Sabtu, 30 Juli 2011

REVIEW : HARRY POTTER AND THE DEATHLY HALLOWS PART 2


"Do not pity the dead, Harry. Pity the living and above all, especially those who live without love." - Albus Dumbledore

Penantian panjang yang melelahkan itu akhirnya berakhir. Setelah keran film MPA ditutup, kesempatan untuk menyaksikan jilid terakhir dari Harry Potter nyaris tidak ada. Setelah masyarakat terus diombang-ambingkan oleh pemerintah yang nampaknya sedang asyik main kucing-kucingan dengan pihak MPA dan importir, secercah harapan turun dari langit. Berita yang membahagiakan menyeruak ke publik. Harry Potter and the Deathly Hallows part 2 dipastikan tayang di Indonesia. Ini mungkin adalah berita paling membahagiakan bagi siapapun yang mencintai film, khususnya pecinta film Harry Potter, di bulan Juli ini. Rilis telat tidak lagi menjadi soal, selama bisa menyaksikannya di layar lebar. Bagi fans fanatik Harry Potter, menyaksikan perjalanan terakhir dari sebuah legenda melalui DVD bajakan adalah sesuatu yang memalukan dan tidak bisa diterima. Mereka yang tidak menyukai franchise ini mungkin beranggapan ini adalah sesuatu yang gila dan berlebihan. Tidak sedikit yang mencemooh para fans yang rela berdesak-desakkan demi bisa menikmati Harry Potter and the Deathly Hallows part 2. Ini bukan masalah demi mendapat sebuah prestige atau agar dianggap keren. Menanti selama bertahun-tahun demi melihat 'sang sahabat' yang telah menemani selama 10 tahun untuk mengucapkan selamat tinggal adalah sesuatu yang melelahkan dan menyiksa. Ketika akhirnya kesempatan itu datang, maka tidak heran jika kemudian diserbu di kesempatan pertama. Sesuatu yang tidak akan mungkin bisa dipahami oleh mereka yang tidak tumbuh bersama Harry Potter. Saya rasa tidak hanya Harry Potter yang mengalami ini. Franchise lain semacam Star Wars dan The Lord of the Rings juga menciptakan euphoria yang sama ketika jilid terakhirnya dilempar ke bioskop. Apa yang terjadi saat ini mungkin tidak akan segila seperti ini seandainya summer movies masuk dengan lancar. Haus akan film blockbuster dari Hollywood turut menciptakan keadaan ini.

Untungnya, ini adalah sebuah akhir yang luar biasa dari petualangan Harry Potter. David Yates sukses menuntaskan franchise ini dengan penyelesaian yang sangat memuaskan. Entah bagaimana pendapat para Potterhead, tapi saya pribadi mengacungi dua jempol atas kinerja Yates yang apik. Kesalahannya dalam mengacaukan Harry Potter and the Half-Blood Prince pun seketika termaafkan. Saya susah untuk memercayai bahwa film yang memukau ini adalah hasil buatan dari sutradara yang sama yang telah mengecewakan saya tempo hari. Emosi saya membuncah ketika akhirnya closing credits bergulir. Ini saatnya bagi saya untuk merelakan kepergian Harry, Ron, Hermione, dan seluruh penghuni Hogwarts. Tidak sedahsyat saat saya ditinggal pergi oleh Woody dan kawan-kawan melalui Toy Story 3, namun tetap saja air mata susah dibendung. Saya sungguh berterima kasih kepada J.K. Rowling yang telah menciptakan sebuah karya sastra yang memukau seperti ini. Sangat jarang ada sebuah karya sastra bergenre fantasi yang mampu membuat pembacanya terasa ikut terlibat dengan petualangan para tokohnya selama berseri-seri. Tandingan Harry Potter untuk hal ini hanyalah The Lord of the Rings yang tak pelak merupakan karya sastra terbaik di genrenya. Mereka berdua sanggup menciptakan sebuah cerita yang sangat dalam, detail, runtut dan terjalin sangat rapi. Maka bukan perkara yang mudah untuk menerjemahkannya ke dalam bentuk pita seluloid.


Steve Kloves tidak secanggih Fran Walsh, Philippa Boyens dan Peter Jackson dalam menuangkan novel ke dalam naskah. Jarang sekali Kloves bisa memuaskan semua kalangan. Namun bisa jadi itu disebabkan karena hampir setiap seri Harry Potter ditangani oleh sutradara yang berbeda. Pangkas memangkas dalam film adaptasi sebenarnya merupakan hal yang sangat wajar, karena seperti yang saya tekankan berulang kali, film dan novel adalah media yang berbeda. Ketika ada beberapa bagian dari novel Harry Potter and the Deathly Hallows part 2 yang hilang di versi film, saya tidak terkejut. Selama inti utama cerita tidak ikut terpangkas, itu bukan sesuatu yang dipermasalahkan. Kloves dan Yates sudah berhasil menceritakan kembali apa yang seharusnya diceritakan. Jika menuntut untuk setia 100 % kepada novel maka akan susah. Selain durasi akan menjadi melar, belum tentu penonton yang tak pernah membaca versi novelnya akan suka. Memuaskan semua pihak memang bukan perkara yang mudah. Namun untuk sebuah adaptasi, Harry Potter and the Deathly Hallows part 2 ini sudah digarap dengan sangat baik. Sinematografinya cantik, special effect-nya megah dan musik gubahan Alexandre Desplat sangat indah. Musik dari Desplat yang terkadang membuat saya emosional ini membantu tiap scene terasa lebih hidup.

Daniel Radcliffe, Emma Watson dan Rupert Grint menunjukkan performa terbaik mereka disini. Kemampuan akting mereka semakin terasah dan akting Radcliffe sebagai Potter pun mulai bisa diterima. Malangnya, usaha keras mereka untuk berakting dengan sempurna dilibas oleh akting memukau Maggie Smith. Professor Minerva McGonagall tidak pernah semenarik ini sebelumnya. Penampilannya singkat, namun membekas. Rasanya tidak ada yang keberatan jika saya mengatakan bahwa Maggie Smith adalah scene stealer di film ini. Selain penampilan apik Smith, rata-rata pemeran pendukung menunjukkan kemampuan akting kaliber atas. Alan Rickman, Ralph Fiennes, Michael Gambon dan Helena Bonham Carter membuktikan bahwa mereka layak disebut sebagai aktor papan atas. Rickman membuat saya iba sekaligus kesal terhadap Severus Snape, sementara Carter tak pernah gagal membuat saya tertawa terbahak-bahak. Lihat saja aksinya saat memainkan Bellatrix Lestrange palsu. Salah satu adegan favorit saya di film ini. Fiennes juga bermain sangat kuat saat memerankan Voldemort. Dia sukses menunjukkan sisi rapuh dari Voldemort, namun tetap terlihat menyeramkan. Disinilah salah satu letak kekuatan dari franchise ini. Setiap tokoh memiliki alasan kehadiran di dalam cerita dan karakternya kuat nan manusiawi. Banyak sekali 'life lessons' yang bisa dipetik dari setiap tindak tanduk para tokoh disini. J.K. Rowling tidak mencoba untuk menguliahi pembacanya, pesan itu akan secara langsung terserap jika pembaca memahami apa yang disampaikan oleh Rowling. Sungguh menakjubkan.

Bagian penutup dari franchise paling menguntungkan ini menyoroti petualangan Harry, Ron dan Hermione, dalam mencari tiga Horcrux terakhir yang harus dihancurkan. Pencarian menjadi semakin tidak mudah lantaran Lord Voldemort telah menemukan salah satu tongkat sihir terkuat, Elder Wand, dan bersama pasukannya, "He-Who-Must-Not-Be-Named" merapatkan diri ke Hogwarts. Peperangan terbesar dalam dunia sihir pun tak terelakkan. Kemerdekaan dunia sihir ada di tangan remaja berusia 17 tahun, Harry Potter. Saya tidak perlu menceritakan bagian apa saja yang menarik di film ini. Anda harus menyaksikannya sendiri. Yang pasti, ini adalah adaptasi terbaik dari semua versi film Harry Potter. Adegan peperangan di akhir film mungkin terkesan dibuat terburu-buru, namun tetap terasa megah. Kematian Dumbledore yang datar dan hilangnya peperangan Hogwarts dari Half-Blood Prince, ditebus disini. Meskipun tidak bisa melampaui pencapaian akhir dari The Lord of the Rings atau Toy Story yang sangat menakjubkan, David Yates telah memberi sebuah akhir yang sangat memuaskan dan layak bagi salah satu franchise terbaik dekade ini. Rasanya akan sulit menemukan sebuah seri yang begitu megah dan digarap secara apik seperti ini dalam beberapa tahun ke depan. J.K. Rowling adalah seorang yang jenius.

Outstanding

Senin, 25 Juli 2011

REVIEW : THE RESIDENT


The Resident memiliki sebuah formula yang cukup untuk menjadikannya sebuah film thriller yang sukses mencekam penonton. Film ini memiliki aktris peraih dua Oscar, Hillary Swank, dan didukung oleh para aktor hebat seperti Jeffrey Dean Morgan dan Christopher Lee. Premisnya pun menjual, seperti gabungan antara Psycho dengan Peeping Tom. Jika ada yang perlu diragukan, maka itu adalah sang sutradara, Antti Jokinen, yang baru memulai debut film panjangnya melalui The Resident ini. Sebelumnya, dia adalah sutradara video klip yang pernah menangani beberapa penyanyi besar semacam Celine Dion, Shania Twain, Kelly Clarkson hingga Westlife. Di atas kertas, The Resident tampak seperti sebuah proyek yang ideal dan memiliki kemungkinan gagal yang tipis. Namun apa yang terjadi di lapangan belum tentu sejalan. Sebuah proyek yang direncanakan dengan matang saja bisa mendadak hancur lebur saat eksekusi, apalagi yang asal-asalan. Nah, The Resident sendiri di Amerika Serikat langsung diterjunkan ke dalam bentuk home video pada akhir Maret 2011 lalu. Sudah bisa ditebak kan bagaimana hasil akhir dari film yang awalnya tampak menjanjikan ini?

Home Sweet Home. Inilah yang didambakan oleh Dr. Juliet Deverau (Hillary Swank) ketika menginjakkan kaki di New York. Tidak perlu tempat yang mewah, asalkan nyaman dan aman untuk ditempati. Tentu akan lebih menyenangkan jika semua itu dikombinasikan dengan murah. Maka ketika Max (Jeffrey Dean Morgan) menyewakan sebuah apartemen dengan harga yang miring, Juliet tidak kuasa untuk menolak. Logikanya, adalah sesuatu yang mencurigakan saat seseorang menawarkan sebuah tempat yang luas dan berada di lokasi strategis dengan harga yang murah. Akan tetapi, pada kenyataannya, saat berada dalam posisi yang kepepet, kita memang cenderung mengabaikan logika dan enggan untuk berpikir dua kali. Juliet dalam posisi ini. Apalagi sebelumnya dia harus tinggal di hotel setelah berpisah dengan kekasihnya, Jack (Lee Pace). Dokter cantik ini tidak menyadari jika kegegabahannya dalam mengambil keputusan akan membawanya ke sejumlah pengalaman yang tidak menyenangkan di apartemen barunya tersebut. Dari sini, penonton pun diajak oleh Antti Jokinen untuk ikut merasakan teror yang dihadapi oleh Juliet.

Sayangnya, teror yang saya maksud disini dalam artian negatif. The Resident adalah sebuah film thriller berpotensi yang berubah menjadi tontonan membosankan karena tidak dibidani naskah yang kuat. Setelah drama membosankan di menit-menit awal seputar Juliet yang mencari apartemen dan kisah kasih yang terjalin antara dia dengan Max, menit berikutnya bahkan menjadi semakin buruk saja. Teror di apartemen dan motif pelaku dibuka dengan gamblang oleh Jokinen saat film baru memasuki menit ke-30. Lantas apa yang menjadi daya tarik tatkala penonton sudah mengetahui segalanya sejak awal? Pada titik ini, ending telah terbaca dengan jelas. Berbagai peristiwa yang menimpa Juliet pun menjadi tidak lagi menarik dan mengejutkan. Hambarnya menit-menit pertama kembali terulang saat Jack kembali memasuki kehidupan Juliet dan membuat Max terbakar api cemburu. Saat rasa bosan mulai tak terbendung lagi, saya mulai berharap Jokinen membuat Juliet bernasib seperti Marion Crane, ditikam berkali-kali saat sedang mandi hingga mati. Otomatis, Norman Bates adalah Max. Atau Jokinen ingin memberi twist dengan menjadikan Jack sebagai Norman?

Beruntung, Hillary Swank bermain cukup baik sebagai Juliet. Karakter wanita yang tangguh memang telah menjadi ciri khasnya, seperti yang dia tampilkan dalam Million Dollar Baby, Amelia, bahkan Boys Don't Cry. Untuk sekali ini, dia bermurah hati mempertontonkan tubuh polosnya kepada penonton berulang kali. Panas dan menggoda jika disajikan dalam takaran yang pas, akan tetapi Swank malah justru keasyikkan dan membuat saya ingin memberinya pakaian sebagai kado ulang tahun. Jokinen pun sepertinya fans berat Nayato. Tidak terhitung berapa kali Juliet berada dalam kamar mandi. Seakan-akan apartemen Juliet ini hanya memiliki bathtub dan kasur saja. Rasa lelah, bosan dan kesal yang tercampur jadi satu sempat sedikit terobati saat apa yang saya harapkan dari sebuah film thriller akhirnya muncul. Cukup seru untuk dinikmati, meski durasinya tak lebih dari 15 menit. Tapi rasanya agak percuma membangun ketegangan di detik-detik terakhir tatkala penonton sudah tidak peduli lagi dengan nasib Juliet dan Max, serta kebosanan membuncah. Terlalu lama melewati fase drama yang lamban dan menjenuhkan membuat saya hanya ingin film ini selesai dan mencari film lain sebagai penawar. Pada akhirnya, The Resident tak ubahnya seperti proyek Antti Jokinen yang terlalu ambisius untuk meniru film thriller klasik.

Poor

Rabu, 20 Juli 2011

REVIEW : THE ROCKY HORROR PICTURE SHOW


"Hi, my name is Brad Majors, and this is my fiancee, Janet Weiss; ah... you are...?"

Absennya film-film musim panas dari MPA membuat saya benar-benar malas untuk melangkahkan kaki ke bioskop. Di bioskop A, film yang tayang masih sama persis seperti minggu lalu, sementara di bioskop B, diisi oleh film-film lokal yang sama sekali tak menarik untuk ditonton. Karena tak ada pilihan, saya pun ngesot di depan televisi saja. Entah ada angin apa, film-film yang saya tonton beberapa hari yang lalu berasal dari tahun 70-an. Hebatnya lagi, semuanya musikal. Bukan rahasia lagi jika saya memang sangat menggemari genre ini. Layaknya film horror dan komedi romantis, seburuk apapun film musikal, tetap asyik untuk dinikmati. Saya masih bisa ikut bersenandung dan menghentak-hentakkan kaki. Namun yang paling menarik adalah, film musikal biasanya cenderung jauh dari kata normal. Apakah menurut Anda film musikal legendaris macam The Sound of Music, Mary Poppins, West Side Story, Singin' in the Rain hingga Moulin Rouge! bisa dikatakan normal? Bagi saya, sama sekali tidak. Selalu saja ada tembang dan koreografi yang nyeleneh dan membuat penonton antara mengernyitkan dahi dan tertawa. Ambil contoh, saat para tokoh utama dalam Moulin Rouge! membawakan The Pitch (Spectacular Spectacular), sangat komikal.

