Sabtu, 25 September 2010

REVIEW : DARAH GARUDA


Darah Garuda adalah bagian kedua dari rangkaian film Trilogi Merdeka sekaligus merupakan kelanjutan dari Merah Putih yang dirilis setahun silam. Proyek ini bisa dibilang ambisius terlebih jika kita menilik dari jumlah uang yang dikucurkan demi mewujudkan sebuah proyek yang digadang - gadang menjadi The Lord of the Rings-nya Indonesia. Rp 60 Miliar bukan jumlah yang kecil untuk ukuran film Indonesia apalagi jika Production House yang menangani relatif tidak terkenal. Bayangan akan film perang yang megah pun serta merta melintas di benak setiap penonton jika mengetahui fakta ini. Namun akankah ini menjadi kenyataan atau malah hanya menjadi semacam angan - angan semata ? Bagi yang sudah menyaksikan Merah Putih tentu mudah untuk menjawabnya dan sejauh yang saya amati, pihak yang pro dan kontra terhadap Trilogi Merdeka terbagi cukup merata.

Jajaran kru dan pemain masih diperkuat oleh orang - orang yang sama dari Merah Putih, hanya mendapat tambahan beberapa nama baru saja. Penyutradaraan masih dipegang oleh Yadi Sugandi yang kali ini mendapat bantuan dari Conor Allyn, sementara penulisan skenario juga tetap ditangani duo bule, Conor Allyn dan Rob Allyn. Jika memperhatikan susunan kru inti sebenarnya mampu membuat kita mengerutkan dahi. Bagaimana tidak ? Alih - alih menyerahkannya pada sutradara yang lebih berpengalaman, film kolosal ini malah ditangani seorang sinematografer handal yang kemampuannya dalam mengarahkan film belum sepenuhnya teruji. Ironisnya, meski tujuan film ini adalah untuk mengobarkan semangat nasionalisme generasi masa kini yang berangsur padam, penulisan skenario justru diserahkan kepada warga asing. Rasanya masih banyak sekali penulis skenario berbakat di negeri ini.

Melanjutkan kisah pertamanya yang berakhir menggantung, Darah Garuda memulai kisahnya dengan cukup meyakinkan saat empat sekawan yang baru saja lulus dari sekolah tentara, Amir (Lukman Sardi), Dayan (Teuku Rifnu Wikana), Marius (Darius Sinathrya) dan Tomas (Donny Alamsyah), berusaha menyelamatkan Melati (Astri Nurdin), Senja (Rahayu Sarawati) dan seorang wanita penghibur bernama Lastri (Atiqah Hasiholan) dari tangan Belanda yang keji. Setelah misi ini berhasil, mereka kemudian melanjutkan perjalanan dan bertemu dengan pasukan Jenderal Sudirman. Mereka mendapat tugas rahasia untuk menghancurkan pangkalan udara milik Belanda. Disinilah keadaan mulai menjadi semakin kompleks tatkala muncul sikap saling tidak percaya diantara sesama pribumi hanya karena beda suku dan agama hingga hadirnya seorang pengkhianat diantara mereka.
Harus saya akui bahwa Darah Garuda memang lebih menyenangkan untuk ditonton ketimbang Merah Putih. Hal ini lebih disebabkan karena porsi adegan action dua kali lebih banyak dari apa yang telah ditampilkan oleh prekuelnya yang cenderung garing. Desingan peluru dan ledakan berulang kali kita dengar disini, utamanya di 30 menit terakhir. Tidak terlampau wah memang, tapi cukup menghibur untuk ditonton. Meski begitu, tetap saja jangan mengharapkan Darah Garuda akan memompa jantung kalian sepanjang film karena selain adegan action yang memekakkan telinga nan seru di detik - detik terakhir tadi, tak ada lagi yang bisa ditemukan disini. Opening cukup menggebrak namun setelah itu dilanjutkan dengan drama panjang membosankan yang kali ini disisipi romansa yang 'awkward' dan humor yang sangat garing. Kriuk. Untunglah musik indah dari Thorsie Argeswara mampu membuat hati ini terasa lebih tenang.

Jika ada yang harus disalahkan, maka saya akan mengajukan Conor Allyn dan Rob Allyn selaku penulis skenario sebagai terdakwa utama. Dialog yang mereka tulis sungguh membuat saya tertawa terpingkal - pingkal hingga gegulingan di depan layar bioskop, sangat aneh. Masalahnya adalah skrip asli Darah Garuda (dan juga Merah Putih, tentunya) awalnya berbahasa Inggris, tentu rasanya menjadi berbeda saat harus diterjemahkan ke dalam bahasa kita. Serasa tidak sedang menonton film, melainkan menyaksikan pertunjukkan di sebuah sanggar. Dialognya baku. Parahnya, intonasi yang diucapkan oleh para pemainnya juga tidak enak didengar, membuat saya menjadi semakin yakin ini adalah hasil adaptasi dari buku teks Sejarah *berbusa* Lanjut ke akting para pemainnya. Dari seabrek bintang ternama yang muncul berdesak - desakkan disini, hanya Teuku Rifku Wikana, Atiqah Hasiholan dan Ario Bayu yang patut mendapat perhatian lebih. Hasiholan bermain apik dan itu tidak mengejutkan karena filmnya yang sangat teatrikal, dia banget. Ario Bayu juga konsisten. Wikana adalah satu - satunya pemain lama yang berakting dengan baik, terutama saat adegan Dayan disiksa oleh Van Gaartner (Rudy Wowor) dan anak buahnya, begitu meyakinkan.

Sekalipun Darah Garuda lebih baik dari Merah Putih, saya masih belum bisa mengategorikannya sebagai film bagus. Biasa saja. Masalah yang dihadapi oleh Darah Garuda dan Sang Pencerah cenderung sama, dialog. Hanya saja Darah Garuda mengalami masalah yang lebih serius karena dialognya sama sekali tidak enak didengar dan membosankan. Adegan action yang diharapkan oleh penonton pun baru dimunculkan di ending. Bisa - bisa mereka yang tidak sabaran atau yang sudah dibuat mati kebosanan berbaris dengan rapi menuju pintu keluar untuk mencari udara segar. Secara penggarapan memang jauh lebih bagus ketimbang puluhan film kancut tak layak tayang yang akhir - akhir ini, namun Darah Garuda tetap tidak meninggalkan kesan apapun. Semoga saja Hati Merdeka, jilid pamungkas Trilogi Merdeka, mampu menambal lubang - lubang dari dua film pertamanya.

Nilai = 5/10 (Poor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar