Sutradara asal India yang terkenal dengan imajinasi visualnya yang indah tapi rada nyeleneh, Tarsem Singh, kembali menggebrak layar lebar dengan karya terbarunya setelah lima tahun vakum. Film terbarunya yang bertajuk Immortals ini mengangkat Mitologi Yunani sebagai bahan dasar naskah. Dengan desain poster yang menggoda, trailer yang menjajikan serta dibubuhkannya tulisan 'from the producer of 300', mau tidak mau para penikmat film akan mengantisipasi Immortals sebagai film epik yang memiliki kekuatan sebesar Para Spartan dari 300, terlebih Tarsem Singh memperoleh kucuran dana yang lebih tinggi nominalnya ketimbang yang didapat oleh Zack Snyder. Tapi itu saja tentu tidak menjamin bahwa film ini akan lebih menggelegar ketimbang 300, apalagi masih segar di ingatan penonton bagaimana Louis Leterrier mengacak-acak Mitologi Yunani dalam Clash of the Titans dengan tambahan naskah yang 'mengerikan', akting yang mengkhawatirkan plus 3D yang membuat mata sakit. Rasa pesimis juga muncul disebabkan jejak rekam Tarsem Singh yang 'so-so' dan belum terasah menghasilkan film berbujet raksasa. Film perdananya, The Cell, biasa saja, dan The Fall, yang menjadi Closing Film di pagelaran INAFFF yang pertama, hanya sedikit lebih baik dari The Cell.
Raja Hyperion (Mickey Rourke) menyatakan perang kepada umat manusia menyusul kekecewaannya kepada Dewa karena doanya tidak dikabulkan. Demi mewujudkan rencananya, Raja Hyperion pun berburu Busur Epirus buatan Dewa Perang, Ares (Daniel Sherman), yang konon katanya mampu memberikan kekuatan yang luar biasa bagi siapapun yang memilikinya. Para dewa tidak bisa turut campur dalam masalah ini, maka jalan satu-satunya untuk menghentikan Raja Hyperion adalah dengan mengutus seorang manusia. Melalui Theseus (Henry Cavill), Zeus (Luke Evans) meminta pertolongan. Theseus sendiri diliputi rasa dendam yang membara kepada Raja Hyperion setelah ibunya dibantai di depan mata kepalanya sendiri. Dengan bantuan seorang peramal, Phaedra (Freida Pinto), dan seorang pencuri yang senasib dengannya, Stavros (Stephen Dorff), Theseus pun memburu Raja Hyperion. Tapi tentu saja segalanya tidak berjalan dengan mudah. Visi dari Phaedra yang seringkali membingungkan, jumlah pasukan yang tidak seimbang, hingga jatuhnya Busur Epirus ke tangan Raja Hyperion, menjadi masalah yang harus dihadapi oleh Theseus dan pasukannya.
Immortals adalah sebuah film epik fantasi yang bertumpu pada polesan CGI yang megah, visualisasi yang indah, serta adegan-adegan pembantaian penuh darah untuk menutupi naskah yang kosong. Vlas dan Charley Parlapanides tidak memberikan nyawa ke dalam tulisan mereka sehingga konflik yang dihadirkan hampir tidak memiliki greget. Sebuah titik balik yang terjadi ketika ibu dari Theseus dibantai seharusnya mampu menggugah emosi penonton, terutama untuk berempati kepada si karakter utama. Yang justru terjadi adalah adegan in berlalu begitu saja tanpa meninggalkan kesan apapun seakan ini bukan menjadi sesuatu yang berpengaruh terhadap perkembangan karakter Theseus. Malahan, duo penulis naskah menambahkan adegan-adegan yang terasa kurang penting dan dipaksakan untuk masuk yang sayangnya justru mengacaukan ritme alih-alih memaniskan film. Dengan drama yang tidak memiliki dinamika yang baik, secara otomatis adegan laga pun dijadikan sebagai tameng penyelamat. Hanya saja, Tarsem Singh baru memasukannya di penghujung film. Penonton dipaksa untuk melewati fase-fase yang membosankan terlebih dahulu sebelum akhirnya menikmati perang akbar yang disuguhkan dalam durasi yang relatif singkat.
Satu-satunya yang bisa membuat saya melek hingga akhir adalah keberanian Tarsem Singh dalam mempertontonkan adegan-adegan penuh muncratan darah dan tubuh yang tercerai berai. Selain itu, parade kostum-kostum ajaib yang menjadi ciri khas Tarsem Singh kembali dimunculkan disini. Lihat saja bagaimana uniknya kostum yang dikenakan oleh para peramal, Raja Hyperion beserta pasukannya, dan para dewa. Khusus untuk para dewa, saya tidak sanggup untuk menahan ketawa setiap kali mereka muncul dengan balutan kostum yang sulit untuk saya ungkapkan dengan kata-kata. Yang pasti, saya tidak sendirian. Sebagian besar penonton pun terkejut saat melihat penampilan para Dewa Yunani versi Tarsem Singh ini. Unik sih, tapi kok jadi terkesan tidak berwibawa ya? Jika menilik performa para aktor dan aktrisnya, maka hanya Henry Cavill dan Mickey Rourke saja yang bermain cukup apik. Freida Pinto tak lebih dari sekadar pemanis saja. Sementara yang bisa diingat dari Stephen Dorff, Kellan Lutz dan Luke Evans adalah mereka nyaris selalu bertelanjang dada di sepanjang film. Dengan kualitas yang cukup memprihatinkan seperti ini, maka tujuan Immortals untuk menyamai kualitas 300 gagal tercapai. Bahkan Immortals tidak lebih baik dari Clash of the Titans.
Poor
2D atau 3D? Lebih baik berhemat dengan menonton versi 2D-nya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar