Sabtu, 18 September 2010

REVIEW : THE KING OF FIGHTERS


Setelah puluhan film adaptasi game berakhir dengan mengenaskan, masih ada saja produser dan rumah produksi yang mengucurkan dana dengan mudahnya untuk film jenis ini. Formula yang dianut tak jauh berbeda, tidak ada introspeksi dan usaha untuk memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan sineas - sineas terdahulu. Saat Uwe Boll rehat sejenak dari upayanya 'menghancurkan' perfilman Hollywood dengan terus membuat film adaptasi yang buruk, ternyata masih ada sutradara dari belahan dunia lainnya yang mencoba untuk meneruskan apa yang telah dimulai oleh Boll. Beri sambutan yang meriah buat Gordon Chan! *clapping*

Jalan cerita dari The King of Fighters sebetulnya amat simple, tapi entah mengapa terasa sulit dicerna ya ? Dalam 5 menit pertama kita langsung diajak untuk melihat pertarungan antara Mai Shiranui (Maggie Q) dengan seorang pria yang digarap ala kadarnya. Hati ini langsung ciut, badan terasa lemas dan mulai dipenuhi pikiran "kayaknya bakalan buruk nih." Belum lagi special effect-nya tak meyakinkan ditambah kostum yang tak keren, seperti asal jadi. Benar saja, setelah adegan ini kita digiring menuju adegan - adegan membosankan dengan dialog panjang tanpa makna. Hanya sekali diselingi pertarungan di sebuah galeri saat Rugal (Ray Park) berusaha mencuri sebuah cermin bertuah yang saat itu tengah dipajang di podium bersama sebilah pedang dan kalung. Petugas keamanan berhasil dilumpuhkan dengan mudah, sementara Mai dan Iori (Will Yun-Lee) tak mampu mengatasinya. Chizuru (Francoise Yip), salah satu petinggi di galeri tersebut, malah terluka cukup parah hingga perlu mendapat perawatan. Sebelum memasuki ambulance, Chizuru sempat berpesan ke Mai untuk menemui Syaisu (Hiro Kanagawa) yang merupakan satu - satunya harapan untuk mencegah tindakan jahat Rugal. Bukan perkara mudah melihat kondisi Syaisu yang memprihatinkan dan puasa bicara selama 10 tahun. Anak lelakinya, Kyo Kusanagi (Sean Faris), tak tahu menahu, malah merasa terganggu dengan kehadiran Mai.

Terry Bogard (David Leitch), seorang agen CIA, belakangan ikut bergabung bersama Mai dan Iori untuk menggagalkan rencana Rugal seraya meyakinkan Kyo yang kini menjadi tumpuan terakhir setelah Syaisu meninggal. Kyo masih ngotot dirinya tak tahu apapun soal pedang atau mengenai klan Kusanagi, sedangkan Terry malah tak memercayai keberadaan dimensi lain yang merupakan tempat berlangsungnya pertarungan. Rita Agustine dan rekannya berusaha keras membuat naskah The King of Fighters terlihat berbobot dengan meminimalisir adegan pertarungan dan memperbanyak porsi dramanya. Usaha yang patut dihargai, tapi penonton tentu lebih mengharapkan adegan bak bik buk yang mantap ketimbang drama panjang bertele - tele pembuat kantuk di film jenis ini. Terlebih apa yang dilakukan oleh tim penulis skenario justru hanya memperburuk kualitas filmnya itu sendiri. The King of Fighters bertutur dengan datar di sepanjang film. Tampilannya begitu mengenaskan, bujet $12 juta entah dialokasikan buat apa, menggaji pemainnya mungkin ? Malah ada satu adegan yang cukup bikin saya miris karena special effect yang begitu buruk. Ouch!


Para pemerannya juga tak membantu. Mereka bermain dengan sangat mengecewakan, tak ada chemistry dan sama sekali tak berhasil merasuki karakter yang mereka perankan. Cukup aneh mengingat fakta bahwa beberapa dari mereka telah memiliki jam terbang yang tinggi, namun kemampuan akting mereka disini tak ubahnya artis pendatang baru. Sepertinya kehadiran mereka disini bukan untuk berakting melainkan hanya untuk memamerkan tubuh dan kemampuan bertarung. Sean Faris, Maggie Q dan Francoise Yip bolehlah untuk membuat mata terasa lebih segar. Jika bosan dengan filmnya, cukup pandangi saja wajah rupawan mereka mungkin bisa membantu untuk membangkitkan mood, hehe. By the way, ada yang merasa familiar dengan wajah atau nama Francoise Yip ? Jika kalian mengikuti perkembangan film di tahun 90-an, maka nama ini tentu tak asing lagi. Yup, dia adalah bomb seks kala itu, tak kalah panasnya dengan Pheng Tan.

The King of Fighters berusaha hadir sedekat mungkin dengan game-nya. Adegan pertarungan dirancang tak jauh berbeda dengan versi game sehingga penonton dibuat seolah - olah sedang bermain game alih - alih menonton film. Sayangnya koreografi laga tak menjanjikan sesuatu yang baru, hanya pengulangan. Belum lagi alurnya datar dan sisi teknisnya begitu 'mengerikan'. Dengan segala kelemahannya, pede sekali The King of Fighters beredar di bioskop meskipun hanya di wilayah Asia. Menonton Street Fighter : The Legend of Chun-Li dan film buruk bikinan Uwe Boll untuk kedua kalinya rasanya masih jauh lebih mending ketimbang harus menghabiskan 92 menit hidup kalian yang berharga untuk menyaksikan film ini.

Nilai = 2/10 (Troll)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar