Minggu, 29 Januari 2012

20 FILM TERBAIK 2011 VERSI CINETARIZ


Waktu berlalu dengan sangat cepat. Tidak terasa, kita sudah hampir menginjak bulan kedua di tahun 2012. Sepertinya baru kemarin saya menghirup udara pergantian tahun 2011 dan tiba-tiba saja sekarang saya sudah berada di tahun yang berbeda. Ada cukup banyak kesan manis serta pahit yang saya rasakan sepanjang tahun 2011, khususnya yang berkaitan dengan film. Anda tentu masih ingat bagaimana bioskop-bioskop Indonesia sempat mengalami masa-masa suram di kuartal pertama dan kedua tahun 2011 ketika pasokan film dari studio-studio raksasa Hollywood terhambat. Menikmati film seadanya, bioskop sepi, dan penjaja dvd bajakan bersorak bahagia. Menyesakkan. Semoga saja kejadian ini tidak akan pernah terulang kembali. Amin!

Lantas, bagaimana dengan film-film yang rilis tahun lalu? Apakah Anda merasa puas, biasa saja, atau justru sangat kecewa? Saya pribadi menilai tahun 2011 adalah tahun yang cukup menggembirakan bagi industri perfilman dunia. Sementara tidak ada film animasi yang meninggalkan kesan yang mendalam (bahkan Pixar pun melakukan blunder!), film adaptasi komik justru tampil gagah perkasa di layar lebar. Yang membuat tahun lalu kian menarik adalah cukup banyaknya kejutan dari film-film yang pada awalnya dipandang sebelah mata. Kejutan inilah yang membuat saya kebingungan ketika harus menyusun daftar 'Film Terbaik 2011 versi Cinetariz' karena ada puluhan judul yang secara tidak terduga membekas di hati. Karena daftar ini hanya memuat 20 film saja, maka saya pun terpaksa memangkas secara brutal film-film lain. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, sekali ini saya turut memasukkan film Indonesia dalam satu postingan karena ada satu dan lain hal yang tidak memungkinkan saya untuk membuat daftar lain dalam waktu dekat. Jika pada akhirnya Anda tidak setuju dengan pilihan saya, maka itu sesuatu yang sangat wajar. Setiap orang memiliki selera yang berbeda-beda, bukankah begitu?

Sebelum menghitung mundur film-film terbaik 2011 pilihan Cinetariz, saya ingin meminta maaf kepada pembaca budiman atas keterlambatan tulisan ini diturunkan dan pasifnya blog dalam beberapa minggu terakhir. Tahun 2012 dimulai dengan awal yang sangat berat bagi saya. Dua hari sebelum menjalani KKN selama 35 hari yang memaksa saya untuk puasa nonton, ibu saya menghadap Sang Khalik setelah bertahun-tahun lamanya berjuang melawan kanker yang terus menerus menggerogoti tubuhnya. Meskipun telah siap dan ikhlas, tetap saja saya merasa sangat kehilangan. Dan, kepergian ibu berarti saya telah kehilangan satu-satunya orang yang bisa saya ajak untuk berbagi cerita dengan nyaman tanpa ada kesan menghakimi atau menggurui. Ya, mau bagaimana lagi, tidak ada yang abadi dunia ini. Semoga beliau mendapat tempat di sisi-Nya dan saya beserta keluarga diberi ketabahan. Amin!

Tanpa berpanjang lebar kesana kemari lagi, inilah film-film yang membekas di hati saya di sepanjang tahun 2011. Cekidot, gan!

Honorable Mentions :
Mission: Impossible - Ghost Protocol, Harry Potter and the Deathly Hallows Part II, The Fighter, The Adventures of Tintin, Animal Kingdom, Real Steel, Drive, 13 Assassins, Rango, Confessions (Kokuhaku), Catatan Harian Si Boy, Fast Five, Winnie the Pooh, Submarine, The Yellow Sea, Kung Fu Panda 2.

Top 20

#20 Source Code
Source Code menjadi angin segar bagi pecinta film tatkala keran film impor sempat tertutup selama beberapa bulan. Dengan gaya penuturan yang mengingatkan pada Vantage Point dan Groundhog Day, Duncan Jones mampu menampilkan sebuah thriller yang cerdas, menegangkan, dan memuaskan.

#19 X-Men: First Class
Lupakan saja Wolverine yang super garing itu dan nikmati X-Men: First Class yang segar. Secara mengejutkan, First Class sanggup tampil dengan adegan aksi dan tampilan visual yang terangkai dengan cantik berpadu bersama drama yang emosional yang dibumbui humor yang segar serta cast yang tepat. Inilah film superhero terbaik di tahun 2011.

#18 Crazy Stupid Love
Judulnya sih boleh saja terkesan murahan, tapi ini adalah sebuah film komedi romantis kelas atas yang lucu, manis, dan menggemaskan. Memiliki naskah yang trengginas dan ensemble cast yang kompak, Crazy Stupid Love memperlihatkan bagaimana cinta sanggup membuat orang menjadi gila tanpa peduli usia maupun status sosial.

#17 The King’s Speech
Drama historikal yang memboyong Oscar tahun lalu untuk Film Terbaik ini dihidangkan dengan cantik, santai, dan berkelas. The King’s Speech adalah bukti bahwa film sejarah pun dapat diolah menjadi sebuah suguhan yang menyenangkan.

#16 Incendies
Sekalipun bergenre drama, film buatan Denis Villeneuve ini mengasyikkan untuk diikuti. Bagaimana tidak? Lha wong di setiap chapter-nya selalu ada ledakan-ledakan mengejutkan yang menarik. Saya senantiasa dibuat penasaran dengan apa yang akan terjadi kemudian. Menontonnya sampai gregetan.

#15 Blue Valentine
Blue Valentine menyanggah konsep ‘happily ever after’ dengan memotret tentang perjalanan cinta dua insan manusia sejak berpacaran hingga menikah secara realistis. Ryan Gosling dan Michelle Williams memberikan sebuah performa yang mengagumkan.

#14 Senna
Senna adalah satu dari sedikit film dokumenter yang sanggup saya santap dengan lahap. Tim editing mengerjakan tugasnya dengan apik dalam menyatukan berbagai footage dari Ayrton Senna sehingga membentuk sebuah narasi yang mengalir dengan lancar dan renyah.

#13 Sang Penari
Masih meragukan film Indonesia? Itu artinya, Anda belum menonton Sang Penari. Terinspirasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk, film ini mengagumkan ditilik dari segi manapun. Dengan naskah dan sisi teknis yang kuat, akting dari pemainnya pun layak mendapatkan acungan dua jempol. Sebuah kemajuan yang melegakan bagi perfilman lokal.

#12 50/50
Penghargaan untuk ‘Film Paling Personal’ dari saya untuk tahun ini jatuh kepada 50/50. Berbeda dengan film sejenis yang juga mengangkat perihal penyakit kematian, 50/50 tidak cengeng dalam bertutur, melainkan mencoba untuk bersenda gurau sekalipun tetap menyesakkan dada. Ensemble cast yang hadir di film ini pun salah satu yang terbaik tahun lalu.

#11 Hello Ghost
Dimulai dengan sedikit lambat, Hello Ghost secara perlahan mem buat saya tertarik untuk mengikutinya. Humornya yang segar tak pernah gagal membuat saya tertawa terbahak-bahak. Yang membuat saya terbelalak adalah endingnya yang menjungkirbalikkan apa yang telah terjadi sebelumnya. Anda harus siap sedia tissue sebelum menyaksikannya.

#10 The Rise of the Planet of the Apes
Awalnya saya pandang sebelah mata, namun pada akhirnya saya malah jatuh hati dibuatnya. Versi Rupert Wyatt ini jelas jauh lebih keren ketimbang buatan Tim Burton. Jalan ceritanya tidak hanya seru dan mencekam, tetapi juga mampu memainkan emosi penonton. Parade efek khusus buatan WETA pun sangat ciamik.

#9 Black Swan
Darren Aronofsky sanggup menghadirkan sebuah tontonan thriller psikologi yang mencekam serta ‘memaksa’ Natalie Portman mengeluarkan performa terbaiknya. Dengan segala keindahan, kemisteriusan, serta kejutannya, rasanya sayang untuk melewatkan Black Swan begitu saja. Sebuah film yang mengagumkan sejak awal hingga akhir.

#8 Contagion
Menyaksikan Contagion bagaikan tengah menyaksikan salah satu episode dari CSI. Ketegangan dibangun secara perlahan, misteri yang melingkupi dibuka satu demi satu, dan ini semua didukung dengan akting kelas wahid dari barisan pemainnya. Setiap menitnya, Contagion kian menarik untuk disantap.

#7 Super 8
Dengan hadirnya Steven Spielberg di bangku produser, pengaruh E.T. kuat terasa. J.J. Abrams menghadirkan sebuah film yang layak diberi gelar “Film Musim Panas Terbaik 2011”. Super 8 mengombinasikan misteri yang seru dan senantiasa mengundang penasaran dengan drama keluarga yang emosional.

#6 When We Leave
Ini adalah potret sebuah keluarga dimana budaya patriarki diagungkan. Suami melakukan tindak kekerasan pada keluarganya dibenarkan apapun alasannya. Anak-anak pun turut menjadi korban. Film yang memiliki judul asli Die Fremde ini sungguh membuat hati terasa tercabik-cabik. Kebahagiaan nyaris alpa dari film ini.

#5 Sunny
Film tentang persahabatan sejumlah gadis ABG selalu menyenangkan untuk disimak. Sunny memiliki ritme penceritaan yang enak untuk diikuti. Komposisi antara drama dan komedinya diramu dengan tepat. Di paruh awal, Anda akan tertawa terbahak-bahak, sementara untuk paruh akhir, mungkin saja Anda menangis sesenggukan. Sekalipun saya telah menyaksikannya hingga 4 kali, Sunny tetap enak untuk dinikmati.

#4 The Tree of Life
Ini adalah film Terence Malick yang unik. Luar angkasa, makhluk hidup di laut, serta dinosaurus dalam film drama tentang kehidupan dari sebuah keluarga? Apa hubungannya? Jika Anda menonton film ini karena faktor Brad Pitt, maka tujuan Anda telah salah kaprah sejak awal. The Tree of Life memang bukan film yang mudah untuk diterima semua kalangan, namun film ini pun sulit untuk dilupakan begitu saja. Pengalaman sinematik yang diberikan sungguh luar biasa.

#3 Warrior
Ini adalah film paling emosional yang saya tonton di tahun 2011. Memiliki jalan cerita klise yang mudah ditebak, akan tetapi diarahkan dan diperankan dengan apik. Menit-menit terakhir dari Warrior tidak hanya menegangkan dan brutal, tetapi juga mengaduk-aduk emosi. Pada akhirnya, air mata pun tumpah. Memang tidak ada yang lebih seru dari film tentang keluarga.

#2 The Help
Southern period drama adalah salah satu genre yang saya sukai. Tema berat seputar segregasi di masa diberlakukannya Jim Crow dikemas oleh Tate Taylor menjadi sebuah film yang ringan, renyah dan menyentuh, sekalipun tetap pahit. Dengan ensemble cast yang brilian, The Help terangkat ke tingkatan yang lebih tinggi. Sebuah feel good movie yang sayang untuk dilewatkan.

#1 A Separation
Perfilman Iran memberi bukti bagaimana sebuah kisah yang sangat sederhana mampu menjelma menjadi film yang memukau. A Separation adalah salah satu film terbaik dari Iran selama satu dekade terakhir. Jalan ceritanya menarik, mengundang rasa ingin tahu, dan mendebarkan dengan para aktor yang bermain menawan. Cara Asghar Farhadi memulai dan mengakhiri film ini pun sungguh sempurna.

Rabu, 18 Januari 2012

REVIEW : DON 2


Bollywood rupanya tidak main-main dengan rencananya untuk kembali menjadi penguasa di industri perfilman Asia setelah beberapa tahun terakhir Jepang dan Korea Selatan mendominasi. Jika dulu Bollywood identik dengan kisah cinta picisan dan diselingi dengan belasan lagu di film-filmnya, maka sekarang, ya tidak berbeda jauh sebenarnya karena itu telah menjadi identitas dari film India. Hanya saja, mereka lebih serius dalam menggarapnya. Bukan berarti dahulu sekadar main-main, kali ini para sineas telah meningkatkannya ke level yang lebih tinggi sehingga masyarakat internasional bisa menerimanya. Jika Anda tidak percaya, silahkan saja simak Don 2 yang saat ini sedang tayang di bioskop-bioskop Indonesia. Don 2 yang merupakan sekuel dari Don: The Chase Begins Again (Don: TCBA) yang dirilis tahun 2006 lalu ini menjadi sebuah bukti betapa majunya perfilman India saat ini. Didanai dengan bujet sekitar $17 juta, Farhan Akhtar menjadikan Don 2 sebagai versi India dari Mission: Impossible dan Fast Five. Anda tentu masih ingat bagaimana serunya Mission: Impossible Ghost Protocol, bukan? Tanpa bermaksud berlebihan, ah Anda pun sah-sah saja menyebut saya lebay, Don 2 memiliki tone yang nyaris serupa dengan film tersebut. Dikemas dalam tontonan penuh aksi, naskah yang pintar, dan kasting yang sempurna.

Titik awal dari Don 2 melanjutkan dari ending film sebelumnya yang tercatat sebagai film terlaris kelima di India pada tahun 2006. Tanpa menonton prekuelnya, Anda tetap bisa menikmati jalan cerita film ini. Sekalipun masih memiliki keterkaitan, Don 2 bisa menjadi film yang berdiri sendiri. Tapi tentunya akan lebih nikmat jika Anda telah mengetahui apa-apa saja yang telah terjadi dalam Don: TCBA, khususnya perihal hubungan rumit yang terjalin antara Don (Shahrukh Khan) dengan Roma (Priyanka Chopra). Farhan Akhtar dan duo penulis naskah, Ameet Mehta dan Amrish Shah sayangnya tidak mengupas romansa ini secara lebih mendalam di Don 2, sehingga penonton awam yang kurang awas mungkin akan kebingungan dengan status hubungan Don dan Roma di awal film. Untuk sekali ini, Farhan Akhtar menawarkan sebuah cerita yang panjang, kompleks, dan padat. Penonton dituntut untuk berkonsentrasi. Layaknya film India pada umumnya, selingan nyanyian dan tarian pun masih ada. Jumlahnya tidak banyak, hanya sekitar 4 tembang saja. Ada baiknya Anda tidak melewatkannya. Beberapa tembang masih berkolerasi dengan jalan cerita, tidak sekadar pemanis belaka.

Ketika Inspektur Malik (Om Puri) menyerahkan tongkat estafet kepada Roma untuk memimpin jalannya target operasi Don, Don datang untuk menyerahkan diri. Segera saja dia dikirim ke penjara Melaka, Malaysia. Di penjara ini, dia bertemu dengan musuh bebuyutannya, Vardhaan (Boman Irani). Rupanya, Don belum bertaubat, dia masih memiliki segudang rencana guna mencapai tujuan utamanya, menjadi penguasa kartel narkoba di Eropa. Don mengajak Vardhaan melarikan diri dari lapas. Mereka terbang ke Zurich, Swiss, untuk mencuri cetak biru uang negara di Depository Bank of Zurich. Bergabung bersama mereka adalah kekasih Don, Ayesha (Lara Dutta), dan hacker handal, Sameer (Kunal Kapoor). Untuk mendapatkan akses menuju bank, Don mengancam sang wakil presiden bank, Diwan (Aly Khan), dengan sebuah video yang memuat percakapan Diwan membahas tentang rencana pembunuhan terhadap petinggi Bank Eropa. Tentu saja, Diwan tidak tinggal diam. Dia menyewa seorang pembunuh bayaran untuk menghabisi Don dan antek-anteknya. Sementara itu, keberadaan Don di Eropa mulai terendus oleh Roma.

Sebagai sebuah film India, Don 2 sama sekali tidak berasa India. Farhan Akhtar lebih memilih untuk mengajak penonton jalan-jalan ke Malaysia, Thailand, Jerman, dan Swiss, ketimbang berputar-putar di India. Romansa picisan serta nyanyian dan tariannya pun tidak terlalu ditonjolkan. Adegan aksinya diramu dengan lebih intens, simak saja adegan kejar-kejaran di jalanan Berlin yang padat yang konon katanya melibatkan sampai 67 mobil. Sungguh seru, menegangkan, dan brilian. Anda dijamin betah untuk duduk manis sepanjang dua setengah jam di kursi bioskop tanpa melongok jam tangan berkali-kali. Farhan Akhtar tahu benar bagaimana cara menjamu tamunya. Suguhi dengan gadis-gadis cantik dan pameran mobil keren sebagai pemanis, jalan cerita yang cerdik sebagai menu utama, dan ditutup dengan adegan aksi seru yang tiada henti. Namun tentu saja jamuan ini tidak akan terasa manis apabila Farhan Akhtar tidak memberikan bumbu bernama Shahrukh Khan. Akting apiknya sebagai Don sanggup menutupi berbagai kelemahan yang muncul. Sebagai hidangan pelengkap, sang tuan rumah memberikan pilihan kepada penonton untuk menyaksikannya dalam versi 2D atau 3D. Mengingat tidak ada perbedaan yang signifikan, versi 2D terasa lebih tepat bagi Anda karena mengenakan kacamata 3D selama dua setengah jam bukanlah perkara yang menyenangkan. Filmnya toh masih tetap seru sekalipun ditonton di layar 2D.

Exceeds Expectations

Minggu, 15 Januari 2012

The 69th Annual Golden Globe Awards


Tidak banyak kejutan yang terjadi di perhelatan Golden Globe yang ke-69. Seperti yang telah diprediksi oleh banyak pihak, The Artist dan The Descendants memborong berbagai kategori utama, khusunya Best Motion Picture. Kemenangan besar dua film ini membuat para pecinta film semakin yakin, Oscars akan menjadi milik mereka. Selain Best Motion Picture, The Artist membawa pulang piala untuk Jean Dujardin (Best Actor) dan Ludovic Bource (Best Original Score). Sementara The Descendants memberi kesempatan bagi George Clooney menggondol piala emas berbentuk globe untuk ketiga kalinya. Kejutan datang dari kategori Best Actress in Motion Picture Drama dimana Meryl Streep mengalahkan Viola Davis berkat aktingnya sebagai Margaret Thatcher di The Iron Lady. Kemenangan Martin Scorsese sebagai Best Director lewat Hugo cukup mengejutkan sekalipun telah banyak yang menduganya. Namun yang membuat saya melompat kegirangan adalah ketika HFPA (Hollywood Foreign Press Association) akhirnya memenangkan serial komedi favorit saya, Modern Family, sebagai Best Musical/Comedy TV Series.

Dan, bagaimana dengan jalannya acara? Yang pasti, Anda tidak bisa membandingkannya dengan acara-acara penghargaan di Indonesia yang dikerjakan ala kadarnya itu. Golden Globes, dengan konsepnya yang semi formal, membawa hiburan tersendiri khususnya karena faktor Ricky Gervais sebagai pemandu acara. Jokes-nya yang cerdas nan nyelekit sanggup membuat suasana menjadi meriah. Para pembaca nominasi pun tidak kalah menyenangkannya. Madonna, Colin Firth, Tina Fey, Salma Hayek hingga Robert Downey Jr. membuat saya tertawa terpingkal-pingkal. Akan tetapi, tidak ada yang bisa mengalahkan Sofia Vergara. Dia memang gagal merebut piala dari Jessica Lange yang bermain apik di American Horror Story, namun dia adalah bintang di Golden Globes tahun ini. Oh yeah!

Inilah daftar lengkap pemenang The 69th Annual Golden Globe Awards :

MOTION PICTURES :

BEST PICTURE DRAMA : The Descendants
BEST PICTURE COMEDY OR MUSICAL : The Artist
BEST DIRECTOR : Martin Scorsese, Hugo
BEST ACTRESS COMEDY/MUSICAL : Michelle Williams, My Week With Marilyn
BEST ACTOR COMEDY/MUSICAL : Jean Dujardin, The Artist
BEST ACTRESS DRAMA : Meryl Streep, The Iron Lady
BEST ACTOR DRAMA : George Clooney, The Descendants
BEST SUPPORTING ACTOR : Christopher Plummer, Beginners
BEST SUPPORTING ACTRESS : Octavia Spencer, The Help
BEST SCREENPLAY : Woody Allen, Midnight in Paris
BEST FOREIGN LANGUAGE FILM : A Separation (Iran)
BEST ANIMATED FEATURE : The Adventures of Tintin
BEST ORIGINAL SCORE : Ludovic Bource, The Artist
BEST ORIGINAL SONG : “Masterpiece,” W.E.

TV SERIES / MINI SERIES :

Best Comedy TV Series : “Modern Family”
Best Actor, TV Comedy Series : Matt LeBlanc “Episodes"
Best Actress, TV Comedy Series : Laura Dern, “Enlightened”
Best Drama TV Series : “Homeland”
Best Actor, TV Drama Series : Kelsey Grammer, “Boss”
Best Actress, TV Drama Series : Claire Danes “Homeland”
Best Television Series – Miniseries/Movie : “Downtown Abbey”
Best Actor in a Mini-Series or a Motion Picture Made for Television : Idris Elba, “Luther”
Best Supporting Actor in a Series, Mini-Series or Motion Picture Made for Television : Peter Dinklage, “Game of Thrones”
Best Actress in a Mini-Series or a Motion Picture Made for Television : Kate Winslet, “Mildred Pierce”
Best Supporting Actress in a Series, Mini-series or TV Movie : Jessica Lange, “American Horror Story”

Cecil B. DeMille Award : Morgan Freeman

Sabtu, 14 Januari 2012

REVIEW : PULAU HANTU 3


"Bulan purnama gini paling enak renang telanjang di pantai."

Alasan utama saya rela meluangkan sedikit waktu demi menyaksikan Pulau Hantu 3 adalah karena saya menyukai jilid pertamanya yang sekalipun ide cerita yang diangkat terbilang usang, Jose Poernomo berhasil mengemasnya menjadi sebuah tontonan mencekam yang menyenangkan dengan balutan komedi yang lumayan segar. Sekuelnya yang rilis setahun kemudian gagal menghadirkan atmosfir yang serupa lantaran diberi suntikkan komedi lebih banyak tanpa ada perkembangan dalam jalan cerita. Setelah 3 tahun lamanya tidak ada kabar, saya pikir Jose Poernomo memutuskan untuk mengakhiri terror dari hantu yang memiliki wajah yang serupa tapi tak sama dengan Ghostface dari Scream ini. Ternyata, dugaan saya salah, saudara-saudara. Pulau Hantu tidak akan dibiarkan begitu saja menjadi pulau tak berpenghuni selama masih ada ratusan ribu penonton yang menggeruduk bioskop dengan senang hati. Seakan tidak belajar dari kesalahan yang didapat dari film sebelumnya, porsi komedi semakin diperbanyak di Pulau Hantu 3. Bahkan, film ini terasa lebih tepat disebut sebagai ‘softcore porn’ dengan bumbu komedi horror, ketimbang sebagai film horror komedi.

Tidak perlu berpanjang lebar untuk menjelaskan seperti apa plot dari Pulau Hantu 3, hanya dengan satu kalimat saja pun sebenarnya sudah cukup. Dua sahabat, Nero (Abdurrachman Arif) dan Kimo (Ricky Adi Putra), bersama dengan Gaby (Jenny Cortez) dan Octa (Reynavenzka), mendapat pekerjaan di sebuah resor baru milik Patigana (Boy Hamzah) yang berlokasi di Pulau Madara. Nah, Nero yang sudah dua kali mengunjungi pulau ini di dua jilid sebelumnya, baru menyadari bahwa ini adalah pulau yang juga menyebabkan teman-temannya terbunuh setelah ‘disambut dengan ramah’ oleh hantu penunggu pulau. Apa yang terjadi kemudian Anda tentu sudah bisa menebak, hanya saja kali ini ada terror lain yang disebabkan oleh Patigana. Sejak awal Nero sudah menaruh curiga pada Patigana lantaran gerak-geriknya yang aneh. Tidak ada satupun yang mempercayai omongan Nero, malah teman-temannya menganggap dia hanya iri dengan ketampanan si pemilik resor. Hanya setelah mereka melihat mayat istri Patigana secara langsung, mereka mulai percaya. Dan pada saat itu, segalanya telah terlambat.

Perlu untuk diingat, jika Anda memiliki rencana untuk menyaksikan Pulau Hantu 3 di bioskop, maka motif Anda haruslah untuk melihat (maaf) payudara di layar lebar. Apabila tidak, maka urungkan saja dan pilih film lain. Untuk sekali ini, Jose Poernomo dan Benny Ahmad Basuni merasa tidak perlu memberikan jalan cerita yang runut dan logis kepada penonton karena tujuan dibuatnya sekuel ini tidak lain adalah untuk mengeruk pundi-pundi rupiah dengan cara mengeksploitasi tubuh perempuan. Ya, Anda tidak akan mendapatkan apapun dari film ini, kecuali akting yang kaku, humor yang jauh dari kata lucu, dan (maaf) tetek putih mulus yang terus menerus diumbar tiada henti dengan cara yang nyaris sama. Ada apa dengan Anda, mas Jose? Padahal dulu Anda adalah salah satu sutradara berbakat di Indonesia yang pernah menelurkan film-film berkualitas macam Jelangkung dan Tak Biasa. Sekarang kok malah bergabung dengan ‘Komunitas Penghancur Film Indonesia’? Cimit-cimit telah berubah..

Apabila dihitung menggunakan persentase, maka 80% film hanya diisi dengan adegan seks panas di ranjang dan kolam renang, serta aksi pamer aurat. Plot tidak lagi menjadi sesuatu yang esensial. Tidak ada penjelasan seputar ritual yang dilakukan oleh Patigana, seakan Jose dan Benny mengondisikannya hanya sebagai tempelan belaka. Bukankah lebih tepat jika judul ‘Ghost Island’ diganti menjadi ‘Boobs Island’? Setidaknya, penonton tidak merasa ditipu. Inginnya mencari sebuah hiburan yang mencekam, justru disuguhi dengan payudara dan selangkangan. Yang menjadikannya semakin menyebalkan, Lembaga Sensor Film menikmati permainan gunting menggunting sehingga acapkali ditemukan adegan panas yang belum tuntas namun sudah melompat ke adegan lain. Tanggung banget sih, bo! Kenapa tak dibuat versi 3D-nya sekalian supaya bisa menyaingi Piranha 3D? Andaikan saja saya mendapatkan tiket film ini secara gratis, mungkin saya telah memutuskan untuk walkout sejak paruh pertama. Menuliskan review ini hanya membuat saya sakit hati karena harus mengingat lagi apa saja yang telah terjadi sepanjang 90 menit yang menggairahkan tersebut (heh!). Dan bisa-bisanya Pulau Hantu 3 lebih diminati ketimbang Ummi Aminah, tak habis pikir aku.

