Kamis, 30 Desember 2010

(Special) FILM INDONESIA PALING MEMUASKAN & MEMUAKKAN SEPANJANG 2010


Sebelum menapaki hari demi hari di tahun 2011, ada baiknya kita berdoa sejenak terutama buat kemajuan perfilman Indonesia di masa yang akan datang. Berdoa mulai... Selesai...

So, bagaimana menurut kalian perfilman Indonesia sepanjang tahun 2010 kemarin ? Memuaskan, biasa saja atau malah justru memilukan ? Setiap orang tentu punya pendapat yang berbeda - beda, tapi jika saya boleh mengutarakan pendapat (lah, kan blog ini emang punya lu!), maka yang terakhirlah yang paling bisa menggambarkan kondisi perfilman nasional tahun lalu. Fakta menunjukkan, kemerosotan terjadi hampir di semua sektor, tidak hanya secara kualitas namun juga jumlah penonton ! Hingga Desember 2010, satu - satunya film yang mampu meraih angka keramat 1 juta penonton hanyalah Sang Pencerah, sementara lainnya cuma mentok di angka ratusan ribu saja. Namun yang lebih membuat saya ingin menangis, menjerit dan bunuh diri (Oke, yang terakhir abaikan saja) adalah kenyataan bahwa dari 82 film Indonesia yang dilempar ke pasaran sepanjang tahun 2010, yang bisa dikategorikan bagus tidak mencapai 20 buah! Mengerikan sekali, bukan ? Tidak aneh jika kemudian banyak pecinta film yang kehilangan kepercayaannya kepada film nasional dan akibatnya film bagus pun ikut menjadi korbannya..

Nah, untuk edisi akhir tahun ini, Cinetariz akan mencoba untuk mengulas secara singkat film - film apa saja yang berhasil membuat saya puas dan optimis akan perkembangan film nasional serta film - film yang layak dilempar batako dan dicaci maki saking buruknya. Karena keterbatasan waktu dan halaman (halah, alasan. Emang dasarnya males aja!) maka tiap kategori hanya akan memuat masing - masing 5 film saja. Pilihan saya dan para pembaca yang budiman bisa saja sangat berbeda, jadi ditunggu komentarnya, Oke ?


Baiklah, saya mulai daftar ini dari yang positif terlebih dahulu agar kalian membacanya juga ikutan semangat, hehe. Dari sekitar belasan film Indonesia yang berhasil membuat saya puas dan memang layak disebut sebagai karya seni di tahun 2010, inilah 5 terbaik versi saya.


MEMUASKAN



#1 MINGGU PAGI DI VICTORIA PARK


Inilah film Indonesia pertama yang saya tonton di bioskop yang mampu membuat saya standing ovation di akhir film ! (halah, mulai deh lebaynya) Tapi itu benar, saya memang melakukannya, bodo amatlah ya sama penonton lain toh jumlahnya cuma segelintir aja (cuma 8 orang, bo!). Lola Amaria memotret kehidupan TKW yang tidak melulu berisi penderitaan, di Hongkong mereka hidup makmur. Naskah yang kuat didukung teknis yang keren dan akting dari Titi Sjuman + Lola Amaria yang membuat saya sujud sembah saking apiknya membuat Minggu Pagi di Victoria Park layak buat menduduki posisi pertama film Indonesia terbaik tahun 2010. Ayo dong para pecinta film, tonton film ini dijamin gak bakalan nyesel!


#2 HARI UNTUK AMANDA


Sekilas Hari Untuk Amanda terlihat sebagai film yang klise dilihat dari poster dan sinopsisnya, tapi jangan salah, ini adalah film yang cerdas! Jika generasi remaja pernah memiliki Dian Sastro dan Nicholas Saputra, maka mereka yang lebih dewasa mempunyai Oka Antara dan Fanny Fabriana. Naskahnya sangat sederhana memang bahkan mendekati klise, namun eksekusinya yang apik membuat Hari Untuk Amanda tidak jatuh menjadi film romantis yang gombal. Disinilah Oka Antara menunjukkan akting terbaiknya. Chemistry dengan Fanny pun begitu kuat. Mungkin inilah film romantis dewasa paling manis yang pernah saya tonton dalam satu dekade terakhir. Santai kayak di pantai, slow kayak di pulau.



#3 SANG PENCERAH


Terlepas dari segala kontroversi dan kekurangannya, Sang Pencerah layak disebut sebagai salah satu film Indonesia terbaik tahun 2010. Bukan karya terbaik Hanung Bramantyo, namun terlihat jelas Sang Pencerah digarap sangat serius dan begitu rapi. Unsur teknisnya memuaskan dan akting dari para pemerannya pun layak mendapat acungan jempol. Sebuah tontonan yang mencerahkan dan memang dibutuhkan oleh para penonton film Indonesia yang selama berbulan - bulan lamanya dijejali oleh tontonan yang tidak mendidik.


#4 RUMAH DARA


Rumah Dara memang bukan pionir genre slasher di perfilman Indonesia, namun yang pertama kali menghadirkan genre 'the real slasher' di Indonesia ya Rumah Dara ini karena sang pionir ternyata cuma menjadikannya tempelan belaka. Adegan penuh muncratan darah, kekerasan, hingga potongan tubuh yang bergelimpangan dimana - mana ditampilkan cukup berani disini hingga memaksa LSF turun tangan. Tensi ketegangan berhasil terjaga di sepanjang film, sesuatu yang jarang ditemui di film horor lokal saat ini. Namun yang paling mencuri perhatian tentu saja Shareefa Daanish sebagai Ibu Dara. Tatapannya itu lho, bikin merinding disko!


#5 ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI


Untuk urusan membuat film berkualitas sih Deddy Mizwar memang jagonya. Disini, Bang Deddy sekali lagi mengangkat isu sosial dan menyampaikannya dengan santai tanpa mencoba untuk menggurui. Memakai banyak pemain amatir yang memang asli anak jalanan dipadu dengan para pemain senior justru membuatnya terasa lebih segar dan 'nyata'. Selama 2 jam, emosi saya berhasil diaduk - aduk, bercampur antara rasa sedih, haru sekaligus senang. Dipenuhi dengan dialog cerdas nan menggelitik membuat film yang menjadi wakil Indonesia di ajang Oscar 2011 semakin apik saja. Sayangnya, sponsor yang bertebaran dimana - mana membuat mata ini terasa 'sakit'.


Honorable Mentions :


3 HATI 2 DUNIA 1 CINTA, MADAME X, TANAH AIR BETA, BEBEK BELUR, AKU ATAU DIA ?, dan I KNOW WHAT YOU DID ON FACEBOOK.


Guilty Pleasure :


TEREKAM >> satu - satunya film buatan Nayato yang bisa membuat saya terhibur.



MEMUAKKAN



Sebentar, beri saya waktu sejenak buat bernafas karena saya belum siap untuk membahasnya. Ini berarti, saya harus mengingat kembali kenangan - kenangan buruk film Indonesia sepanjang tahun 2010. Saya rela disuruh terjun dari puncak Empire State Building daripada harus berurusan dengan Nayato, KKD dan kroni - kroninya. Duh. Ya, otak saya berhasil dengan sukses mereka orak arik dan dinodai tanpa ada sedikit pun usaha un

tuk bertanggung jawab *jari tengah buat liga Nayato!* Maaf jika postingan berikut ini akan berisi kata - kata kurang sedap untuk dibaca, maklum saja penulisnya lagi depresi tingkat tinggi jadi semua bahan asal dimasukkan tanpa ada pertimbangan (ini ngomongin tulisan apa masakan ya ?). Jadi saya mohon dengan sangat kepada KKD, Nayato atau para sutradara yang sangat MENCINTAI mereka berdua, jangan lagi membuat film seperti ini di tahun 2011, atau kalau tidak ... Angkat kaki sekarang juga! *halah*



Berikut ini 5 film Indonesia paling dahsyat sepanjang 2010 yang membuat saya lupa kalau saya memiliki otak (atau memang tidak punya ?) :



#1 CIN... TETANGGA GUE, KUNTILANAK !


Maafkan anakmu yang tolol ini, Ibu dan Ayah. Saya khilaf. Saya dibutakan oleh poster film ini yang sedemikian kerennya hingga rela membuang uang saku 20 ribu dengan sukarela. Sekarang saya menyesal *cium kaki Ibu dan Ayah* Cukup sudah curhatnya. Bung Yan Senjaya, darimana Anda bisa mendapat ide sebrilian ini, berguru kepada KKD kah ? Jujur, film Anda ini sangat menakjubkan, bahkan saya pun sampai tidak berani membuat ulasannya ! Salut, salut, salut. Belum pernah sepanjang hidup saya menonton sebuah film yang sulit sekali digambarkan dalam bentuk kata - kata saking epiknya. Bahkan saya juga belum pernah melihat sebuah film yang punya efek sedemikian kuatnya terhadap penonton, ya teman saya terkapar di lantai, kejang - kejang, mulutnya berbusa dan otaknya meledak saat menonton film ini. Anda memang hebat sekali, bung ! Btw, berniat untuk membuat remake-nya, Hollywood ?


#2 RINTIHAN KUNTILANAK PERAWAN


Jennifer's Body wannabe ini awalnya memang berjalan cukup meyakinkan, namun setelah menit ke-10 kok saya jadi ragu dengan 'kemanusiaan' si pembuatnya ya ? Saya makin yakin dia bukan manusia setelah menit demi menit berjalan dimana saya mulai mual, muntah - muntah, pingsan, jerit - jerit, lari - lari di dalam gedung bioskop hingga berusaha menggorok leher sendiri. Setelah berbagai peristiwa itu, film juga tidak kunjung selesai. Hingga pada akhirnya saya berteriak, "film ini lebih mantab dari Diperkosa Setan !". Kasihan juga mbak Tera Patrick, dikelabui sang manajer demi segepok duit. Saya yakin jika dia tahu kisah sebenarnya dari film ini, Tera langsung tobat dan ogah menjadi pemain film biru lagi. Yang tabah ya, mbak.


#3 DIPERKOSA SETAN


Sebelum dua film pemuncak itu hadir, Diperkosa Setan lah yang paling fenomenal. Bahkan seorang movie blogger berani menyebut film ini bakalan menjadi cult di masa yang akan datang, tidak ada yang mustahil kan ? Meski posisinya lebih rendah dari Tetangga Kuntilanak, tapi disinilah saya memuja muji akting dari mbak Chyntiara Alona, sungguhhhhh... memprihatinkan! *dueng* Film ini menjadi cikal bakal munculnya Cinetariz dan untuk bisa menyaksikannya hingga selesai, saya rela melepaskan keperawanan otak saya, sungguh suatu pengorbanan yang sangat besar. Percayalah, film ini hancur babak belur di semua segi, bahkan untuk tayang di televisi saat tengah malam pun tidak layak. Siapa sih sutradaranya ? Petruska Karangan. Berhati - hatilah, KKD, kau sudah mendapatkan lawan yang sepadan !


#4 SELIMUT BERDARAH


Maunya sih mengikuti jejak Ghajini yang sukses mengadopsi kisah Memento-nya bung Christopher Nolan tapi apa daya otak tak sampai *Upppsss, keceplosan* Ngapain juga itu nama Pinkan Mambo sama artis Korea (yang misterius) dipajang di poster padahal mereka cuma numpang lewat dan si artis Korea pun ga ngomong sama sekali ! Penampilan Mambo disini membuat saya mendadak ilfeel dengan dia, "cameo paling mengganggu sepanjang sejarah perfilman dunia !" Yah, namanya juga film buatan KKD jadi bersiap saja melihat sejumlah ketololan yang bisa membuat kalian langsung memutuskan untuk bertobat saat itu juga. Belum pernah lihat kan ada orang hilang ingatan sampai lupa segalanya hingga perlu menempelkan label bertuliskan 'laptop' dan 'jam tangan' ? Itulah hebatnya KKD, menciptakan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh manusia normal !



#5 18+


“Kalo tetek aku kempes, pantat aku penyok, kamu masih cinta aku?”, jelas ini merupakan quote of the year ! Setelah sebelumnya dikuasai oleh KKD dan kroninya, rasanya kurang afdol jika Nayato tidak ikutan bergabung dalam list yang prestisius ini. Dari 14 film yang dibuatnya sepanjang tahun 2010, 18+ lah yang paling mencuri perhatian. Bukan karena tergolong film terpuji, tapi amit - amit jeleknya. Niat Nayato sih ingin filmnya terlihat berbobot dengan membuat plot yang (menurut dia) berat dan terus menciptakan sub-plot sepanjang film, bertumpuk, bertumpuk hingga akhirnya menggunung dan diselesaikan dengan seenak jidat. Nayato sukses membuat saya depresi dan di awal tahun 2010, kepercayaan saya terhadap film Indonesia sudah hilang separuh. Bersama dengan dua aktris kesayangannya, Arumi Bachsin yang hobi kabur dan Leylarey Lesesne, Nayato dengan langkah yang pasti terus menebarkan racun hingga penghujung 2010. Ditimpuk pakai tabung gas elpiji 3kg pun juga ga bakalan kapok. Love U, Nayato ! *hoekkk

Dishonorable Mentions :

KELEWAT BANYAKNYA !!!

Rabu, 29 Desember 2010

REVIEW : DALAM MIHRAB CINTA

Setelah berminggu - minggu mengelilingi Indonesia guna mendapatkan bibit baru di dunia perfilman Indonesia, inilah hasil yang dibawa pulang. Tenang, jangan protes dahulu melihat jajaran nama pemain utama yang diisi oleh para pemain yang sudah punya nama, mungkin Kang Abik punya pertimbangan sendiri untuk hal ini. Saya pribadi awalnya juga heran mengapa mereka pada akhirnya memasang aktor terkenal padahal sudah capek - capek dan buang banyak duit, tenaga dan pikiran untuk mengkasting puluhan ribu masyarakat awam, namun setelah melihat hasil akhirnya saya sangat bersyukur aktor yang telah punya banyak pengalaman dijadikan sebagai bintang utama . Dalam Mihrab Cinta diangkat dari novel berjudul sama karangan Habiburrahman El Shirazy atau yang akrab disapa dengan Kang Abik dengan inti kisah yang sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda dengan Ayat - Ayat Cinta maupun Ketika Cinta Bertasbih hanya saja kali ini minus Mesir sebagai setting tempat. Untuk pertama kalinya pula Kang Abik terjun langsung di lapangan sebagai sutradara, menggantikan posisi Hanung Bramantyo dan Chaerul Umam.



Samsul (Dude Harlino) difitnah melakukan pencurian oleh sahabatnya sendiri, Burhan (Boy Hamzah). Tak ada upaya untuk menyelidiki dengan lebih intensif dari para kyai dan langsung menjatuhkan hukuman kepada Samsul, diarak ke lapangan dan digunduli. Malang bagi Samsul, sang ayah (El Manik) dan kakaknya ternyata juga tidak percaya kepadanya. Untunglah ibu (Niniek L. Karim) dan adiknya masih menaruh kepercayaan padanya walaupun mereka juga sebenarnya agak ragu Samsul tidak bersalah. Dalam kalut, Samsul kabur ke Semarang dan Jakarta. Hidup dalam perantauan tanpa membawa bekal apapun dan hanya bermodal uang sepuluh ribu rupiah membuat Samsul nekat menjadi pencopet di bus kota. Samsul tertangkap polisi, dibui dan wajahnya menghiasi halaman depan surat kabar membuat banyak orang semakin yakin kalau Samsul memang pencuri, kecuali Zizi (Meyda Sefira), adik sang kyai. Tekanan hidup di ibu kota ternyata semakin berat, kehidupan Samsul menjadi berantakan. Di tengah kekacauan dan kegelapan hidupnya ini Allah memberikan jalan baginya untuk bertobat dan mempertemukannya dengan Silvie (Asmirandah), seorang gadis solehah.




Karena ini film buatan Sinemart, tentu rasanya kurang lengkap jika Dude Harlino dan Asmirandah tidak ikutan bermain. Saya tergelitik untuk melempar satu pertanyaan, dimana para pemain barunya ? Setelah keliling Indonesia untuk casting, ternyata posisi pemain utama masih ditempati oleh mereka yang sudah memiliki pengalaman akting. Mungkin 'open casting' itu hanyalah salah satu trik promosi yang dilakukan oleh Sinemart. Cukup cerdas. Tidak ditemukan lagi para pemain baru yang terlihat masih kagok di depan kamera atau terlalu overacting seperti di Ketika Cinta Bertasbih, meskipun ada posisinya tidak terlalu signifikan. Meyda Sefira mengalami peningkatan kualitas akting walau secara keseluruhan masih standar. Dude Harlino bermain lumayan bagus, salut akan totalitasnya, hanya saja saya melihat Dude masih terlalu 'Dude' karakter 'Samsul' kurang melekat kuat dalam dirinya. Cukup mengejutkan melihat Asmirandah, Subhanallah cantik sekali dia disini, bermain apik sebagai gadis yang ditaksir oleh Samsul. Aktingnya yang kuat bersama barisan pemain pendukung yang lain lah penyelamat film ini.



Ditilik dari segi penggarapan, Dalam Mihrab Cinta lebih bagus dari Ketika Cinta Bertasbih, meski masih jauh dari kata sempurna. Mungkin karena ditangani langsung oleh Kang Abik jadi tidak ditemukan lagi scene yang terasa mubazir maupun terkesan dipanjang - panjangkan. Dengan kisah awal di novelnya yang memang 'sangat sinetron, tentu tak mengherankan jika pada akhirnya Dalam Mihrab Cinta lebih mirip sebagai 'sinetron berbayar' ketimbang film layar lebar, belum lagi sisi teknisnya sebagai menguatkan anggapan itu. Yang saya sayangkan adalah upaya Kang Abik untuk mendramatisir kisahnya sedemikian rupa dengan menggunakan adegan kekerasan yang sering kita jumpai setiap hari di berbagai sinetron. Perlukah itu ? Tidak. Pesan yang hendak disampaikan kepada penonton sudah jelas dan emosi saya pun sempat beberapa kali berhasil diaduk - aduk, lantas mengapa adegan kekerasan ini ditambahkan ? Disinilah kesalahan terbesar Kang Abik. Saya khawatir anggapan Islam sebagai agama yang penuh kekerasan akan kembali mencuat, terutama ditunjukkan pada adegan pengarakan Samsul ke tengah lapangan untuk digunduli, sungguh sangat lebay!



Terlepas dari segala kelemahannya, kehadiran Dalam Mihrab Cinta sebenarnya cukup menyegarkan terutama setelah satu bulan lamanya para pecinta film Indonesia disuguhi tontonan yang tidak jelas juntrungnya. Memang masih dibawah Ayat - Ayat Cinta, namun jika boleh saya membandingkannya dengan Ketika Cinta Bertasbih, film ini berkali - kali lipat lebih menarik. Pesan yang hendak disampaikan jelas dan mengena serta akting dari para pemainnya pun kuat, menyelamatkan filmnya yang secara penggarapan tidak begitu bagus. Bukan tipe film yang wajib ditonton memang, namun jika kalian adalah fans Kang Abik atau sedang berencana nonton film tapi tak ada ide, Dalam Mihrab Cinta bolehlah menjadi pilihan. Setidaknya setelah menyaksikan film ini, ada pesan yang bisa dipetik.


Nilai = 6/10 (Acceptable)

Sabtu, 25 Desember 2010

REVIEW : TRON LEGACY (3D)

"Out there is a new world! Out there... is our destiny!" - Clu

Inilah salah satu film yang paling ditunggu - tunggu kehadirannya oleh para penikmat film di akhir tahun, Tron Legacy. Sekadar info, Tron Legacy merupakan sekuel dari film sci-fi tahun 1982, Tron, bikinan Walt Disney yang disebut - sebut sebagai cikal bakal munculnya CGI. Jangan bandingkan dengan film zaman sekarang, gabungan live action dengan animasi berformat CGI yang terkesan ala kadarnya ini terlihat begitu memukau pada saat itu. Meski tidak mendapat tempat di hati para kritikus film, Tron lumayan sukses dalam meraup dollar dan bahkan ada yang menyebutnya sebagai cult classic. 28 tahun berselang, Walt Disney berniat me-remake Tron, namun atas permintaan banyak pihak dan dipikir secara matang, akhirnya niatan untuk me-remake diubah menjadi membuat sekuel. Jeff Bridges dan Bruce Boxleitner yang menjadi bintang utama Tron, diajak kembali untuk bergabung untuk mendukung para pemain anyar seperti Garrett Hedlund, Olivia Wilde dan aktor spesialis peran antagonis, Michael Sheen. Joseph Kosinski yang dikenal sebagai penggarap iklan TV papan atas diserahi tanggung jawab untuk mengomando film berbujet $170 juta ini.

Seorang kreator video game populer Tron, Kevin Flynn (Jeff Bridges), mendadak hilang tanpa jejak meninggalkan anak lelakinya hidup penuh kesedihan bersama kakek dan neneknya. Setelah kedua walinya wafat, Sam Flynn (Garrett Hedlund), hidup mandiri di sebuah garasi dan tumbuh menjadi remaja yang pemberontak. Suatu malam, setelah sukses menyabotase sebuah operasi di ENCOM untuk melindungi warisan sang ayah, Sam ditemui sahabat baik ayahnya yang juga merupakan konsultan di ENCOM, Alan Bradley (Bruce Boxleitner). Alan mengaku telah mendapatkan pesan dari Kevin yang menunjukkan lokasi keberadaan Kevin. Tanpa pikir panjang, malam itu juga Sam menyambangi sebuah markas tempat dimana Tron diciptakan. Setelah mengutak atik sebuah komputer lawas milik Kevin, Sam langsung tersedot dan mendadak muncul kembali di The Grid, dunia rekaan sang ayah. Untuk bisa bertahan disini, Sam harus mengikuti 'permainan' rancangan kloningan ayahnya, Clu (Jeff Bridges). Jika kalah dalam permainan ini, maka Sam akan tewas. Untungnya saat dalam posisi terjepit dia diselamatkan oleh sebuah program berwujud gadis cantik kepercayaan Kevin, Quorra (Olivia Wilde), yang mempertemukannya kembali dengan Kevin. Tidak ada waktu untuk saling melepas rindu karena Kevin, Sam dan Quorra harus mencari cara untuk mencapai portal agar bisa kembali ke dunia nyata sembari menghindari Clu yang terus memburu mereka.


Pelajaran penting yang saya dapatkan setelah menyaksikan film ini adalah jangan berekspektasi terlalu tinggi serta jangan terlena dengan trailer yang terlihat keren karena pada akhirnya hal itu akan membuat rasa kecewa menjadi berkali kali lipat. Itulah yang saya alami dengan Tron Legacy ini. Film yang digadang - gadang bakal jadi film penutup tahun 2010 yang spektakuler nyatanya malah melempem. Kosinski hanya fokus terhadap bagaimana menciptakan adegan aksi yang keren dengan balutan special effect canggih sementara plotnya cenderung diabaikan. Naskah buatan duo Adam Horowitz dan Edward Kitsis yang juga pernah meracik naskah serial TV paling menggetarkan dekade ini, Lost, sangat datar dan lemah, jika tidak mau dikatakan melompong. Alurnya mudah ditebak dan konflik yang dimunculkan juga garing, bisa jadi kalian yang bosan dengan plot seklise ini bisa tertidur, seperti yang dialami oleh beberapa penonton. Untunglah saya sedang dalam mood yang sangat baik sehingga bisa mengikutinya dengan baik hingga akhir meski harus diakui, paruh akhir dari Tron Legacy cukup menyiksa.

Entah bagaimana jadinya Tron Legacy tanpa Daft Punk dan jajaran cast yang tepat. Bisa jadi bakalan bernasib seperti The Last Airbender. Selain special effect yang memang harus saya akui sangat menawan, music score gubahan Daft Punk juga begitu cemerlang. Ajib! Saya yang bukan penikmat music score, berhasil terkesan dibuatnya. Terasa menyatu dengan setiap adegan yang ada, membuat berbagai adegan 'kurang darah' tersebut menjadi lumayan enak untuk dinikmati. Oh iya, Daft Punk dan Cillian Murphy juga tampil cameo lho disini. Bisakah kalian menemukan mereka ? Untuk jajaran cast, saya terpikat dengan Olivia Wilde yang tampil mengesankan sebagai Quorra dan Michael Sheen dengan gayanya yang eksentrik sebagai Zeus. Bagi saya, merekalah bintang sesungguhnya di Tron Legacy tanpa harus mengesampingkan akting apiknya Jeff Bridges. Sementara untuk Garrett Hedlund sendiri malah bermain biasa saja, karakter Sam Flynn masih kurang hidup.

3D yang dihasilkan oleh Tron Legacy biasa saja, tidak terlampau istimewa. Tidak masalah jika ingin menyaksikkannya dalam tampilan 2D, setting futuristik sudah cukup memanjakan mata. Tron Legacy pada akhirnya tidak berhasil membuat saya terpuaskan terlebih dengan segala ekspektasi yang saya bawa. Gagal menghadirkan hiburan yang berkualitas, untungnya Tron Legacy tidak lantas menjadi film yang buruk berkat special effect yang menawan, kejeniusan Daft Punk dan kehebatan departemen casting dalam memilih pemain yang tepat. Sekarang tergantung kalian ingin tetap menyaksikan film ini atau lebih memilih untuk menabung saja. Tidak ada salahnya juga kok buat dicicipi, bisa jadi Tron Legacy akan menjadi hiburan ringan bagi kalian yang tengah penat dengan tugas akhir tahun yang bejibun.

Nilai = 5/10 (Poor)

Jumat, 17 Desember 2010

REVIEW : EASY A

"I think I'll lose my virginity to him. Maybe in five minutes, maybe tonight, maybe sixth months from now, or maybe on the night of our wedding. Either way, it's really none of your business." - Olive Penderghast

Rindu rasanya menonton sebuah chick flick yang tidak hanya menghibur tetapi juga ada sesuatu yang bisa diambil setelah menyaksikannya, bukan hanya sekadar film pengumbar aurat, adegan seks atau teler disebabkan miras dan narkoba. Terakhir kali ada perasaan puas setelah menonton sebuah chick flick adalah 6 tahun lalu ketika dibuat terkagum - kagum dengan Mean Girls yang dibintangi oleh Lindsay Lohan. Saat ini saya belum menemukan film remaja serupa, terutama dari perfilman lokal yang makin kesini justru semakin tak beraturan saja. Setelah penantian yang cukup panjang, hadirlah Easy A karya dari Will Gluck yang dibintangi oleh banyak idola remaja seperti Emma Stone, Amanda Bynes, Penn Badgley dan Cam Gigandet. Jujur, awalnya saya mungkin tidak akan melirik film ini jikalau Amanda Bynes tidak turut bergabung. Ya, saya memang salah satu fans berat aktris spesialis film komedi remaja ringan ini. Bahkan Bynes sempat mengatakan bahwa ini adalah film terakhirnya karena dia memutuskan untuk pensiun dini, namun belakangan hal ini diralat sendiri olehnya.

Pernahkah terbersit di pikiran kalian untuk melakukan sesuatu yang 'kotor' untuk bisa mencapai popularitas di sekolah ? Atau mungkin kalian adalah cewek/cowok populer sehingga hal tersebut dirasa tidak perlu karena setiap orang di sekolah mengetahui siapa kalian ? Sayangnya, tidak semua orang memiliki keberuntungan seperti itu, saya salah satunya. Mungkin waktu SMA saya adalah siswa populer, namun di universitas, I'm nothing. Jadi saya paham betul bagaimana perasaan Emma Stone alias Olive Penderghast mengenai bagaimana rasanya menjadi siswa yang tak 'terlihat' dan perasaan tak dianggap oleh siswa lain karena dirimu bukanlah apa - apa. Jadi tak mengherankan jika kemudian dia jengah dengan semua ini dan mulai menebar berita bohong agar terlihat keren dimulai dari sahabatnya, Rhiannon (Alyson Michalka). Olive mengaku telah kehilangan keperawanannya akibat hubungan one night stand dengan pria yang lebih dewasa. Tanpa disadari, pembicaraan keduanya ternyata didengar oleh Marianne (Amanda Bynes), seorang Kristen fanatik, dan dengan cepat berita mengenai Olive yang tidak lagi perawan tersebar dengan cepat ke seantero sekolah.

Nah, si Olive ini bukannya mencoba meluruskan, malahan justru kegirangan karena menganggap ini kesempatan baik baginya buat mencapai popularitas dan menunjukkan eksistensi diri. Seorang pemuda gay bernama Brandon (Dan Byrd) meminta bantuannya agar dianggap 'straight' oleh siswa lain dengan berpura - pura berhubungan seks di sebuah pesta. Rupanya hal ini diketahui oleh siswa nerd lain yang kemudian datang silih berganti meminta bantuan Olive sekaligus memberinya uang atau sebuah kupon sebagai ucapan terima kasih. Olive melakukannya dengan senang hati sekaligus memanfaatkan hal ini sebagai bisnis. Gelombang protes pun dilancarkan oleh kelompok remaja Gereja pimpinan Marianne dan sebutan 'pelacur' disematkan padanya. Segalanya menjadi semakin kacau, namun Olive tidak lantas mencoba meredamkan kekacauan, dia justru memasang simbol A merah di pakaiannya meniru langkah tokoh Hester Prynne dari The Scarlet Letter.


Terkesan seperti film remaja biasa bagi yang belum menyaksikkannya dan bisa dalam sekejap berubah menjadi film yang luar biasa bagi mereka yang telah menyaksikkannya. Sebuah lompatan yang menakjubkan bagi Will Gluck yang sebelumnya membesut film melempem, Fired Up. Gluck beruntung mendapatkan naskah yang brilian garapan Bert V. Royal dan lantas mengerjakannya dengan sepenuh hati, mencoba menghindari setiap kesalahan yang telah dia buat di film sebelumnya. Salut buat Royal yang berhasil membuat adaptasi bebas dari The Scarlet Letter dengan apik, mencampurkannya dengan problematika yang dihadapi oleh para remaja dan dibumbui dialog - dialog yang segar nan menggelitik. Hasilnya mengejutkan. Beberapa kali dibuat tertawa terpingkal - pingkal, serasa ditampar hingga terenyuh terhadap karakter Olive. Jelas bukan naskah yang kacangan. Sebuah kisah yang meaningful yang akan secara tidak sadar membuat kita untuk lekas bercermin, introspeksi diri.

Emma Stone menjawab tantangan Will Gluck dengan brilian. Baru sekali mendapat peran utama, Stone tidak terlihat kagok, malahan dia bersinar terang dan menjadikan Easy A seakan film yang memang khusus dibuat untuknya. Dengan segala perilaku 'bejat' yang dilakukan oleh Olive, tak ada sedikit pun rasa kesal atau benci padanya, yang ada justru rasa iba dan bersimpati kepadanya. Stone menunjukkan semua ekspresi dengan natural dan tak ada kesan berlebihan. Yang mengejutkan saya adalah permainan apik dari Amanda Bynes. Biasanya, Bynes bermain datar dan biasa saja, namun disini karakter Marianne bisa menjadi begitu 'hidup' dan menyebalkan berkat dia. Sudah saatnya bagi Bynes untuk mencari peran yang lebih mengeksplor kemampuan aktingnya. Easy A mendapat dukungan dari sejumlah bintang kawakan semacam Patricia Clarkson, Stanley Tucci, Thomas Haden Church, Lisa Kudrow dan Malcolm McDowell yang bermain solid. Peran mereka memang kecil, namun berarti dan Will Gluck tidak membuatnya seakan tempelan belaka agar terlihat 'wah'.

Easy A menjadi sebuah batu lompatan yang manis bagi Will Gluck, Emma Stone maupun Amanda Bynes. Meskipun unsur pop cukup kental, Easy A tidak lantas menjadi film yang klise. Bahkan saya cukup kagum dengan cara Gluck dan Royal mengakhiri film ini, elegan dan menyentuh. Meski tokoh utama dari film ini didominasi oleh gadis remaja, namun bukan berarti para pria tidak bisa menikmatinya. Problematika yang diangkat bisa dibilang universal, Easy A tidak hanya akan menampar para gadis saja tapi juga kaum pria. Setelah menyaksikan film ini, kita akan lebih bersyukur terhadap hidup kita dan berusaha untuk menghargai orang lain, setiap orang memiliki sifat yang berbeda, jangan sama ratakan. Oh iya, berhati-hatilah saat berbicara, apalagi jika kebenarannya dipertanyakan.

Nilai = 8/10 (Exceeds Expectations)

Sabtu, 11 Desember 2010

REVIEW : THE CHRONICLES OF NARNIA : THE VOYAGE OF THE DAWN TREADER

"So, if there are no wars to fight, then why are we here ?" - Edmund

Setelah memberikan hasil penjualan tiket yang kurang memuaskan dalam Prince Caspian, Walt Disney akhirnya memutuskan untuk tidak lagi memperpanjang versi film dari The Chronicles of Narnia dan menyerahkan sepenuhnya kepada Walden Media selaku pemegang hak perilisan. Yang beruntung menggantikan Disney dalam memegang hak distribusi adalah 20th Century Fox. Perubahan juga terjadi di kursi penyutradaraan dan tim penulis naskah dimana yang sebelumnya dikomandoi oleh Andrew Adamson kali ini dipegang oleh Michael Apted. Dengan adanya beberapa perubahan ini publik tentu berharap hasil akhir dari The Voyage of the Dawn Treader bisa lebih baik dari film sebelumnya terlebih dengan durasi yang lebih pendek kemungkinan besar Apted akan lebih memfokuskan pada kisah petualangannya.

Bersetting satu tahun setelah serangkaian kejadian di film kedua, Lucy (Georgie Henley) dan Edmund (Skandar Keynes) 'dititipkan' di rumah sepupu mereka yang manja dan menyebalkan, Eustace (Will Poulter) sementara orang tua dan kakak mereka sibuk dengan urusan masing - masing. Tinggal satu atap dengan seseorang yang menunjukkan kebenciannya kepada kita secara terang - terangan tentu bukanlah hal yang menyenangkan dan itulah yang dialami oleh Lucy dan Edmund. Di saat mereka bertiga meributkan tentang keberadaan Narnia, mendadak sebuah lukisan di kamar mereka 'hidup' dan memindahkan mereka secara sekejap ke dalam dunia Narnia. Terdampar di lautan luas, mereka ditolong oleh Caspian (Ben Barnes) yang saat ini telah menjadi raja di Narnia. Eustace yang tak tahu menahu soal Narnia tentu menjadi sangat kebingungan, bahkan Lucy dan Edmund yang sudah akrab saja masih tak mengerti mengapa mereka bisa kembali ke negeri ini. Pada akhirnya mereka bertiga pun bergabung bersama awak kru kapal Dawn Treader, kapal warisan ayah Caspian, untuk membantu Caspian menemukan tujuh bangsawan yang menghilang. Tujuan menemukan para bangsawan ini tidak lain karena mereka memiliki pedang yang bisa menyelamatkan Narnia dari kekuatan magis jahat yang tengah mengintai. Perjalanan tentu tak berlangsung mudah karena sejumlah cobaan menguji kekuatan fisik, mental dan persahabatan mereka.


Apakah The Voyage of the Dawn Treader berakhir memuaskan ? Sayangnya, tidak terlalu. Saya akui memang dibandingkan Prince Caspian, The Voyage of the Dawn Treader jauh lebih enak buat diikuti. Tapi, setiap menit yang bergulir, terutama di paruh awal, masih terasa begitu membosankan meskipun kali ini durasinya 30 menit lebih pendek. Bergerak dengan cepat, ringan dan cerah nyatanya tidak membantu sama sekali. Berkali – kali saya berusaha dengan sangat keras untuk mencegah agar mata saya tidak menutup karena saking mengantuknya. Humor pun bisa dibilang gagal mengenai sasaran, terasa garing, aneh dan terkesan childish, hanya beberapa yang bisa membuat saya menyunggingkan senyum. Keputusan Christopher Markus dan tim untuk ‘menyederhanakan’ isi novel tampaknya merupakan keputusan yang kurang bijak. Bagi mereka yang belum pernah membaca novelnya tentu akan merasa kebingungan terhadap beberapa bagian karena tidak mendapatkan penjelasan yang lebih detail. Ya, saya rasa naskah adalah kelemahan utama dari The Voyage of the Dawn Treader. Naskahnya terasa begitu dangkal dan monoton, sialnya Markus dan tim baru menyadari kesalahan mereka di 30 menit terakhir.


Dewa penyelamat dari The Voyage of the Dawn Treader adalah special effects yang dimanfaatkan dengan sangat baik. Bujet sebesar $150 juta tidak disia – siakan begitu saja, Angus Bickerton dan Jim Rygiel berusaha agar duit sebanyak itu tidak terbuang percuma. Kerja keras mereka berdua bersama tim special fx menghasilkan sebuah visualisasi yang menakjubkan dan sanggup penonton tercengang. Sepanjang film The Voyage of the Dawn Treader memang banyak bergantung pada pemanfaatan special effects, namun tak bisa disanggah bahwa adegan di saat kapal Dawn Treader diserang oleh ‘makhluk misterius’ di penghujung film adalah kinerja terbaik. Two thumbs up. Pujian juga patut disematkan kepada David Arnold atas music score yang indah, megah dan menggugah hati. Berkat dia, setiap adegan di The Voyage of the Dawn Treader yang lembek terasa lebih hidup. Georgie Henley dan Skandar Keynes semakin matang disini. Chemistry antara keduanya menjadi semakin kuat dan pendalaman karakternya juga layak dipuji. Namun yang mencuri perhatian justru Will Poulter yang berperan sebagai sepupu manja nan menyebalkan. Kadang terlihat agak lebay, namun dia sukses membuat penonton gemas dan ingin menceburkannya ke lautan.


Bagaimanapun juga, The Lion, The Witch and The Wardrobe masih tetap menjadi yang terbaik dari seri film The Chronicles of Narnia. Dengan naskah yang lebih berisi dan kompleks, film pertama tersebut tidak jatuh menjadi membosankan malahan sebaliknya. Namun memasuki Prince Caspian, nilai hiburannya menjadi memudar dan walaupun The Voyage of the Dawn Treader terdapat peningkatan, masih belum bisa menandingi apa yang dihasilkan oleh The Lion, The Witch and The Wardrobe. Overall, hanya pemanfaatan special effects super canggih dan teknologi 3D sajalah yang menjadi kekuatan dari film ini. Meski sudah berusaha untuk tampil lebih cerah dengan alur yang cepat, pada kenyataannya The Voyage of the Dawn Treader masih menjadi film yang membosankan terkecuali di 30 menit terakhir.

Nilai = 6/10 (Acceptable)


Rabu, 08 Desember 2010

REVIEW : THE LOVED ONES


Sekilas sih gadis ini tampak seperti remaja penyendiri biasa yang polos dan kurang gaul, tapi Lola Stone (Robin McLeavy) punya sisi lain yang bisa membuat Anda berpikir ulang sebelum berurusan dengannya. Gadis manja ini menghalalkan segala cara agar keinginannya bisa terwujud, bahkan termasuk menyiksa orang lain. Sang ayah (John Brumpton), yang juga sableng, mendukung semua yang dilakukan oleh Lola, bahkan dia tunduk kepada anak kesayangannya tersebut. Setelah Brent Michael (Xavier Samuel) menolak ajakan Lola untuk pergi bersamanya ke prom night, pasangan ayah dan anak ini pun segera beraksi. Mereka menciptakan prom night di rumah mereka sendiri yang tentu saja dijamin lebih menegangkan dan penuh dengan darah. Brent diikat di sebuah kursi dan harus mengalami sejumlah penyiksaan yang mengerikan dari Lola dan ayahnya. Seandainya saja Brent tidak menolak ajakan Lola, mungkin nasibnya tidak akan seperti ini...

Semenjak Saw meledak di pasaran, genre slasher dan gory mendadak menjadi populer di berbagai belahan dunia. Banyak yang hasil akhirnya sangat mengecewakan, namun tak sedikit pula yang dipuji oleh para kritikus film. Genre ini juga diakui turut 'berjasa' dalam menyumbangkan banyak icon yang bisa dibilang memorable untuk sejarah perfilman. Setelah mewabah di segala penjuru dunia, berbagai negara pun saling berlomba untuk menyajikan hidangan yang paling 'sakit'. Yang menjadi tolak ukur kesuksesan adalah sejauh mana sang sutradara mampu menciptakan tingkat kengerian bagi penonton dan tentu saja melahirkan sebuah icon baru bagi perfilman. Tidak asal jual adegan penuh siksaan dan muncratan darah saja, naskah tetap menjadi sesuatu yang krusial disini. Namun semenjak genre ini meledak, banyak sineas yang hanya mengandalkan muncratan darah dan potongan tubuh semata tanpa peduli dengan kualitas filmnya itu sendiri. Tapi tak sedikit pula yang memiliki kualitas yang ciamik dan sanggup dipertanggungjawabkan.


The Loved Ones adalah debut penyutradaraan film panjang dari Sean Byrne yang sebelumnya terbiasa membesut film dokumenter pendek. Setelah keliling dunia dari satu festival ke festival lainnya, akhirnya The Loved Ones pun dirilis luas di Australia pada awal November 2010 lalu. Mendapat berbagai pujian dari para kritikus membuat saya ingin menyantap film ini dan merasakan dimana letak kelezatannya. Bagi saya pribadi, The Loved Ones tidak terlampau istimewa. Secara kualitas memang bisa dikatakan setingkat lebih tinggi dibanding film slasher yang hadir belakangan ini. Poin plus yang bisa dibanggakan adalah permainan brilian dari para pemainnya, terutama Robin McLeavy yang dengan luar biasa mampu memerankan karakter psikopat yang memiliki panggilan 'Princess' ini. Dibalik wajahnya yang cantik dan polos serta senyumannya yang manis, ternyata tersimpan sesosok iblis yang rela melakukan apapun agar keinginannya tercapai. McLeavy sanggup membuat saya bergidik ngeri melihatnya, serem. Beruntunglah McLeavy memiliki rekan yang mampu mengimbangi kekuatan aktingnya, John Brumpton dan Xavier Samuel juga bermain dengan amat baik disini.

