Kamis, 22 Maret 2012

REVIEW : THE HUNGER GAMES


"They just want a good show, that's all they want."

Bersetting di masa depan dimana dunia mengalami kehancuran setelah perang nuklir dan Amerika Serikat terpecah belah menjadi ke beberapa area baru. Di sebuah area yang bernama Panem, kita diperkenalkan kepada sebuah permainan ekstrim tahunan yang menjadi judul dari film ini, The Hunger Games. Dua puluh empat remaja usia belasan, masing-masing terdiri dari dua belas laki-laki dan dua belas perempuan, yang terpilih secara acak dimana mereka mewakili dua belas distrik di Panem dilepaskan ke alam bebas hingga hanya satu orang saja yang selamat. Sang pemenang akan mendapatkan hadiah berupa kehormatan, ketenaran, dan persedian pangan untuk keluarga. Plotnya sedikit banyak mengingatkan saya pada Battle Royale, film buatan tahun 2000 asal Jepang yang diadaptasi dari novel berjudul sama, yang mengisahkan sejumlah siswa bermasalah yang dikirim ke sebuah pulau terpencil untuk saling membunuh dan pemenangnya adalah siswa yang terakhir bertahan. Yang mendasari munculnya kedua permainan ini sama, terjadinya degradasi moral. Apabila dirunut lebih jauh, para remaja ini hanyalah sekumpulan remaja biasa yang dijadikan kambing hitam atas kesalahan yang dilakukan oleh para penguasa. Dihimpit oleh keadaan yang serba tidak menguntungkan, rakyat-rakyat kecil ini pun manut saja dengan permainan yang dirancang oleh para penguasa yang lalim.

Tokoh utama dari The Hunger Games adalah dua Tribute – sebutan untuk peserta terpilih – dari distrik termiskin di Panem, Distrik 12, Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) dan Peeta Mellark (Josh Hutcherson). Ada yang unik disini. Berbeda dengan film hasil adaptasi novel remaja kebanyakan, Katniss tidak digambarkan sebagai gadis lemah yang senantiasa merengek meminta perlindungan. Mandiri, kuat dari segi fisik dan mental, serta mahir menggunakan busur dan panah, Katniss malah terkesan lebih maskulin ketimbang Peeta. Suzanne Collins, sang penulis novel yang juga bertindak selaku penulis naskah, menempatkan Katniss sebagai pelindung bagi Peeta. Jennifer Lawrence memainkan perannya dengan amat baik dan meyakinkan. Tidak heran, Katniss sedikit banyak memiliki kemiripan karakter dengan Ree Dolly di Winter’s Bone. Josh Hutcherson mengalami peningkatan akting disini. Beradu akting bersama Lawrence, Woody Harrelson, Elizabeth Banks, Stanley Tucci dan Donald Sutherland rupanya memicu semangat Hutcherson untuk mengerahkan kemampuan terbaiknya.

Disandingkan dengan Battle Royale, The Hunger Games terasa lebih tidak manusiawi karena pertarungan antar Tribute dari dua belas distrik ini disajikan secara live melalui sebuah acara realitas. Ada kemiripan dengan The Condemned disini. Tapi lagi-lagi, masih lebih bermoral ketimbang apa yang dilakukan oleh Seneca Crane (Wes Bentley), penanggub jawab The Hunger Games. Dua puluh empat remaja tak bersalah dipaksa bertarung hingga mati demi memuaskan hasrat dari para manusia tidak beradab. Terkesan semakin barbar saat mengetahui bahwa peserta yang mengikuti acara ini adalah remaja berusia 12 hingga 18 tahun dengan sistem pemilihan acak. Maka pertarungan ini pun bersifat tak sehat karena kekuatan antar satu peserta dengan peserta lain tidak sebanding. Namun tentu saja Seneca dan para penguasa di kota Capitol tidak ambil pusing, terlebih ini akan menjadikan acara kian menarik untuk disimak. Untuk bertahan di Arena – tempat pertarungan – para Atribut ini pun membutuhkan sponsor yang akan menyuplai kebutuhan mereka selama bertanding. Caranya, dengan unjuk kebolehan sebelum memasuki Arena. Kemampuan yang mengesankan membuat Katniss lantas menjadi buah bibir. Apabila meminjam istilah dari para fans American Idol, maka Katniss adalah ‘frontrunner’ sementara Peeta adalah ‘cannon fodder’.

Lantas, apa sebenarnya tujuan diadakannya The Hunger Games? Berdasar video yang diputar setiap sebelum pemilihan Tribute dimulai, permainan ini bertujuan untuk mengenang kehancuran dari distrik ke-13 dan sebagai hukuman kepada distrik 1-12 atas kesalahan di masa lalu. Pada akhirnya, permainan ini justru menjadi manifestasi kekuasaan dan hiburan bagi pemerintah. Disiarkan secara live, dikemas dalam bentuk acara realitas, Collins seakan ingin mengritik moral masyarakat saat ini yang menggemari tontonan yang sarat akan kekerasan dan menjadikan orang yang dalam masalah pelik sebagai sebuah tontonan televisi yang menghibur di waktu senggang. Sisi kelam dari acara realitas yang nyatanya dipenuhi dengan kepalsuan dan ego produser yang tinggi turut disentil. Pun begitu, sang sutradara, Gary Ross – yang kita kenal melalui dua film apik, Pleasantville dan Seabiscuit, tidak berlama-lama dengan kritik sosial demi menghindari kejenuhan penonton. Setelah pesan dirasa telah cukup tersampaikan, The Hunger Games kembali ke jalur utamanya untuk menyajikan sebuah hiburan yang menyenangkan. Dan apakah hal itu berhasil? Saya akan menjawabnya, sangat berhasil. Adalah sebuah keputusan yang tepat menjadikan si pencipta novel sebagai penulis naskah. The Hunger Games adalah salah satu film adaptasi novel terbaik yang pernah saya tonton. Memesona, menegangkan, lucu, dan menyentuh. Durasinya yang cukup panjang, eksploitasi romantisme dan penggunaan handheld camera memang cukup melelahkan, namun The Hunger Games telah berhasil memenuhi ekspektasi saya sekalipun masih kurang berani dalam menonjolkan aksi kekerasan yang membuatnya terkesan canggung di beberapa bagian. Menghindari rating R, mungkin? Oia, jangan pernah samakan The Hunger Games dengan The Twilight Saga. Keduanya jauh berbeda.

Exceeds Expectations

Tidak ada komentar:

Posting Komentar