Troll

REVIEW : UMMI AMINAH



"Percuma kamu kaya raya jika iman kamu rendah."
- Ummi Aminah


Miris, ketika saya membeli tiket untuk menonton Ummi Aminah, layar monitor didominasi oleh warna hijau. Pun ketika film telah memasuki menit ke-30, jumlah penonton yang memenuhi gedung bioskop pun tak mencapai angka 25. Nampaknya banyak masyarakat yang belum ‘ngeh’ terhadap film ini. Ummi Aminah memang adem ayem soal urusan promosi. Secara otomatis, hanya publik yang akrab dengan stasiun televisi milik Surya Paloh dan website resmi jaringan bioskop terbesar di Indonesia saja yang mengetahui ‘kedatangan’ Ummi Aminah. Di media jejaring sosial pun, tak ada yang memberikan testimoninya. Sepi promo, sepi penonton, apakah itu berarti film ini juga sepi secara kualitas? Syukurlah saya bisa menjawabnya dengan “tidak!”. Aditya Gumay yang pernah menghasilkan film bersahaja macam Emak Ingin Naik Haji dan Rumah Tanpa Jendela, tidak merias film terbarunya ini dengan menor. Semuanya digarap serba sederhana. Namun bukan berarti naskah buatan Aditya Gumay dan Adenin Adlan digarap seadanya. Secara filmis, Ummi Aminah tak menggugah selera, penampilannya tak jauh berbeda dengan film televisi. Akan tetapi, naskahnya cukup bernas.


Ummi Aminah (Nani Widjaya) adalah seorang ustadzah yang memiliki ribuan jamaah setia. Sebagai seorang ustadzah, bukan berarti Ummi terbebas dari permasalahan-permasalahan dunia. Berbagai cobaan terus mendera keluarganya seakan tak mau berhenti. Suaminya, Abah (Rasyid Karim), ditipu dan harus merelakan uang ratusan juta rupiah. Ketujuh anaknya; Umar (Gatot Brajamusti), Aisyah (Cahya Kamila), Zarika (Paramitha Rusady), Zainal (Ali Zainal), Zubaidah (Genta Widi), Zidan (Ruben Onsu), dan Ziah (Zee Zee Shahab), pun tak luput dari masalah. Umar harus menghadapi istrinya, Risma (Yessy Gusman), yang sinis dan enggan untuk menjalin hubungan harmonis dengan keluarga Umar, Zarika jatuh cinta dengan rekan kerjanya yang telah beristri, kondisi keuangan Zainal yang nyaris serba kekurangan sementara dia harus memberi sandang pangan papan untuk anak dan istrinya (Revalina S. Temat), dan Zidan sulit untuk diterima oleh Abah karena sifatnya yang seperti perempuan. Ujian sesungguhnya bagi keluarga Ummi Aminah datang tatkala Zainal dibui lantaran dikira sebagai kurir narkoba. Berita dengan cepat menyebar, satu persatu jamaah Ummi Aminah meninggalkannya.

Sekalipun dibungkus dalam bentuk film reliji, Ummi Aminah memuat pesan universal tentang cinta kasih dalam keluarga. Menunjukkan bahwasanya tidak ada harta di dunia ini yang lebih berharga dari keluarga. Ketika masyarakat termakan oleh hasutan media dan satu persatu pergi meninggalkan Ummi, Ummi tergoncang. Di saat inilah anggota keluarganya datang seraya menggandeng tangan Ummi yang membuat Ummi berhasil kembali berdiri tegak. Dukungan yang diberikan oleh keluarga tulus adanya, tanpa pamrih. Aditya Gumay dan Adenin Adlan turut menyentil terhadap perilaku masyarakat yang dengan mudah menghakimi seseorang hanya dengan berlandaskan pada pemberitaan di media dan apa yang tampak dari luar. Bagi mereka, publik figur dituntut untuk selalu berperilaku sempurna dan haram hukumnya melakukan kesalahan. Melalui sosok Abah dan Zidan, penonton kembali dihadapkan pada permasalahan yang tidak jauh berbeda, penghakiman terhadap kaum LGBT. Tidak pernah dijelaskan secara eksplisit apakah Zidan adalah seorang gay, namun dapat ditafsirkan dari cara Abah memperlakukan Zidan. Dari sini muncul pertanyaan, apakah menjadi berbeda itu salah? Apakah tokoh masyarakat harus senantiasa sempurna dalam setiap kesempatan? Apakah kita lebih baik dari mereka sehingga layak untuk memberi penghakiman?

Aditya Gumay tidak hanya mengajak penonton untuk tertawa, menangis dan terharu, tetapi juga berkontemplasi setelah menontonnya. Ini adalah film yang sangat tepat bagi Anda yang ingin mencari pesan moral dari sebuah film. Bagusnya, Aditya Gumay menyampaikan pesan tersebut tanpa ada kesan menggurui. Tapi tetap saja sebagai sebuah film, Ummi Aminah tidak lantas mulus sempurna tanpa memiliki cacat. Terlalu banyaknya karakter serta konflik yang bercabang-cabang memberi ruang sempit terhadap perkembangan karakter. Rasanya perlu penonton diberi bekal lebih seputar latar belakang keluarga Ummi. Sebagai tokoh utama, Ummi Aminah tidak diberikan porsi yang memadai. Malah, posisi Abah, Zainal, Zarika dan Zubaidah dalam film justru lebih kuat dan memberi sumbangsih terhadap pergerakan cerita. Nah lho. Bukankah seharusnya Ummi yang menjadi sentral cerita? Beruntung, kejanggalan ini berhasil sedikit tertutupi dengan akting apik dari ensemble cast-nya. Setidaknya Ummi Aminah mampu menyampaikan pesan baiknya kepada penonton dengan bersahaja. Endingnya yang berbeda menjadi daya tarik tersendiri. Sebuah suguhan yang indah bagi penikmat film Indonesia di awal tahun 2012.

Acceptable

Jumat, 06 Januari 2012

Short Reviews: ALVIN AND THE CHIPMUNKS 3, JACK & JILL, CONTAGION, THE ADVENTURES OF TINTIN


Alvin and the Chipmunks: Chipwrecked

Saya tidak habis pikir, dengan buruknya kualitas film kedua, mengapa jutaan orang masih saja berbondong-bondong ke bioskop untuk menyaksikan kelanjutan dari Alvin and the Chipmunks? Yang membuat saya lebih heran lagi, mengapa saya mau-maunya membuang waktu dan uang yang berharga demi menyaksikan Alvin and the Chipmunks: Chipwrecked? Jika Anda ingin melepaskan penat usai diserbu setumpuk pekerjaan, maka Anda lebih baik menghapus film ini dari daftar film yang ingin Anda tonton jika tak ingin menderita di dalam bioskop. Sungguh, jilid ketiga ini sangat membosankan, menjengkelkan, tak lucu sama sekali, dangkal, dan mudah untuk dilupakan. Ending semakin memperparah segalanya. Ini adalah pengalaman menonton paling menyiksa tahun ini. (Poor)


Jack & Jill

Jack & Jill adalah sebuah film komedi dengan guyonan yang sangat kasar tanpa tedeng aling-aling, jorok, tak masuk akal, dan bodoh. Sepertinya Dennis Dugan terinspirasi oleh karya-karya The Farrelly Brothers karena aroma komedi mereka tercium cukup menyengat disini. Menyaksikan Jack & Jill bagaikan tengah menyaksikan film-film buatan KK Dheeraj, saya berhasil tertawa habis-habisan karena beberapa adegan yang terlampau tak bisa diterima akal sehat. Bergabungnya Al Pacino dan Johnny Depp dalam Jack & Jill patut dipertanyakan. Apakah bujet yang menggelembung hingga $79 juta sebagian besar lari ke dalam kantong mereka? Karena saya sama sekali tidak percaya jika alasan mereka bergabung dalam film ini disebabkan tertarik dengan naskahnya. (Poor)


Contagion

Film mengenai bencana tidak melulu harus digambarkan melalui sebuah film aksi berbujet raksasa dengan sentuhan efek khusus disana sini, Steven Soderbergh mempunyai caranya sendiri. Menyaksikan Contagion bagaikan tengah menyaksikan salah satu episode dari CSI. Ketegangan dibangun secara perlahan, misteri yang melingkupi dibuka satu demi satu, dan ini semua didukung dengan akting kelas wahid dari barisan pemainnya. Anda mungkin akan dibuat mengantuk dan pusing pada awalnya, terutama jika Anda memilih untuk tidak konsentrasi, namun seiring berjalannya durasi, Contagion kian menarik untuk disantap. Flu yang acapkali dianggap sebagai penyakit ringan, menjadi monster mengerikan disini. Sebuah film cerdas yang rasanya teramat sayang untuk dilewatkan begitu saja. (Outstanding)


The Adventures of Tintin: The Secret of the Unicorn

Fans berat Tintin mungkin saja agak kecewa dengan cara Steven Spielberg menangani The Adventures of Tintin: The Secret of the Unicorn yang sangat Hollywood, tapi itu tak menutupi fakta bahwa ini adalah film yang sangat menyenangkan untuk ditonton. Spielberg tahu benar bagaimana cara memanjakan penonton lewat suguhan petualangan yang menegangkan, misteri yang memancing rasa ingin tahu, humor yang menggelitik dan visualisasi yang tersaji dengan indah. Sang pionir dalam motion capture, Robert Zemeckis, agaknya perlu berguru kepada Spielberg yang berhasil menciptakan sebuah film animasi yang luar biasa indah, hidup dan mengasyikkan dalam debutnya di genre ini jauh melampaui pencapaian Zemeckis melalui The Polar Express dan Beowulf. (Exceeds Expectations)