dekade Lalu'. Maka sekarang kita mengintip film apa saja yang berhasil menduduki posisi 10 besar. Perlu saya tegaskan kembali jika ini adalah daftar personal, jadi sangat mungkin apa yang menurut saya seram belum tentu Anda anggap seram. Penilaian ini bersifat subjektif. Selain itu, film yang menembus dalam daftar hanyalah film-film produksi tahun 2000 hingga 2009. Semoga saja apa yang saya sampaikan disini berguna bagi Anda yang tengah mencari referensi film horor/thriller yang apik.

Baiklah, tanpa perlu berpanjang lebar lagi, inilah 10 film teratas :))

#10
Battle Royale (Jepang, 2000)

Kesuksesan Battle Royale menyebabkan para filmmaker dunia latah mengikuti resepnya. Sekelompok orang ditempatkan di sebuah pulau terpencil untuk saling membunuh agar bisa mendapatkan hadiah utama. Kinji Fukasaku dengan berani menyuguhkan Battle Royale secara provokatif, memiliki tingkat kekerasan dan kesadisan yang tinggi, serta terror tiada henti. Sebuah film yang sangat menyenangkan bagi pecinta ‘film sakit’.

#9
Dark Water (Jepang, 2002)

Saat Hideo Nakata seperti kehilangan sentuhan magisnya ketika sekuel dari Ringu terasa kurang menggigit, Dark Water muncul ke permukaan. Masih berupa adaptasi dari karya sastra karangan Koji Suzuki, Dark Water sanggup menggedor jantung selama 100 menit. Formula yang dipakai dalam Ringu diterapkan kembali disini. Aura misterius dari apartemen membuat saya ngeri. Nakata membangun tensi ketegangan secara perlahan dengan menyuntikkan sugesti-sugesti kepada penonton, membuat penonton gregetan hingga akhirnya meledak di akhir.

#8
Let the Right One In (Swedia, 2008)

Let the Right One In mencoba untuk mengembalikan wibawa vampir yang dengan sukses diacak-acak oleh Stephanie Meyer melalui The Twilight Saga. Dengan jalan cerita yang sangat sederhana, lebih banyak mengandalkan ekspresi wajah ketimbang dialog, sinematografi yang aduhai plus penggarapan yang brilian, Let the Right One In dengan efektif menyampaikan kengerian yang mengganggu kepada penonton. Agak membosankan di paruh awal, namun memasuki paruh terakhir, film ini memberikan terror demi terror yang sampai membuat saya merasa sangat tidak nyaman.

#7
The Others (US, 2001)

Tanpa adanya gangguan misterius pun, rumah yang ditempati oleh Nicole Kidman sudah membuat siapapun yang melihatnya bergidik ngeri. Bersetting beberapa saat setelah Perang Dunia II, tone nyaris selalu ditampilkan suram, gelap serta depresi oleh Alejandro Amenabar. Perasaan cemas dan takut pun dengan sendirinya terbangun. Akting yang meyakinkan dari Nicole Kidman membuat penonton percaya seolah-olah apa yang terjadi di layar memang benar-benar terjadi.

#6
Noroi : The Curse (Jepang, 2005)

Anda menyukai film bergenre mockumentary horror dan menganggap apa yang disajikan Paranormal Activity sama sekali tidak menyeramkan? Maka jajal film ini. Noroi bahkan lebih kuat secara penceritaan, lebih mencekam dan terkesan lebih realistis ketimbang sang pionir, The Blair Witch Project. Plotnya yang kompleks dimana setiap menit penonton disodorkan dengan misteri baru, menjadikan film berdurasi dua jam ini jauh dari kata membosankan. Rasanya gatal untuk tidak ikut menebak-nebak apa yang sesungguhnya terjadi. Ketika misteri utama telah terbuka, penonton digiring pada ending yang mencekam.

#5
[REC] (Spanyol, 2007)

Ketika kebanyakan film horror bergaya found footage memulai segalanya dengan perlahan-lahan, maka [REC] tanpa basa-basi langsung mengarahkan pada inti cerita. Hebatnya, ketegangan mampu terjaga konstan hingga akhir tanpa goyah sedikitpun. Seperti halnya para karakter di film ini, saya pun kesulitan untuk kesulitan untuk bernafas karena penonton tidak diberi jeda untuk bersantai ria. Ketegangan yang satu disambung dengan ketegangan yang lain. Sang sutradara, dengan kejamnya, juga tidak memberi obat pencair ketegangan. Penderita penyakit jantung jelas harus menghindari film ini.

#4
Shaun of the Dead (Inggris, 2004)

Shaun of the Dead memang tidak menawarkan kengerian yang luar biasa bagi penontonnya, tetapi film ini sangatlah menyenangkan untuk ditonton. Film horror komedi terbaik dekade lalu. Cerdas, lucu dan menghibur. Edward Wright menggarapnya dengan berkelas. Melihat aksi dari tim yang dipimpin oleh Simon Pegg sanggup membuat saya melupakan kepenatan hidup sejenak. Penggemar zombie tentu tidak akan melewatkan film yang satu ini.

#3
Pan’s Labyrinth (Mexico, 2006)

Sebenarnya, Pan’s Labyrinth lebih cocok dikategorikan sebagai drama fantasy ketimbang horror. Akan tetapi, Pan’s Labyrinth memiliki elemen-elemen yang dibutuhkan oleh sebuah film horror. Makhluk yang menyeramkan, atmosfir yang senantiasa suram dan gelap, adegan-adegan penyiksaan yang keji, dan dunia rekaan. Terror yang dihadapi oleh penonton lebih bersifat ke psikologis. Pan’s Labyrinth memiliki plot seperti mimpi buruk yang sering saya alami di tengah malam. Itulah mengapa, Pan’s Labyrinth terasa begitu seram dan sulit untuk dilupakan.

#2
Ju-On (Jepang, 2000)

Jika Anda adalah pecandu J-Horror, tentu tidak akan melewatkan Ju-On. Seperti halnya [REC], Ju-On nyaris tidak memberikan jeda untuk bernafas sejenak setelah terror demi terror dihidangkan. Kekuatan dari Ju-On adalah pintarnya memanfaatkan suasana yang sunyi senyap tanpa banyak disisipi musik latar yang menghentak. Pagi hari yang cerah tak berarti Anda bisa duduk santai karena Takashi Shimizu menebar kengerian sesuka hatinya, kapanpun dan dimanapun. Ju-On juga memiliki beberapa tokoh yang menjadi ikon dalam jagad J-Horror mendampingi Sadako, perkenalkan Kayako dan Toshio.

#1
A Tale of Two Sisters (Korea Selatan, 2003)

Dan, inilah film paling mencekam dari dekade lalu versi Cinetariz. Diangkat dari sebuah cerita rakyat, A Tale of Two Sisters memberikan rasa takut yang luar biasa sejak awal hingga ending-nya yang mengejutkan. Berada dalam sebuah rumah yang besar namun terasa pengap, ayah yang tidak mau tahu, ibu tiri yang kejam dan gangguan dari makhluk misterius adalah masalah-masalah yang harus dihadapi oleh karakter utama kita. Kim Ji-woon sanggup menyajikan kengerian dengan takaran yang pas. Adegan-adegan pemicu rasa kaget masih menggunakan formula lawas, tapi hebatnya di bawah penanganan Kim-Ji Woon terasa tidak basi. Saat Anda bertanya kepada saya, apa film horror yang paling menakutkan, secara spontan saya akan menyebutkan A Tale of Two Sisters. Sebuah film horror yang memiliki naskah yang menggigit, akting para pemain yang prima dan penggarapan yang berkelas.

Apakah kalian setuju dengan daftar ini atau memiliki pilihan lain?

REVIEW : REAL STEEL


Di tahun 2011 ini, perfilman Hollywood memberikan cukup banyak kejutan manis kepada para pecinta film. Sekalipun teknologi, khususnya pemanfaatan kamera 3D, semakin berkuasa, beberapa produser tampaknya mulai sadar bahwa mereka tidak akan bisa bertahan jika selamanya bergantung pada teknologi. Beberapa film yang dirilis tahun ini, secara mengejutkan hadir dengan kualitas yang apik. Bahkan banyak diantaranya justru berasal dari film yang sama sekali tidak disangka-sangka. Dari paruh pertama tahun 2011, tersebutlah judul-judul seperti Unknown, Insidious, Source Code, Fast Five hingga Thor, yang sukses mengeruk pundi-pundi dollar serta mencuri hati penonton. Memasuki musim panas, kejutan lain datang. Disamping special effect yang jor-joran dengan bujet raksasa yang digelontorkan oleh produser, dramalurgi mulai diperhatikan. Setelah hingar bingar summer movies berakhir, bukan berarti tidak ada lagi film yang menarik untuk ditonton. Ini saatnya untuk berburu kenikmatan tak terduga lainnya. Dan, saya kembali mendapatkannya melalui sebuah film yang trailer-nya saya cibir, Real Steel. Film yang terinspirasi dari cerpen karangan Richard Matheson bertajuk Steel ini, diarahkan oleh sutradara tak meyakinkan, Shawn Levy, dan didukung oleh Hugh Jackman, Evangeline Lily, Dakota Goyo, dan Kevin Durand. Sebagai komoditas utama di Real Steel adalah para robot petinju. Nampaknya kesuksesan luar biasa dari trilogi Transformers telah membuat robot dianggap sebagai ladang yang menguntungkan di Hollywood.

