Jumat, 24 September 2010

REVIEW : SANG PENCERAH


Inilah proyek impian Hanung Bramantyo yang sudah digembar - gemborkan sejak lama. Hanung memang memiliki impian ingin membuat sebuah film yang didasarkan pada kehidupan tokoh pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahan. Demi merealisasikannya, tak tanggung - tanggung dana sebesar Rp 12 Miliar pun dikucurkan demi menghasilkan sebuah film biopik yang semirip mungkin dengan kisah aslinya. Beberapa nama besar di dunia perfilman Indonesia diajaknya turut serta seperti Lukman Sardi, Slamet Rahardjo, Zakia Adya Mecca, Yatty Surachman, Pangky Suwito, Ikranegara, Sujiwo Tejo serta penampilan perdana dari Giring Nidji. Sangat menjanjikan. Setelah cukup mengecewakan saat mengarahkan Ayat - Ayat Cinta dan Perempuan Berkalung Sorban, akankah Hanung Bramantyo mendapatkan kembali kekuatannya dalam Sang Pencerah seperti saat dia membesut Catatan Akhir Sekolah ?

Bersetting di akhir tahun 1800-an di Jogjakarta, film ini membuka kisahnya dengan memperlihatkan bagaimana kondisi masyarakat penganut Islam pada masa itu yang mempercayai tahayul dan menggunakan sesajen. Muhammad Darwis (Ihsan Tarore), KH Ahmad Dahlan muda, yang memiliki pemikiran yang sangat kritis, resah melihat apa yang terjadi dengan masyarakat. Sesekali dia usil mengerjai masyarakat dengan mencuri sajen dan membagikannya kepada mereka yang lebih membutuhkan. Untuk lebih mendalami agama Islam, Darwis memutuskan untuk meninggalkan Kauman dan pergi ke Mekkah. Tidak hanya untuk berhaji, namun sekalian untuk menuntut ilmu. Sepulangnya dari Mekkah, Darwis mengubah namanya menjadi Ahmad Dahlan (Lukman Sardi), menikah dengan Siti Walidah (Zaskia Adya Mecca) dan mendirikan Langgar Kidoel. Dahlan berusaha merubah pemikiran mayoritas masyarakat dan para Kyai pada kala itu yang cenderung kolot dan menganggap semua yang berhubungan dengan Belanda adalah kafir. Permasalahan yang sesungguhnya mulai timbul saat Dahlan mendapati arah kiblat di Masjid Gede ternyata selama ini salah. Para Kyai tentu tak begitu saja menerima perkataan Dahlan, malahan mereka cenderung menentang Dahlan dengan keras dan menganggap bahwa pola pikir Dahlan sudah tidak beres. Julukan Kyai Kafir pun disematkan kepadanya. Warga di Kauman yang menentangnya berbondong - bondong mendatangi Langgar Kidoel dan menghancurkannya seraya melantangkan seruan, "Allahu Akbar!"

Film biopik bikinan dalam negeri bisa dihitung jumlahnya dengan jari. Bahkan untuk periode 2000 hingga 2010 tercatat hanya ada tiga judul film yang kisahnya didasarkan pada kehidupan seorang tokoh ; Marsinah, Gie dan Sang Pencerah. Obama Anak Menteng tak perlu dihitung karena keakuratan kisahnya cenderung dipertanyakan, sepertinya hanya ingin menjual nama Obama semata. Para sineas dan produser di Indonesia malas membikin film biopik karena selain susah dan butuh penelitian yang dalam, ongkos produksinya pun tinggi serta belum tentu balik modal. Hanya sineas - sineas dengan idealisme tinggi saja yang berani menjajal genre ini. Hanung Bramantyo yang mengidolakan sosok KH Ahmad Dahlan mencoba menentang arus dengan membesut film biopik. Untuk menunjukkan keseriusannya, Hanung menulis sendiri skenarionya dan mengerjakan film ini dengan sangat teliti. Hasilnya memang patut diacungi jempol. Bujet yang sedemikian besar dimanfaatkan Hanung dengan amat baik, Sang Pencerah unggul di sisi teknis. Kostum, tata rias hingga tata artistik begitu detail, mendekati sempurna. Sinematografi yang ditangani oleh Faozan Rizal sangat mengesankan, banyak gambar - gambar cantik yang terekam dan nuansa Jogja tahun 1800-an terasa sekali. Usaha Hanung untuk membangun kembali Jogjakarta tempo dulu patut dihargai sekalipun hasilnya ternyata cukup menggelikan.

