Wu Xia merujuk pada seni bela diri China sekaligus genre film yang biasa disebut oleh masyarakat Indonesia sebagai film silat. Ada kesan tak serius saat melihat judul film ini. Pemakaian suatu genre film untuk sebuah judul biasanya digunakan oleh film komedi parodi atau produser yang telah kehabisan ide. Peter Chan masuk ke dalam kategori kedua karena film yang menggunakan Dragon sebagai judul untuk rilis internasionalnya ini sama sekali bukan film komedi. Dengan dipasangnya Donnie Yen sebagai pemeran utama sekaligus bertindak selaku action director, tentu sudah bisa terbaca film jenis apa Wu Xia ini. Namun yang perlu menjadi catatan bagi para calon penonton adalah, film ini dikomandoi oleh Peter Chan yang sebelumnya menghasilkan beberapa film apik macam Perhaps Love dan The Warlords. Sutradara yang satu ini tak hanya menjual adegan aksi sebagai jualan utama, namun juga memperhatikan kedalaman cerita. Itulah mengapa The Warlords banyak mengupas mengenai intrik dan penggalian karakter, alih-alih hanya sekadar menyuguhkan adegan peperangan yang seru. Wu Xia memiliki tone yang senada. Anda yang mengharapkan sebuah tontonan yang full-action, bersiaplah untuk kecewa. Wu Xia bukanlah film seperti itu.
Film yang diputar perdana di Cannes Film Festival ini adalah sebuah film aksi Mandarin yang memikat. Sejak menit pertama, saya telah dibuat penasaran untuk terus mengikuti kisahnya hingga akhir. Belum apa-apa, Wu Xia memulai kisahnya dengan tensi yang tinggi tatkala tempat Liu Jin-xi (Donnie Yen) bekerja disatroni oleh dua penjahat kelas kakap. Jin-xi awalnya tak berniat untuk melawan mereka. Namun tatkala melihat si pemilik toko dan istrinya dihajar secara brutal, dia pun turun tangan. Secara teori, Jin-xi yang tidak memiliki ilmu bela diri yang baik tentu sukar untuk menumbangkan dua penjahat yang memiliki fisik lebih kuat ketimbang Jin-xi. Entah karena sedang mujur atau apa, Jin-xi berhasil membunuh mereka dengan tangan kosong. Sontak, penduduk desa pun mengelu-elukan namanya dan menjadikan Jin-xi sebagai pahlawan desa. Kehebohan ini kemudian menarik perhatian Xu Bai-jiu (Takeshi Kaneshiro), seorang detektif ala Sherlock Holmes versi Robert Downey Jr. Dia adalah satu-satunya orang di desa yang tidak percaya bahwa kematian dua penjahat tersebut adalah suatu kebetulan belaka.
Dari sini, film kemudian berubah haluan menjadi suspense tatkala penonton diajak oleh Bai-jiu untuk menyelidiki latar belakang Jin-xi. Berbagai pertanyaan pun menyeruak, siapa sebenarnya Jin-xi? Apakah benar dia tidak selugu yang masyarakat kira? Atau, semua ini hanyalah imajinasi Bai-jiu yang berlebihan karena obsesinya menjadi detektif yang hebat? Oi Wah Lam mengolah naskah Wu Xia dengan sangat apik. Saat penyelidikan yang reka ulangnya mengingatkan kita kepada Sherlock Holmes, penonton akan mulai ragu kepada siapa seharusnya berpihak. Bai-jiu yang diperankan secara humoris dan menawan oleh Takeshi Kaneshiro yang sebelumnya bermain apik di dwilogi Red Cliff terkadang sungguh menyebalkan karena selalu mengusik kehidupan Jin-xi. Ketika dia mencoba untuk menyelami kehidupan Jin-xi, penonton dikejutkan dengan fakta yang sesungguhnya mengenai Jin-xi. Saat segalanya sedikit demi sedikit mulai terungkap, tensi Wu Xia pun menurun drastis. Pada saat ini, Donnie Yen harus berubah menjadi Ip Man demi menyelamatkan film.
Sempat terjebak di dalam drama yang membosankan tentu bukan harapan dari penonton Wu Xia yang mengharapkan adegan bak bik buk yang intens. Tatkala Bai-jiu pergi meninggalkan desa dan masa lalu kembali menghampiri Jin-xi, apa yang ditunggu-tunggu oleh penonton akhirnya datang juga. Layaknya film silat yang mengusung drama sebagai andalan utama, adegan seru senantiasa diawali dengan sebuah adegan yang memilukan. Ini juga terjadi pada Wu Xia. Koreografi laga arahan Donnie Yen, seperti biasa, indah dan menyenangkan untuk dilihat. Namun sayangnya baru dipamerkan di menit-menit terakhir saja. Pertarungan final yang melibatkan semua tokoh utama, termasuk istri Jin-xi, Ayu (Tang Wei), dihadirkan dan diselesaikan secara cepat. Ada kesan terburu-buru disini. Keputusan untuk penggalian karakter lebih mendalam berdampak pada banyaknya adegan baku hantam yang terpaksa dipangkas agar durasi 116 menit tidak semakin melar. Sungguh disayangkan memang. Seandainya saja Peter Chan bisa menyeimbangkan porsi keduanya, Wu Xia dijamin mampu menghasilkan tontonan yang lebih menarik. Apalagi sejak Crouching Tiger Hidden Dragon dan Hero tak ada lagi film martial art yang kuat secara penceritaan.
Acceptable
Tidak ada komentar:
Posting Komentar