Sabtu, 30 Juli 2011

REVIEW : HARRY POTTER AND THE DEATHLY HALLOWS PART 2


"Do not pity the dead, Harry. Pity the living and above all, especially those who live without love." - Albus Dumbledore

Penantian panjang yang melelahkan itu akhirnya berakhir. Setelah keran film MPA ditutup, kesempatan untuk menyaksikan jilid terakhir dari Harry Potter nyaris tidak ada. Setelah masyarakat terus diombang-ambingkan oleh pemerintah yang nampaknya sedang asyik main kucing-kucingan dengan pihak MPA dan importir, secercah harapan turun dari langit. Berita yang membahagiakan menyeruak ke publik. Harry Potter and the Deathly Hallows part 2 dipastikan tayang di Indonesia. Ini mungkin adalah berita paling membahagiakan bagi siapapun yang mencintai film, khususnya pecinta film Harry Potter, di bulan Juli ini. Rilis telat tidak lagi menjadi soal, selama bisa menyaksikannya di layar lebar. Bagi fans fanatik Harry Potter, menyaksikan perjalanan terakhir dari sebuah legenda melalui DVD bajakan adalah sesuatu yang memalukan dan tidak bisa diterima. Mereka yang tidak menyukai franchise ini mungkin beranggapan ini adalah sesuatu yang gila dan berlebihan. Tidak sedikit yang mencemooh para fans yang rela berdesak-desakkan demi bisa menikmati Harry Potter and the Deathly Hallows part 2. Ini bukan masalah demi mendapat sebuah prestige atau agar dianggap keren. Menanti selama bertahun-tahun demi melihat 'sang sahabat' yang telah menemani selama 10 tahun untuk mengucapkan selamat tinggal adalah sesuatu yang melelahkan dan menyiksa. Ketika akhirnya kesempatan itu datang, maka tidak heran jika kemudian diserbu di kesempatan pertama. Sesuatu yang tidak akan mungkin bisa dipahami oleh mereka yang tidak tumbuh bersama Harry Potter. Saya rasa tidak hanya Harry Potter yang mengalami ini. Franchise lain semacam Star Wars dan The Lord of the Rings juga menciptakan euphoria yang sama ketika jilid terakhirnya dilempar ke bioskop. Apa yang terjadi saat ini mungkin tidak akan segila seperti ini seandainya summer movies masuk dengan lancar. Haus akan film blockbuster dari Hollywood turut menciptakan keadaan ini.

Untungnya, ini adalah sebuah akhir yang luar biasa dari petualangan Harry Potter. David Yates sukses menuntaskan franchise ini dengan penyelesaian yang sangat memuaskan. Entah bagaimana pendapat para Potterhead, tapi saya pribadi mengacungi dua jempol atas kinerja Yates yang apik. Kesalahannya dalam mengacaukan Harry Potter and the Half-Blood Prince pun seketika termaafkan. Saya susah untuk memercayai bahwa film yang memukau ini adalah hasil buatan dari sutradara yang sama yang telah mengecewakan saya tempo hari. Emosi saya membuncah ketika akhirnya closing credits bergulir. Ini saatnya bagi saya untuk merelakan kepergian Harry, Ron, Hermione, dan seluruh penghuni Hogwarts. Tidak sedahsyat saat saya ditinggal pergi oleh Woody dan kawan-kawan melalui Toy Story 3, namun tetap saja air mata susah dibendung. Saya sungguh berterima kasih kepada J.K. Rowling yang telah menciptakan sebuah karya sastra yang memukau seperti ini. Sangat jarang ada sebuah karya sastra bergenre fantasi yang mampu membuat pembacanya terasa ikut terlibat dengan petualangan para tokohnya selama berseri-seri. Tandingan Harry Potter untuk hal ini hanyalah The Lord of the Rings yang tak pelak merupakan karya sastra terbaik di genrenya. Mereka berdua sanggup menciptakan sebuah cerita yang sangat dalam, detail, runtut dan terjalin sangat rapi. Maka bukan perkara yang mudah untuk menerjemahkannya ke dalam bentuk pita seluloid.


Steve Kloves tidak secanggih Fran Walsh, Philippa Boyens dan Peter Jackson dalam menuangkan novel ke dalam naskah. Jarang sekali Kloves bisa memuaskan semua kalangan. Namun bisa jadi itu disebabkan karena hampir setiap seri Harry Potter ditangani oleh sutradara yang berbeda. Pangkas memangkas dalam film adaptasi sebenarnya merupakan hal yang sangat wajar, karena seperti yang saya tekankan berulang kali, film dan novel adalah media yang berbeda. Ketika ada beberapa bagian dari novel Harry Potter and the Deathly Hallows part 2 yang hilang di versi film, saya tidak terkejut. Selama inti utama cerita tidak ikut terpangkas, itu bukan sesuatu yang dipermasalahkan. Kloves dan Yates sudah berhasil menceritakan kembali apa yang seharusnya diceritakan. Jika menuntut untuk setia 100 % kepada novel maka akan susah. Selain durasi akan menjadi melar, belum tentu penonton yang tak pernah membaca versi novelnya akan suka. Memuaskan semua pihak memang bukan perkara yang mudah. Namun untuk sebuah adaptasi, Harry Potter and the Deathly Hallows part 2 ini sudah digarap dengan sangat baik. Sinematografinya cantik, special effect-nya megah dan musik gubahan Alexandre Desplat sangat indah. Musik dari Desplat yang terkadang membuat saya emosional ini membantu tiap scene terasa lebih hidup.

Daniel Radcliffe, Emma Watson dan Rupert Grint menunjukkan performa terbaik mereka disini. Kemampuan akting mereka semakin terasah dan akting Radcliffe sebagai Potter pun mulai bisa diterima. Malangnya, usaha keras mereka untuk berakting dengan sempurna dilibas oleh akting memukau Maggie Smith. Professor Minerva McGonagall tidak pernah semenarik ini sebelumnya. Penampilannya singkat, namun membekas. Rasanya tidak ada yang keberatan jika saya mengatakan bahwa Maggie Smith adalah scene stealer di film ini. Selain penampilan apik Smith, rata-rata pemeran pendukung menunjukkan kemampuan akting kaliber atas. Alan Rickman, Ralph Fiennes, Michael Gambon dan Helena Bonham Carter membuktikan bahwa mereka layak disebut sebagai aktor papan atas. Rickman membuat saya iba sekaligus kesal terhadap Severus Snape, sementara Carter tak pernah gagal membuat saya tertawa terbahak-bahak. Lihat saja aksinya saat memainkan Bellatrix Lestrange palsu. Salah satu adegan favorit saya di film ini. Fiennes juga bermain sangat kuat saat memerankan Voldemort. Dia sukses menunjukkan sisi rapuh dari Voldemort, namun tetap terlihat menyeramkan. Disinilah salah satu letak kekuatan dari franchise ini. Setiap tokoh memiliki alasan kehadiran di dalam cerita dan karakternya kuat nan manusiawi. Banyak sekali 'life lessons' yang bisa dipetik dari setiap tindak tanduk para tokoh disini. J.K. Rowling tidak mencoba untuk menguliahi pembacanya, pesan itu akan secara langsung terserap jika pembaca memahami apa yang disampaikan oleh Rowling. Sungguh menakjubkan.

Bagian penutup dari franchise paling menguntungkan ini menyoroti petualangan Harry, Ron dan Hermione, dalam mencari tiga Horcrux terakhir yang harus dihancurkan. Pencarian menjadi semakin tidak mudah lantaran Lord Voldemort telah menemukan salah satu tongkat sihir terkuat, Elder Wand, dan bersama pasukannya, "He-Who-Must-Not-Be-Named" merapatkan diri ke Hogwarts. Peperangan terbesar dalam dunia sihir pun tak terelakkan. Kemerdekaan dunia sihir ada di tangan remaja berusia 17 tahun, Harry Potter. Saya tidak perlu menceritakan bagian apa saja yang menarik di film ini. Anda harus menyaksikannya sendiri. Yang pasti, ini adalah adaptasi terbaik dari semua versi film Harry Potter. Adegan peperangan di akhir film mungkin terkesan dibuat terburu-buru, namun tetap terasa megah. Kematian Dumbledore yang datar dan hilangnya peperangan Hogwarts dari Half-Blood Prince, ditebus disini. Meskipun tidak bisa melampaui pencapaian akhir dari The Lord of the Rings atau Toy Story yang sangat menakjubkan, David Yates telah memberi sebuah akhir yang sangat memuaskan dan layak bagi salah satu franchise terbaik dekade ini. Rasanya akan sulit menemukan sebuah seri yang begitu megah dan digarap secara apik seperti ini dalam beberapa tahun ke depan. J.K. Rowling adalah seorang yang jenius.

Outstanding

Tidak ada komentar:

Posting Komentar