Sabtu, 14 Januari 2012

REVIEW : UMMI AMINAH



"Percuma kamu kaya raya jika iman kamu rendah."
- Ummi Aminah


Miris, ketika saya membeli tiket untuk menonton Ummi Aminah, layar monitor didominasi oleh warna hijau. Pun ketika film telah memasuki menit ke-30, jumlah penonton yang memenuhi gedung bioskop pun tak mencapai angka 25. Nampaknya banyak masyarakat yang belum ‘ngeh’ terhadap film ini. Ummi Aminah memang adem ayem soal urusan promosi. Secara otomatis, hanya publik yang akrab dengan stasiun televisi milik Surya Paloh dan website resmi jaringan bioskop terbesar di Indonesia saja yang mengetahui ‘kedatangan’ Ummi Aminah. Di media jejaring sosial pun, tak ada yang memberikan testimoninya. Sepi promo, sepi penonton, apakah itu berarti film ini juga sepi secara kualitas? Syukurlah saya bisa menjawabnya dengan “tidak!”. Aditya Gumay yang pernah menghasilkan film bersahaja macam Emak Ingin Naik Haji dan Rumah Tanpa Jendela, tidak merias film terbarunya ini dengan menor. Semuanya digarap serba sederhana. Namun bukan berarti naskah buatan Aditya Gumay dan Adenin Adlan digarap seadanya. Secara filmis, Ummi Aminah tak menggugah selera, penampilannya tak jauh berbeda dengan film televisi. Akan tetapi, naskahnya cukup bernas.


Ummi Aminah (Nani Widjaya) adalah seorang ustadzah yang memiliki ribuan jamaah setia. Sebagai seorang ustadzah, bukan berarti Ummi terbebas dari permasalahan-permasalahan dunia. Berbagai cobaan terus mendera keluarganya seakan tak mau berhenti. Suaminya, Abah (Rasyid Karim), ditipu dan harus merelakan uang ratusan juta rupiah. Ketujuh anaknya; Umar (Gatot Brajamusti), Aisyah (Cahya Kamila), Zarika (Paramitha Rusady), Zainal (Ali Zainal), Zubaidah (Genta Widi), Zidan (Ruben Onsu), dan Ziah (Zee Zee Shahab), pun tak luput dari masalah. Umar harus menghadapi istrinya, Risma (Yessy Gusman), yang sinis dan enggan untuk menjalin hubungan harmonis dengan keluarga Umar, Zarika jatuh cinta dengan rekan kerjanya yang telah beristri, kondisi keuangan Zainal yang nyaris serba kekurangan sementara dia harus memberi sandang pangan papan untuk anak dan istrinya (Revalina S. Temat), dan Zidan sulit untuk diterima oleh Abah karena sifatnya yang seperti perempuan. Ujian sesungguhnya bagi keluarga Ummi Aminah datang tatkala Zainal dibui lantaran dikira sebagai kurir narkoba. Berita dengan cepat menyebar, satu persatu jamaah Ummi Aminah meninggalkannya.

Sekalipun dibungkus dalam bentuk film reliji, Ummi Aminah memuat pesan universal tentang cinta kasih dalam keluarga. Menunjukkan bahwasanya tidak ada harta di dunia ini yang lebih berharga dari keluarga. Ketika masyarakat termakan oleh hasutan media dan satu persatu pergi meninggalkan Ummi, Ummi tergoncang. Di saat inilah anggota keluarganya datang seraya menggandeng tangan Ummi yang membuat Ummi berhasil kembali berdiri tegak. Dukungan yang diberikan oleh keluarga tulus adanya, tanpa pamrih. Aditya Gumay dan Adenin Adlan turut menyentil terhadap perilaku masyarakat yang dengan mudah menghakimi seseorang hanya dengan berlandaskan pada pemberitaan di media dan apa yang tampak dari luar. Bagi mereka, publik figur dituntut untuk selalu berperilaku sempurna dan haram hukumnya melakukan kesalahan. Melalui sosok Abah dan Zidan, penonton kembali dihadapkan pada permasalahan yang tidak jauh berbeda, penghakiman terhadap kaum LGBT. Tidak pernah dijelaskan secara eksplisit apakah Zidan adalah seorang gay, namun dapat ditafsirkan dari cara Abah memperlakukan Zidan. Dari sini muncul pertanyaan, apakah menjadi berbeda itu salah? Apakah tokoh masyarakat harus senantiasa sempurna dalam setiap kesempatan? Apakah kita lebih baik dari mereka sehingga layak untuk memberi penghakiman?

Aditya Gumay tidak hanya mengajak penonton untuk tertawa, menangis dan terharu, tetapi juga berkontemplasi setelah menontonnya. Ini adalah film yang sangat tepat bagi Anda yang ingin mencari pesan moral dari sebuah film. Bagusnya, Aditya Gumay menyampaikan pesan tersebut tanpa ada kesan menggurui. Tapi tetap saja sebagai sebuah film, Ummi Aminah tidak lantas mulus sempurna tanpa memiliki cacat. Terlalu banyaknya karakter serta konflik yang bercabang-cabang memberi ruang sempit terhadap perkembangan karakter. Rasanya perlu penonton diberi bekal lebih seputar latar belakang keluarga Ummi. Sebagai tokoh utama, Ummi Aminah tidak diberikan porsi yang memadai. Malah, posisi Abah, Zainal, Zarika dan Zubaidah dalam film justru lebih kuat dan memberi sumbangsih terhadap pergerakan cerita. Nah lho. Bukankah seharusnya Ummi yang menjadi sentral cerita? Beruntung, kejanggalan ini berhasil sedikit tertutupi dengan akting apik dari ensemble cast-nya. Setidaknya Ummi Aminah mampu menyampaikan pesan baiknya kepada penonton dengan bersahaja. Endingnya yang berbeda menjadi daya tarik tersendiri. Sebuah suguhan yang indah bagi penikmat film Indonesia di awal tahun 2012.

Acceptable

Tidak ada komentar:

Posting Komentar