Minggu, 11 Maret 2012

REVIEW : THE ARTIST


"I won't talk! I won't say a word!" - George Valentin

Sesuatu yang wajar jika kita menyebut Michel Hazanavicius sebagai sutradara sinting. Bagaimana tidak, di era ketika para sineas dunia mengeksplorasi kecanggihan teknologi dengan pemanfaatan 3D serta efek khusus secara gila-gilaan, Hazanavicius justru nekat membesut sebuah film bisu dan hitam putih. Sebuah pertaruhan yang sangat berani. Siapa yang rela menyisakan waktu dan uangnya demi menyaksikan sebuah film hitam putih nan bisu selain para kritikus dan penggila film? Rasanya, The Artist pun tidak akan sepopuler sekarang apabila Academy tidak mengganjarnya dengan 5 piala Oscar, termasuk
Film Terbaik. Bukan bermaksud pesimis, hanya mencoba untuk bersikap realistis. Ketika 21 Cineplex merilisnya di bioskop-bioskop besar jaringannya, masih dirasa perlu bagi mereka untuk mencantumkan peringatan kepada calon penonton melalui poster, “film ini hitam putih dan tanpa dialog”, sebagai antisipasi agar peristiwa “ganti rugi karena merasa tertipu” seperti yang terjadi di Inggris tidak kembali terulang. Dengan peringatan seperti ini, belum apa-apa banyak masyarakat yang merasa terintimidasi. Sungguh disayangkan, padahal The Artist adalah sebuah film yang luar biasa indah.

The Artist membahas mengenai era kejayaan film bisu, masa transisi ke film bersuara hingga bagaimana seorang aktor film bisu menyikapi masa transisi ini. Aktor film bisu yang dimaksud adalah George Valentin (Jean Dujardin), seorang aktor yang menyerupai George Clooney di masa kini yang film-filmnya senantiasa mencetak box office dan para penggemar mengelu-elukannya. Hidupnya bisa dibilang sempurna, dia telah memiliki semua apa yang dibutuhkan. Entah karena sombong atau tak siap, ketika pemilik studio, Al Zimmer (John Goodman), mengutarakan niatnya untuk membuat film bersuara, Geroge Valentin justru tak menganggapnya serius. Dia tetap keukeuh bahwa film bisu masih diminati. Didepak dari studio, George Valentin membuat film bisunya sendiri di tengah terjangan film bersuara yang digila-gilai. Anak didiknya, Peppy Miller (Berenice Bejo), kian melejit karirnya, sementara Valentin perlahan mulai dilupakan setelah filmnya flop. “Saatnya memberi jalan pada yang muda,” begitu ujar Peppy. Hidupnya pun hancur. Istri yang dicintainya, Doris (Penelope Ann Miller) pergi meninggalkannya. Hanya anjing peliharaannya, Jack, dan si supir, Clifton (James Cromwell) yang masih setia mendampingi.

Pernahkah Anda menitikkan air mata saat menonton sebuah film karena saking indahnya? Saya pernah beberapa kali, dan The Artist adalah salah satunya. Film arahan sutradara Prancis, Michel Hazanavicius, ini tidak hanya indah, tetapi juga unik, cerdas, lucu, lembut, dan menyentuh. Tanpa perlu memaksa para pemainnya merengek-rengek sesenggukan, air mata penonton tetap berhasil tumpah. Bahkan untuk pertama kalinya, di bioskop Semarang, saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri bagaimana The Artist sanggup membuat sebagian besar penonton terharu dan, yang lebih luar biasa lagi, memberikan standing ovation setelah film berakhir! Sebuah pemandangan yang langka. Tidak menyangka efeknya akan sebesar itu. Hanya dengan bermodalkan cerita yang sederhana dan intertitle sebagai pengganti dialog, Hazanavicius sanggup membuat penonton terkoneksi dengan film arahannya. Sekalipun ini adalah film bisu, bukan berarti The Artist sepi total yang menyebabkan suara Anda saat berbisik di dalam studio terdengar bagaikan Dolby Digital. Musik gubahan Ludovic Bource yang menawan menemani sepanjang perjalanan Anda menyaksikan sekelumit sejarah film bisu.

Beruntung The Artist diperkuat oleh pemain-pemain yang hebat. Jean Dujardin sanggup mengaduk-aduk emosi penonton, memberikan perasaan yang tidak menentu kepada Valentin. Terkadang dia adalah sebuah karakter yang menyenangkan, tetapi terkadang menyebalkan luar biasa terutama saat dia menolak bergabung dengan generasi anyar, namun dia pun sebenarnya patut dikasihani. Pesonanya yang kuat mengingatkan pada Humphrey Bogart dan Douglas Fairbanks. Sementara Berenice Bejo tampil enerjik sebagai gadis muda penuh mimpi yang ceria dan menyenangkan, Peppy Miller. Bintang pendukungnya tidak terlalu menonjol karena tertutup oleh pesona Dujardin dan Bejo, kecuali Uggie yang memerankan Jack si anjing yang sangat setia kepada majikannya. Mungkin bagi sebagian penonton akting dari Dujardin maupun Bejo terkesan berlebihan, dan naskahnya pun klise tiada tara bak melodrama kebanyakan. Jika Anda termasuk salah satunya, ada baiknya menjajal ‘film bisu beneran’ terlebih dahulu sebelum menyaksikan The Artist. Ini adalah sebuah homage terhadap era film bisu yang terbungkus elegan dan berusaha untuk setia kepada ‘tuannya’ layaknya Clifton dan Jack.

Salah satu wujud kesetiaan Hazanavicius nampak pada tempo film yang mengalir ringan menyenangkan bak film bisu Hollywood tahun 1920-an, sekalipun ini sebenarnya adalah produksi Prancis yang terkenal lambat dalam menuturkan alur film-filmnya. Selain itu, film ini pun dibuat menggunakan aspek rasio layar 1.33:1 yang umum digunakan oleh film bisu. Dan saya ingin mengatakan kepada para pembaca yang budiman bahwa saya tidak sekalipun mengintip jam tangan! Bukti bahwa saya sangat menikmati film ini. Rasanya saya ingin menontonnya lagi, lagi, dan lagi. Sayangnya belum sempat saya mewujudkan keinginan saya, The Artist sudah tergusur dari bioskop. Menontonnya ulang di layar laptop atau televisi tidak akan memberikan pengalaman menonton yang sama. The Artist lebih enak dinikmati di layar bioskop. Sungguh pedih melihat film sebrilian ini kurang diminati oleh masyarakat hanya karena ini adalah ‘film bisu dan hitam putih’. Cobalah terlebih dahulu, Anda dijamin tidak akan menyesalinya. Bukankah ada pepatah yang mengatakan bahwa ‘silence is golden’? Dan pepatah itu cocok sekali diberikan kepada The Artist. What a wonderful movie to celebrate cinema!

Outstanding



Tidak ada komentar:

Posting Komentar