Ya, Hanung terlalu sibuk observasi tentang kehidupan Dahlan sehingga melupakan observasi tentang kehidupan masyarakat Jawa. Selain setting tempat yang agak 'maksa', penggunaan bahasa juga merupakan salah satu yang saya soroti secara mendalam. Berulang kali bahasa Jawa yang digunakan disini salah kaprah, entah dari pengucapan atau pemakaian dalam bentuk kalimat. Mengingat Hanung berasal dari Jawa, tentu hal ini sangat aneh. Bisa dimaklumi jika bahasa Jawa dan Indonesia digunakan secara bergantian, namun tidak saat dicampur adukkan. Telinga ini geli sekali rasanya. Ratusan penonton di sekeliling saya spontan tertawa terbahak - bahak menyadari kesalahan ini. Saat adegan santai dan jenaka sih wajar, tapi bagaimana jika ini juga terjadi saat Hanung bermaksud menjadikan adegan tersebut serius ? Padahal saya berharap Hanung meniru langkah Mel Gibson saat menangani The Passion of the Christ atau minimal Lola Amaria di Minggu Pagi Victoria Park. Disinilah kelemahan Sang Pencerah dan bagi saya, ini cukup fatal.

Banyak yang mengatakan Sang Pencerah bertutur secara objektif, merangkul semua kalangan, namun benarkah itu ? Di satu sisi, benar. Namun di sisi lain, tidak. Hanung memang berusaha menghadirkan Sang Pencerah seuniversal mungkin sehingga penonton non-Muslim pun bisa menikmatinya. Saya sering menemukan dialog - dialog yang menyindir beberapa golongan, terkadang itu begitu halus sehingga hampir tak disadari hingga yang begitu frontal. Tak perlu saya sebutkan di bagian mana, namun yang jelas Sang Pencerah sempat menjadi perbincangan rekan - rekan mahasiswa dan pers perihal dialog - dialog ini. Jujur, menyinggung perasaan. Perlukah Hanung melakukan hal ini ? Jika Hanung bermaksud membuat Sang Pencerah agar bisa diterima semua kalangan, tak terkecuali, rasanya dialog seperti itu tak perlu disertakan. Tidak hanya dialog, perilaku para Kyai serta pemikirannya yang kadang terlalu kolot rasanya ditampilkan terlalu berlebihan. Beberapa kali saya dan rekan mengerutkan dahi saat menyaksikannya. Setiap Muslim yang memahami ajarannya dengan baik rasanya sudah pasti mengetahuinya. Sayang sekali, Hanung...

Akting dari para pemainnya adalah poin plus dari Sang Pencerah selain sisi teknis. Pemilihan Lukman Sardi sebagai Ahmad Dahlan dirasa sangatlah tepat. Sulit membayangkan tokoh ini dibawakan oleh aktor lain. Kharisma Dahlan bersinar di tangan Lukman. Aktor serba bisa ini membawakan perannya seakan tanpa beban dan begitu meyakinkan seakan Lukman Sardi telah mengenal baik Ahmad Dahlan. Barisan pendukungnya pun berakting tak kalah memukau. Ihsan Tarore dan Giring Nidji berhasil menampar siapapun yang meragukan kualitas akting mereka. Saat bermain di Mengaku Rasul, Ihsan memang masih tampak 'hijau' dan kaku, namun disini dia menunjukkan peningkatan yang cukup pesat. Akting Giring membuat saya lupa kalau dia adalah vokalis dari sebuah band ternama di Indonesia. Malu untuk mengakui, namun saya baru menyadari kehadiran Giring di penghujung film. Tak heran jika sepanjang film saya bingung mencari keberadaannya. Haha.. Para pemain muda bermain bagus, sementara para pemain senior berakting dengan cemerlang. Tak usah tanyakan bagaimana kualitas Slamet Rahardjo, Ikranegara, Yatty Surachman hingga Agus Kuncoro berlakon. Yang sungguh disayangkan adalah Zaskia Adya Mecca yang terkesan tidak total dengan perannya. Karakternya penting, namun dia menjadikannya seolah - olah hanya figuran. Porsi akting kecil tak serta merta menjadikan alasan dia tak bisa berakting maksimal. Sudah banyak artis di dunia yang melenggang di acara penghargaan sekalipun hanya tampil beberapa menit saja. Yang saya ingat darinya hanyalah senyuman dan tangisan, tak lebih dari itu. Bahkan kesan Jawa sama sekali tak ada. Seriuskah dia ? Medhok Jawanya para pemeran di sinetron Inayah masih jauh lebih bagus ketimbang dirinya. Nada bicaranya membuat siapapun yang paham bahasa Jawa mendengus kesal. Sangat Jakarta dan terlalu modern.

Sebagai pecinta film biopik, saya memang mengharap lebih terhadap film ini, terutama soal kedetailan, sehingga maaf sekali jika kalian tidak setuju dengan penilaian saya. Akan tetapi secara keseluruhan, Sang Pencerah adalah salah satu film lokal yang sayang sekali untuk dilewatkan. Meski masih banyak kekurangan, namun Hanung mengemasnya dengan cukup apik. Porsi drama dan komedinya berimbang sehingga penonton tak akan bosan dibuatnya, terlebih humornya lumayan menyegarkan. Bukan yang terbaik dari Hanung Bramantyo, tapi Sang Pencerah adalah film lokal terbaik tahun ini setelah Minggu Pagi di Victoria Park dan Hari Untuk Amanda.

Nilai = 7/10 (Acceptable)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar