Kamis, 29 Juli 2010

REVIEW : SALT


Rupanya si bibir seksi Angelina Jolie sedang jenuh bermain di film drama kelas berat yang membutuhkan kemampuan akting dan penghayatan yang tinggi sehingga memutuskan untuk sedikit bersenang - senang di film aksi yang memaksanya untuk mengerahkan kemampuan fisiknya dan melakukan banyak adegan kekerasan. Setelah memerankan salah satu jagoan wanita paling populer, Lara Croft, sepertinya Jolie ketagihan untuk membintangi film aksi. Berturut - turut dia tampil di Sky Captain and the World of Tomorrow, Mr. & Mrs. Smith, Wanted dan Salt. Meski begitu dia tetap setia di genre drama dan belakangan malah mendapat nominasi Oscar berkat perannya di Changeling. Salt merupakan salah satu tanda kembalinya Jolie ke dunia seni peran setelah tahun lalu sempat vakum sementara dengan tidak membintangi satu film pun.

Who is Salt ? Tenang, tenang. Disini Angelina Jolie tidak memerankan garam dapur atau rekan sejenisnya, melainkan sebagai agen rahasia CIA bernama Evelyn Salt. Prestasinya sebagai seorang agen bisa dibilang membanggakan, dia merupakan salah satu yang terbaik di bidangnya. Kehidupan Salt hancur saat dia diminta untuk menginterogasi seorang pengkhianat dari Rusia, Orlov (Daniel Olbrychski). Secara mengejutkan Orlov menyebut Salt sebagai agen KGB dan mengatakan bahwa tujuan utama dari Salt adalah membunuh presiden Amerika Serikat. Tentu saja ini mengejutkan semua pihak, tak terkecuali Salt sendiri. Masalah ini mungkin akan cepat selesai jika saja Salt tidak melarikan diri saat hendak diinterogasi oleh sahabatnya, Ted Winter (Liev Schreiber). Seketika itu Salt menjadi buronan paling dicari oleh pemerintah Amerika. Kepercayaan Ted dan Peabody (Chiwetel Ejiofor) terhadap Salt perlahan mulai luntur terlebih setelah Salt melakukan banyak aksi tak terduga.


Tak hanya jago dalam berakting di genre drama, Angelina Jolie tak memiliki kesulitan berarti saat dituntut untuk melakukan adegan aksi penuh baku hantam dan tembakan. Bahkan Jolie sudah mulai terlihat nyaman dan ahli disini. Saya menyukai gayanya saat membantai musuh - musuhnya. Dingin, sadis dan tanpa ampun, namun uniknya terlihat begitu elegan dan sedikit anggun di mata saya. Entah mata saya yang salah atau memang seperti itu pada kenyataannya, namun yang pasti Jolie tetap terlihat menggoda meski perannya cenderung macho. Hanya sampai di situ saja kehebatan neng Jolie di Salt karena jika kita mengharapkan akting menawan darinya pasti akan dibuat kecewa berat. Selain kehebatannya melakukan sejumlah adegan keras, Jolie tidak menawarkan apapun untuk disaksikan. Dia bermain biasa saja, cenderung datar malah. Cast yang lain juga melakukan hal yang sama. Bisa dibilang tak ada yang bisa dijual dari departemen akting. Mungkin Daniel Olbrychski yang aktingnya cukup bagus bagi saya, tapi itu pun hanya sekadar cukup.

Sebenarnya Salt tidak menawarkan sesuatu yang baru bagi penonton karena apa yang disajikan oleh Phillip Noyce sudah sering kita saksikan di film spionase lain semacam trilogi Jason Bourne maupun James Bond. Bahkan adegan aksinya pun tidak terlampau wah. Hanya saja Kurt Wimmer dan Brian Helgeland sering memasukkan twist ke dalam naskah garapan mereka sehingga alurnya tidak begitu saja mudah ditebak. Saat kita mulai merasa 'sok tahu' dengan arah yang akan dituju film ini, mereka kembali membelokkannya hingga kita sanggup dibuat gregetan, tegang sekaligus penasaran. Siapa sosok Salt sebenarnya baru diungkap di akhir film, namun sepanjang film kita dibuat menebak - nebak mengenai jati diri Salt yang sesungguhnya. Sayangnya Kurt dan Brian terlalu asyik memikirkan cara mengejutkan penonton sehingga lupa bahwa twist yang mereka tuangkan sudah overdosis. Hal ini berakibat pada paruh akhir film yang lumayan keteteran dalam hal naskah bahkan endingnya kurang greget. Jikalau beberapa twist di pertengahan film dosisnya sedikit dikurangi untuk menambah dosis di akhir mungkin hasilnya akan lebih maknyus.

Tapi jika kalian adalah tipe penonton yang tidak mau peduli mengenai urusan teknis, naskah, akting dan tetek bengek lainnya, maka Salt tak akan mengecewakan kalian. Ya, saya tidak peduli bagaimana akting Jolie disini karena Salt adalah film yang menyenangkan untuk ditonton. Menegangkan dari awal hingga akhir dengan alur yang sulit ditebak. Ini merupakan film action pertama semenjak Iron Man 2 membuka parade summer movies 2010 yang membuat saya puas lahir dan batin. The A-Team memang menghibur, tapi Salt jauh lebih enak untuk ditonton. Setidaknya naskah Salt masih sedikit berisi. Angelina Jolie meski tidak tampil seksi dan menggoda seperti biasa tetapi kesan itu masih melekat bahkan di saat Jolie terlihat kumal sekalipun.

Film aksi spionase semacam ini memang selalu seru untuk ditonton, terlepas dari naskah dan aktingnya berbobot atau tidak. Salt memang tak ada bedanya dengan film spionase yang sudah saya sebutkan di atas tapi kadar fun tidak berkurang sedikit pun terlebih dengan banyaknya twist yang dijamin membuat kalian betah duduk di kursi bioskop hingga 100 menit bergulir. Salt adalah sajian aksi yang renyah dan dibalut dengan plot yang menarik dan alur yang susah ditebak.

Trivia = sebelum akhirnya diperankan oleh Angelina Jolie, peran Salt sedianya akan diberikan kepada Tom Cruise. Tapi karena memiliki proyek lain dan takut karakternya terlalu mirip dengan Ethan Hunt dari Mission Impossible, Cruise melepas proyek ini. Nama karakter diubah dari Edwin A. Salt menjadi Evelyn Salt, begitu pula naskah yang mengalami beberapa perubahan untuk penyesuaian.

Nilai = 8/10

Selasa, 27 Juli 2010

PREVIEW : THE SOCIAL NETWORK


Siapa yang tak mengetahui Facebook ? Rasanya hampir seluruh penduduk dunia mengetahui situs jejaring sosial paling terkenal di muka bumi ini. Data terakhir mencatat ada sekitar 500 juta pengguna aktif Facebook hingga bulan Juli 2010 dan terus bertambah, bahkan di Indonesia sendiri terdapat 20 juta pengguna yang merupakan tertinggi ketiga di seluruh dunia. Data yang cukup mencengangkan. Facebook begitu populer di Indonesia, khususnya di kalangan remaja. Sukses membuat Friendster bertekuk lutut dan gempuran dari Twitter maupun MySpace tidak membuat Facebook bergeming, malah semakin kuat dari hari ke hari. Ada anggapan bahwa seseorang yang tidak memiliki akun di Facebook adalah seseorang yang tidak gaul. Saat ini Facebook bisa dikatakan multifungsi karena pengguna tidak hanya menggunakannya sebagai media untuk mencari teman tetapi juga untuk menjual barang dagangan, promosi hingga melakukan tindak kriminal.

Hollywood selalu jeli dalam mencari celah untuk meraih keuntungan. Melihat begitu tingginya tingkat kepopuleran Facebook, tentu bukan hal yang sulit untuk menjual sebuah produk yang berkaitan dengan situs ini, dalam hal ini produk yang dimaksud tentu saja adalah film. Proyek film tentang Facebook telah diumumkan sejak awal tahun 2009 dan proses kasting dimulai pada bulan Agustus 2009. Dari sini didapat beberapa nama populer yang akan bergabung dalam film ; Justin Timberlake, Jesse Eisenberg, Andrew Garfield, Brenda Song, Max Minghella, Rashida Jones dan Joseph Mazzello. Kursi penyutradaraan diserahkan kepada David Fincher yang merupakan alasan utama mengapa saya sangat menantikan film ini. Setelah menghasilkan film - film cerdas semacam Se7en, The Game, Fight Club dan The Curious Case of Benjamin Button, saya tertarik untuk melihat bagaimana penggarapan Fincher terhadap film Facebook berjudul The Social Network ini.

Penulisan naskah diserahkan kepada Aaron Sorkin yang pernah menggarap naskah A Few Good Men dan 86 episode dari The West Wing dari hasil mengadaptasi buku non fiksi karangan Ben Mezrich yang berjudul The Accidental Billionaires: The Founding of Facebook, A Tale of Sex, Money, Genius, and Betrayal. Plot resminya sendiri belum dipublikasikan oleh Columbia Pictures, namun premisnya sendiri mengetengahkan tentang tahun - tahun pertama dari Facebook yang penuh cobaan dan tentu saja biografi dari sang pendiri, Mark Zuckerberg, yang tidak hanya mendadak menjadi Miliarder tetapi juga mendapat banyak musuh terutama dari mereka yang iri dan ingin melihat kejatuhannya. Tidak berbeda jauh dengan film biografi orang sukses lainnya, tapi bagi kalian yang merupakan Facebookers atau pecandu Facebook tentu jangan sampai melewatkan film yang satu ini. Kabar lain menyebutkan bahwa The Social Network akan berdurasi lebih dari 3 jam. Hmmm, panjang juga ya? semoga durasi yang sedemikian panjang tidak menjadi bumerang bagi filmnya sendiri.

The Social Network rencananya akan dirilis pada 1 Oktober 2010 di Amerika Serikat. Mengingat film berbujet $50 juta ini baru dirilis di Singapura pada akhir tahun, ada kemungkinan The Social Network akan terlambat masuk ke Indonesia.


Jumat, 23 Juli 2010

REVIEW : SHUTTER ISLAND


Edward "Teddy" Daniels (Leonardo DiCaprio), seorang anggota US Marshal, bersama dengan partner barunya, Chuck Aule (Mark Ruffalo), ditugaskan untuk menyelidiki hilangnya seorang pasien RSJ Ashecliff di Shutter Island. Pasien bernama Rachel Solando (Emily Mortimer) ini secara ajaib menghilang dari bangsalnya yang terkunci rapat tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Kepala dokter, Dr. John Cawley (Ben Kingsley) dan para staf mungkin tidak akan sebingung ini jika Rachel hanyalah pasien biasa. Sebelum dikirim ke pulau ini, Rachel dengan biadab membunuh ketiga anaknya dan menjadikannya semacam boneka. Penyelidikan Teddy mulai terganggu saat migren mulai menyerangnya dan bayangan masa lalu saat Teddy membantai pasukan Nazi serta peristiwa yang membunuh istrinya (Michelle Williams) terus menghantuinya. Ditambah lagi Cawley yang seakan menutup - nutupi sesuatu yang semakin membuat penyelidikan Teddy menjadi rumit.

Shutter Island sedianya dirilis pada Oktober 2009 lalu, namun karena satu dan lain hal memaksa Paramount untuk mengundurkannya hingga Februari 2010. Film ini sendiri baru tayang di bioskop Indonesia pada awal Maret 2010. Shutter Island tercatat sebagai kerjasama keempat antara Leonardo DiCaprio dengan sutradara kawakan Martin Scorsese setelah Gangs of New York, The Aviator dan The Departed. Nampaknya Leo menjadi aktor favorit baru Martin setelah Robert Deniro terlebih di tiga film sebelumnya berhasil menembus Oscar, bahkan berhasil menang melalui The Departed. Tidak hanya Leo, Martin juga merekrut beberapa nama di belakang layar untuk kembali bekerja sama disini. Makin terlihat jika Shutter Island adalah proyek ambisius adalah saat melihat jajaran cast yang diisi oleh banyak nama besar meski peran yang mereka lakoni porsinya tidak begitu besar.


Genre misteri thriller psikologis memang merupakan favorit saya. Itulah mengapa saya sudah menunggu kehadiran film ini sejak lama dan cukup kecewa saat mengetahui jadwal rilisnya diundur hingga beberapa bulan kemudian. Saya sendiri baru sempat menyaksikan film ini beberapa hari yang lalu karena bioskop di tempat saya bermukim hingga saat ini dengan keterlaluan belum juga memutarnya. Penungguan yang begitu lama ternyata terbayar lunas karena saya puas dengan sajian dari Martin Scorsese ini. Memakai gaya penuturan layaknya noir, unsur misterinya begitu kental dengan tata artistik yang ciamik. Saya dibuat penasaran dengan misteri yang disodorkan sejak menit pertama dan berhasil dibuat takjub oleh endingnya yang bisa dibilang cukup mengejutkan. Alurnya memang lambat dengan durasi film yang tergolong panjang (138 menit) dan kisahnya pun bisa dibilang berat, namun hal itu tidak terasa bagi saya karena kepiawaian Martin Scorsese dalam mengarahkan film ini dan terutama memang saya menggemari film jenis ini. Tidak mudah untuk bisa mencerna apa yang hendak disampaikan oleh Martin Scorsese melalui Shutter Island ini karena membutuhkan konsentrasi lebih untuk bisa memahaminya. Bagi yang tidak terbiasa dengan film semacam ini mungkin akan dibuat bosan olehnya, butuh perjuangan keras untuk bisa menikmatinya. Akan tetapi film semacam ini bisa menjadi candu yang mengasyikkan bagi yang berhasil mengatasi masa - masa sulit tersebut.

Leonardo DiCaprio menunjukkan kebolehan aktingnya yang menawan disini, bahkan saya lebih terpukau dengan aktingnya di Shutter Island ketimbang Inception. Leo berhasil menyelami karakter Teddy dengan amat sangat baik sehingga saya merasa Teddy memang nyata adanya. Rasanya ini adalah saatnya bagi Oscar untuk mengganjar Leo dengan piala best actor tahun depan. Ben Kingsley juga tampil meyakinkan sebagai kepala dokter yang misterius begitu pula dengan Mark Ruffalo yang berhasil mengimbangi akting Leo. Emily Mortimer cukup mencuri perhatian sementara Michelle Williams membawakan perannya dengan pas. Sayangnya porsi mereka terlalu kecil. Dari sisi teknis Shutter Island bisa dikatakan bagus. Tata busana, artistik hingga sinematografinya tertata dengan menawan. Untuk dapur naskah sudah saya singgung di atas. Naskah buatan Laeta Kalogridis dari hasil adaptasi novel karya Dennis Lehane tergarap dengan amat baik dan semakin sempurna saat Martin Scorsese berhasil mewujudkannya dalam bentuk gambar.

Seperti halnya Inception, Shutter Island bukan tipikal film yang bisa dinikmati dengan santai, butuh konsentrasi lebih untuk bisa mencernanya. Alurnya memang cenderung lambat dan itu merupakan kelemahan bagi penonton yang tidak akrab dengan genre ini. Namun secara keseluruhan Shutter Island adalah film yang sangat baik, entah itu dari segi cerita, akting, penyutradaraan hingga teknis. Meski cukup berat, Shutter Island enak ditonton dan cukup menegangkan terlebih misterinya sangat membuat penasaran. Sebuah tontonan yang sayang buat dilewatkan terutama bagi kalian yang mengaku sebagai pecinta film =)

Nilai = 8/10

dark, thrilling, twisting and shocking!

Rabu, 21 Juli 2010

REVIEW : INCEPTION



A must-see movie!

Jujur, menulis review Inception sangatlah tidak mudah, bahkan bisa dikatakan ini merupakan review tersulit yang pernah saya tulis. Untuk bisa memberanikan diri menurunkan tulisan ini saya membutuhkan waktu 7 hari 7 malam untuk bertapa dan mencari ide. Sialnya, saat saya sudah mulai menulis, semuanya hilang, sepertinya ide saya baru saja dicuri oleh Dom Cobb (Leonardo DiCaprio) melalui mimpi. Baiklah, saya berhenti untuk meracau dan melanjutkan untuk mengulas salah satu film paling jenius dalam 10 tahun terakhir ini. Sejak kemunculan perdana teaser trailer-nya, Inception sudah mulai mencuri perhatian khalayak ramai terlebih karena trailer yang dibuat misterius begitu pula dengan plotnya yang disimpan sedemikian rapat. Inception merupakan film paling diperbincangkan dan ditunggu oleh pecinta film, termasuk saya. Saat daftar rilisan film tahun 2010 dipublikasikan di awal tahun, Inception langsung menyeruak ke posisi puncak film yang paling saya tunggu kehadirannya. Sekarang pertanyaannya adalah, apakah sepadan penungguan para pecinta film selama kurang lebih setahun dan 10 tahun bagi Christopher Nolan untuk bisa mewujudkan film ini ? Jawabannya ; Absolutely, yes. Sangat sepadan.

Plot merupakan bagian terpenting dari film ini, oleh karenanya saya hanya akan menulis inti ceritanya saja karena saya tidak ingin merusak kenikmatan menonton para pembaca sekalian. Dom Cobb, seorang pencuri profesional yang mampu mencuri rahasia - rahasia terdalam sekalipun melalui pikiran bawah sadar korbannya di tengah keadaan bermimpi. Sebagai kriminal paling lihai di dunia yang penuh intrik, Cobb menjadi tokoh paling banyak diburu berbagai pihak. Tindakan riskannya ini pula yang mengorbankan semua yang pernah dicintainya. Demi menebusnya, dia mengambil tawaran dari Saito (Ken Watanabe) untuk menanamkan ide pada saingan bisnis Saito, Robert Fischer (Cillian Murphy). Bukan perkara yang mudah, apalagi yang diminta oleh Saito adalah insepsi (penanaman ide), bukan mencuri ide seperti yang biasa Cobb lakukan. Bersama dengan timnya yang terdiri atas Arthur (Joseph Gordon-Levitt), Ariadne (Ellen Page), Eames (Tom Hardy) dan Yusuf (Dileep Rao), Cobb harus menuntaskan misi maha sulit yang berbahaya ini jika ingin kembali bertemu dengan keluarga yang dikasihinya.


Plotnya terdengar cukup menjanjikan, bukan ? Itu masih belum ada apa - apanya dibandingkan dengan apa yang disajikan dalam bentuk visual dan naskah lengkapnya. Banyak twist yang dihadirkan disini, sangat sulit untuk menebak alurnya apalagi endingnya. Durasi 148 menit yang tergolong panjang tidak terasa bagi saya karena Inception berhasil menyihir saya untuk tetap duduk tenang di kursi bioskop dan fokus kepada apa yang disajikan di layar. Filmnya sendiri sangat menegangkan, plot berlapis - lapis dengan misteri yang menarik memaksa untuk menahan hasrat ke kamar kecil hingga film berakhir. Saya benar - benar kagum dengan ide cerita yang disodorkan oleh Christopher Nolan, sangat brilian dan tidak terpikirkan oleh siapapun sebelumnya. Pernahkah kalian membayangkan mimpi yang memiliki tiga hingga empat tingkat ? Rasanya, tidak. Mungkin jika hanya dua tingkat beberapa pernah membayangkannya, tapi dengan tiga tingkat ? Bahkan ide mengenai seseorang yang bisa mencuri dan menanamkan ide melalui alam bawah sadar sekalipun. Sutradara yang satu ini memang sudah "gila". Jika sosok Cobb dan apa yang dilakukannya memang benar adanya, mungkin saya sudah menyewanya untuk mencuri ide Nolan, haha. Sebelum Inception, Nolan juga sudah pernah membesut film gila lainnya berjudul Memento dan membuat Batman terlihat lebih berkelas di The Dark Knight.

Lupakan saja kegilaan sutradara yang satu ini, mari beralih dengan membahas hal lain. Seluruh aspek yang hadir dalam Inception sudah hampir sempurna, sulit menemukan celanya. Untuk urusan akting tak usahlah ditanya lagi. Dengan deretan cast yang memiliki track record menang atau nominasi dari Oscar dan Golden Globe sudah bisa ditebak hasilnya akan seperti apa. Leo tetap bermain gemilang seperti biasa, begitu pula dengan Ken Watanabe yang bermain sangat ciamik. Joseph Gordon-Levitt dan Ellen Page makin terlihat matang ketimbang film sebelumnya, Tom Hardy juga semakin bagus saja sejak aktingnya di Bronson yang menawan. Namun dari semua cast yang paling menonjol adalah Marion Cotillard yang berperan sebagai Mal, istri dari Cobb. Porsi aktingnya memang yang paling kecil akan tetapi Marion berhasil mengeluarkan ledakan yang paling besar diantara cast yang lain, termasuk Leo sekalipun. Semenjak menang Oscar melalui La Vie en Rose, Marion tak pernah sekalipun menghadirkan akting yang mengecewakan meski perannya kecil sekalipun, seperti dalam film ini misalnya. Secara berturut - turut Marion Cotillard membintangi dua film dimana di dalamnya memakai ensemble cast dan dalam kedua film tersebut pula aura Marion yang paling bersinar terang. Hebat sekali aktris yang satu ini. Rasa - rasanya juri Oscar akan kembali meliriknya untuk dimasukkan dalam nominasi best supporting actress tahun depan.

Banyak yang membandingkan Inception dengan The Matrix, terutama bagi mereka yang belum menontonnya. Tapi percayalah, kedua film tersebut berbeda meski jika dilihat sekilas memang cenderung mirip. Adegan aksi yang disajikan disini memang tidak seorisinil The Matrix, tapi tetap membuat saya berdecak kagum. Beberapa diantara adegan tersebut adalah adegan aksi tanpa gravitasi di hotel yang melibatkan karakter Arthur dan pengejaran atas Cobb setelah dia bertemu dengan Eames, seru sekali. Sepertinya saat adegan tersebut bergulir di layar saya tak bernafas sama sekali, haha. Humor tetap ditemukan disini, walaupun jumlahnya tidak banyak tapi cukup berhasil mencairkan ketegangan terutama ketegangan di area otak. Jika membahas mengenai adegan aksi, kurang afdhol rasanya jika special effects tak disentuh. Tapi saya bingung, mau membahas apa di area special fx ? sajiannya begitu menakjubkan dan memanjakan mata. Mungkin jika Inception hadir 10 tahun yang lalu akan terasa kering, tapi seiring dengan kemajuan teknologi, apa yang diinginkan oleh Nolan bisa diwujudkan. Contohnya saat Ariadne sang arsitek dengan mudahnya menekuk struktur bangunan dan jalanan sehingga tepat berada di atas kepala. Sajian special effect disini memang dihadirkan sesuai kebutuhan cerita sehingga tak terkesan berlebihan atau mubazir.

Fuhhhh, apa lagi yang mesti dibahas ? Untuk saat ini, tidak ada. Bukan karena saya kehabisan bahan, akan tetapi justru sebaliknya. Jika ingin membicarakan Inception, ada setumpuk bahan yang bisa dijadikan bahasan yang menarik. Tapi jika saya memaksa untuk memasukannya dalam review ini, yang ada justru akan menjadi spoiler. Membahas Inception tanpa menyentuh ranah spoiler memang sulit karena seperti yang telah saya tulis di atas, plot merupakan bagian terpenting dari film ini. Dari segi teknis pun rasanya tak ada yang perlu diulas mengingat film ini sangat unggul disana. Mungkin saya hanya ingin menyarankan kepada pembaca agar tidak datang terlambat atau melewatkan satu detik pun saat menonton film ini bioskop. Usahakan urusan di belakang sudah tuntas sehingga tak perlu bolak - balik ke toilet. Menonton film ini membutuhkan konsentrasi tinggi, sedikit saja terlewat maka buyar segalanya. Bahkan terkadang detil kecil sekalipun sangat penting bagi film ini secara sekeluruhan. Jadi, siapkan mood, tuntaskan masalah di belakang dan konsentrasilah saat menyaksikan film super jenius ini. Oia, jangan lupa matikan handphone. Selamat menonton!

Nilai = 9/10
(Maaf, masih berada di bawah Toy Story 3)

Thrilling, stunning, mind-blowing, GENIUS!

Minggu, 18 Juli 2010

REVIEW : DESPICABLE ME



Despicable Me merupakan film animasi 3D panjang pertama bikinan Illumination Entertainment yang baru didirikan pada tahun 2007 silam. Sebagai film debut, Despicable Me ternyata hadir cukup mengejutkan bagi saya karena film ini sangatlah menghibur. Sulit dipercaya jika pembuat film ini merupakan pemain baru di dalam industri perfilman apalagi 3D yang dihasilkan oleh film ini tergolong bagus. Selain Avatar, Despicable Me adalah film yang harus ditonton dalam versi 3D karena efek yang dihasilkan sangat terasa, berasa keluar dari layar. Maka jangan ragu untuk menyaksikan film ini di layar 3D karena dijamin kalian tidak akan dibuat menyesal olehnya. Untuk tahun 2010 ini, so far Despicable Me adalah yang terbaik untuk urusan 3D.



Dunia dihebohkan oleh hilangnya Piramida dari tempatnya di Mesir. Seketika itu, seluruh dunia meningkatkan pengamanan terhadap tempat - tempat bersejarah dan penting di negara mereka sendiri agar insiden hilangnya Piramida tidak terulang kembali. Gru (Steve Carell), penjahat terkejam sedunia, juga dibuat kebingungan karena peristiwa ini. Kredibilitasnya sebagai penjahat no 1 dipertanyakan karena dia kalah telak dengan juniornya yang mampu melakukan kejahatan yang lebih hebat ketimbang dirinya. Dengan bantuan asistennya, Dr. Nefario (Russell Brand), Gru merencanakan untuk mencuri bulan. Ternyata banyak kendala yang harus dia hadapi terutama masalah dana. Bank of Evil pun enggan memberikan pinjaman uang karena prestasi Gru belum bisa dikatakan membanggakan untuk ukuran penjahat kelas wahid. Mr. Perkins (Will Arnett) bahkan meminta Gru untuk mencuri sinar penyusut terlebih dahulu jika ingin mendapat pinjaman. Sial bagi Gru, saat barang tersebut sudah di tangannya, Vector (Jason Segel) justru mencurinya. Terjadilah perseteruan diantara mereka. Demi memuluskan rencananya, Gru mengadopsi tiga gadis kecil penjual kue dari panti asuhan ; Margo (Miranda Cosgrove), Edith (Dana Gaier) dan Agnes (Elsie Fisher). Dari yang awalnya hanya memanfaatkan mereka untuk ambisi pribadinya, perlahan - lahan Gru justru menjadi dekat dengan mereka bertiga dan rela melakukan apapun demi melindungi anak angkatnya.


Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, Despicable Me adalah sebuah film animasi yang luar biasa menghibur. Film ini sukses mengocok perut saya dari awal hingga akhir film tanpa henti, sangat lucu. Naskahnya sendiri terbilang sederhana, kalau tidak mau dibilang klise, namun berhasil diramu dengan menarik sehingga saya berhasil dibuat penasaran untuk terus mengikuti kisahnya hingga akhir. Humornya juga fresh dan dijamin mampu membuat kalian tertawa terpingkal - pingkal terlebih saat melihat polah tingkah Minions, makhluk kuning yang menjadi anak buah Gru. Ide untuk menciptakan karakter berbentuk makhluk kuning ini juga patut diacungi jempol, bisa jadi Illumination Entertainment akan menjadikan Minions sebagai trademark mereka kelak. Sulit rasanya bagi saya untuk menahan tawa karena apa yang disajikan oleh Despicable Me memang sangat menarik, menghibur dan lucu. Tak hanya Minions saja yang lucu, tetapi juga karakter lain seperti Gru dengan logatnya yang unik, Vector yang konyol hingga Agnes yang begitu menggemaskan. Untuk jajaran pengisi suara tak perlu dibahas karena mereka telah menjalankan tugasnya dengan sangat baik terutama Steve Carell yang sukses menghidupkan karakter Gru.

Apa lagi yang perlu dibahas mengenai film ini? rasanya tidak ada. Despicable Me sudah jelas telah masuk ke dalam barisan film animasi terbaik 2010 bersama Toy Story 3 dan How to Train Your Dragon. Mungkin saya hanya ingin meyakinkan kepada pembaca bahwa film ini sangat layak dan harus kalian tonton, terutama di layar 3D. Perasaan saya terhadap Despicable Me pada awalnya sama seperti kebanyakan orang, pesimis. Bahkan saat melihat poster dan trailer-nya pun belum ada sedikitpun gairah untuk menyaksikan film ini. Namun setelah menontonnya, perasaan puas yang didapat. Despicable Me tidak hanya unggul dari segi kualitas naskah dan penggarapan saja, bahkan animasi dan 3D-nya pun begitu bagus. Salut buat Illumination Entertainment yang bisa membuat film animasi sebagus ini untuk film panjang pertama mereka. Kekurangan yang ada masih bisa dimaafkan terlebih mereka masih pendatang baru. Apa yang ditawarkan film ini sudah lebih dari cukup.

Oia, jangan keburu kabur dulu setelah film berakhir. Ada aksi - aksi konyol dari Minions saat end credits bergulir =)

Nilai = 8/10

Light bulb!



Sabtu, 10 Juli 2010

REVIEW : PREDATORS (2010)



Butuh waktu sekitar 20 tahun untuk kembali menghidupkan Predator yang bisa dibilang merupakan salah satu karakter dalam film yang paling terkenal. Predators sendiri merupakan kelanjutan dari Predator (1987), yang dibintangi oleh Arnold Schwarzenegger, dan Predator 2 (1990). Sebelum memulai aksi di film terbarunya ini, Predator juga sempat ditandingkan dengan Alien dalam Alien vs Predator yang menurut saya sangat mengecewakan. Robert Rodriguez yang bertindak sebagai produser nampaknya tertarik untuk melanjutkan franchise ini. Duduk di bangku sutradara adalah sutradara penghasil Kontroll, Vacancy dan Armored, Nimród Antal, sementara barisan cast-nya lumayan menjanjikan karena hadirnya Adrien Brody dan Topher Grace.



Film dibuka dengan cukup menjanjikan saat delapan orang yang tidak saling mengenal terjun bebas dari pesawat dan mendarat di sebuah hutan yang sama sekali asing bagi mereka. Kedelapan orang tersebut adalah ; Royce (Adrien Brody), tentara bayaran profesional, Isabelle (Alice Braga), seorang sniper yang baru saja balik dari Israel, Edwin (Topher Grace), seorang dokter, Nikolai (Oleg Taktarov), tentara asal Rusia, Hanzo (Louis Ozawa Changchien), Yazuka yang pendiam, Stans (Walton Goggins), narapidana buronan FBI, Mombasa (Mahershalalhashbaz Ali), mantan militan RUF dari Sierra Leone dan Chucillo (Danny Trejo), anggota kartel narkoba dari Meksiko. Mereka lalu menyadari bahwa hutan ini berada jauh dari bumi, itu artinya saat ini mereka berada di planet lain. Dalam usaha melarikan diri dari hutan yang sepertinya tak berbatas ini, mereka harus menghadapi makhluk pemangsa yang brutal dan tanpa belas kasih.



Saya awalnya cukup meragukan film ini terlebih jika saya mengingat betapa buruknya kualitas Alien vs Predator. Bahkan saya pribadi belum menyaksikan dua prekuelnya, hanya pernah menontonnya sekilas di layar televisi. Namun Predators ternyata di luar dugaan saya, film ini begitu mencekam, seru dan penuh dengan twist. Opening scene-nya saja sudah menjanjikan dan hal ini terus berlanjut hingga akhir film. Alurnya begitu cepat sehingga tidak terasa membosankan. Penonton disuguhi berbagai adegan aksi yang seru serta cerita yang tidak mudah ditebak. Sungguh mengasyikkan. Naskahnya sendiri sebenarnya biasa saja dan banyak kita jumpai dalam film aksi kelas B, namun tim penulis skenario yang terdiri dari Michael Finch dan
Alex Litvak berhasil meramunya dengan sangat baik sehingga Predators terlihat sedikit berkelas. Tampilan special effect-nya pun mengagumkan. Yang pasti, fans Predator tidak akan dibuat kecewa olehnya karena tampilan Predator tetap setia seperti aslinya.

Salut untuk Adrien Brody yang tampil berbeda disini. Brody yang biasanya terlihat kalem berubah menjadi brutal, bahkan tampilan fisiknya pun bisa dibilang berubah drastis. Penonton yang awalnya ragu dengan penempatan Brody sebagai karakter utama akan dibuat terkejut. Tak disangka dia bisa bermain baik di genre action. Royce digambarkan sebagai karakter yang tangguh, brutal dan cenderung egois diperankan dengan mulus oleh Brody. Begitu pula dengan Topher Grace yang berperan sebagai dokter dengan masa lalu yang misterius. Ada kalanya terlihat manis, namun di saat lain menjadi mencurigakan sekaligus menyebalkan. Barisan cast yang lain tidak menunjukkan performa yang menonjol, biasa saja.

Sebagai sebuah film, Predators bisa dikatakan cukup berhasil karena berhasil menyuguhkan tontonan yang menghibur. Dalam film ini penonton akan dibawa dalam suatu petualangan yang mencekam, seru dan penuh kejutan. Mungkin bagi penonton yang kurang menyukai film aksi Predators akan terasa menjemukan dan menyebalkan, tapi film ini bagaikan surga bagi pecinta film aksi dan thriller.

Nilai = 7/10


Jumat, 09 Juli 2010

REVIEW : 3 HATI 2 DUNIA 1 CINTA



Kisah cinta antara dua insan beda agama sebelumnya telah diangkat oleh film indie yang ciamik berjudul Cin(t)a dan sebuah film pendek berjudul sama. Benni Setiawan mencoba untuk mengambil tema yang sama untuk film terbarunya ini dengan mengambil pendekatan yang berbeda. Meskipun masalah yang dihadapi oleh karakter utama dalam film 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta ini jauh lebih kompleks ketimbang dua film yang telah disebutkan di awal, Benny memilih untuk mengemasnya dalam jalur komedi drama. Film ini sendiri diadaptasi dari novel sukses karangan Ben Sohib, Da Peci Code dan Balada Rossid dan Della.

Rosid (Reza Rahadian), pemuda muslim yang idealis dan terobsesi menjadi seniman besar seperti WS Rendra. Gaya seniman Rosid dengan rambut kribonya membuat Mansur (Rasyid Karim), sang ayah, gusar karena tidak mungkin bagi Rosid untuk memakai peci. Padahal peci—bagi Mansur—adalah lambang kesalehan dan kesetiaan kepada tradisi keagamaan. Bagi Rosid, bukan sekadar kribonya yang membuatnya tidak mungkin memakai peci, melainkan karena Rosid tidak ingin keberagamaannya dicampur-baur oleh sekadar tradisi leluhur yang disakralkan

Delia (Laura Basuki), seorang gadis katolik berwajah manis, kepincut pada sosok Rosid. Tentu saja ini hubungan yang nekad . Rosid dan Delia adalah dua anak muda yang rasional dalam menyikapi perbedaan. Tapi orang tua mana yang rela dengan kisah cinta mereka. Maka mereka pun mencari cara untuk memisahkan Rosid dan Delia. Jurus Frans (Robby Tumewu) dan Martha (Ira Wibowo), orang tua Delia, adalah dengan mencoba mengirim Delia sekolah ke Amerika. Berbeda lagi dengan Mansur. Ia berupaya menjinakkan Rosid dengan meminta nasihat Said (Zainal Abidin Domba), sepupunya yang ternyata tega menipunya

Muzna (Henidar Amroe), ibunda yang sangat dihormati Rosid, pun turun tangan. Sang Ibu dengan bantuan Rodiah, adik suaminya, menjodohkan Rosid dengan Nabila (Arumi Bachsin), gadis cantik berjilbab yang ternyata mengidolakan Rosid, sang penyair. Memang, cinta Rosid dan Delia begitu kuat, tapi sekuat itu juga tantangannya. Selain perbedaan agama ternyata ada beban psikologis yang harus dihadapi jika mereka meneruskan hubungan itu hingga ke ikatan pernikahan. Berhasilkah mereka bersatu dalam ikatan perkawinan? Memang nasib cinta tak ada seorang pun yang tahu.

3 Hati 2 Dunia 1 Cinta mengalir dengan ceria dan ringan, meski ada kalanya penonton dibuat mengharu biru saat konflik mulai menajam, tak seperti Cin(t)a yang cenderung berat dan penuh dengan muatan filosofis. Sedikit terseok saat memulai film dimana 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta tampak seperti FTV kebanyakan di stasiun TV swasta, opening scene yang terbilang klise. Saat penonton mengetahui pokok permasalahan sebenarnya, barulah film mulai enak untuk diikuti. Humornya renyah dan beberapa kali sanggup mengundang tawa. Mungkin ada beberapa penonton yang merasa humor yang disajikan terasa sedikit pasaran, tapi memang seperti itulah yang tersaji dalam novelnya. Benni Setiawan mencoba patuh pada novelnya. Yang patut dipuji adalah bagaimana Benni sanggup menyeimbangkan porsi drama dan komedi secara pas sehingga film menjadi begitu nikmat untuk disantap. Beberapa kali Benni Setiawan mencoba untuk melontarkan beberapa sindiran kepada masyarakat terutama dengan dimunculkannya karakter sekelompok orang Islam yang terlalu fanatik terhadap agamanya sehingga terkesan sesat serta dialog - dialog yang diucapkan oleh beberapa karakter penting. Ada kalanya sindiran itu tepat sasaran, namun beberapa malah terasa aneh dan berlebihan.

Peran Rosid nampaknya kurang begitu menantang bagi Reza Rahadian sehingga aktingnya kurang begitu maksimal disini. Laura Basuki yang bermain bagus dalam Gara Gara Bola malah kaku sebagai Delia dan berakting layaknya di FTV, alih - alih film layar lebar. Arumi Bachsin tampil cantik dengan jilbabnya tapi dengan porsi karakter yang begitu sedikit membuatnya kesulitan untuk lebih mengeskplor kemampuan aktingnya, malah terlihat sebagai pemanis belaka. Tampil memukau dalam film ini adalah Henidar Amroe yang berhasil membawakan peran ibu yang lembut dan penyayang dengan sangat apik. Bintang pendukung lainnya tampil dalam porsi yang cukup, meski cukup disayangkan Robby Tumewu dan Ira Wibowo kurang mendapat porsi tampil yang cukup banyak.

Film semacam inilah yang seharusnya mendapat perhatian lebih oleh masyarakat. Meski tema yang diangkat cenderung sensitif, tapi banyak pelajaran yang bisa dipetik dari sini, terutama bagi yang beragama Islam. Benni Setiawan dengan cerdas banyak menyelipkan pesan moral dalam tindakan serta ucapan para karakternya tanpa terkesan menggurui penonton. Endingnya cukup menyebalkan bagi beberapa penonton, tapi bagi saya cukup manis dan memang sepatutnya diakhiri seperti itu. Sebuah adaptasi novel yang terbilang cukup sukses.

Nilai = 7/10


Kamis, 08 Juli 2010

SPECIAL : 62nd PRIMETIME EMMY AWARDS NOMINEES


Sebelum saya posting review Predators dan 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta, perkenankanlah saya untuk posting nominasi Emmy Awards 2010 yang baru saja diumumkan. Seperti yang telah diduga, Glee memimpin untuk kategori serial komedi dengan 19 nominasi. Jagoan lama di serial drama, Mad Men, meraih 17 nominasi. Tapi nominasi terbanyak justru diraih oleh miniseri yang diproduseri oleh Steven Spielberg / Tom Hanks dan ditayangkan di HBO, The Pacific, dengan perolehan 24 nominasi.

Saya pribadi cukup puas dengan nominasi tahun ini karena beberapa serial / program favorit saya berhasil menembus nominasi ; Modern Family, Glee, The Good Wife, Lost, The Amazing Race hingga American Idol. Belum berkesempatan menyaksikan The Pacific, tapi saya percaya miniseri ini sebagus Band of Brothers. Untuk kali ini saya posting nominasinya saja, prediksi pemenang akan saya posting beberapa hari sebelum acara digelar. Yang pasti, saya mendukung serial favorit saya, terutama Modern Family yang ciamik itu. Saya berharap, serial ini mendapat Emmy untuk kategori supporting actor & actress karena disinilah letak kekuatan Modern Family. Sementara untuk kategori serial komedi terbaik agaknya cukup sulit karena harus menghadapi tiga raksasa ; 30 Rock, The Office dan Glee. Sepertinya The Amazing Race akan kembali menang (semoga)

Inilah beberapa nominasi Emmy untuk kategori utama :

Drama Series
Breaking Bad
Dexter
The Good Wife
Lost
Mad Men
True Blood


Comedy Series
30 Rock
Curb Your Enthusiasm
Glee
Modern Family
Nurse Jackie
The Office


Reality Competition Series
The Amazing Race
American Idol
Dancing with the Stars
Project Runway
Top Chef


Variety, Music or Comedy Series
The Colbert Report
The Daily Show
Real Time with Bill Maher
Saturday Night Live
Tonight Show with Conan O'Brien


Lead Actor in a Drama Series
Kyle Chandler, Friday Night Lights
Bryan Cranston, Breaking Bad
Matthew Fox, Lost
Michael C. Hall, Dexter
Jon Hamm, Mad Men
Hugh Laurie, House

Lead Actress in a Drama Series
Connie Britton, Friday Night Lights
Glenn Close, Damages
Mariska Hargitay, Law & Order: SVU
January Jones, Mad Men
Julianna Margulies, The Good Wife
Kyra Sedgwick, The Closer

Lead Actor in a Comedy Series
Alec Baldwin, 30 Rock
Steve Carell, The Office
Larry David, Curb Your Enthusiasm
Matthew Morrison, Glee
Jim Parsons, The Big Bang Theory
Tony Shalhoub, Monk

Lead Actress in a Comedy Series
Toni Collette, United States of Tara)
Edie Falco, Nurse Jackie
Tina Fey, 30 Rock
Lea Michele, Glee
Julia Louis-Dreyfus, The New Adventures of Old Christine
Amy Poehler, Parks and Recreation

Supporting Actor in a Drama Series
Michael Emerson, Lost
Martin Short, Damages
Andre Braugher, Men of a Certain Age
Terry O'Quinn, Lost
Aaron Paul, Breaking Bad
John Slattery, Mad Men

Supporting Actress in a Drama Series
Archie Panjabi, The Good Wife
Christine Baranski, The Good Wife
Sharon Gless, Burn Notice
Rose Byrne, Damages
Elisabeth Moss, Mad Men
Christina Hendricks, Mad Men

Supporting Actor in a Comedy Series
Chris Colfer, Glee
Neil Patrick Harris, How I Met Your Mother
Jesse Tyler Ferguson, Modern Family
Eric Stonestreet, Modern Family
Ty Burrell, Modern Family
Jon Cryer, Two and a Half Men

Supporting Actress in a Comedy Series
Julie Bowen, Modern Family
Jane Lynch, Glee
Jane Krakowski, 30 Rock
Sofia Vergara, Modern Family
Kristen Wiig, Saturday Night Live
Holland Taylor, Two and a Half Men

Guest Actor in a Comedy Series
Mike O'Malley, Glee
Neil Patrick Harris, Glee
Fred Willard, Modern Family
Eli Wallach, Nurse Jackie
Jon Hamm, 30 Rock
Will Arnett, 30 Rock

Guest Actor in a Drama Series
Beau Bridges, The Closer
Ted Danson, Damages
John Lithgow, Dexter
Alan Cumming, The Good Wife
Dylan Baker, The Good Wife
Robert Morse, Mad Men
Gregory Itzin, 24

Guest Actress in a Comedy Series
Christine Baranski, The Big Bang Theory
Kathryn Joosten, Desperate Housewives
Kristin Chenoweth, Glee
Tina Fey, Saturday Night Live
Betty White, Saturday Night Live
Elaine Stritch, 30 Rock
Jane Lynch, Two and a Half Men

Guest Actress in a Drama Series
Mary Kay Place, Big Love
Sissy Spacek, Big Love
Shirley Jones, The Cleaner
Lily Tomlin, Damages
Ann-Margret, Law & Order: SVU
Elizabeth Mitchell, Lost

Made for TV Movie
Endgame
Georgia O'Keefe
Moonshot
The Special Relationship
Temple Grandin
You Don't Know Jack


Mini-Series
The Pacific
Return to Cranford


Lead Actress in a Miniseries or Made for TV Movie
Maggie Smith, Capturing Mary
Joan Allen, Georgia O'Keefe
Judi Dench, Return to Cranford
Hope Davis, The Special Relationship
Claire Danes, Temple Grandin

Lead Actor in a Miniseries or Made for TV Movie
Jeff Bridges, A Dog Year
Ian McKellen, The Prisoner
Dennis Quaid, The Special Relationship
Michael Sheen, The Special Relationship
Al Pacino, You Don't Know Jack

Writing for a Comedy Series
"Pilot," Glee
"Pilot," Modern Family
"Niagara," The Office
"Anna Howard Shaw Day," 30 Rock
"Lee Marvin vs. Derek Jeter," 30 Rock

Writing for a Drama Series
"The Son," Friday Night Lights
"Pilot," The Good Wife
"The End," Lost
"Guy Walks Into An Advertising Agency," Mad Men
"Shut The Door. Have A Seat," Mad Men

Sabtu, 03 Juli 2010

PREVIEW : HARRY POTTER AND THE DEATHLY HALLOWS


Cukup mengejutkan saat mengetahui David Yates kembali duduk di bangku sutradara. Kegagalannya dalam menyuguhkan adaptasi yang memuaskan bagi fans maupun penonton awam dari Harry Potter and the Half-Blood Prince masih terasa menyakitkan hingga kini. Namun untuk seri terakhir ini dia menjanjikan akan lebih setia pada novel dan memuaskan para fans novelnya. Semoga saja kali ini bukan sekadar janji.

Baru - baru ini pihak Warner Bros. merilis teaser poster sekaligus official trailer (part II) dari Harry Potter and the Deathly Hallows. Fans menyambutnya dengan gegap gempita, bahkan langsung bercokol di no 1 trending topic Twitter, menyingkirkan The Last Airbender dan Eclipse yang justru premiere pada saat itu.


Harry Potter and the Deathly Hallows dibagi ke dalam dua bagian. Part I rilis pada 19 November 2010, sementara Part II menyusul pada 15 Juli 2011.

New Trailer :


Jumat, 02 Juli 2010

REVIEW : THE A-TEAM


Diadaptasi dari sebuah serial TV yang pernah populer di tahun 80-an, The A-Team menjanjikan sebuah suguhan menghibur yang penuh dengan ledakan dan humor. Tayang selama 5 musim dalam kurun waktu 1983 hingga 1987, The A-Team bisa dikatakan sebagai salah satu serial TV paling populer pada dekade tersebut. Konon kabarnya sempat tercipta tren rambut Mohawk serta berbagai macam aksesoris kalung ala Mr. T. Saya pribadi belum pernah menyaksikan serial ini secara utuh karena saya belum lahir pada saat itu. Hanya pernah menonton The A-Team versi serial TV secara sepotong - potong via internet. Dalam review ini saya berusaha untuk tidak membandingkan versi film dengan serial aslinya karena alasan yang sudah saya sebutkan di atas, namun lebih kepada sukses atau tidaknya film ini menyajikan sebuah hiburan yang berkualitas.

The A-Team adalah sekumpulan Army Ranger veteran Perang Irak yang berprofesi sebagai tentara bayaran. Terdiri dari empat personil, mereka adalah ; Kolonel Hannibal Smith (Liam Neeson), ahli penyamaran memimpin kelompok untuk misi khusus yang memiliki kecepatan, keterampilan luar biasa untuk sebuah tim yang sangat eksentrik, Lt. Templeton "Faceman" Peck(Bradley Cooper) yang sering memanfaatkan ketampanan wajahnya untuk menggoda para gadis demi tujuan pribadi sekaligus keperluan misi, Bosco "Bad Attitude" Baracus (Quinton 'Rampage' Jackson) yang nyentrik sekaligus memiliki phobia terbang dan Murdock (Sharlto Copley) yang mutlak dinyatakan memiliki gangguan kejiwaan. Mereka dikirim ke penjara federal karena dituduh berkomplot dengan buronan pencetak plat uang sekaligus dianggap mengancam keamanan negara. Merasa tidak bersalah, Hannibal memimpin pasukannya untuk meloloskan diri dan mengejar pelaku sebenarnya dengan bantuan dari seorang agen CIA bernama Lynch (Patrick Wilson). Sementara itu, pemerintah mengirimkan Charisa Sosa (Jessica Biel), seorang agen rahasia sekaligus mantan kekasih Faceman, untuk menangkap mereka.


Tergolong ke dalam summer movie yang hanya mengandalkan adegan aksi, tanpa diduga The A-Team ternyata cukup renyah untuk dinikmati. Joe Carnahan berhasil menutupi kedangkalan naskahnya dengan berbagai adegan aksi yang menghibur. Berbeda dengan Prince of Persia, saya sangat bisa menikmati apa yang disuguhkan oleh The A-Team meskipun jika ditilik dari segi naskah film ini sangat klise dan predictable. Beberapa adegan juga ditampilkan secara berlebihan tapi masih bisa ditolerir. Humor yang ada sebenarnya kurang berhasil bagi saya, terlalu garing. Untunglah Sharlto Copley yang sebelumnya berakting menawan di District 9 berhasil membawakan peran Murdock dengan lucu sehingga masih ada satu dua adegan yang bisa membuat saya tersenyum. Pemilihan cast-nya juga bisa dibilang tepat, semua aktor membawakan perannya dengan mulus. Salut buat Rampage yang bisa memainkan peran Baracus dengan gayanya sendiri, tidak mencoba untuk meniru Mr. T. Kelebihan dari film ini sebenarnya adalah adegan aksinya yang tiada henti mulai dari awal hingga akhir. The A-Team memang cocok untuk disaksikan bagi siapapun yang menginginkan hiburan ringan menghibur sekaligus para pecinta film action. Penuh dengan ledakan dan suara desingan peluru. Bujet sebesar $ 165 juta dimanfaatkan secara maksimal oleh Joe Carnahan.

Meskipun film semacam ini lebih banyak disaksikan oleh pria, tapi sayangnya The A-Team kurang man-friendly untuk sesuatu yang berbau eye-candy. hehe.. Bagi para perempuan mungkin akan terpuaskan oleh Bradley Cooper yang beberapa kali shirtless, sementara Jessica Biel meskipun tampil cantik tapi kurang terlihat hot disini. Bandingkan dengan SiennaMiller yang tampil menggoda dalam G.I. Joe : The Rise of Cobra. Saya merasa The A-Team memiliki tone yang serupa dengan film tersebut, tapi dari segi penggarapan The A-Team jelas lebih unggul.

Nilai = 6/10
film aksi yang menghibur meskipun naskahnya klise dan predictable. Cocok bagi yang mengharapkan sajian ringan nan menghibur sebagai pengisi waktu luang di kala liburan atau sebagai penghilang stres.

Kamis, 01 Juli 2010

REVIEW : ECLIPSE



Buruknya kualitas New Moon membuat para penonton, terutama yang bukan berasal dari kalangan Twi-hards, memandang rendah Twilight Saga dan emoh untuk menyaksikan kelanjutannya karena kadung dibuat kecewa. Tapi bagi para Twi-hards dan pecinta film, seburuk apapun kualitas versi film dari saga ini tetap wajib untuk disaksikan. Beberapa perubahan dilakukan supaya Eclipse terlihat lebih segar, terutama perubahan di bangku penyutradaraan serta jajaran cast. Chris Weitz tidak lagi bertindak sebagai sutradara, kali ini tampuk penyutradaraan diserahkan kepada David Slade. Beberapa nama baru ikut bergabung dalam Eclipse, seperti Bryce Dallas Howard, Catalina Sandino Moreno, Jodelle Ferland dan Xavier Samuel. Jika tiga nama terakhir masuk karena adanya penambahan karakter baru, maka posisi Bryce Dallas Howard disini sebagai pengganti Rachelle Lefevre untuk memerankan Victoria.

Isabella Swan (Kristen Stewart) sudah mantap untuk mengubah dirinya menjadi vampire demi menikahi kekasih idamannya, Edward Cullen (Robert Pattinson). Akan tetapi, Jacob Black (Taylor Lautner) masih saja membayangi kehidupan Bella dan meminta Bella untuk mempertimbangkan kembali keputusannya. Dasar Bella, sedikit saja masalah yang dibuat oleh Edward dan hadirnya kembali sosok Jacob dalam hidupnya membuat dia kembali mengalami kebimbangan. Di satu sisi dia sangat mencintai Edward sementara di sisi lain Bella tidak mau kehilangan Jacob. Alhasil, hubungan ketiga tokoh utama ini pun menjadi sangat ruwet hingga durasi film hampir seluruhnya dihabiskan hanya untuk menyoroti permasalahan mereka. Agar tidak kelihatan seperti chick-flick biasa, maka perlu ditambahkan pertarungan antara vampir baru dengan keluarga Cullen plus para werewolf. Dikisahkan Victoria (Bryce Dallas Howard) ingin membalas dendam atas kematian orang yang paling dicintainya. Untuk itu dia membentuk pasukan vampir baru yang dipimpin oleh Riley (Xavier Samuel) dengan tujuan membunuh Bella agar Edward merasakan penderitaan yang dialami oleh Victoria.

Sebelum menyutradarai Eclipse, David Slade tercatat pernah membesut film vampire berjudul 30 Days of Night yang sukses tidak hanya di tangga box office tetapi juga secara kualitas. Bersyukur Eclipse memiliki seorang David Slade sebagai sutradara. Berbeda dengan dua sutradara sebelumnya, David Slade seakan tidak begitu kesulitan dalam mengarahkan film ini. Dia menggunakan kembali formula yang telah ia terapkan dalam 30 Days of Night sehingga Eclipse tidak terlihat selembek dua pendahulunya. Kelam, keras, sadis dan sedikit mengandung muatan seksual. Semua ini membuat Eclipse menjadi lebih menarik untuk ditonton meski sayangnya dialog – dialog panjang nan gombal tetap saja menghiasi.

Trio pemain utama ; Kristen Stewart, Robert Pattinson dan Taylor Lautner, masih saja memainkan karakternya dengan datar meskipun Twilight Saga sudah memasuki babak ketiga. Bedanya, mereka sudah terlihat nyaman dengan karakter yang mereka perankan. Sebenarnya bukan salah mereka juga bermain datar karena pada dasarnya karakter rekaan Stephenie Meyer ini begini adanya. Tapi sekali lagi saya terpaksa membandingkan dengan akting dari para pendukungnya. Anna Kendrick meskipun hanya tampil secuil memerankan Jessica, nyatanya mampu menunjukkan kualitas akting yang lebih bagus. Dakota Fanning berhasil membuat penonton ketakutan dengan karakter Jane sementara Bryce Dallas Howard sukses membuat kita kesal terhadap Victoria. Bahkan Catalina Sandino Moreno, Xavier Samuel dan Jodelle Ferland aktingnya lebih hidup dan memorable meski ini pertama kalinya mereka gabung di saga ini. Sementara Stewart, Pattinson dan Lautner hanya bisa membuat penonton bosan dengan karakter mereka. Pertengkaran Edward dan Jacob terlihat tidak meyakinkan begitu pula dengan berbagai ekspresi yang ditunjukkan Bella. Flat.

Special effects juga tidak membantu banyak. Tapi werewolf yang ditunjukkan disini terasa lebih hidup ketimbang saat beraksi di New Moon yang terlihat sangat tidak nyata. Sepertinya sebagian besar bujet dihabiskan untuk membayar pemainnya sehingga special fx dikerjakan kurang maksimal. Saya juga merasa sedikit tidak nyaman dengan editing. Di beberapa scene potongannya terasa kasar, malahan ada yang terkesan jumping, seperti saat Bella mengunjungi ibunya. Entah dimaksudkan seperti itu atau tidak, tapi yang pasti lumayan mengganggu. Poin lebih dari Twilight Saga adalah pemilihan lagu untuk soundtrack-nya yang selalu enak. Muse masih menjadi ujung tombak soundtrack instalmen ketiga ini, disamping hadir pula Vampire Weekend, Florence + The Machine, Sia hingga The Black Keys.

Eclipse memang lebih baik ketimbang Twilight maupun New Moon, tetapi film ini rasanya masih sulit diterima bagi mereka yang kecewa dengan New Moon maupun penonton yang tidak akrab dengan novel garapan Stephenie Meyer. Memang Eclipse lebih man-friendly dengan menyuguhkan banyak adegan aksi serta nuansanya yang dibuat kelam, tetapi adegan romansanya yang kelewat lebay serta dialog panjang sok puitis yang jatuhnya malah jadi gombal berpotensi menciptakan kebosanan penonton. Penulis skrip, Melissa Rossenberg, tidak berusaha untuk meminimalisir adegan ini sepertinya karena takut akan mengecewakan Twi-hards. Mengesampingkan semua kekurangan ini, saya cukup puas dengan Eclipse. Meskipun adegan romantisnya membuat saya ingin muntah, tapi David Slade berhasil menghadirkan nuansa kelam dan adegan aksi yang lebih baik daripada dua sutradara sebelumnya yang jelas gagal total dalam mengejawantahkan isi novel ke dalam bentuk film.

Nilai = 5/10