Nah, bagaimana dengan The Rocky Horror Picture Show yang saya tonton minggu lalu ini? Yang pasti, berkali-kali lipat lebih aneh. Bayangkan saja, ada sebuah pesta diselenggarakan di kastil yang berada di antah berantah dengan tamu-tamu berkostum ala Lady Gaga ditambah tuan rumah yang seorang wadam dengan pelayannya yang mirip Quasimodo kurus. Masih dihebohkan dengan kehadiran Frankestein tampan yang bertubuh atletis namun tak pernah berbicara sepatah katapun, kecuali saat menyanyi. Bayangkan betapa aneh dan hebohnya! Oleh Jim Sharman, selama 100 menit, Anda akan diseret ke dalam petualangan Brad (Barry Bostwick) dan Janet (Susan Sarandon) yang mungkin tidak akan bisa Anda lupakan sampai kapanpun, saking ajaibnya. Jika dalam menit-menit pertama Anda sudah merasakan bahwa ketidakwajarannya melebihi batas, maka tinggalkan saja. Karena di menit berikutnya, akan semakin kacau dan kacau. Hebatnya, Brad dan Janet, masih kuat meladeni kegilaan yang dilakukan oleh Dr. Frank-N-Furter (Tim Curry) hingga akhir. Pasangan ini tak sengaja terjebak dalam pesta satu malam Dr. Frank setelah mobil mereka mogok di tengah hutan sementara hujan mengguyur deras.

Masyarakat mungkin menganggap apa yang dilakukan oleh Lady Gaga adalah sebuah kegilaan yang kebablasan dengan tujuan hanya mencari sensasi belaka. Tapi harus diakui, karya-karyanya berkualitas serta enak untuk dinikmati. Seperti itulah The Rocky Horror Picture Show. Bagi yang terbiasa menonton film 'normal', mungkin akan bertanya-tanya, 'film apa ini?'. The Rocky Horror Picture Show pun awalnya sempat kesusahan menjaring penonton. Perjuangan yang keras dan tanpa menyerah dari tim belakang layar membuahkan hasil. Film yang berangkat dari pertunjukkan panggung di Inggris ini perlahan-lahan mampu menciptakan sebuah fanbase yang fanatik yang senantiasa memuja-mujanya. Film ini bahkan masih tetap diputar di bioskop hingga saat ini, meskipun sudah 36 tahun sejak tayang perdana. Serial musikal remaja populer, Glee, juga sempat membuat episode tribut untuk film legendaris ini, tentunya dengan muatan seksual yang dikurangi kadarnya. Tembang-tembang yang menghiasi The Rocky Horror Picture Show dengan mudah nyantol di telinga dan menyebabkan kecanduan. Dammit Janet memiliki lirik yang manis dan aneh, What Ever Happened to Saturday Night?, Time Warp dan Touch-a Touch-a Touch Me sungguh asyik dibuat melantai, sementara Super Heroes cenderung depresif.

Segala kegilaan ini mungkin tidak akan ada artinya tanpa penampilan sinting dari Tim Curry. Dia nampak bersenang-senang dengan peran yang dimainkannya. Walaupun memiliki selera berpesta yang sama sekali tidak normal, Dr. Frank tergolong sukses memainkan perannya sebagai tuan rumah. Pestanya hidup. Para pemain lain hadir biasa saja tertutup performa apik dari Curry, namun sungguh menyegarkan mata bisa melihat Susan Sarandon muda yang cantik menggoda. Acungan dua jempol untuk Jim Sharman yang mampu menghadirkan pesta yang menyenangkan kepada para penonton. Saya tidak bisa berhenti bergoyang, menghentakkan kaki dan berdendang sejak Barry Bostwick berduet dengan Susan Sarandon di awal film. Sebuah olok-olok untuk film kelas B, science fiction dan horror ini mengajak Anda untuk melupakan segala kepenatan yang ada di pikiran dan mengeluarkan sisi terliar dari pribadi Anda. Naskah dan penggarapannya mungkin tidak sempurna. The Rocky Horror Picture Show mungkin tidak akan bisa menandingi kemahsyuran dan kedahsyatan The Sound of Music. Tapi jika Anda mencari sebuah hiburan ringan menyenangkan yang bisa mengajak Anda untuk menggila, maka film ini adalah pilihan yang sangat tepat. Selamat datang di pesta Dr. Frank-N-Furter!

Acceptable

Rabu, 13 Juli 2011

REVIEW : WU XIA


Wu Xia merujuk pada seni bela diri China sekaligus genre film yang biasa disebut oleh masyarakat Indonesia sebagai film silat. Ada kesan tak serius saat melihat judul film ini. Pemakaian suatu genre film untuk sebuah judul biasanya digunakan oleh film komedi parodi atau produser yang telah kehabisan ide. Peter Chan masuk ke dalam kategori kedua karena film yang menggunakan Dragon sebagai judul untuk rilis internasionalnya ini sama sekali bukan film komedi. Dengan dipasangnya Donnie Yen sebagai pemeran utama sekaligus bertindak selaku action director, tentu sudah bisa terbaca film jenis apa Wu Xia ini. Namun yang perlu menjadi catatan bagi para calon penonton adalah, film ini dikomandoi oleh Peter Chan yang sebelumnya menghasilkan beberapa film apik macam Perhaps Love dan The Warlords. Sutradara yang satu ini tak hanya menjual adegan aksi sebagai jualan utama, namun juga memperhatikan kedalaman cerita. Itulah mengapa The Warlords banyak mengupas mengenai intrik dan penggalian karakter, alih-alih hanya sekadar menyuguhkan adegan peperangan yang seru. Wu Xia memiliki tone yang senada. Anda yang mengharapkan sebuah tontonan yang full-action, bersiaplah untuk kecewa. Wu Xia bukanlah film seperti itu.

