Minggu, 26 September 2010

REVIEW : RESIDENT EVIL : AFTERLIFE


Seorang gadis Jepang (penampilan khusus dari Mika Nakashima) berdiri membisu di tengah guyuran hujan di Shibuya, Tokyo. Tak ada seorang pun yang menghiraukannya, semua sibuk mengurusi diri sendiri yang kepayahan karena hujan. Si gadis yang sedari tadi terus menunduk perlahan mulai mengangkat kepalanya tatkala dia merasa seorang pejalan kaki memperhatikannya. Kontak mata pun tak terhindarkan. Tanpa diduga, si gadis langsung menyerang pejalan kaki tersebut dan menghabisinya tanpa ampun. Kamera bergerak naik dengan cepat memperlihatkan listrik di kota Tokyo yang berangsur - angsur mulai padam, kegelapan total. Menandakan bahwa Tokyo telah berhasil dilumpuhkan. Tak ada lagi manusia hidup yang tersisa, hanya ada mayat hidup yang buas.

Belum sempat penonton bernafas dan berhenti terkejut, Paul W.S. Anderson langsung menggiring penontonnya ke adegan tegang selanjutnya saat Alice (Milla Jovovich) menyatroni kantor Umbrella Corporation di Jepang. Tidak hanya ada satu Alice saja kali ini, tapi ada belasan. Tentu saja semuanya adalah hasil kloningan. Lantas dimana Alice yang asli ? Dia bersembunyi di suatu tempat untuk menghabisi Albert Wesker (Shawn Roberts) setelah para kloningannya berhasil melumpuhkan ratusan penjaga di Umbrella. Setelah sebelumnya Resident Evil : Afterlife membuka kisahnya dengan adegan yang mencekam, Anderson melanjutkannya dengan rangkaian adegan action penuh tembakan dan ledakan yang lumayan memompa adrenalin. Jangan lupa, film ini didesain khusus untuk tayangan 3D sehingga apa yang tersaji sebagai menu pembuka ini mampu membuat penonton menahan nafas.

Layaknya film adaptasi dari video game, maka plot bukanlah sesuatu yang penting. Resident Evil : Afterlife memang tidak kosong melompong, tapi kisahnya tak istimewa dan mudah ditebak. 6 bulan setelah peristiwa di adegan pembuka, Alice mengelilingi dunia untuk mencari manusia yang tersisa. Tujuan pertamanya adalah ke Arcadia, Alaska, setelah dia mendengar siaran berulang melalui frekuensi radio yang menyebutkan bahwa Arcadia bebas dari virus. Begitu menginjak Arcadia, tak ada apapun disana, hanya berupa dataran tak berpenghuni. Alice yang sudah kadung putus asa kemudian bertemu dengan Claire (Ali Larter) yang anehnya tidak mengingat apapun, termasuk dirinya sendiri dan Alice. Karena tak menemukan apapun disini, Alice dan Claire pun melanjutkan perjalanan menuju Pantai Barat dan akhirnya berhenti di Los Angeles setelah melihat sekelompok orang terjebak di atap sebuah penjara yang dikerumuni ribuan mayat hidup. Di penjara inilah, Claire akhirnya bertemu kembali dengan saudara laki - lakinya, Chris (Wentworth Miller). Berbekal perlengkapan seadanya dari penjara dan keahlian masing - masing, mereka yang masih selamat pun berusaha keluar dari penjara yang perlahan - lahan mulai kebobolan.


Sudah menjadi rahasia umum jika film adaptasi video game mayoritas memiliki kualitas yang memprihatinkan dan digarap dengan tidak apik. Hanya Silent Hill, dwilogi Tomb Raider, dan tentu saja Resident Evil yang saya anggap termasuk dalam kategori layak tonton. Tidak menawarkan sesuatu yang baru ataupun wah, namun menghibur untuk ditonton. Salah besar jika kita mengharapkan naskah yang berbobot dan logis untuk film jenis ini karena seperti yang sudah kita ketahui, plot dari video game mayoritas memang tak logis, utamanya jika bergenre action dan petualangan. Sudah bersyukur banget plot Resident Evil : Afterlife tidak kosong dan datar. Yang membuat film ini terasa istimewa tentu saja penggunaan 3D yang maksimal. Bahkan demi memuaskan para fans dan penonton awam, Anderson memakai kamera yang sama dengan yang dipakai James Cameron untuk pembuatan Avatar, Fusion Camera System. Tidak mengherankan jika 3D yang tersaji sangat mantap dan terasa sekali efeknya. Berulang kali saya dan penonton dibuat kaget dan berteriak sepanjang film, mengasyikkan sekali. Karena itulah saya menyarankan kepada kalian untuk menyaksikannya dalam bentuk 3D karena seperti halnya Avatar dan film - film lain yang memang dibuat khusus untuk konsumsi 3D (bukan yang konversi dari 2D), maka tidak akan mendapat kesan apapun jika disaksikan dalam format biasa.

Bagi yang mengharap tontonan penuh aksi, maka Resident Evil : Afterlife banyak menawarkan adegan tersebut. Tembakan, ledakan dan darah menghiasi sepanjang film. Yang menyukainya, akan bersorak sorai, namun yang antipati mungkin akan berulang kali membuang muka dari layar. Resident Evil : Afterlife terasa lebih keras dalam adegan aksi, mungkin karena efek dari 3D. Sayangnya, porsi pertarungan Alice dan zombie disini sangat sedikit padahal justru itulah yang paling ditunggu dari franchise ini. Tak apalah, kemunculan AxeMan sudah cukup mengobati kekecewaan yang ada. Milla Jovovich bermain bagus sebagai Alice. Semakin kesini terlihat karakter Alice mulai melebur ke dalam jiwa Jovovich sehingga sulit rasanya membayangkan siapapun menggantikan posisi Jovovich disini. Ali Larter juga bermain semakin bagus saja semenjak lulus dari Heroes. Para cast pendukung juga tampil lumayan utamanya Wentworth Miller, Boris Kodjoe dan Shawn Roberts yang sanggup membuat penonton geram melihat aksinya.

Selain penggunaan 3D, otomatis tak ada spesial dari Resident Evil : Afterlife. Plotnya biasa saja dan apa yang dihadirkan juga tak lebih dari pengulangan - pengulangan prekuelnya. Harus diakui, 3D lah yang membawa sensasi dan kesan tersendiri sehingga sayang rasanya jika menonton film ini dalam bentuk 2D. Bacokan, cipratan darah, tembakan dan ledakan hadir begitu nyata di mata penonton. Untuk ini, Anderson patut diacungi dua jempol. 97 menit berjalan terasa begitu cepat dan menyenangkan sekalipun saya sudah bisa menebak bagaimana akhir kisah dari Resident Evil : Afterlife. Tak sabar rasanya menunggu sekuel berikutnya dari Resident Evil yang mungkin saja baru muncul 3 tahun kemudian. Alice rocks!

Jangan keburu keluar setelah end credit bergulir karena ada sebuah adegan tersembunyi yang sayang untuk dilewatkan.

Nilai = 7/10 (Acceptable)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar