Senin, 02 April 2012
REVIEW : LOVE IS U
Jumat, 30 Maret 2012
REVIEW : HI5TERIA
Kamis, 22 Maret 2012
REVIEW : THE HUNGER GAMES
Rabu, 21 Maret 2012
REVIEW : JOHN CARTER
Ketika rekan seperjuangannya di Pixar, Brad Bird, melewati masa transisi dari film animasi 3D ke film live action dengan mulus melalui Mission: Impossible – Ghost Protocol, maka tidak halnya dengan Andrew Stanton. Film live action perdananya, John Carter, adalah adaptasi dari Princess of Mars yang merupakan bagian dari novel berseri, Barsoom, karangan Edgar Rice Burroughs yang selama ini Anda kenal sebagai pencipta Tarzan. Berbeda dengan “saudaranya” yang mengalami nasib baik dalam hal adaptasi, John Carter justru terseok-seok. Sempat menjadi proyek yang selalu mengembara dari satu tangan ke tangan lain, dan pada akhirnya tercatat sebagai salah satu “development hell” terlama dalam sepanjang sejarah sinema, proyek mendapatkan lampu hijau setelah Disney mengakuisisi hak ciptanya. Disuntik dana sebesar $250 juta, Andrew Stanton membidani sebuah proyek yang megah. Belum apa-apa, banyak kalangan mencibir. Disney dinilai terlalu percaya diri mengingat John Carter tidak terlalu dikenal oleh publik di luar Amerika. Dengan dana sebesar itu, dan melihat kondisi ekonomi saat ini, apa sanggup John Carter balik modal? Pertanyaan yang lebih penting, akankah hasil akhirnya semegah yang diharapkan oleh para penonton?
Secara garis besar dapat dituliskan bahwa John Carter berkisah tentang veteran Perang Sipil bernama John Carter (Taylor Kitsch) yang ‘terlempar’ ke Mars setelah berusaha menghindari kejaran suku Indian. Saat sesosok makhluk asing datang dari planet seberang, rupawan, perkasa, dan bisa terbang, maka tidak ada alasan untuk menyiksanya. Carter yang menjalin hubungan baik dengan makhluk Mars berkulit hijau yang membuat saya jijik, Tars Tarkas (Willem Dafoe), dan putri Mars yang aduhai, Dejah Thoris (Lynn Collins), langsung mengubah statusnya dari tawanan menjadi pahlawan dalam waktu sekejap. Misinya, menyelamatkan Mars dari Sab Than (Dominic West), penguasa Zodanga yang kejam yang mengancam akan menyulut peperangan apabila Dejah dari Helium menolak untuk menikahinya. Pertanyaan demi pertanyaan pun mulai mengemuka setelah Carter menjelajahi Mars. Apakah masyarakat Barsoom (Mars) selain kekurangan air juga kekurangan kain? Kasihan John Carter yang sepanjang film harus rela bertelanjang dada sehingga dituduh sebagai eksibisionis. Dan sebagai sebuah planet dimana teknologi telah jauh berkembang pesat melewati Jarsoom (Bumi), Barsoom enggak banget. Lihat saja cara mereka berperang, masih memakai pedang cuy! Yang membuat saya tidak habis pikir, mengapa hewan super lamban masih dijadikan alat transportasi? Saya mengerti jika bangsa Tharks menolak untuk terbang, tapi mbok ya bikin alat transportasi darat yang memadai.
Untuk ukuran sebuah film dengan bujet raksasa, efek khusus dari John Carter tergolong kurang bombastis dan telah kita lihat berulang kali di film-film fiksi ilmiah sebelum ini. Tidak ada inovasi. Bandingkan dengan Transformers: Dark of the Moon yang memiliki beberapa adegan yang mencengangkan. Di beberapa bagian pengerjaannya masih tampak kasar walaupun tampilan Helium dan adegan peperangannya terasa megah, dan 3D-nya pun tak sehebat Hugo. Sekalipun di lini teknis tak sehebat yang diharapkan, Stanton mampu mewujudkan tujuan utama John Carter, yakni menghibur penonton. Ya, saya mengakui bahwa film ini ternyata mampu membawa saya ke beberapa momen menyenangkan dan kepenatan dalam memikirkan beban hidup yang kian menumpuk pun hilang. Bukan yang terbaik dalam hal memuaskan penonton, namun John Carter ternyata tidak seburuk yang diperkirakan. Tentu saja ini belum termasuk dengan sektor naskah. Jika Anda berusaha untuk menilai film ini dari sudut pandang cerita, maka kemungkinan besar Anda akan langsung putus asa. Naskah yang dikerjakan secara keroyokan oleh Stanton, Mark Andrews, dan Michael Chabon, luar biasa menggelikan. Jika mengutip ucapan yang sering terlontar dari mulut salah satu teman, “film iki absurd tenan!” Tapi toh bukan ini yang dicari oleh penonton kebanyakan. Keanehan jalan cerita dari John Carter malah menjadi hiburan tersendiri bagi saya. Memasang ekspektasi yang serendah mungkin terhadap film ini ternyata membawa keuntungan. Apabila Anda ingin bersantai menghabiskan waktu luang di bioskop bersama teman atau orang terkasih, maka John Carter adalah pilihan yang tepat. Semrawut, tanpa otak, namun menghibur.
Acceptable
Senin, 19 Maret 2012
REVIEW : HUGO
Sulit untuk tidak mencintai Hugo. Ini adalah sebuah surat cinta yang ditujukan oleh Martin Scorsese khusus untuk sinema. Isinya berupa ungkapan hati dari seseorang yang sangat mengagumi keindahan dan magis dari sebuah film. Sebagai pecinta film, rasanya hampir mustahil tidak terpukau dengan film terbaru dari sineas spesialis film-film bertemakan gangster dan kekerasan ini. Wujud kecintaannya terhadap sinema, dan untuk pertama kalinya setelah hampir 50 tahun berkarir, diwujudkan dalam bentuk film untuk segala umur! Tidak tanggung-tanggung, Hugo hadir dalam versi 3D! Selalu ada pertama kali bagi setiap orang. Keputusan Scorsese untuk menjajal ranah baru tentu bukannya tanpa alasan atau sekadar mengikuti tren belaka. Dengan membesut film keluarga, tentu pasarnya akan lebih luas sehingga pesan yang ingin disebarkan dapat diterima oleh banyak orang dari setiap lapisan usia. Pemakaian 3D pun bukan hanya sekadar gimmick, melainkan dibutuhkan untuk membuat Hugo terasa lebih emosional, lebih nyata, dan dekat dengan hati. Simak saja opening scene-nya yang luar biasa cantik. Sekalipun ini film debutnya dalam 3D, Scorsese telah terlihat seperti maestro. Dia memerlihatkan kepada dunia bagaimana seharusnya sebuah film 3D dibuat.
Naskah dari John Logan berpijak pada novel unik karangan Brian Selznick, The Invention of Hugo Cabret. Yang perlu dicatat, petualangan yang diusung oleh Hugo ini tidak sedikitpun mendekati Harry Potter, justru lebih mirip dengan Oliver Twist. Maka mengharapkan Hugo Cabret berpetualang di dunia fantasi hanya akan membuat Anda mendengus kecewa. Alurnya cenderung realistis. Bisa dikatakan, Hugo adalah cerminan hidup dari sang pembesutnya, dan bisa jadi Anda. Bukan mengenai kehidupan sebagai bocah yatim tunawisma, melainkan bagaimana sihir dari sinema mengubah jalan hidup seseorang. Hugo Cabret (Asa Butterfield) tidak memiliki siapapun dalam hidupnya. Ayahnya (Jude Law) tewas dalam sebuah kebakaran di museum saat sedang bekerja. Setelah sang ayah tiada, Hugo diasuh oleh pamannya yang pemabuk, Claude (Ray Winstone). Dia dipaksa tinggal di stasiun, lebih tepatnya diantara dinding-dinding stasiun, dan membantu Claude merawat jam-jam yang berada di stasiun Gare Montparnasse, Paris, Prancis. Belum reda duka Hugo atas kepergian sang ayah, Claude pun pergi tak tahu rimbanya. Jadilah Hugo yang kini bertanggung jawab atas jalannya jarum-jarum jam secara teratur.
Hidup seorang diri di sebuah stasiun yang besar tentu bukanlah perkara mudah. Untuk menyambung hidup, Hugo menjadi pencuri. Inspektur Gustave (Sascha Baron Cohen) menjadi musuh bebuyutannya. Bagaikan Tom dalam Tom & Jerry, Gustave seakan tak pernah mengenal kata menyerah untuk menangkap Hugo dan mengirimkannya ke panti asuhan seperti yang telah dia lakukan kepada anak jalanan sebelumnya. Selain Gustave, Hugo pun harus berhadapan dengan pemilik toko mainan yang sinis (Ben Kingsley) yang mengambil paksa buku catatan miliknya. Demi mendapatkannya kembali, si bocah gelandangan ini meminta bantuan kepada Isabelle (Chloe Grace Moretz). Isabelle menyanggupi, dengan satu syarat, dia ingin Hugo mengajaknya bertualang. Petualangan inilah yang dinanti-nanti oleh para pecinta film. Martin Scorsese mengajak para penonton untuk memelajari sejarah sinema awal. Ayah Hugo dikisahkan pernah terkesima dengan sebuah film berjudul Voyage to the Moon buatan George Méliès. Sutradara asal Prancis ini merupakan salah satu pionir lahirnya sinema. Voyage to the Moon menjadi karyanya yang paling terkenal dan merupakan film fiksi ilmiah pertama yang dibuat. Karakter Méliès ini memegang peranan yang sangat penting dalam Hugo.
Tujuan utama dari Hugo Cabret adalah menemukan satu komponen yang hilang dari automaton, robot berbentuk manusia yang menjadi proyek ambisius sang ayah. Apabila Hugo mampu mendapatkannya, maka sebuah tabir misteri terungkap. Untuk ukuran film keluarga, sayangnya, Hugo masih terbilang cukup berat untuk dinikmati bagi anak-anak sekalipun Scorsese sangat terampil dalam menyatukan nuansa drama yang menyentuh, romansa yang syahdu, komedi yang menggelitik, dan sedikit aksi dengan dukung efek khusus yang memesona. Paruh awalnya terasa kurang menggigit, namun memasuki babak petualangan Hugo dan Isabelle, plot mulai terasa cihuy. Yang menjadikan Hugo menarik adalah ketepatan dalam memasukkan serangkaian kejadian bersejarah ke dalam sebuah kisah fiksi. Perkenalan dengan George Méliès adalah bagian terbaik dari film ini. Awalnya, beliau adalah seorang pesulap dan pembuat mainan. Tertarik dengan apa yang dilakukan oleh Lumiere bersaudara dalam Arrival of a Train at La Ciotat, Méliès banting setir menjadi sineas. Jatuh bangun dari sang pionir digambarkan cukup akurat oleh Scorsese, termasuk dengan memasukkan potongan-potongan film buatan Méliès. Sebuah suguhan yang menakjubkan dari sutradara peraih Oscar melalui The Departed ini. Hugo menunjukkan bagaimana indahnya sebuah film tatkala dikerjakan dengan segenap rasa cinta. Bersanding dengan The Artist yang tidak kalah cantiknya, Hugo adalah sebuah pilihan yang tepat bagi Anda yang ingin merayakan sinema.
Outstanding
Kamis, 15 Maret 2012
REVIEW : NEGERI 5 MENARA
Negeri 5 Menara memberikan secercah harapan kepada perfilman lokal yang lesu dalam mendulang penonton. Tahun lalu, Surat Kecil Untuk Tuhan yang dinobatkan sebagai film terlaris tak sanggup menggapai angka 800 ribu penonton. Sungguh memprihatinkan. Berangkat dari sebuah novel laris yang mengumpulkan jutaan pembaca dari berbagai pelosok negeri, Negeri 5 Menara berpotensi mengulang kesuksesan Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Jika harapan itu dirasa terlalu muluk-muluk, setidaknya mampu mengimbangi raihan Sang Pencerah. Dikomandoi oleh Affandi Abdul Rachman yang pernah menghasilkan beberapa film apik, Pencarian Terakhir, Heart-Break.com, Aku atau Dia? dan The Perfect House, dan naskah ditangani oleh penulis naskah jempolan, Salman Aristo, film yang mengisahkan tentang perjuangan enam santri di sebuah pondok di Ponorogo ini berpotensi menjadi sebuah tontonan yang berkualitas. Namun tentu saja duo ini mengemban tugas berat mengingat mereka harus memadatkan novel setebal 416 halaman menjadi sebuah film berdurasi 120 menit saja. Apabila mereka sanggup membuat para penggemar novelnya merasa terpuaskan dan penonton yang tidak mengetahui seluk beluk mengenai novel karya Ahmad Fuadi mendadak tertarik untuk membaca novelnya, maka tujuan berhasil tercapai. Yang menjadi pertanyaan, apakah tujuan tersebut berhasil tercapai?
Affandi Abdul Rachman memulai film dari sebuah desa di pinggir Danau Maninjau dengan memerlihatkan kehidupan Alif (Gazza Zubizareta) yang serba sederhana dengan Amak (Lulu Tobing) dan Ayah (David Chalik). Sekalipun hidup dalam struktur sosial konvensional, Alif dan sahabatnya, Randai (Sakurta Ginting), tidak berpikiran seperti rekan-rekan sebayanya, mereka memiliki mimpi yang tinggi. Alif berniat melanjutkan pendidikan ke sebuah SMA di Bandung, dilanjut dengan memasuki kampus idamannya, ITB. Sayangnya, Amak tidak sepemikiran dengan putra sulungnya ini. Amak menginginkan Alif untuk memasuki pondok pesantren di Ponorogo, Jawa Timur, bernama Pondok Madani. Walau terasa berat harus merelakan mimpinya terkubur, Alif merasa wajib mendengarkan perkataan orang tuanya. Bagaimanapun, orang tua mengetahui apa yang terbaik untuk anaknya. Ditemani sang Ayah, Alif berangkat mengikuti ujian ke Ponorogo. Hatinya remuk mengetahui keadaan pondok yang jauh dari kesan ideal, belum lagi dengan keharusan mundur setahun demi mengikuti kelas adaptasi. Alif mencoba untuk bertahan, setidaknya hingga tahun pertama berlalu. Surat-surat yang dikirim oleh Randai semakin menggoda iman Alif untuk segera kabur ke Bandung. Namun seiring dengan berjalannya waktu, Pondok Madani terasa bagaikan rumah kedua yang nyaman bagi Alif terlebih dengan kehadiran Baso (Billy Sandy), Atang (Rizky Ramdani), Said (Ernest Samudera), Raja (Jiofani Lubis), dan Dulmajid (Aris Putra). Mereka berenam kerap berkumpul di bawah menara masjid dan menamakan diri mereka sebagai “Sahibul Menara”.
Tidak seperti Laskar Pelangi yang mempunyai grafik konflik yang tergambar dengan tegas, Negeri 5 Menara cenderung adem ayem dalam bertutur, mengalir dengan tenang bagaikan tengah menaiki sebuah perahu yang melintasi sungai dengan pemandangan yang menyejukkan mata ditemani dengan rekan-rekan yang menyenangkan. Meski tenang tanpa tantangan, perjalanan tersebut tak terasa membosankan. Konflik batin yang dihadapi Alif pun tidak lama-lama dibahas, segera terselesaikan ketika film memasuki menit ke-20. Selebihnya, Affandi Abdul Rachman menyuguhkan tentang suka duka menjadi santri pondok yang sejujurnya cukup membuat saya tergoda untuk menjajalnya. Demi mempertahankan mood penonton, maka dirasa perlu membuat cabang cerita baru. Baso yang tidak terlalu pandai dalam Bahasa Inggris diminta rekan-rekannya untuk mengikuti lomba pidato Bahasa Inggris, atau ketika Alif menjadi wartawan di Koran pondok dan terkesima dengan kecantikan Sarah (Eriska Rein), keponakan dari Kyai Rais (Ikang Fawzi). Ditampilkan secara jujur nan polos, cabang-cabang ini sanggup menggelitik penonton. Kedekatannya dengan kehidupan kita menjadikan Negeri 5 Menara terasa membumi dan lezat untuk disantap. Tertawa geli melihat para santri dihukum oleh Ustadz mereka lantaran telat ke masjid, grogi saat berhadapan dengan santriwati, atau the power of kepepet, ide-ide cerdas yang muncul saat kepepet. Ada dua kemungkinan saat penonton tergelak; heran melihat kelakuan para santri atau pengalaman pribadi.
Namun dari semua itu, Negeri 5 Menara memberikan sebuah mentera sakti bagi siapapun yang ingin mencapai kesuksesan. Di kelas hari pertamanya, Alif dikenalkan dengan mantera “Man Jadda Wajada!” oleh Ustad Salman (Donny Alamsyah), yang berarti siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Disinilah yang membedakan Negeri 5 Menara dengan film sejenis bertema “zero to hero” yang menyoroti perjuangan siswa dari kampung menjadi orang sukses. Segala sesuatu yang ada di dunia tidak dapat diraih secara instan, butuh perjuangan yang seringkali penuh lika liku. Sahibul Menara memiliki impian untuk menaklukkan dunia. “Kita bikin janji di menara ini, nanti kita akan bertemu dan foto dengan menara kita masing-masing,” kata Baso kepada rekan-rekannya. Impian dari Sahibul Menara tidak diperlihatkan mendadak tercapai begitu saja. Beberapa kali mereka meneriakkan mantra “Man Jadda Wajada” tatkala hati mulai dipenuhi dengan keraguan.
Sekalipun berasal dari sebuah pesantren yang tidak terlalu terkenal, Sahibul Menara tidak segan memiliki impian yang besar. Seperti yang pernah dikatakan oleh seorang bijak, “jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apapun. Sesungguhnya Tuhan Maha Mendengar.” Sayangnya, keterbatasan durasi memaksa Affandi Abdul Rachman memangkas proses perjuangan tokoh-tokoh kesayangan kita ini dalam menggapai sukses. Endingnya muncul secara prematur. Saat layar tiba-tiba menghitam memunculkan nama-nama di jajaran pemain dan kru, secara spontan saya nyeletuk, “gitu doang?”. Endingnya terasa datar dan janggal. Bagaikan tengah menaiki roller coaster yang memacu adrenalin, ternyata kita hanya dibawa dalam satu putaran saja. Tak puas, menginginkan lebih. Pun begitu, Affandi Abdul Rachman dan Salman Aristo telah berhasil menyuguhkan salah satu tontonan terbaik di awal tahun. Lucu, mengharukan, dan inspiratif. Negeri 5 Menara sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Acceptable
Minggu, 11 Maret 2012
REVIEW : THE ARTIST
Sesuatu yang wajar jika kita menyebut Michel Hazanavicius sebagai sutradara sinting. Bagaimana tidak, di era ketika para sineas dunia mengeksplorasi kecanggihan teknologi dengan pemanfaatan 3D serta efek khusus secara gila-gilaan, Hazanavicius justru nekat membesut sebuah film bisu dan hitam putih. Sebuah pertaruhan yang sangat berani. Siapa yang rela menyisakan waktu dan uangnya demi menyaksikan sebuah film hitam putih nan bisu selain para kritikus dan penggila film? Rasanya, The Artist pun tidak akan sepopuler sekarang apabila Academy tidak mengganjarnya dengan 5 piala Oscar, termasuk Film Terbaik. Bukan bermaksud pesimis, hanya mencoba untuk bersikap realistis. Ketika 21 Cineplex merilisnya di bioskop-bioskop besar jaringannya, masih dirasa perlu bagi mereka untuk mencantumkan peringatan kepada calon penonton melalui poster, “film ini hitam putih dan tanpa dialog”, sebagai antisipasi agar peristiwa “ganti rugi karena merasa tertipu” seperti yang terjadi di Inggris tidak kembali terulang. Dengan peringatan seperti ini, belum apa-apa banyak masyarakat yang merasa terintimidasi. Sungguh disayangkan, padahal The Artist adalah sebuah film yang luar biasa indah.
The Artist membahas mengenai era kejayaan film bisu, masa transisi ke film bersuara hingga bagaimana seorang aktor film bisu menyikapi masa transisi ini. Aktor film bisu yang dimaksud adalah George Valentin (Jean Dujardin), seorang aktor yang menyerupai George Clooney di masa kini yang film-filmnya senantiasa mencetak box office dan para penggemar mengelu-elukannya. Hidupnya bisa dibilang sempurna, dia telah memiliki semua apa yang dibutuhkan. Entah karena sombong atau tak siap, ketika pemilik studio, Al Zimmer (John Goodman), mengutarakan niatnya untuk membuat film bersuara, Geroge Valentin justru tak menganggapnya serius. Dia tetap keukeuh bahwa film bisu masih diminati. Didepak dari studio, George Valentin membuat film bisunya sendiri di tengah terjangan film bersuara yang digila-gilai. Anak didiknya, Peppy Miller (Berenice Bejo), kian melejit karirnya, sementara Valentin perlahan mulai dilupakan setelah filmnya flop. “Saatnya memberi jalan pada yang muda,” begitu ujar Peppy. Hidupnya pun hancur. Istri yang dicintainya, Doris (Penelope Ann Miller) pergi meninggalkannya. Hanya anjing peliharaannya, Jack, dan si supir, Clifton (James Cromwell) yang masih setia mendampingi.
Pernahkah Anda menitikkan air mata saat menonton sebuah film karena saking indahnya? Saya pernah beberapa kali, dan The Artist adalah salah satunya. Film arahan sutradara Prancis, Michel Hazanavicius, ini tidak hanya indah, tetapi juga unik, cerdas, lucu, lembut, dan menyentuh. Tanpa perlu memaksa para pemainnya merengek-rengek sesenggukan, air mata penonton tetap berhasil tumpah. Bahkan untuk pertama kalinya, di bioskop Semarang, saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri bagaimana The Artist sanggup membuat sebagian besar penonton terharu dan, yang lebih luar biasa lagi, memberikan standing ovation setelah film berakhir! Sebuah pemandangan yang langka. Tidak menyangka efeknya akan sebesar itu. Hanya dengan bermodalkan cerita yang sederhana dan intertitle sebagai pengganti dialog, Hazanavicius sanggup membuat penonton terkoneksi dengan film arahannya. Sekalipun ini adalah film bisu, bukan berarti The Artist sepi total yang menyebabkan suara Anda saat berbisik di dalam studio terdengar bagaikan Dolby Digital. Musik gubahan Ludovic Bource yang menawan menemani sepanjang perjalanan Anda menyaksikan sekelumit sejarah film bisu.
Beruntung The Artist diperkuat oleh pemain-pemain yang hebat. Jean Dujardin sanggup mengaduk-aduk emosi penonton, memberikan perasaan yang tidak menentu kepada Valentin. Terkadang dia adalah sebuah karakter yang menyenangkan, tetapi terkadang menyebalkan luar biasa terutama saat dia menolak bergabung dengan generasi anyar, namun dia pun sebenarnya patut dikasihani. Pesonanya yang kuat mengingatkan pada Humphrey Bogart dan Douglas Fairbanks. Sementara Berenice Bejo tampil enerjik sebagai gadis muda penuh mimpi yang ceria dan menyenangkan, Peppy Miller. Bintang pendukungnya tidak terlalu menonjol karena tertutup oleh pesona Dujardin dan Bejo, kecuali Uggie yang memerankan Jack si anjing yang sangat setia kepada majikannya. Mungkin bagi sebagian penonton akting dari Dujardin maupun Bejo terkesan berlebihan, dan naskahnya pun klise tiada tara bak melodrama kebanyakan. Jika Anda termasuk salah satunya, ada baiknya menjajal ‘film bisu beneran’ terlebih dahulu sebelum menyaksikan The Artist. Ini adalah sebuah homage terhadap era film bisu yang terbungkus elegan dan berusaha untuk setia kepada ‘tuannya’ layaknya Clifton dan Jack.
Salah satu wujud kesetiaan Hazanavicius nampak pada tempo film yang mengalir ringan menyenangkan bak film bisu Hollywood tahun 1920-an, sekalipun ini sebenarnya adalah produksi Prancis yang terkenal lambat dalam menuturkan alur film-filmnya. Selain itu, film ini pun dibuat menggunakan aspek rasio layar 1.33:1 yang umum digunakan oleh film bisu. Dan saya ingin mengatakan kepada para pembaca yang budiman bahwa saya tidak sekalipun mengintip jam tangan! Bukti bahwa saya sangat menikmati film ini. Rasanya saya ingin menontonnya lagi, lagi, dan lagi. Sayangnya belum sempat saya mewujudkan keinginan saya, The Artist sudah tergusur dari bioskop. Menontonnya ulang di layar laptop atau televisi tidak akan memberikan pengalaman menonton yang sama. The Artist lebih enak dinikmati di layar bioskop. Sungguh pedih melihat film sebrilian ini kurang diminati oleh masyarakat hanya karena ini adalah ‘film bisu dan hitam putih’. Cobalah terlebih dahulu, Anda dijamin tidak akan menyesalinya. Bukankah ada pepatah yang mengatakan bahwa ‘silence is golden’? Dan pepatah itu cocok sekali diberikan kepada The Artist. What a wonderful movie to celebrate cinema!
Outstanding
Jumat, 09 Maret 2012
Short Reviews: SAFE HOUSE & GHOST RIDER: SPIRIT OF VENGEANCE
Film keempat dari Daniel Espinosa, Safe House, berkisah mengenai mantan anggota CIA yang membelot, Tobin (Denzel Washington), yang diboyong ke rumah perlindungan setelah secara tiba-tiba memerlihatkan batang hidungnya di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Cape Town, Afrika Selatan. Kemunculannya menimbulkan tanda tanya besar. Belum sempat pihak CIA mengorek informasi lebih dalam dari Tobin, sebuah kelompok bersenjata mendobrak masuk dan mengobrak abrik rumah perlindungan. Sang penjaga rumah, Matt (Ryan Reynolds), pun ikut terseret ke dalam kasus dan terpaksa melindungi Tobin dari berbagai pihak yang mengincarnya. Beruntung, jajaran pemainnya solid terutama Denzel Washington yang berakting meyakinkan sebagai Tobin, sehingga mampu menyelamatkan Safe House dari kebosanan lantaran naskahnya yang klise dengan alur yang mudah ditebak.
Acceptable
Hasil box office seluruh dunia Ghost Rider yang lumayan membuat Marvel Knights dan Nicolas Cage kelewat percaya diri untuk melanjutkan kisah si tengkorak penunggang motor sekalipun para kritikus mencercanya. Dalam Ghost Rider : Spirit of Vengeance, sebuah sekuel yang seharusnya tidak perlu dibuat, Johnny Blaze (Nicolas Cage) bertugas untuk melindungi seorang bocah, Danny (Fergus Riordan), yang diburu oleh iblis (Ciaran Hinds) karena diyakini sebagai objek keturunan setan. Sepanjang film, rasanya saya ingin sekali melemparkan minuman karbonasi saya ke layar. Neveldine/Taylor membuat film pertamanya terasa seperti sebuah mahakarya. Ghost Rider : Spirit of Vengeance yang dibentuk dari sebuah naskah yang nampaknya dibuat oleh seseorang yang sedang teler dipenuhi dengan adegan-adegan dan humor-humor bodoh menyebalkan, alih-alih menyenangkan, kian “dipermanis” dengan efek khusus yang memprihatinkan serta para aktor yang bermain canggung. Film yang saya rekomendasikan bagi siapapun yang kebingungan dalam menghabiskan setumpuk uangnya. Dan saya bahkan belum menyebutkan 3D-nya yang palsu.
Troll
Kamis, 08 Maret 2012
REVIEW : THE GREY
Minggu, 04 Maret 2012
MY MOVIE LIFE
Film keluarga atau film tentang keluarga selalu berhasil membuat saya menitikkan air mata karena saya adalah family person, haha. Taegukgi adalah salah satu contohnya. Saya sudah menonton film ini lebih dari tiga kali, namun tetap saja dada terasa sesak. Kehidupan sebuah keluarga yang harmonis mendadak hancur disebabkan perang saudara. Hati ini pedih melihatnya.
Mars Attacks! Teman-teman saya sesame pecinta film tidak ada yang menyukai film ini. Bahkan teman satu kontrakan saya pun menganggapnya sebagai film yang aneh. Kenyataannya, saya suka film ini. Sangat menyukainya. Mars Attacks! adalah film yang membuat saya jatuh cinta kepada Tim Burton. Seram, lucu, dan brilian!
Gone With the Wind. Sebagai mahasiswa Sastra Inggris, saya seharusnya sudah membaca novel karangan Margaret Mitchell yang legendaris ini, atau setidaknya versi filmnya. Rencana menontonnya sebenarnya telah ada sejak bertahun-tahun yang lalu namun belum juga terealisasikan hingga saat ini. Durasi filmnya yang konon mencapai 4 jam membuat nyali saya ciut terlebih dahulu, hahaha.
Jangan pernah menonton Revolver buatan Guy Ritchie. Itu adalah film paling buruk yang pernah saya tonton sejak pertama kali saya menonton film. Luar biasa, saya ingin sekali mengambil sebuah revolver dan menembakkan ke kepala saya saat menontonnya. Film ini maunya apa? Jalan ceritanya sangat susah untuk dipahami, bahkan mungkin saja hanya Ritchie yang paham. Bahkan setelah saya membaca sinopsisnya di Imdb dan Wikipedia, saya tetap tidak paham.
Film ini luar biasa laris di Prancis, tapi di Indonesia hanya sedikit orang yang mengetahuinya, Bienvenue Chez Les Ch’tis. Berkisah tentang seorang pria yang harus beradaptasi dengan lingkungan barunya yang memiliki kultur yang berbeda dengan tempat asalnya. Sebuah film yang sangat menghibur. Saya tidak bisa berhenti tertawa saat menontonnya. Beberapa waktu lalu saya menontonnya kembali, film ini ternyata sedikit banyak mirip dengan kisahku saat KKN. Dialog favoritku, “a visitor cries twice up north: once on his arrival and once at his departure."
Jumat, 02 Maret 2012
REVIEW : THIS MEANS WAR
Bisa dimafhumi jika calon penonton berpikiran bahwa This Means War adalah sebuah film aksi komedi berbasis spionase apabila menilik dari tampilan poster, trailer, maupun sang pembesut, McG. Tidak keliru memang, hanya saja yang tidak mereka ketahui, ini juga merupakan sebuah film romantis. Tagline-nya yang menyebut “It’s Spy Against Spy” sesungguhnya telah mengindikasikan akan dibawa kemana film ini jika Anda jeli mengamati poster terutama pada penekanan kata Spy. Dengan mengintip jejak rekam dari sutradara bernama lengkap Joseph McGinty Nichol, ada baiknya Anda tak menaruh harapan yang muluk-muluk terhadap film ini. Kehadiran Reese Witherspoon dan Tom Hardy tidak menjamin apapun. Jika sejak awal Anda sudah terlanjur memasang ekspektasi yang tinggi, segera turunkan. Jangan mengharapkan sebuah tontonan cerdas menghibur dari sini karena Anda berada di tempat yang salah. This Means War adalah sebuah tempat bagi penonton yang mengharapkan tontonan menghibur tanpa harus memutar otak dengan keras, yang berarti dipenuhi dengan adegan-adegan klise nan bodoh.
Apakah itu berarti This Means War adalah sebuah film yang buruk? Itu tergantung dari sudut mana Anda menilainya. Yang jelas, film buatan McG ini bukanlah jenis film yang dibuat untuk memuaskan kritikus film. Naskah buatan duo Timothy Dowling dan Simon Kinberg cenderung dangkal dan tidak beraturan, namun terbilang lumayan karena masih menyimpan cukup banyak dialog cerdas. Sarat akan adegan yang menghibur, namun jauh dari kesan logis. Akan tetapi tentu saja Anda tidak berharap film ini akan memberikan susunan adegan yang menghindari pelecehan terhadap akal sehat, bukan? Plot utamanya saja sudah menggelikan. Seorang wanita mapan bernama Lauren Scott (Reese Witherspoon) secara tidak sengaja menjalin cinta dengan dua agen CIA, FDR (Chris Pine) dan Tuck (Tom Hardy), yang ternyata bersahabat baik. Terlalu banyak kebetulan. Tapi, hey, film Hollywood mana yang tidak dipenuhi dengan kebetulan, apalagi ini merupakan film komedi romantis dan sutradaranya adalah McG? Maka, ini masih bisa dimaafkan. Niat saya sejak awal terhadap film ini memang hanya sekadar mencari hiburan, jangan heran jika berbagai kelemahan dari This Means War masih bisa saya tolerir.
Pertemuan antara Lauren, FDR dan Tuck dimulai dari sahabat baik Lauren, Trish (Chelsea Handler), yang mendaftarkan Lauren ke sebuah situs kencan online menyusul kekesalan Lauren melihat mantan kekasihnya telah bertunangan. Di saat yang sama, Tuck pun mencoba mendaftar setelah melihat iklan situs kencan online di televisi. Disinilah Lauren dan Tuck berjumpa. Setelah merasa cocok satu sama lain, keduanya memutuskan untuk melakukan kopi darat. Entah sial atau beruntung, beberapa saat setelah Lauren menemui Tuck, secara kebetulan dia bertemu FDR yang menggodanya di sebuah rental video tanpa mengetahui bahwa Lauren adalah teman kencan sahabatnya. Dan, Lauren pun berada dalam posisi sulit. Dia kepincut dengan kedua pria ini. Tidak heran, karena mereka berdua adalah pria-pria yang seksi, menyenangkan, dan mapan. Seandainya Anda adalah Lauren, apa yang akan Anda lakukan? Apakah Anda akan mengikuti langkah Lauren dengan mengencani mereka berdua? Atau Anda memutuskan untuk memilih salah satu pada saat itu juga? Yang Lauren tidak sadari, baik FDR maupun Tuck sama-sama telah mengetahui bahwa mereka mengencani wanita yang sama. Dan ini berarti perang!
Jika ada yang tidak bisa saya terima, maka itu adalah Reese Witherspoon. Jangan salah paham, saya bukan termasuk hater dari mantan istri Ryan Phillippe ini, justru sebaliknya, saya fans berat. Keberadaannya disini terasa tidak pas dilihat dari segi manapun. Setelah memenangkan Oscar berkat akting menawannya di Walk the Line, Reese Witherspoon justru mengalami stagnansi karir dengan memilih peran-peran aman bernada sama. Apa yang membedakan Lauren disini dengan Elizabeth di Just Like Heaven atau Lisa di How Do You Know? Nyaris tidak ada. Chemistry-nya dengan Tom Hardy dan Chris Pine pun kurang meyakinkan. Malahan, bromance antara Hardy dan Pine terasa lebih greget. Seandainya Witherspoon digantikan oleh aktris lain, rasanya tidak akan berdampak apapun terhadap film toh Lauren Scott seakan hanya difungsikan sebagai penggembira oleh tim penulis. This Means War, sekalipun tidak seburuk film-film komedi romantis Witherspoon paska Walk the Line, hanya akan membuat catatan karir Witherspoon terasa tak sedap untuk dipandang.
Acceptable
Minggu, 26 Februari 2012
The 84th Annual Academy Awards Winners List
Best Picture : The Artist
Best Director : Michel Hazanavicius – The Artist
Best Actress : Meryl Streep – The Iron Lady
Best Actor : Jean Dujardin – The Artist
Best Supporting Actress : Octavia Spencer - The Help
Best Supporting Actor : Christopher Plummer - Beginners
Best Original Screenplay : Woody Allen – Midnight in Paris
Best Adapted Screenplay : Alexander Payne, Nat Faxon, & Jim Rash – The Descendants
Best Foreign Feature : A Separation (Iran)
Best Animated Feature : Rango
Best Art Direction : Dante Ferretti & Fransesca Lo Schiavo - Hugo
Best Cinematography : Robert Richardson - Hugo
Best Costume Design : Mark Bridges – The Artist
Best Documentary Feature : Undefeated
Best Film Editing : Angus Wall & Kirk Baxter – The Girl with the Dragon Tattoo
Best Makeup : Mark Coulier & J. Roy Helland – The Iron Lady
Best Music (Original Score) : Ludovic Bource – The Artist
Best Music (Original Song) : “Man or Muppet” – The Muppets
Best Sound Editing : Philip Stockton & Eugene Gearty - Hugo
Best Sound Mixing : Tom Fleischman & John Midgley - Hugo
Best Visual Effects : Rob Legato, Joss Williams, Ben Grossmann & Alex Henning - Hugo
Best Short Film (Animated) : The Fantastic Flying Books of Mr. Morris Lessmore
Best Short Film (Live Action) : The Shore
Best Documentary Short Subject : Saving Face