Film yang diputar perdana di Cannes Film Festival ini adalah sebuah film aksi Mandarin yang memikat. Sejak menit pertama, saya telah dibuat penasaran untuk terus mengikuti kisahnya hingga akhir. Belum apa-apa, Wu Xia memulai kisahnya dengan tensi yang tinggi tatkala tempat Liu Jin-xi (Donnie Yen) bekerja disatroni oleh dua penjahat kelas kakap. Jin-xi awalnya tak berniat untuk melawan mereka. Namun tatkala melihat si pemilik toko dan istrinya dihajar secara brutal, dia pun turun tangan. Secara teori, Jin-xi yang tidak memiliki ilmu bela diri yang baik tentu sukar untuk menumbangkan dua penjahat yang memiliki fisik lebih kuat ketimbang Jin-xi. Entah karena sedang mujur atau apa, Jin-xi berhasil membunuh mereka dengan tangan kosong. Sontak, penduduk desa pun mengelu-elukan namanya dan menjadikan Jin-xi sebagai pahlawan desa. Kehebohan ini kemudian menarik perhatian Xu Bai-jiu (Takeshi Kaneshiro), seorang detektif ala Sherlock Holmes versi Robert Downey Jr. Dia adalah satu-satunya orang di desa yang tidak percaya bahwa kematian dua penjahat tersebut adalah suatu kebetulan belaka.


Dari sini, film kemudian berubah haluan menjadi suspense tatkala penonton diajak oleh Bai-jiu untuk menyelidiki latar belakang Jin-xi. Berbagai pertanyaan pun menyeruak, siapa sebenarnya Jin-xi? Apakah benar dia tidak selugu yang masyarakat kira? Atau, semua ini hanyalah imajinasi Bai-jiu yang berlebihan karena obsesinya menjadi detektif yang hebat? Oi Wah Lam mengolah naskah Wu Xia dengan sangat apik. Saat penyelidikan yang reka ulangnya mengingatkan kita kepada Sherlock Holmes, penonton akan mulai ragu kepada siapa seharusnya berpihak. Bai-jiu yang diperankan secara humoris dan menawan oleh Takeshi Kaneshiro yang sebelumnya bermain apik di dwilogi Red Cliff terkadang sungguh menyebalkan karena selalu mengusik kehidupan Jin-xi. Ketika dia mencoba untuk menyelami kehidupan Jin-xi, penonton dikejutkan dengan fakta yang sesungguhnya mengenai Jin-xi. Saat segalanya sedikit demi sedikit mulai terungkap, tensi Wu Xia pun menurun drastis. Pada saat ini, Donnie Yen harus berubah menjadi Ip Man demi menyelamatkan film.

Sempat terjebak di dalam drama yang membosankan tentu bukan harapan dari penonton Wu Xia yang mengharapkan adegan bak bik buk yang intens. Tatkala Bai-jiu pergi meninggalkan desa dan masa lalu kembali menghampiri Jin-xi, apa yang ditunggu-tunggu oleh penonton akhirnya datang juga. Layaknya film silat yang mengusung drama sebagai andalan utama, adegan seru senantiasa diawali dengan sebuah adegan yang memilukan. Ini juga terjadi pada Wu Xia. Koreografi laga arahan Donnie Yen, seperti biasa, indah dan menyenangkan untuk dilihat. Namun sayangnya baru dipamerkan di menit-menit terakhir saja. Pertarungan final yang melibatkan semua tokoh utama, termasuk istri Jin-xi, Ayu (Tang Wei), dihadirkan dan diselesaikan secara cepat. Ada kesan terburu-buru disini. Keputusan untuk penggalian karakter lebih mendalam berdampak pada banyaknya adegan baku hantam yang terpaksa dipangkas agar durasi 116 menit tidak semakin melar. Sungguh disayangkan memang. Seandainya saja Peter Chan bisa menyeimbangkan porsi keduanya, Wu Xia dijamin mampu menghasilkan tontonan yang lebih menarik. Apalagi sejak Crouching Tiger Hidden Dragon dan Hero tak ada lagi film martial art yang kuat secara penceritaan.

Acceptable

Sabtu, 09 Juli 2011

REVIEW : SURAT KECIL UNTUK TUHAN


Saat menonton sebuah film yang mengadaptasi dari sebuah novel yang sukses luar biasa, saya tidak pernah memberi ekspektasi yang tinggi. Bagaimanapun, novel dan film adalah dua media yang berbeda. Imajinasi yang kita bayangkan mungkin saja berbeda dengan imajinasi dari sutradara. Film adaptasi bisa dikatakan sukses saat film tersebut mampu menceritakan kembali isi dari novel dengan caranya sendiri tanpa menghilangkan esensi cerita karya yang diangkat. Yang sering salah kaprah adalah film adaptasi harus sama persis dengan karya yang diadaptasi. Ini susah. Ketika Habiburrahman El Shirazy memutuskan untuk membuat Dalam Mihrab Cinta menjadi semirip mungkin dengan novelnya yang terjadi kemudian justru sebuah bumerang. Film menjadi tidak enak untuk diikuti. Beberapa film hasil adaptasi karya sastra yang bisa dikategorikan terpuji dalam satu dekade terakhir hanya berkutat pada Gie, Laskar Pelangi, Mereka Bilang Saya Monyet, Eiffel I'm In Love, Badai Pasti Berlalu dan Ayat-Ayat Cinta. Sisanya, sangat mudah untuk dilupakan.

Surat Kecil Untuk Tuhan berangkat dari novel sukses berjudul sama karangan Agnes Davonar yang mengangkat kisah perjuangan seorang gadis berusia 13 tahun bernama Gita Sesa Wanda Cantika atau Keke dalam melawan kanker ganas yang menggerogoti tubuhnya. Sebuah kisah yang sangat inspiratif, mengingatkan saya pada perjuangan Aya dalam 1 Litre of Tears. Sama-sama gadis belia penuh semangat, sama-sama berjuang melawan penyakit langka, dan sama-sama menguras air mata. Artis pendatang baru, Dinda Hauw, bermain total dan cukup meyakinkan sebagai Keke. Dia bahkan merelakan rambut panjang indahnya untuk dibabat habis. Gadis cantik dengan akting yang mumpuni ini adalah satu-satunya yang menarik dari Surat Kecil Untuk Tuhan. Film drama ini gagal menghadirkan sebuah melodrama tearjerker yang terjalin apik. Naskahnya terlalu dangkal, konflik dihadirkan dengan hambar dan tak ada chemistry sama sekali diantara para pemain. Alex Komang yang berperan sebagai ayah dari Keke disia-siakan oleh naskah buatan Beby Hasibuan. Aktor berkualitas ini tak mampu membuat penonton bersimpati padanya, di beberapa adegan terkesan over acting.

Siapa nama sahabat-sahabat Keke? Bagaimana karakter mereka? Apa fungsi mereka? Sayangnya, Harris Nizam tidak memberikan jawaban atas segala pertanyaan ini kepada penonton. Sebuah kesalahan yang sangat fatal. Yang saya lihat di layar bioskop hanyalah sejumlah gadis SMP yang cengeng dan bikin ruang terlihat sesak. Saya tahu, mereka difungsikan sebagai penyemangat Keke. Mereka adalah sosok sahabat sejati. Mereka adalah salah satu alasan bagi Keke untuk tetap berjuang melawan kanker jaringan lunak yang dideritanya. Tapi kenapa para penyemangat ini malah justru selalu nangis di sepanjang film? Akibatnya, saya justru tertawa terpingkal-pingkal alih-alih menangis tersedu-sedu. Apalagi tidak ada chemistry diantara keenam sahabat karib ini dan mereka membawakan peran masing-masing dengan datar. Karena lemahnya naskah, kehadiran mereka menjadi terasa tak penting dan ditampilkan sekadar untuk menggugurkan kewajiban saja. Malahan, foto-foto yang muncul saat credit title bergulir justru lebih membuat hati merasa terenyuh.

Ya, sepanjang film kita hanya mengenal siapa itu Keke. Orang-orang terdekat dan berjasa di sekitarnya seakan tak penting untuk diceritakan karena ini adalah kisah tentang Keke. Padahal penonton perlu tahu lebih dalam mengenai sahabat Keke dan keluarga Keke. Tiba-tiba saja, ayah dan ibu Keke dikisahkan berpisah, kakaknya yang bernama Chika terlibat masalah dan air mata pun kembali tumpah. Bagaimana bisa saya ikut terharu dengan perjuangan Keke sementara saya tidak mengetahui latar belakang keluarga dan sahabatnya? Semua dimunculkan secara tiba-tiba. Harris Nizam dan Beby Hasibuan terlalu memaksa untuk membuat Surat Kecil Untuk Tuhan untuk menjadi tontonan penguras air mata yang malah membuatnya menjadi melelahkan dan membosankan. Presentasi visualnya pun tak jauh berbeda dengan apa yang biasa saya lihat di sinetron. Pada akhirnya, Surat Kecil Untuk Tuhan hanya menarik bagi mereka yang mudah tersentuh saat menyaksikan sinetron atau FTV. Jika Anda bukan termasuk golongan tersebut, maka film ini hanya akan membuat Anda tertidur pulas di dalam bioskop.

Poor

Trailer :

Selasa, 05 Juli 2011

REVIEW : CATATAN HARIAN SI BOY

"Teman adalah anggota keluarga yang kita pilih." - Satrio



Generasi jejaring sosial yang tumbuh bersama Cinta dan Rangga lewat Ada Apa Dengan Cinta? dan belakangan malah akrab dengan dedemit, mungkin akan bertanya-tanya, siapa Boy? Nama ini sangat terkenal di tahun 80-an, mereka yang tumbuh di tahun ini dijamin tahu siapa Boy. Bahkan kepopulerannya tak usang dimakan zaman. Bagi yang sering menyaksikan Opera Van Java tentu tahu jika Andre dan Azis sering memarodikan karakter Boy dan Emon. Tidak hanya di acara ini, tetapi juga acara-acara lain. Sebegitu populernya kah mereka hingga di tahun 2011 ini hadir versi barunya? Si pembuat film berulang kali menegaskan bahwa versi baru dari Catatan Si Boy yang berjudul Catatan Harian Si Boy ini bukanlah remake dari film remaja fenomenal tahun 80-an tersebut. Cerita berbeda, hanya kesamaan judul. Saya ragu, apalagi kabar bahwa film ini akan di-remake sempat simpang siur. Namun setelah saya menyaksikannya langsung, Catatan Harian Si Boy mungkin lebih tepat disebut sebagai sekuel tak resmi. Ada benang merah yang menyatukan Boy versi baru ini dengan yang lawas.



Kali ini, Boy (Onky Alexander) tak lagi menjadi tokoh utama. Perannya digantikan oleh Satrio (Ario Bayu). Secara penampilan, Boy memang jauh lebih keren ketimbang Satrio yang terlihat dekil dan cuek akan penampilan. Namun diluar itu, ada banyak kesamaan diantara mereka. Mereka kaya, tampan, macho, rajin sholat, punya banyak teman dan digilai para cewek. Kesamaan tidak hanya terjadi pada karakter Satrio, tetapi juga teman-temannya macam Herry (Albert Halim) dan Andi (Abimana Setya) yang mau tak mau mengingatkan kita kepada Emon dan Kendi. Akan tetapi, bukan kesamaan karakter inilah yang menjadi penjembatan antara kisah Boy dengan kisah Satrio. Buku harian Boy yang dibawa oleh Nuke-lah kuncinya. Tasha (Carissa Puteri), putri Nuke yang baru saja pulang dari London, menemukan buku harian tersebut dan membaca isinya. Tidak etis memang membaca buku harian orang lain, namun tujuan Tasha tidak lain untuk menemukan sosok Boy. Harapannya, Nuke bisa sembuh jika bisa bertemu dengan Boy. Petualangan Tasha dalam menemukan Boy inilah yang kemudian memertemukannya dengan Satrio dan konco-konconya. Satrio bertekad untuk membantu Tasha meskipun Nico (Paul Foster), kekasih Tasha, memeringatkan Satrio untuk menjauhi Tasha.



Kisah cinta segiempat antara Satrio, Tasha, Nico dan Nina (Poppy Sovia) tidak berkembang menjadi sesuatu yang menarik, malahan menjadi basi. Sesuai dengan berjalannya alur, ada kesan naskah buatan Priesnanda Dwisatria dan Ilya Sigma ini ingin fokus pada persahabatan Satrio dengan kawan-kawannya. Gejolak konflik yang muncul setelah bengkel Nina dihancurkan oleh orang-orang suruhan Nico gregetnya malah lebih terasa ketimbang konflik cinta. Upaya untuk lebih mengedepankan berbagai permasalahan seputar persahabatan ketimbang cinta justru yang membuat Catatan Harian Si Boy ini menjadi menarik. Teman adalah anggota keluarga yang kita pilih, begitu narasi Satrio di akhir film. Dalam lingkaran pertemanan selalu ada sosok yang melindungi, si bijak, si humoris dan sosok yang paling disayang. Satrio sangat beruntung bisa memiliki sahabat seperti Herry, Andi dan Nina. Mereka bertiga memang sering melakukan hal bodoh dan terkadang menjengkelkan, tapi mereka adalah sahabat yang setia dan bisa diandalkan. Gambaran sahabat sejati. Sahabat yang tidak hanya hadir di kala Satrio senang, tetapi juga ketika berada dalam masalah. Mereka bahkan memberi dukungan kepada Satrio dalam mencari Boy meski tahu akibat yang akan diterima. Beruntunglah chemistry antara Albert Halim, Ario Bayu, Abimana Setya dan Poppy Sovia berpadu apik sehingga interaksi Boy dengan sahabatnya terlihat sangat meyakinkan.



Yang paling mencuri perhatian adalah Abimana Setya sebagai Andi. Playboy cap kadal yang sekilas terlihat sangar ini tak henti-hentinya membuat saya tertawa terbahak-bahak dengan celetukan-celetukannya yang ajaib dan ekspresi wajahnya yang innocent. Tokoh Herry yang difungsikan sebagai Emon generasi baru kalah bersinar. Dengan jalan cerita yang sebenarnya biasa, Catatan Harian Si Boy terbantu oleh dialog-dialognya yang cerdas nan asyik serta akting para pemainnya. Putrama Tuta boleh berbangga diri karena film perdananya ini jauh dari kata mengecewakan. Meminjam ikon generasi adalah suatu hal yang beresiko, akan tetapi Tuta tak membuat para fans lama mendengus kesal dan sanggup menarik fans baru. Sekalipun berbagai kesalahan masih ada, ya namanya juga buatan manusia, namun masih bisa dimaklumi. Setidaknya jika tujuan Catatan Harian Si Boy adalah untuk menghibur, maka tujuan itu telah tercapai dengan baik. Pesan yang ingin disampaikan pun mengena. Putrama Tuta sukses menampar para sineas dan produser mesum yang hobi merilis film seks dengan dedemit yang tanpa makna. Tanpa memasukkan unsur seks dan pocong, bermodal naskah yang kuat, Catatan Harian Si Boy tampil mengesankan. Semoga langkah Tuta ini diikuti oleh yang lainnya sehingga perfilman Indonesia bisa kembali bangkit dan mendapat kepercayaan dari masyarakat. Amin.



Exceeds Expectations



Trailer :



Sabtu, 02 Juli 2011

REVIEW : THE VIRGIN SUICIDES



Beautiful, mysterious, haunting, invariably fatal. Just like life.

Jangan tertipu dengan posternya yang terlihat manis dan agak-agak menggoda gimana gitu. Ini bukan sebuah film romansa remaja yang akan membuat Anda leleh atau berteriak "so sweet!". Percayalah, ini bukan film semacam itu meskipun di dalamnya ada Kirsten Dunst, A.J. Cook dan Josh Hartnett versi muda yang mungkin bisa membuat Anda tak berkedip. Cermati judul dan tagline-nya, maka Anda akan mengetahui akan dibawa kemana film ini. The Virgin Suicides adalah sebuah debut dari sutradara penghasil Lost in Translation, Sofia Coppola, yang mengagumkan. Naskah mengadaptasi dari novel menghebohkan berjudul sama karangan Jeffrey Eugenides yang uniknya merupakan novel pertama dari Eugenides. Sebuah kebetulan? Apa yang diangkat dalam The Virgin Suicides bukanlah sesuatu yang ringan dan menyenangkan untuk disantap. Coppola menyajikannya dengan cara yang aneh, lucu dan menyeramkan. Membuat saya terkadang berpikir, ini film tentang apa?

The Virgin Suicides menyoal tentang kehidupan para remaja akil baligh yang disampaikan dengan cara yang tidak biasa. Saya sebut tidak biasa karena masa-masa paling bahagia dalam hidup seseorang ini disandingkan dengan kematian. Keceriaan dipadukan dengan kesuraman. Namun apakah ada keceriaan disini? Saya tidak yakin. Para gadis Lisbon yang cantik dan penuh gairah ini memang terlihat bahagia dan menikmati hidup, tapi apa Anda yakin jika mereka benar-benar bahagia? Jika mereka bahagia, lantas kenapa si bungsu, Cecilia (Hanna R. Hall), mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis? Agaknya Cecilia sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan kedua orang tuanya, Ronald (James Woods) dan Sara (Kathleen Turner), yang terlalu mengekang. Sebagai seorang remaja, Cecilia butuh untuk berkumpul bersama teman-temannya, jalan-jalan ke mall, cafe dan menggoda para cowok. Sayangnya itu hanya bisa dilakukan dalam mimpi. Ronald dan Sara 'memenjara' Cecilia bersama keempat saudarinya di dalam rumah. TV, majalah dan brosur adalah hiburan bagi mereka. Seandainya pada tahun 1970-an internet telah menjamur, saya pun tidak yakin mereka diizinkan untuk mengaksesnya.

Kisah kehidupan para gadis Lisbon ini diceritakan oleh seorang narator yang tidak kita ketahui identitasnya. Mungkin saja dia adalah salah satu dari empat cowok tetangga keluarga Lisbon yang terobsesi dengan para gadis Lisbon, atau salah satu dari empat cowok yang mengajak para gadis Lisbon ke pesta dansa, atau dia bukan siapapun. Lagipula tidak penting siapa dia. Kita saja bahkan tidak mengetahui kenapa Lux (Kirsten Dunst) yang terlihat sangat menikmati hidup memutuskan bunuh diri, lantas mengapa identitas si narator menjadi penting? Misteri dalam The Virgin Suicides dibiarkan tetap menjadi misteri. Penonton mungkin akan kecewa dengan cara Coppola dan Eugenides mengakhiri kisah, tapi apa alasan para gadis Lisbon mendadak memutuskan bunuh diri penting untuk dijabarkan? Saya justru malah penasaran dengan alasan Trip Fontaine (Josh Hartnett) meninggalkan Lux begitu saja setelah mereka berhubungan seks. Sebuah pengakuan membuka segalanya. Tidak dijabarkan secara eksplisit, dialog ini membutuhkan perenungan untuk memahami apa yang dimaksud oleh Trip.

Tidak mudah untuk mencerna apa yang diinginkan oleh Coppola dan Eugenides. Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, saya terkadang tidak yakin dengan maksud film ini. The Virgin Suicides kadang menjelma menjadi film horror yang aneh, kadang berubah menjadi film komedi yang absurd. Akan tetapi, itulah yang menjadikan The Virgin Suicides menarik. Apalagi ini adalah karya dari sutradara debutan. Lagu-lagu yahud pilihan Coppola yang terasa nyambung dengan setiap adegannya membuat film ini indah. Walaupun tak secerdas Lost in Translation, The Virgin Suicides tetap menyuguhkan sebuah tontonan yang berbobot. Kesalahan Ronald dan Sara bisa menjadi pelajaran penting bagi para orang tua. Terlalu mengekang sama berbahayanya dengan terlalu memberi kebebasan. Harus berimbang. Sebagai orang tua, Ronald dan Sara sebenarnya telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Hanya saja mereka tidak pernah berusaha memahami anak-anaknya, malah justru sok paham. Coppola dan Eugenides mencoba untuk mengingatkan, apapun yang berlebihan tidak akan pernah membawa dampak yang positif. Sekalipun itu dimanfaatkan untuk sesuatu yang positif.

Exceeds Expectations

Trailer :