Minggu, 26 September 2010

REVIEW : RESIDENT EVIL : AFTERLIFE


Seorang gadis Jepang (penampilan khusus dari Mika Nakashima) berdiri membisu di tengah guyuran hujan di Shibuya, Tokyo. Tak ada seorang pun yang menghiraukannya, semua sibuk mengurusi diri sendiri yang kepayahan karena hujan. Si gadis yang sedari tadi terus menunduk perlahan mulai mengangkat kepalanya tatkala dia merasa seorang pejalan kaki memperhatikannya. Kontak mata pun tak terhindarkan. Tanpa diduga, si gadis langsung menyerang pejalan kaki tersebut dan menghabisinya tanpa ampun. Kamera bergerak naik dengan cepat memperlihatkan listrik di kota Tokyo yang berangsur - angsur mulai padam, kegelapan total. Menandakan bahwa Tokyo telah berhasil dilumpuhkan. Tak ada lagi manusia hidup yang tersisa, hanya ada mayat hidup yang buas.

Belum sempat penonton bernafas dan berhenti terkejut, Paul W.S. Anderson langsung menggiring penontonnya ke adegan tegang selanjutnya saat Alice (Milla Jovovich) menyatroni kantor Umbrella Corporation di Jepang. Tidak hanya ada satu Alice saja kali ini, tapi ada belasan. Tentu saja semuanya adalah hasil kloningan. Lantas dimana Alice yang asli ? Dia bersembunyi di suatu tempat untuk menghabisi Albert Wesker (Shawn Roberts) setelah para kloningannya berhasil melumpuhkan ratusan penjaga di Umbrella. Setelah sebelumnya Resident Evil : Afterlife membuka kisahnya dengan adegan yang mencekam, Anderson melanjutkannya dengan rangkaian adegan action penuh tembakan dan ledakan yang lumayan memompa adrenalin. Jangan lupa, film ini didesain khusus untuk tayangan 3D sehingga apa yang tersaji sebagai menu pembuka ini mampu membuat penonton menahan nafas.

Layaknya film adaptasi dari video game, maka plot bukanlah sesuatu yang penting. Resident Evil : Afterlife memang tidak kosong melompong, tapi kisahnya tak istimewa dan mudah ditebak. 6 bulan setelah peristiwa di adegan pembuka, Alice mengelilingi dunia untuk mencari manusia yang tersisa. Tujuan pertamanya adalah ke Arcadia, Alaska, setelah dia mendengar siaran berulang melalui frekuensi radio yang menyebutkan bahwa Arcadia bebas dari virus. Begitu menginjak Arcadia, tak ada apapun disana, hanya berupa dataran tak berpenghuni. Alice yang sudah kadung putus asa kemudian bertemu dengan Claire (Ali Larter) yang anehnya tidak mengingat apapun, termasuk dirinya sendiri dan Alice. Karena tak menemukan apapun disini, Alice dan Claire pun melanjutkan perjalanan menuju Pantai Barat dan akhirnya berhenti di Los Angeles setelah melihat sekelompok orang terjebak di atap sebuah penjara yang dikerumuni ribuan mayat hidup. Di penjara inilah, Claire akhirnya bertemu kembali dengan saudara laki - lakinya, Chris (Wentworth Miller). Berbekal perlengkapan seadanya dari penjara dan keahlian masing - masing, mereka yang masih selamat pun berusaha keluar dari penjara yang perlahan - lahan mulai kebobolan.


Sudah menjadi rahasia umum jika film adaptasi video game mayoritas memiliki kualitas yang memprihatinkan dan digarap dengan tidak apik. Hanya Silent Hill, dwilogi Tomb Raider, dan tentu saja Resident Evil yang saya anggap termasuk dalam kategori layak tonton. Tidak menawarkan sesuatu yang baru ataupun wah, namun menghibur untuk ditonton. Salah besar jika kita mengharapkan naskah yang berbobot dan logis untuk film jenis ini karena seperti yang sudah kita ketahui, plot dari video game mayoritas memang tak logis, utamanya jika bergenre action dan petualangan. Sudah bersyukur banget plot Resident Evil : Afterlife tidak kosong dan datar. Yang membuat film ini terasa istimewa tentu saja penggunaan 3D yang maksimal. Bahkan demi memuaskan para fans dan penonton awam, Anderson memakai kamera yang sama dengan yang dipakai James Cameron untuk pembuatan Avatar, Fusion Camera System. Tidak mengherankan jika 3D yang tersaji sangat mantap dan terasa sekali efeknya. Berulang kali saya dan penonton dibuat kaget dan berteriak sepanjang film, mengasyikkan sekali. Karena itulah saya menyarankan kepada kalian untuk menyaksikannya dalam bentuk 3D karena seperti halnya Avatar dan film - film lain yang memang dibuat khusus untuk konsumsi 3D (bukan yang konversi dari 2D), maka tidak akan mendapat kesan apapun jika disaksikan dalam format biasa.

Bagi yang mengharap tontonan penuh aksi, maka Resident Evil : Afterlife banyak menawarkan adegan tersebut. Tembakan, ledakan dan darah menghiasi sepanjang film. Yang menyukainya, akan bersorak sorai, namun yang antipati mungkin akan berulang kali membuang muka dari layar. Resident Evil : Afterlife terasa lebih keras dalam adegan aksi, mungkin karena efek dari 3D. Sayangnya, porsi pertarungan Alice dan zombie disini sangat sedikit padahal justru itulah yang paling ditunggu dari franchise ini. Tak apalah, kemunculan AxeMan sudah cukup mengobati kekecewaan yang ada. Milla Jovovich bermain bagus sebagai Alice. Semakin kesini terlihat karakter Alice mulai melebur ke dalam jiwa Jovovich sehingga sulit rasanya membayangkan siapapun menggantikan posisi Jovovich disini. Ali Larter juga bermain semakin bagus saja semenjak lulus dari Heroes. Para cast pendukung juga tampil lumayan utamanya Wentworth Miller, Boris Kodjoe dan Shawn Roberts yang sanggup membuat penonton geram melihat aksinya.

Selain penggunaan 3D, otomatis tak ada spesial dari Resident Evil : Afterlife. Plotnya biasa saja dan apa yang dihadirkan juga tak lebih dari pengulangan - pengulangan prekuelnya. Harus diakui, 3D lah yang membawa sensasi dan kesan tersendiri sehingga sayang rasanya jika menonton film ini dalam bentuk 2D. Bacokan, cipratan darah, tembakan dan ledakan hadir begitu nyata di mata penonton. Untuk ini, Anderson patut diacungi dua jempol. 97 menit berjalan terasa begitu cepat dan menyenangkan sekalipun saya sudah bisa menebak bagaimana akhir kisah dari Resident Evil : Afterlife. Tak sabar rasanya menunggu sekuel berikutnya dari Resident Evil yang mungkin saja baru muncul 3 tahun kemudian. Alice rocks!

Jangan keburu keluar setelah end credit bergulir karena ada sebuah adegan tersembunyi yang sayang untuk dilewatkan.

Nilai = 7/10 (Acceptable)

Sabtu, 25 September 2010

REVIEW : DARAH GARUDA


Darah Garuda adalah bagian kedua dari rangkaian film Trilogi Merdeka sekaligus merupakan kelanjutan dari Merah Putih yang dirilis setahun silam. Proyek ini bisa dibilang ambisius terlebih jika kita menilik dari jumlah uang yang dikucurkan demi mewujudkan sebuah proyek yang digadang - gadang menjadi The Lord of the Rings-nya Indonesia. Rp 60 Miliar bukan jumlah yang kecil untuk ukuran film Indonesia apalagi jika Production House yang menangani relatif tidak terkenal. Bayangan akan film perang yang megah pun serta merta melintas di benak setiap penonton jika mengetahui fakta ini. Namun akankah ini menjadi kenyataan atau malah hanya menjadi semacam angan - angan semata ? Bagi yang sudah menyaksikan Merah Putih tentu mudah untuk menjawabnya dan sejauh yang saya amati, pihak yang pro dan kontra terhadap Trilogi Merdeka terbagi cukup merata.

Jajaran kru dan pemain masih diperkuat oleh orang - orang yang sama dari Merah Putih, hanya mendapat tambahan beberapa nama baru saja. Penyutradaraan masih dipegang oleh Yadi Sugandi yang kali ini mendapat bantuan dari Conor Allyn, sementara penulisan skenario juga tetap ditangani duo bule, Conor Allyn dan Rob Allyn. Jika memperhatikan susunan kru inti sebenarnya mampu membuat kita mengerutkan dahi. Bagaimana tidak ? Alih - alih menyerahkannya pada sutradara yang lebih berpengalaman, film kolosal ini malah ditangani seorang sinematografer handal yang kemampuannya dalam mengarahkan film belum sepenuhnya teruji. Ironisnya, meski tujuan film ini adalah untuk mengobarkan semangat nasionalisme generasi masa kini yang berangsur padam, penulisan skenario justru diserahkan kepada warga asing. Rasanya masih banyak sekali penulis skenario berbakat di negeri ini.

Melanjutkan kisah pertamanya yang berakhir menggantung, Darah Garuda memulai kisahnya dengan cukup meyakinkan saat empat sekawan yang baru saja lulus dari sekolah tentara, Amir (Lukman Sardi), Dayan (Teuku Rifnu Wikana), Marius (Darius Sinathrya) dan Tomas (Donny Alamsyah), berusaha menyelamatkan Melati (Astri Nurdin), Senja (Rahayu Sarawati) dan seorang wanita penghibur bernama Lastri (Atiqah Hasiholan) dari tangan Belanda yang keji. Setelah misi ini berhasil, mereka kemudian melanjutkan perjalanan dan bertemu dengan pasukan Jenderal Sudirman. Mereka mendapat tugas rahasia untuk menghancurkan pangkalan udara milik Belanda. Disinilah keadaan mulai menjadi semakin kompleks tatkala muncul sikap saling tidak percaya diantara sesama pribumi hanya karena beda suku dan agama hingga hadirnya seorang pengkhianat diantara mereka.
Harus saya akui bahwa Darah Garuda memang lebih menyenangkan untuk ditonton ketimbang Merah Putih. Hal ini lebih disebabkan karena porsi adegan action dua kali lebih banyak dari apa yang telah ditampilkan oleh prekuelnya yang cenderung garing. Desingan peluru dan ledakan berulang kali kita dengar disini, utamanya di 30 menit terakhir. Tidak terlampau wah memang, tapi cukup menghibur untuk ditonton. Meski begitu, tetap saja jangan mengharapkan Darah Garuda akan memompa jantung kalian sepanjang film karena selain adegan action yang memekakkan telinga nan seru di detik - detik terakhir tadi, tak ada lagi yang bisa ditemukan disini. Opening cukup menggebrak namun setelah itu dilanjutkan dengan drama panjang membosankan yang kali ini disisipi romansa yang 'awkward' dan humor yang sangat garing. Kriuk. Untunglah musik indah dari Thorsie Argeswara mampu membuat hati ini terasa lebih tenang.

Jika ada yang harus disalahkan, maka saya akan mengajukan Conor Allyn dan Rob Allyn selaku penulis skenario sebagai terdakwa utama. Dialog yang mereka tulis sungguh membuat saya tertawa terpingkal - pingkal hingga gegulingan di depan layar bioskop, sangat aneh. Masalahnya adalah skrip asli Darah Garuda (dan juga Merah Putih, tentunya) awalnya berbahasa Inggris, tentu rasanya menjadi berbeda saat harus diterjemahkan ke dalam bahasa kita. Serasa tidak sedang menonton film, melainkan menyaksikan pertunjukkan di sebuah sanggar. Dialognya baku. Parahnya, intonasi yang diucapkan oleh para pemainnya juga tidak enak didengar, membuat saya menjadi semakin yakin ini adalah hasil adaptasi dari buku teks Sejarah *berbusa* Lanjut ke akting para pemainnya. Dari seabrek bintang ternama yang muncul berdesak - desakkan disini, hanya Teuku Rifku Wikana, Atiqah Hasiholan dan Ario Bayu yang patut mendapat perhatian lebih. Hasiholan bermain apik dan itu tidak mengejutkan karena filmnya yang sangat teatrikal, dia banget. Ario Bayu juga konsisten. Wikana adalah satu - satunya pemain lama yang berakting dengan baik, terutama saat adegan Dayan disiksa oleh Van Gaartner (Rudy Wowor) dan anak buahnya, begitu meyakinkan.

Sekalipun Darah Garuda lebih baik dari Merah Putih, saya masih belum bisa mengategorikannya sebagai film bagus. Biasa saja. Masalah yang dihadapi oleh Darah Garuda dan Sang Pencerah cenderung sama, dialog. Hanya saja Darah Garuda mengalami masalah yang lebih serius karena dialognya sama sekali tidak enak didengar dan membosankan. Adegan action yang diharapkan oleh penonton pun baru dimunculkan di ending. Bisa - bisa mereka yang tidak sabaran atau yang sudah dibuat mati kebosanan berbaris dengan rapi menuju pintu keluar untuk mencari udara segar. Secara penggarapan memang jauh lebih bagus ketimbang puluhan film kancut tak layak tayang yang akhir - akhir ini, namun Darah Garuda tetap tidak meninggalkan kesan apapun. Semoga saja Hati Merdeka, jilid pamungkas Trilogi Merdeka, mampu menambal lubang - lubang dari dua film pertamanya.

Nilai = 5/10 (Poor)

Jumat, 24 September 2010

REVIEW : SANG PENCERAH


Inilah proyek impian Hanung Bramantyo yang sudah digembar - gemborkan sejak lama. Hanung memang memiliki impian ingin membuat sebuah film yang didasarkan pada kehidupan tokoh pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahan. Demi merealisasikannya, tak tanggung - tanggung dana sebesar Rp 12 Miliar pun dikucurkan demi menghasilkan sebuah film biopik yang semirip mungkin dengan kisah aslinya. Beberapa nama besar di dunia perfilman Indonesia diajaknya turut serta seperti Lukman Sardi, Slamet Rahardjo, Zakia Adya Mecca, Yatty Surachman, Pangky Suwito, Ikranegara, Sujiwo Tejo serta penampilan perdana dari Giring Nidji. Sangat menjanjikan. Setelah cukup mengecewakan saat mengarahkan Ayat - Ayat Cinta dan Perempuan Berkalung Sorban, akankah Hanung Bramantyo mendapatkan kembali kekuatannya dalam Sang Pencerah seperti saat dia membesut Catatan Akhir Sekolah ?

Bersetting di akhir tahun 1800-an di Jogjakarta, film ini membuka kisahnya dengan memperlihatkan bagaimana kondisi masyarakat penganut Islam pada masa itu yang mempercayai tahayul dan menggunakan sesajen. Muhammad Darwis (Ihsan Tarore), KH Ahmad Dahlan muda, yang memiliki pemikiran yang sangat kritis, resah melihat apa yang terjadi dengan masyarakat. Sesekali dia usil mengerjai masyarakat dengan mencuri sajen dan membagikannya kepada mereka yang lebih membutuhkan. Untuk lebih mendalami agama Islam, Darwis memutuskan untuk meninggalkan Kauman dan pergi ke Mekkah. Tidak hanya untuk berhaji, namun sekalian untuk menuntut ilmu. Sepulangnya dari Mekkah, Darwis mengubah namanya menjadi Ahmad Dahlan (Lukman Sardi), menikah dengan Siti Walidah (Zaskia Adya Mecca) dan mendirikan Langgar Kidoel. Dahlan berusaha merubah pemikiran mayoritas masyarakat dan para Kyai pada kala itu yang cenderung kolot dan menganggap semua yang berhubungan dengan Belanda adalah kafir. Permasalahan yang sesungguhnya mulai timbul saat Dahlan mendapati arah kiblat di Masjid Gede ternyata selama ini salah. Para Kyai tentu tak begitu saja menerima perkataan Dahlan, malahan mereka cenderung menentang Dahlan dengan keras dan menganggap bahwa pola pikir Dahlan sudah tidak beres. Julukan Kyai Kafir pun disematkan kepadanya. Warga di Kauman yang menentangnya berbondong - bondong mendatangi Langgar Kidoel dan menghancurkannya seraya melantangkan seruan, "Allahu Akbar!"

Film biopik bikinan dalam negeri bisa dihitung jumlahnya dengan jari. Bahkan untuk periode 2000 hingga 2010 tercatat hanya ada tiga judul film yang kisahnya didasarkan pada kehidupan seorang tokoh ; Marsinah, Gie dan Sang Pencerah. Obama Anak Menteng tak perlu dihitung karena keakuratan kisahnya cenderung dipertanyakan, sepertinya hanya ingin menjual nama Obama semata. Para sineas dan produser di Indonesia malas membikin film biopik karena selain susah dan butuh penelitian yang dalam, ongkos produksinya pun tinggi serta belum tentu balik modal. Hanya sineas - sineas dengan idealisme tinggi saja yang berani menjajal genre ini. Hanung Bramantyo yang mengidolakan sosok KH Ahmad Dahlan mencoba menentang arus dengan membesut film biopik. Untuk menunjukkan keseriusannya, Hanung menulis sendiri skenarionya dan mengerjakan film ini dengan sangat teliti. Hasilnya memang patut diacungi jempol. Bujet yang sedemikian besar dimanfaatkan Hanung dengan amat baik, Sang Pencerah unggul di sisi teknis. Kostum, tata rias hingga tata artistik begitu detail, mendekati sempurna. Sinematografi yang ditangani oleh Faozan Rizal sangat mengesankan, banyak gambar - gambar cantik yang terekam dan nuansa Jogja tahun 1800-an terasa sekali. Usaha Hanung untuk membangun kembali Jogjakarta tempo dulu patut dihargai sekalipun hasilnya ternyata cukup menggelikan.

Ya, Hanung terlalu sibuk observasi tentang kehidupan Dahlan sehingga melupakan observasi tentang kehidupan masyarakat Jawa. Selain setting tempat yang agak 'maksa', penggunaan bahasa juga merupakan salah satu yang saya soroti secara mendalam. Berulang kali bahasa Jawa yang digunakan disini salah kaprah, entah dari pengucapan atau pemakaian dalam bentuk kalimat. Mengingat Hanung berasal dari Jawa, tentu hal ini sangat aneh. Bisa dimaklumi jika bahasa Jawa dan Indonesia digunakan secara bergantian, namun tidak saat dicampur adukkan. Telinga ini geli sekali rasanya. Ratusan penonton di sekeliling saya spontan tertawa terbahak - bahak menyadari kesalahan ini. Saat adegan santai dan jenaka sih wajar, tapi bagaimana jika ini juga terjadi saat Hanung bermaksud menjadikan adegan tersebut serius ? Padahal saya berharap Hanung meniru langkah Mel Gibson saat menangani The Passion of the Christ atau minimal Lola Amaria di Minggu Pagi Victoria Park. Disinilah kelemahan Sang Pencerah dan bagi saya, ini cukup fatal.

Banyak yang mengatakan Sang Pencerah bertutur secara objektif, merangkul semua kalangan, namun benarkah itu ? Di satu sisi, benar. Namun di sisi lain, tidak. Hanung memang berusaha menghadirkan Sang Pencerah seuniversal mungkin sehingga penonton non-Muslim pun bisa menikmatinya. Saya sering menemukan dialog - dialog yang menyindir beberapa golongan, terkadang itu begitu halus sehingga hampir tak disadari hingga yang begitu frontal. Tak perlu saya sebutkan di bagian mana, namun yang jelas Sang Pencerah sempat menjadi perbincangan rekan - rekan mahasiswa dan pers perihal dialog - dialog ini. Jujur, menyinggung perasaan. Perlukah Hanung melakukan hal ini ? Jika Hanung bermaksud membuat Sang Pencerah agar bisa diterima semua kalangan, tak terkecuali, rasanya dialog seperti itu tak perlu disertakan. Tidak hanya dialog, perilaku para Kyai serta pemikirannya yang kadang terlalu kolot rasanya ditampilkan terlalu berlebihan. Beberapa kali saya dan rekan mengerutkan dahi saat menyaksikannya. Setiap Muslim yang memahami ajarannya dengan baik rasanya sudah pasti mengetahuinya. Sayang sekali, Hanung...

Akting dari para pemainnya adalah poin plus dari Sang Pencerah selain sisi teknis. Pemilihan Lukman Sardi sebagai Ahmad Dahlan dirasa sangatlah tepat. Sulit membayangkan tokoh ini dibawakan oleh aktor lain. Kharisma Dahlan bersinar di tangan Lukman. Aktor serba bisa ini membawakan perannya seakan tanpa beban dan begitu meyakinkan seakan Lukman Sardi telah mengenal baik Ahmad Dahlan. Barisan pendukungnya pun berakting tak kalah memukau. Ihsan Tarore dan Giring Nidji berhasil menampar siapapun yang meragukan kualitas akting mereka. Saat bermain di Mengaku Rasul, Ihsan memang masih tampak 'hijau' dan kaku, namun disini dia menunjukkan peningkatan yang cukup pesat. Akting Giring membuat saya lupa kalau dia adalah vokalis dari sebuah band ternama di Indonesia. Malu untuk mengakui, namun saya baru menyadari kehadiran Giring di penghujung film. Tak heran jika sepanjang film saya bingung mencari keberadaannya. Haha.. Para pemain muda bermain bagus, sementara para pemain senior berakting dengan cemerlang. Tak usah tanyakan bagaimana kualitas Slamet Rahardjo, Ikranegara, Yatty Surachman hingga Agus Kuncoro berlakon. Yang sungguh disayangkan adalah Zaskia Adya Mecca yang terkesan tidak total dengan perannya. Karakternya penting, namun dia menjadikannya seolah - olah hanya figuran. Porsi akting kecil tak serta merta menjadikan alasan dia tak bisa berakting maksimal. Sudah banyak artis di dunia yang melenggang di acara penghargaan sekalipun hanya tampil beberapa menit saja. Yang saya ingat darinya hanyalah senyuman dan tangisan, tak lebih dari itu. Bahkan kesan Jawa sama sekali tak ada. Seriuskah dia ? Medhok Jawanya para pemeran di sinetron Inayah masih jauh lebih bagus ketimbang dirinya. Nada bicaranya membuat siapapun yang paham bahasa Jawa mendengus kesal. Sangat Jakarta dan terlalu modern.

Sebagai pecinta film biopik, saya memang mengharap lebih terhadap film ini, terutama soal kedetailan, sehingga maaf sekali jika kalian tidak setuju dengan penilaian saya. Akan tetapi secara keseluruhan, Sang Pencerah adalah salah satu film lokal yang sayang sekali untuk dilewatkan. Meski masih banyak kekurangan, namun Hanung mengemasnya dengan cukup apik. Porsi drama dan komedinya berimbang sehingga penonton tak akan bosan dibuatnya, terlebih humornya lumayan menyegarkan. Bukan yang terbaik dari Hanung Bramantyo, tapi Sang Pencerah adalah film lokal terbaik tahun ini setelah Minggu Pagi di Victoria Park dan Hari Untuk Amanda.

Nilai = 7/10 (Acceptable)

Sabtu, 18 September 2010

REVIEW (2 IN 1) : BEFORE SUNRISE / BEFORE SUNSET


Untuk sekali ini saya mencoba untuk mengulas dua film sekaligus dalam satu ulasan. Berhubung saya menontonnya secara marathon dan filmnya sendiri memiliki keterkaitan, maka tak ada salahnya jika digabungkan menjadi satu daripada harus dibahas secara terpisah. Bagi para pecinta film tentu tak asing dengan dwilogi matahari, Before Sunrise dan Before Sunset. Film yang disebut - sebut sebagai salah satu film romantis terbaik sepanjang masa ini bertutur secara minimalis, hanya berupa obrolan dua sejoli, tak terjadi apapun. Film yang cenderung dihindari bagi mereka yang tidak menyukai film penuh obrolan, namun bagi yang tidak memiliki pantangan, dwilogi ini mungkin akan meninggalkan kesan yang mendalam. Hanya ada dua pemeran disini, Ethan Hawke dan Julie Delpy. Untuk penyutradaraan ditangani oleh Richard Linklater, sedangkan penulisan skenario diserahkan kepada Kim Krizan serta Linklater sendiri. Khusus untuk Sunset, Hawke dan Delpy ikut turut serta menyumbangkan ide mereka.

Before Sunrise dirilis pada tahun 1995 dan mengenalkan kita kepada Jesse (Ethan Hawke), pemuda dari Amerika, dan Celine (Julie Delpy), cewek Prancis. Keduanya bertemu di sebuah kereta dari Budapest tatkala Celine merasa terganggu dengan pasangan yang sedang ribut. Jesse mengajak Celine ke gerbong makanan hanya untuk saling berbincang hingga mereka sampai di tujuan masing - masing. Bisa diduga, keduanya merasa cocok. Jesse menawari Celine sebuah ide gila untuk menemaninya berkeliling Wina sambil menunggu pesawatnya berangkat ke Amerika keesokan harinya. Awalnya agak sedikit ragu, namun pada akhirnya Celine menerima saja tawaran Jesse. Sepanjang malam di Wina mereka mengobrol mengenai berbagai hal, namun yang paling serius adalah tentang kehidupan dan cinta. Beberapa kejadian tak terduga juga menyertai malam paling berkesan dalam hidup mereka tersebut.

Kisah kemudian beralih 9 tahun kemudian di Before Sunset, kali ini mengambil latar kota Paris yang cantik. Jesse telah bekeluarga dan menjadi seorang penulis yang sukses sedangkan Celine bekerja untuk pemerintah dan memiliki kekasih yang berprofesi sebagai fotografer. Kedatangannya ke Paris merupakan salah satu agendanya dalam rangka tur keliling Eropa untuk mempromosikan bukunya. Kebetulan toko buku yang dikunjungi oleh Jesse adalah tempat favorit dari Celine sehingga keduanya bisa kembali bertemu setelah 9 tahun terpisah. Daripada menghabiskan waktu di hotel dan bandara saat menunggu pesawat, Jesse memilih untuk bernostalgia dengan Celine sambil mengelilingi kota Paris. Setting waktunya pun berbeda, jika Sunrise lebih banyak dihabiskan pada malam hari, maka Sunset berlatar di siang dan sore hari. Topik yang menjadi bahan obrolan tidak lagi berkisar pada kehidupan dan cinta, tetapi juga pekerjaan dan politik.


Dwilogi ini adalah tipe film "love it or hate it" Sebagian akan memujanya setinggi langit, namun yang lain akan mencacinya habis - habisan. Saya pribadi langsung jatuh cinta pada pandangan pertama saat menyaksikannya, utamanya kepada Before Sunset yang begitu manis. Walaupun dalam Before Sunrise kedua karakter utamanya adalah sepasang remaja yang tengah mencari jati diri dan masih berusaha memahami konsep cinta yang sebenarnya, alur tak otomatis menjadi lembek dan bertutur dengan menye - menye. Tak ada dialog gombal disini, pilihan katanya begitu cerdas dan berkelas. Celine memang digambarkan sebagai wanita yang mandiri dan cerdas sehingga apa yang dijadikannya sebagai topik pembicaraan tak melulu soal cinta, terkadang malah sesuatu yang berat. Kalaupun membahas cinta, bukan mengenai konsep cinta yang dangkal. Terkadang saya dibuat takjub dengan dialog - dialog yang diucapkan oleh karakter ini.

Mengikuti perkembangan karakternya, maka Before Sunset tak melulu menyajikan obrolan ringan, kali ini sudah mulai merambah ke topik yang lebih berat. Bahkan sudut pandang mereka mengenai cinta dan kehidupan juga berubah, walaupun tak sepenuhnya. Meski topik pembicaraan menjadi lebih berat, namun tak membuat Before Sunset menjadi film yang membosankan, justru sebaliknya. Begitu mengasyikkan. Bisa jadi karena karakternya telah tumbuh menjadi pribadi yang dewasa dan bijaksana. Jika Sunrise bertutur terlalu lama dengan durasi 100 menit lebih, maka Sunset hanya berlangsung selama 80 menit saja. Lee Daniel, selaku sinematografer, berhasil menangkap sudut - sudut kota Paris dengan amat sangat baik. Kecantikan Paris semakin membuat Sunset menjadi terasa lebih romantis. Ahhh, ingin sekali pergi ke sana dan bertemu dengan wanita seperti Celine yang tidak hanya cantik, cerdas dan mandiri, namun juga pribadi yang menyenangkan. Dua jempol untuk Linklater dan Krizan yang sanggup membuat naskah penuh dialog yang cerdas serta tambahan dua jempol lagi bagi Linklater yang mampu membuatnya jauh dari kata membosankan. Kontribusi Hawke dan Delpy dalam penulisan skenario justru membuat Sunset lebih apik. Jika ada sekuel lebih bagus dari prekuelnya, maka Before Sunset adalah salah satunya.

Chemistry yang terjalin antara Hawke dan Delpy disini begitu luar biasa. Masing - masing juga melakoni karakternya dengan sangat bagus, hampir tak ada cela. Sepanjang film saya sama sekali lupa jika Jesse dan Celine adalah karakter fiksi, Hawke dan Delpy melebur dengan karakter yang mereka perankan. Mengagumkan. Barangkali karena di Sunset mereka juga menulis skenarionya sehingga mereka bisa membuat Jesse dan Celine terasa lebih hidup. Ya, saya memang sedikit berlebihan, namun saya memang terkesima dengan penampilan mereka. Auranya bersinar terang, utamanya Julie Delpy. Jarang ada sebuah film romantis dimana kedua pemerannya memiliki koneksi yang begitu kuat. Tak salah jika ada yang menyebut Before Sunrise dan Before Sunset sebagai salah satu film paling romantis yang pernah dibuat, karena memang seperti itulah kenyataannya.

Nilai :

Before Sunrise : 8/10 (Exceeds Expectations)

Before Sunset : 9/10 (Outstanding)

REVIEW : THE KING OF FIGHTERS


Setelah puluhan film adaptasi game berakhir dengan mengenaskan, masih ada saja produser dan rumah produksi yang mengucurkan dana dengan mudahnya untuk film jenis ini. Formula yang dianut tak jauh berbeda, tidak ada introspeksi dan usaha untuk memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan sineas - sineas terdahulu. Saat Uwe Boll rehat sejenak dari upayanya 'menghancurkan' perfilman Hollywood dengan terus membuat film adaptasi yang buruk, ternyata masih ada sutradara dari belahan dunia lainnya yang mencoba untuk meneruskan apa yang telah dimulai oleh Boll. Beri sambutan yang meriah buat Gordon Chan! *clapping*

Jalan cerita dari The King of Fighters sebetulnya amat simple, tapi entah mengapa terasa sulit dicerna ya ? Dalam 5 menit pertama kita langsung diajak untuk melihat pertarungan antara Mai Shiranui (Maggie Q) dengan seorang pria yang digarap ala kadarnya. Hati ini langsung ciut, badan terasa lemas dan mulai dipenuhi pikiran "kayaknya bakalan buruk nih." Belum lagi special effect-nya tak meyakinkan ditambah kostum yang tak keren, seperti asal jadi. Benar saja, setelah adegan ini kita digiring menuju adegan - adegan membosankan dengan dialog panjang tanpa makna. Hanya sekali diselingi pertarungan di sebuah galeri saat Rugal (Ray Park) berusaha mencuri sebuah cermin bertuah yang saat itu tengah dipajang di podium bersama sebilah pedang dan kalung. Petugas keamanan berhasil dilumpuhkan dengan mudah, sementara Mai dan Iori (Will Yun-Lee) tak mampu mengatasinya. Chizuru (Francoise Yip), salah satu petinggi di galeri tersebut, malah terluka cukup parah hingga perlu mendapat perawatan. Sebelum memasuki ambulance, Chizuru sempat berpesan ke Mai untuk menemui Syaisu (Hiro Kanagawa) yang merupakan satu - satunya harapan untuk mencegah tindakan jahat Rugal. Bukan perkara mudah melihat kondisi Syaisu yang memprihatinkan dan puasa bicara selama 10 tahun. Anak lelakinya, Kyo Kusanagi (Sean Faris), tak tahu menahu, malah merasa terganggu dengan kehadiran Mai.

Terry Bogard (David Leitch), seorang agen CIA, belakangan ikut bergabung bersama Mai dan Iori untuk menggagalkan rencana Rugal seraya meyakinkan Kyo yang kini menjadi tumpuan terakhir setelah Syaisu meninggal. Kyo masih ngotot dirinya tak tahu apapun soal pedang atau mengenai klan Kusanagi, sedangkan Terry malah tak memercayai keberadaan dimensi lain yang merupakan tempat berlangsungnya pertarungan. Rita Agustine dan rekannya berusaha keras membuat naskah The King of Fighters terlihat berbobot dengan meminimalisir adegan pertarungan dan memperbanyak porsi dramanya. Usaha yang patut dihargai, tapi penonton tentu lebih mengharapkan adegan bak bik buk yang mantap ketimbang drama panjang bertele - tele pembuat kantuk di film jenis ini. Terlebih apa yang dilakukan oleh tim penulis skenario justru hanya memperburuk kualitas filmnya itu sendiri. The King of Fighters bertutur dengan datar di sepanjang film. Tampilannya begitu mengenaskan, bujet $12 juta entah dialokasikan buat apa, menggaji pemainnya mungkin ? Malah ada satu adegan yang cukup bikin saya miris karena special effect yang begitu buruk. Ouch!


Para pemerannya juga tak membantu. Mereka bermain dengan sangat mengecewakan, tak ada chemistry dan sama sekali tak berhasil merasuki karakter yang mereka perankan. Cukup aneh mengingat fakta bahwa beberapa dari mereka telah memiliki jam terbang yang tinggi, namun kemampuan akting mereka disini tak ubahnya artis pendatang baru. Sepertinya kehadiran mereka disini bukan untuk berakting melainkan hanya untuk memamerkan tubuh dan kemampuan bertarung. Sean Faris, Maggie Q dan Francoise Yip bolehlah untuk membuat mata terasa lebih segar. Jika bosan dengan filmnya, cukup pandangi saja wajah rupawan mereka mungkin bisa membantu untuk membangkitkan mood, hehe. By the way, ada yang merasa familiar dengan wajah atau nama Francoise Yip ? Jika kalian mengikuti perkembangan film di tahun 90-an, maka nama ini tentu tak asing lagi. Yup, dia adalah bomb seks kala itu, tak kalah panasnya dengan Pheng Tan.

The King of Fighters berusaha hadir sedekat mungkin dengan game-nya. Adegan pertarungan dirancang tak jauh berbeda dengan versi game sehingga penonton dibuat seolah - olah sedang bermain game alih - alih menonton film. Sayangnya koreografi laga tak menjanjikan sesuatu yang baru, hanya pengulangan. Belum lagi alurnya datar dan sisi teknisnya begitu 'mengerikan'. Dengan segala kelemahannya, pede sekali The King of Fighters beredar di bioskop meskipun hanya di wilayah Asia. Menonton Street Fighter : The Legend of Chun-Li dan film buruk bikinan Uwe Boll untuk kedua kalinya rasanya masih jauh lebih mending ketimbang harus menghabiskan 92 menit hidup kalian yang berharga untuk menyaksikan film ini.

Nilai = 2/10 (Troll)

Kamis, 09 September 2010

BEST & WORST MOVIES OF SUMMER 2010


Musim panas 2010 di Amerika Serikat telah berakhir sejak beberapa hari yang lalu dan membawa cukup banyak kisah di dalamnya. Sudah menjadi tradisi di perfilman Hollywood untuk menjadikan musim panas sebagai momen untuk melempar film - film unggulan karena di waktu liburan panjang ini banyak masyarakat yang menghabiskan waktunya di luar untuk mencari udara segar dan hiburan maka dirasa tepat merilis film dengan unsur hiburan yang tinggi di waktu ini, terlihat dari hadirnya film besar di hampir setiap minggu sejak awal Mei hingga akhir Agustus. Tradisi ini memang sudah dimulai sejak tahun 1970-an, namun jika saya berpatokan sejak kapan musim panas dimulai dengan film aksi berbujet besar, mungkin sejak musim panas 1997 saat Breakdown dan The Fifth Element menyerbu bioskop.

Tapi saya tidak akan membahas mengenai sejarah Summer Movies, hanya ingin memberi penjelasan sekilas saja. Postingan kali ini akan membahas 5 Film terbaik dan terburuk sepanjang musim panas 2010. Belum terlalu terlambat kan ya ? apalagi tradisi summer movies di Indonesia baru saja dimulai (baca : Lebaran) hohoho. Perlu diingat bahwa penilaian ini berdasarkan apa yang saya lihat dan rasakan, jadi sangat mungkin terjadi pilihan saya akan sangat berbeda dengan penilaian kalian semua. Tak usah dibawa serius, postingan ini hanya sebagai have fun saja. Kebetulan saya memang lagi getol - getolnya bikin list semacam ini, jadi jangan kaget jika beberapa minggu ke depan saya akan kembali menyajikan list, tentunya dengan tema yang berbeda.

Menurut kalian, bagaimana Summer Movies tahun ini ? Bagi saya, meskipun sudah 'dibantu' beberapa film yang mencetak box office tinggi dan memiliki ide yahud, tahun ini tak lebih baik dari tahun lalu, cenderung mengalami penurunan malah. Ya, semakin lama summer movies serasa kehilangan gregetnya saat para produser mulai tamak dengan melempar film - film berbujet besar minim gizi. Kegilaan ini terus berlanjut dan berlanjut hingga mulai mencapai titik jenuh. Tercatat hanya segelintir film saja yang membuat saya puas lahir dan batin di musim panas kali ini, sisanya hanya lumayan bahkan malah ada yang membuat mual. Berbeda dengan saat menyusun list film terbaik 2009 atau saat saya iseng membuat daftar film musim panas paling berkesan tahun lalu, membuat top 5 untuk tahun ini terbilang mudah. Justru lebih sulit saat harus menyusun bottom 5 *tak perlu saya curhat lagi, entar malah saya yang dilempar batako hehe..*

Musim panas kali ini membawa rekor baru dalam penjualan tiket, menghadikan salah satu film paling jenius dekade ini, film animasi berjaya, daftar film adaptasi yang 'mengerikan bertambah, seorang produser kehilangan sentuhan magisnya, munculnya imej baru, nostalgia dengan tahun 80-an, perfilman Indonesia yang digempur film - film tak jelas hingga sutradara favorit yang memperburuk track record.

Inilah film - film musim panas favorit Cinetariz dan yang ingin Cinetariz timpuk pakai Hulk :

THUMBS UP

#1
Toy Story 3


Pixar mengakhiri franchise ini dengan amat sempurna. Siapapun yang tumbuh bersama Woody and the gank dan mencintai mereka, sukses dibuat beruraian air mata. Drama yang menyentuh, komedi yang segar dan petualangan yang seru dikombinasikan dengan sangat baik. Bisa jadi inilah film animasi terbaik yang pernah dibuat oleh Pixar. Excellente!

#2
Inception


Christopher Nolan membawa kita berpetualang menjelajah alam mimpi bersama Leonardo DiCaprio dan rekan satu timnya melalui sebuah film yang super jenius. Naskahnya brilian, akting pemainnya ciamik dan penggarapannya luar biasa. Meskipun penonton dibuat berpikir keras sepanjang film, namun unsur hiburannya tak diabaikan. Sutradara yang satu ini emang gendeng!

#3
Despicable Me


Kejutan yang sangat manis. Siapa yang menyangka jika Despicable Me sangatlah menghibur ? Dari awal hingga akhir dipenuhi adegan pengocok perut dan semuanya berhasil. 3D-nya juga sangat eye-popping, membuat film ini terasa lebih istimewa. Minion yang imut dan menggemaskan menjadi ikon film ini. Papoy!

#4
Salt


Kangen dengan film aksi spionase dari Jason Bourne dan James Bond terobati dengan hadirnya Evelyn Salt. Lupakan saja kisahnya yang sering tak masuk akal, Salt adalah hiburan yang seru dan menyenangkan. Angelina Jolie tampil apik disini. Sejak menit awal adrenalin penonton dipacu dengan aksi - aksi yang menegangkan. Mengasyikkan!

#5
Iron Man 2


Musim panas dibuka dengan manis oleh Iron Man 2 yang sarat akan adegan action yang menghibur. Lebih baik dari prekuelnya dengan porsi action dan komedi yang lebih banyak. Sangat menghibur. Bujet dipakai dengan maksimal. Robert Downey Jr juga makin klop dengan karakternya. Namun yang paling mencuri perhatian tentu Scarlett Johansson yang hot!

*Honorary Award
Minggu Pagi di Victoria Park


Film Indonesia dengan kualitas yang sangat apik namun ironisnya justru tersingkirkan dan dilupakan. Hingga kini hanya 24,000 orang saja yang telah menyaksikannya. Secara kualitas film ini jelas jauh berada di atas rata - rata film Indonesia yang tayang bersamaan. Naskah, akting dan penggarapannya memukau. Titi Sjuman dan Lola Amaria dahsyat!

THUMBS DOWN

#1
The Last Airbender


Euhhh, saya menangis membayangkan uang makan selama sehari melayang dengan percuma untuk film seburuk ini. Shyamalan tak bisa diampuni lagi. Sisi positif film ini hanyalah music score yang ditangani ahlinya, James Newton Howard. Sisanya tak usah ditanya. Film yang sangat buruk. Just wasting your time, money and energy.

#2
Vampires Suck


Dari judulnya pun sudah bisa ditebak bagaimana kualitasnya : Suck! Film komedi parodi yang tidak lucu sama sekali, garing dan maksa. Twilight dan New Moon pun masih jauh lebih lucu. Jason Friedberg dan Aaron Seltzer memang paling bisa dalam membikin film buruk. Film ini tak berbeda dengan jauh dengan Disaster Movie.

#3
Cats & Dogs : The Revenge of Kitty Galore


Prekuelnya dirilis 9 tahun yang lalu yang meskipun sukses tapi mudah dilupakan. Masih adakah yang ingat dengan film Cats & Dogs ? Kalaupun tak, bukan masalah. Film ini jelas dirancang buat anak kecil melihat kisahnya yang begitu kekanakan. Humornya tak efektif. Special fx biasa saja. Tapi yang terburuk adalah 3D-nya yang sama sekali tak berasa. Duh!

#4
Killers


Berpotensi menjadi film romcom yang menarik jika naskahnya digarap lebih serius. Chemistry antara Heigl dan Kutcher sudah pas sebenarnya, tapi naskahnya kacau balau. Diawali dengan manis, namun pertengahan film segalanya berantakan, menjadi sangat konyol dan serba tak jelas. Endingnya juga sangat mengesalkan.

#5
Prince of Persia : The Sands of Time


Jerry Bruckheimer mulai tak bertenaga. Bahkan adaptasi video game di tangannya pun masih tak menghibur. Segalanya serba salah disini dari chemistry yang garing, akting kaku, action tak seru hingga plot setipis kertas yang predictable. Tak menghibur sama sekali, malah cenderung membosankan dan menyiksa. Gemma Arterton makin lama jadi makin menyebalkan saja.

Itulah pilihan Cinetariz, bagaimana dengan kalian ?


Minggu, 05 September 2010

REVIEW : PRIVATE EYE


Selain horror, genre misteri pembunuhan dan thriller juga sangat diminati oleh publik Korea Selatan bahkan untuk saat ini pamornya lebih tinggi ketimbang horror terbukti dengan raihan jumlah penonton yang lebih banyak. Produser tentu tak ingin kehilangan momentum, tak heran jika genre ini begitu mudah ditemui tiap tahunnya. Jika dulu hanya horror yang meramaikan musim panas, maka kali ini misteri dan thriller turut serta dalam persaingan. Hebatnya, para sineas tak mengabaikan mutu meski hampir setiap bulan genre ini muncul di pasaran. Sekalipun belum ada yang menandingi mutu Memories of Murder, Oldboy, Voice of Murderer, The Chaser hingga Seven Days, tak ada film genre ini yang terbilang buruk, paling mentok ya lumayan lah. Sineas debutan, Park Dae-min, mencoba peruntungannya di jalur ini dengan membesut Private Eye.

Mencoba tampil beda dengan mengalihkan setting waktu dari masa kini menuju tahun 1910, saat Jepang menguasai Korea, Private Eye justru bertutur lebih riang. Jang Kwang-su (Ryu Deok-hwan), seorang calon dokter, menemukan sesosok mayat saat melewati hutan. Bukannya dilaporkan ke pihak berwajib, Kwang-su justru menyimpan mayat tersebut untuk dibuatnya berlatih membedah. Masalah mulai muncul saat Kwang-su kemudian mengetahui bahwa mayat tersebut adalah putra dari seseorang paling berkuasa di Korea yang menghilang. Dicekam rasa takut, Kwang-su menyewa seorang detektif, Hong Jin-ho (Hwang Jung-min), untuk mencari sang pembunuh. Bukan perkara yang mudah terlebih kasus pembunuhan ini rupanya berkaitan erat dengan rahasia yang disimpan oleh masyarakat kalangan atas di Korea kala itu. Belum juga bukti kuat ditemukan, pembunuhan lain terjadi. Seperti halnya pembunuhan pertama, sang korban adalah orang penting di Korea.


Park Dae-min berhasil melaksanakan tugas pertamanya sebagai sutradara dengan amat baik. Sebagai sebuah misteri pembunuhan, Private Eye tak berbelit - belit menjabarkan kisahnya, malah dibuat cenderung santai. Penggambaran tahun 1910 di Korea juga terbilang cukup detail dan apik. Lihat saja dari kostum yang dipakai para pemerannya yang merupakan gabungan antara gaya Korea, Jepang dan Barat, serta desain bangunannya. Korea memang pakarnya dalam hal ini, tak usah diragukan lagi. Dari segi teknis memang tak ada masalah berarti, begitu pula dengan naskahnya. Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, film berjudul asli Geurimja sarin ini menolak untuk bertutur dengan berat seperti halnya film misteri pembunuhan kebanyakan, sebaliknya Park Dae-min malah membuatnya dengan ringan dan sedikit 'ceria' walaupun nuansa kelamnya tetap dipertahankan. Twist pun dianggap perlu dimasukkan mengingat identitas sang pembunuh sudah terbongkar sejak pertengahan film. Cukup efektif, di saat saya mengira film telah selesai, ternyata masih ada kejutan lain yang disodorkan. Sempat hadir pula saat - saat yang membosankan, tapi untungnya Park Dae-min sigap mengatasinya sehingga film kembali enak untuk diikuti.

Chemistry antara Ryu Deok-hwan dan Hwang Jung-min terjalin dengan baik. Masing - masing memainkan karakternya dengan sangat baik. Sekilas karakter yang mereka perankan mengingatkan saya kepada Sherlock Holmes dan Watson. Lebih kepada kesamaan profesi sementara untuk karakteristik sedikit berbeda. Jin-ho adalah seorang detektif dengan perilaku dan cara berpikir yang tidak biasa sementara Kwang-su adalah dokter muda yang polos dan sedikit naif, agak mirip bukan ? Bisa jadi Park Dae-min dan rekannya dalam tim penulisan skenario terinspirasi dari karakter rekaan Arthur Conan Doyle tersebut. Perpaduan dua karakteristik yang unik inilah yang membuat Private Eye menjadi lebih riang, seperti halnya Sherlock Holmes versi film yang meskipun nuanasa misterinya cukup pekat namun masih mampu mengundang tawa renyah dari penonton. Park Dae-min mencoba menerapkannya di film debutnya ini.

Apabila kalian ingin mencoba menonton film misteri pembunuhan yang tidak begitu berat, maka Private Eye adalah jawabannya. Memang sensasi yang dirasakan tak seasyik saat menonton Voice of Murderer atau The Chaser, tapi bolehlah sebagai hiburan. Private Eye mungkin lebih cocok bagi penonton yang enggan untuk berpikir terlalu keras serta mengharapkan misteri yang tidak begitu mencekam. Bagi yang menginginkan tontonan sejenis film - film yang telah saya sebutkan di atas akan dibuat kecewa olehnya apalagi pengungkapan identitas sang pembunuh terkesan dibuat cari gampangnya saja. Kecuali jika kalian tak berekspektasi berlebihan kepada film ini, maka akan dibuat terhibur olehnya. Menurut saya, Private Eye cukup berhasil sebagai sebuah film misteri pembunuhan. Ada kalanya penonton dibuat tegang, tertawa hingga tercekat.

Nilai = 7/10 (Acceptable)

Kamis, 02 September 2010

REVIEW : THE SORCERER'S APPRENTICE


Ada satu hal yang langsung menarik perhatian sebelum kita sempat menilik sinopsis dari film ini, wig Nicolas Cage. Bentuknya memang unik dan lucu, namun saat sudah menyaksikan filmnya terasa begitu pas di kepala Cage dan serasi saat dipadupadankan dengan kostumnya. Ahahaha, kenapa saya malah membahas fashion dari karakter penyihir bernama Balthazar Blake ini, alih - alih apa yang tersajikan dalam The Sorcerer's Apprentice. Namun tenang saja, saya akan tetap fokus untuk membahas film ini. Sedikit intermezzo di awal ulasan rasanya cukup sebagai penyegaran, kali ini saya akan membawa kalian mengikuti petualangan penuh magis yang merupakan karya teranyar dari produser ahli pencetak blockbuster, Jerry Bruckheimer. Setelah kegagalan dalam G-Force dan Prince of Persia, akankah dia mengulangi kesalahan yang sama ?

Kisah The Sorcerer's Apprentice sebenarnya merupakan perpanjangan dari salah satu segmen di film animasi lawas bikinan Disney yang legendaris, Fantasia, yang mengisahkan sang maskot Disney, Mickey Mouse, berjuang untuk mengontrol kekuatan sihir yang tak terkendali saat peralatan rumah tangga mulai hidup. Bagi para pecinta film animasi dan Disney, segmen ini sangat populer. Masih ingat dengan adegan Mickey melawan sapu dan kain pel hidup ? Itu juga bisa ditemukan disini. Kisahnya tak jauh berbeda, hanya mengalami pengembangan disana sini agar film terasa lebih hidup. Saat Merlin tewas terbunuh, dia memberi amanat kepada salah satu muridnya, Balthazar Blake, untuk mencari seorang penerus dan diberikannya sebuah cincin naga kepada Balthazar. Cincin inilah yang nantinya akan memimpin Balthazar kepada calon penerus Merlin. Cerita kemudian berkembang menjadi klise saat diketahui ternyata pemuda yang memiliki chemistry dengan si cincin adalah seorang nerd bernama Dave Stutler (Jay Baruchel). Agar kisah makin 'menarik dan rumit', ditambahkanlah seorang gadis yang menjadi pujaan hati David sejak kecil, Becky (Teresa Palmer).

Singkat cerita, Balthazar harus memberi sejumlah pelatihan yang berat untuk mempersiapkan Dave dalam menghadapi penyihir jahat, Maxim Horvath (Alfred Molina), yang berencana untuk menghancurkan dunia. Bukan perkara yang mudah, meski Dave sebenarnya mewarisi kekuatan Merlin, dia bukanlah tipikal murid yang baik, dia hanya ingin hidup normal. Bahkan Dave seringkali tak fokus karena hadirnya Becky. Dari sini tentu penonton sudah bisa menebak The Sorcerer's Apprentice hendak dibawa kemana. Secara keseluruhan, tak ada yang istimewa dari film ini. Jerry Bruckheimer sepertinya memang telah kehilangan sentuhan magisnya setelah beberapa film terakhir gagal menghadirkan hiburan yang menarik bagi penonton seperti di masa kejayaannya dulu. The Sorcerer's Apprentice mungkin akan terasa garing dan kurang bergigi bagi sebagian orang, walau saya cukup yakin penonton cilik dan remaja akan dibuat terhibur dengan sajian special effect yang cukup menarik. Bruckheimer masih paham bagaimana memaksimalkan bujet yang ada sehingga adegan megah dan canggih masih banyak ditemui.


Lupakan saja naskahnya, dibidani oleh trio penulis naskah tak membantu sama sekali. Film semacam ini memang cenderung kita abaikan naskahnya, selama menghibur tak masalah. Namun seandainya naskah digarap lebih apik, The Sorcerer's Apprentice bukan tidak mungkin akan menjadi menarik dan lebih bernyawa. Penambahan sub plot Dave yang mengejar cintanya cukup konyol sebenarnya, namun berhasil diakali dengan pemakaian lagu yang tepat sebagai latar belakang sehingga manisnya sedikit terasa. Mencari adegan yang lucu tentu saja ada mengingat ini adalah film keluarga. Bagaimana dengan aktingnya ? Ah, Alfred Molina bermain bagus seperti biasa. Dia membuat Maxim terasa begitu hidup, menyebalkan dan terlihat sangat keji. Ekspresinya pas dan tak berlebihan. Nicolas Cage biasa saja, tak mengecewakan, berakting pas sesuai dengan porsinya. Sayangnya sang bintang utama, Jay Baruchel, justru membuat gemas penonton dengan aktingnya yang terlalu over. Tak ada kharisma, berlebihan dan membuat saya ingin melontarkan mantra "Avada Kedavra" setiap dia muncul di layar (Sialnya, dia muncul di hampir setiap scene!). Sementara Teresa Palmer dan Monica Bellucci lumayan sebagai penyedap mata.

Sebagai tontonan di kala liburan panjang, The Sorcerer's Apprentice memang lumayan menghibur, setidaknya masih lebih asyik ketimbang The Last Airbender yang serba tidak jelas. Bujet dimanfaatkan dengan maksimal oleh Bruckheimer sehingga efek special canggih dan indah bertebaran di hampir sepanjang film. Beberapa adegan juga cukup menarik, utamanya saat Dave harus menghadapi peralatan rumah tangga yang 'memberontak' sehingga menyebabkan kekacauan yang luar biasa. Kekurangan lebih kepada naskahnya yang terlalu dangkal dan diolah di tangan yang salah serta akting Jay Baruchel yang sangat mengganggu. Selebihnya, tak ada masalah yang begitu berarti. Meskipun tak maksimal, Jerry Bruckheimer sanggup menghadirkan hiburan yang cukup menyenangkan.

Nilai = 6/10 (Acceptable)