"Jika kepala terlepas dari ragamu, carilah wanita berbadan dua. Atau bayi yang masih suci.." - Vita
Lima sutradara, lima rasa takut, lima mimpi buruk. Proyek impian dari Upi Avianto ini mungkin akan mengingatkan Anda pada Phobia 2 dari Thailand atau Takut dari dalam negeri. Film bergenre horror dengan konsep omnibus. Namun pada dasarnya, Hi5teria memiliki semangat yang sama dengan FISFiC Vol. 1 yang lahir dari INAFFF tahun lalu, sutradara-sutradara pendatang baru memegang kendali di setiap segmen sementara Upi Avianto memantau dari bangku produser. Lagi-lagi, seperti halnya FISFiC, Hi5teria tidak memiliki benang merah yang mengaitkan antar satu segmen dengan segmen lainnya, kesamaan hanya terletak pada karakter utama yang didera terror adalah wanita, dan adanya twist yang terselip di penyelesaian masalah. Kelima wanita yang ‘sial’ tersebut adalah Tara Basro, Maya Otos, Luna Maya, Imelda Therinne, dan Ichi Nuraini, sedangkan posisi ‘algojo’ ditempati oleh Adriyanto Dewo, Chairun Nissa, Billy Christian, Nicholas Yudifar, dan Harvan Agustriansyah. Premisnya menarik, mencoba mengangkat kisah-kisah mistis yang beredar di sekitar kita.
Tara Basro dijadikan sebagai tumbal pertama. Dia adalah Sari, dalam segmen Pasar Setan, yang terpisah dari kekasihnya saat mendaki gunung. Tersesat di hutan, Sari bertemu dengan Zul (Dion Wiyoko). Mereka berdua terus menerus melewati jalan yang sama, tidak kunjung menemukan jalan setapak yang membawa mereka keluar dari hutan. Suara-suara aneh mulai menghantui. Sebagai sebuah pembuka, Pasar Setan menjanjikan. Ketegangan dibangun secara perlahan-lahan. Adriyanto Dewo sanggup mengimbangi kepiawaian Affandi Abdul Rachman saat menggarap Pencarian Terakhir. Endingnya pun terasa pas, malah saya menganggapnya ini adalah ending terbaik dari semua segmen. Meski tidak semencekam segmen-segmen berikutnya, Pasar Setan memberikan kengerian yang nyata terutama bagi para pendaki gunung. Secara personal, saya memilih segmen ini sebagai favorit saya karena pengalaman pribadi dimana saya beberapa kali mengalami sebuah mimpi buruk dimana saya selalu kembali ke tempat yang sama sekalipun telah berjalan jauh. Sulit untuk tidak jatuh cinta dengan Pasar Setan jika menyukai Pencarian Terakhir maupun Dead End.
Sementara Wajang Koelit buatan Chairun Nissa yang memasang Maya Otos sebagai wartawan asing yang tengah melakukan riset mengenai wayang kulit di sebuah daerah di Jawa Tengah malah kurang menggigit. Kedekatan setting seharusnya mampu menegakkan bulu roma saya, namun pada kenyataannya segmen ini tidak berjalan sesuai harapan, jalan ceritanya mudah sekali ditebak. Jika ada yang membuatnya terasa menakutkan, maka itu berkat instrumen musiknya. Wajang Koelit seperti berusaha untuk mengikuti jejak Titisan Naya, dan twist yang disisipkan membuatnya terkesan dipaksakan. Permasalahan yang sama juga menimpa dua segmen berikutnya, Kotak Musik dan Loket. Dalam Kotak Musik, Luna Maya mengalami serangkaian peristiwa aneh yang memaksanya untuk mau tidak mau memercayai hal-hal gaib. Billy Christian menawarkan sebuah premis biasa yang dieksekusi dengan cukup apik, tetapi tensi ketegangan mulai merosot semenjak Luna Maya diikuti oleh hantu anak kecil. Jika ada yang membuat segmen ini menonjol adalah Luna Maya yang terlihat lebih cantik dari biasanya serta sanggup berakting menawan. Dan saya suka sekali setiap dia melontarkan dialog, “mbok, bikin kaget!”.
Palasik dari Nicho Yudifar menebar kengerian kepada penonton melalui mitos supernatural masyarakat Minangkabau. Diantara segmen-segmen lainnya, Palasik adalah yang terkuat. Imelda Therinne yang sedang hamil besar diajak berlibur oleh suaminya yang sabar dan anak tirinya, Poppy Sovia, yang keras ke sebuah villa. Liburan yang seharusnya damai, menenangkan, dan membuat pikiran terasa jernih justru membuat Imelda Therinne tergoncang setelah dia melihat sebuah kepala terbang. Setelah pembukaan yang memancing rasa penasaran, Nicho Yudifar lantas menggiring kita ke dalam teror yang kian mengerikan setiap menitnya. Visualisasi setan yang menyeramkan namun tidak banci tampil menambah daya tarik tersendiri. Pun begitu, penonton dituntut untuk mencari tahu sendiri apa makna dari ‘Palasik’ karena selama film berlangsung, hanya secuil informasi yang diberikan. Menginjak segmen terakhir, Loket, tingkat kesulitan permainan ditingkatkan. Harvan Agustriansyah menyajikan sebuah tayangan yang mendebarkan, dan membuat penonton harap-harap cemas. Wanita sial di segmen ini adalah Ichi Nuraini, petugas penjaga loket parkiran basement di sebuah gedung yang mengalami malam yang tidak mengenakkan. Tidak banyak dialog disini. Kengerian dibangun melalui suasana parkiran yang sunyi sepi nan gelap. Cukup lama penonton ditempatkan dalam posisi yang tidak menyenangkan, dibiarkan menduga-duga sendiri kapan teror yang sebenarnya akan datang. Ketika apa yang dinanti-nantikan oleh penonton akhirnya datang, tensi segera saja menukik turun. Penyelesaiannya membuat saya tidak habis pikir. Haruskah diberi twist?
Inilah yang menjadi pertanyaan bagi setiap segmen di Hi5teria, kenapa twist ending menjadi sesuatu yang wajib dipergunakan? Tidak masalah jika pemakaiannya tepat seperti dalam kasus Pasar Setan atau Palasik, tapi itu akan menjadi bumerang bagi filmnya sendiri apabila dipaksakan untuk tampil, seperti yang terjadi dalam Wajang Koelit, Kotak Musik, dan Loket. Malah akan lebih terasa mencekam, dan tentunya riil, apabila dibiarkan apa adanya. Tidak semua film horror perlu diberi twist ending. Pun begitu, saya cukup puas dengan kinerja dari sutradara-sutradara muda di Hi5teria yang terlepas dari hasil akhirnya yang bagus atau mengecewakan. Langkah seperti yang dilakukan oleh Upi Avianto ini patut mendapat apresiasi lebih mengingat ini merupakan sebuah kesempatan baik untuk menemukan sutradara muda yang memiliki bakat terpendam. Apabila ada kekurangan disana-sini, tentu masih dapat dimaklumi. Setidaknya, Hi5teria telah memberikan sebuah angin segar kepada masyarakat Indonesia yang sudah terlanjur bersikap skeptis terhadap film horor lokal yang semakin lama kian tak berotak.
Acceptable