Di tahun 2020, olahraga tinju telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Tidak ada lagi manusia yang bertarung di atas ring tinju demi memperebutkan gelar sebagai World Boxing Champions. Sebagai gantinya, para robot yang berlaga. Perubahan ini tentu bukannya tanpa alasan. Dengan digantikannya manusia oleh robot, maka pertandingan tinju yang berlangsung akan semakin seru, brutal dan gila-gilaan. Charlie Kenton (Hugh Jackman), mantan petinju hebat di zamannya, beralih profesi menjadi ‘pelatih tinju’ para robot. Dengan modal pas-pasan serta menumpuknya hutang, Charlie berpindah dari satu arena ke arena yang lain bersama robot andalannya, Ambush, untuk menyambung hidup. Ketika Ambush akhirnya hancur, Charlie menghabiskan seluruh tabungannya demi robot lain, Noisy Boy. Di sela-sela kesibukannya mempersiapkan Noisy Boy, Charlie mendapatkan sebuah warisan dari mantan kekasihnya telah meninggal, seorang bocah berusia 11 tahun bernama Max (Dakota Goyo). Karena merasa tak mampu mengurusnya, Charlie melakukan perjanjian dengan paman dari Max. Selama musim panas, Charlie akan mengurus Max bersama dengan sahabatnya, Bailley (Evangeline Lily). Bisa diduga, hubungan ayah dan anak yang terpisah selama 10 tahun ini tidak berjalan mulus. Ketika Noisy Boy ‘tewas’ secara mengenaskan, Charlie dihadapkan pada pilihan yang sulit. Max menemukan sebuah robot rongsokan bernama Atom yang memiliki kemampuan istimewa. Max melihat potensi Atom sebagai robot petinju yang hebat, akan tetapi dalam pandangan Charlie, Atom tidak lebih dari robot rongsokan.

Sangat mengejutkan ketika saya mengetahui fakta bahwa pembesut film aksi yang emosional ini adalah Shawn Levy, sutradara spesialis film ringan yang telah menghasilkan dwilogi Night at the Museum, Date Night, Cheaper by the Dozen, dan The Pink Panther. Tentu bukan hal yang aneh jika banyak calon penonton yang pesimis dengan Real Steel jika mengintip jejak rekam dari Levy yang sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam mengarahkan film bergenre aksi fiksi ilmiah. Namun Levy berhasil membuktikan kepada mereka yang skeptis terhadap film arahannya bahwa dia bukanlah sutradara kacangan. Setelah melewati fase sebagai sutradara yang biasa-biasa saja, Levy akhirnya menunjukkan kemampuannya yang sesungguhnya melalui Real Steel yang tak pelak lagi merupakan film terbaik yang pernah dia buat. Real Steel didukung dengan naskah berisi hasil racikan secara keroyokan dari John Gatins, Dan Gilroy, dan Jeremy Leven. Dengan durasi yang terbentang panjang hingga melebihi dua jam, Real Steel tidak hanya menyoroti kebuasan para robot dalam menghabisi lawannya di atas ring tinju. Sisi emosionil dari hubungan personal antar karakter terasa perlu untuk ditonjolkan. Ikatan yang terjalin diantara Charlie dan Max serta Max dan Atom terasa kuat, nyata, indah dan mengharukan. Dipadukan dengan sajian aksi yang menakjubkan, Real Steel telah membuat sang sesepuh, Transformers: Dark of the Moon, terlihat seperti kaleng kosong bekas.

Untuk sekali ini, Hugh Jackman terlihat sangat pas dengan karakter yang dimainkannya. Pesonanya berhasil terpancarkan. Di awal film, saya dibuat kesal dengan tingkah lakunya yang cenderung semau gue dan pengecut, namun ketika menjelang akhir, saat Max dipaksa untuk berpisah dari Charlie, saya berempati kepadanya. Chemistry antara Hugh Jackman dan Dakota Goyo memang sangat meyakinkan, sampai-sampai saya menitikkan air mata di penghujung film. Usaha keras Shawn Levy dan timnya untuk menghasilkan sebuah film fiksi ilmiah berbobot patut mendapat acungan dua jempol. Real Steel dengan sukses turut membawa para penontonnya untuk terlibat secara emosional. Adegan di ring tinju membuat saya dan puluhan penonton yang lain bertepuk tangan setelah menyaksikan pertandingan yang menegangkan. Tidak sedikit pula yang matanya terlihat basah saat meninggalkan gedung bioskop. Segala kekhawatiran yang tercipta saat menyaksikan trailer-nya yang tidak meyakinkan ternyata sama sekali tidak terwujud. Real Steel hadir sebagai sebuah film yang tidak hanya sangat seru tetapi juga mampu mengaduk-aduk perasaan serta memberikan pelajaran yang berharga tentang kehidupan tanpa terkesan menggurui.

Exceeds Expectations