Byrne menebar kengerian kepada penonton selama 84 menit. Dia mencoba untuk mengeksploitasi berbagai adegan 'sakit', penuh darah dan penyiksaan seraya dibumbui dengan humor yang alih - alih membuat tertawa, justru semakin membuat tingkat kengeriannya semakin terasa. 'Princess' dan 'Daddy' memanfaatkan perlengkapan rumah tangga yang ada sebagai media untuk menyiksa para korban. Hebatnya, Byrne tidak mengekor film slasher sebelumnya, adegan penyiksaan disini dibuat dengan cukup kreatif dan berbeda, mencoba untuk menunjukkan betapa 'sintingnya' keluarga psikopat ini. Lola menggambar hati di dada para korbannya dengan menggunakan garpu, melubangi kepala korban dengan memakai bor listrik, menyuntikkan semacam ramuan pembersih ke tenggorokan korban agar tak bisa berteriak hingga menancapkan kayu ke kaki korban. Terdengar begitu sadis, bukan ? Ya, tapi sayangnya dalam kenyataan ternyata tidak seperti yang diharapkan. Byrne masih kurang berani menampilkan adegan sadis penuh darah ini secara eksplisit, malah beberapa kali kamera bergerak menjauhi saat adegan penuh cipratan darah dimulai.

Yang terasa kurang sedap bagi saya adalah subplot yang terasa mengganggu, belum lagi 'sexual content' disini cukup kental. Tidak menyedapkan, yang ada justru memuakkan. Sepertinya Byrne hanya ingin filmnya menjadi sedikit lebih panjang dengan memasukkan subplot yang sebenarnya jika dihilangkan pun tak masalah, malah lebih baik memang dihilangkan. Memang ada kesinambungan antara subplot dengan plot utama, tapi itu tak banyak. Terasa sangat mengganggu, terlebih karakter 'tidak penting' yang ditampilkan terkesan sangat 'annoying' sehingga saya berharap mereka dibantai oleh Lola dan ayahnya. Dengan karakter yang lebih sedikit, The Loved Ones mungkin akan jauh lebih menarik untuk disimak dan ketegangannya pun lebih intens. Dari awal hingga pertengahan, The Loved Ones mengalir lancar dan enak buat diikuti, namun semenjak sebuah rahasia di bawah lantai rumah Lola tersibak, segalanya menjadi berantakan dan membuat saya mengernyitkan dahi. Perlukah adegan tersebut dimasukkan ? Mengenai adegan penyiksaan yang kurang sadis masih bisa dimengerti, mungkin Byrne tidak ingin film debutnya ini menuai kontroversi atau mendapat rating terlalu tinggi, tapi dua hal tersebut ? Hmmmm... Overall, The Loved Ones adalah sebuah film slasher yang menegangkan dan menghibur, dengan dihilangkannya subplot 'maksa' itu mungkin hasilnya akan lebih baik.

Nilai = 6/10 (Acceptable)
Seperti Misery digabungkan dengan Carrie, hanya saja karakternya jauh lebih sinting.

Sabtu, 04 Desember 2010

REVIEW : RAPUNZEL (TANGLED)

"Let's just assume that everyone in here hates me !" - Flynn Rider

"Bukannya Rapunzel itu film kartun buat cewek ya ?" atau "Ihhh, itu kan temennya Barbie !". Itulah komentar yang paling sering saya dengar sebelum dan sesudah menyaksikan Rapunzel (di Amerika Utara, lebih dikenal dengan judul Tangled). Membutuhkan kesabaran ekstra karena saya harus menjelaskan panjang lebar perihal film ini, bahkan di Twitter dan Facebook pun sempat promosi habis - habisan agar para teman saya tahu bahwa Rapunzel bisa dinikmati oleh siapapun (berasa menjadi tim publikasinya Disney, LOL). Awalnya keraguan juga sempat menghinggapi diri ini, namun tak mungkin rasanya Disney akan menjadikannya sebagai film super cheesy dan girly seperti versi adaptasi yang sering kita saksikan di layar televisi. Apalagi disini ada nama John Lasseter yang menjadi jaminan akan kualitas sebuah film. Duduk sebagai sutradara adalah Nathan Greno dan Byron Howard, sementara jajaran pengisi suara diisi oleh Mandy Moore, Zachary Levi dan Donna Murphy. Berangkat dari salah satu dongeng klasik Jerman buatan Grimm Bersaudara, Rapunzel merupakan film animasi ke-50 dalam seri Walt Disney Animated Classic.

Demi menyelamatkan ratu dan putri yang dikandungnya, seorang pengawal kerajaan mengambil sebuah tanaman ajaib yang rupanya juga menjadi incaran Mother Gothel (Donna Murphy). Bayi perempuan sang ratu, Rapunzel, memiliki sebuah rambut dengan kekuatan khusus berkat tanaman tersebut. Tidak ingin kekuatannya menghilang, Gothel pun menculik Rapunzel dan mengurungnya di sebuah menara selama bertahun - tahun. Untuk menemukan Rapunzel, kerajaan mengadakan festival lampion setiap hari ulang tahun Rapunzel (Mandy Moore). Saat usianya menginjak 18 tahun, Rapunzel menyadari ada sesuatu yang khusus dengan lampion tersebut dan meminta izin kepada Gothel untuk bisa mengunjungi kerajaan. Tentu saja Gothel menolak memberi izin. Namun Rapunzel tidak begitu saja menyerah, dia memiliki ide untuk menyingkirkan 'ibunya' tersebut selama beberapa hari agar dia bisa kabur dari menara. Setelah Gothel pergi, menara kedatangan seorang 'tamu', seorang pencuri tampan bernama Flynn Rider (Zachary Levi). Saking takutnya, Rapunzel menyerang Flynn dan menyanderanya serta menyembunyikan tas berisi hasil curian. Mereka berdua pun membuat perjanjian, Rapunzel akan melepaskan Flynn dan mengembalikan tas tersebut asalkan Flynn mengantarnya menuju festival lampion, dan Flynn menyetujuinya. Pelarian yang seru dan berliku ditemani Maximus, seekor kuda yang bertekad menangkap Flynn, dan Pascal, bunglon perliharaan Rapunzel, pun dimulai.


Keajaiban Disney yang sempat sirna akhirnya kembali lagi berkat kekuatan magis dari Rapunzel. Terkecuali The Princess and The Frog, bisa dikatakan produk animasi Disney dalam beberapa tahun terakhir ini kualitasnya anjlok. Dimulai dari Treasure Planet, Disney berulang kali membuat kecewa para pecinta film animasi dengan film buatan mereka yang hasilnya jauh dari harapan. Memang tidak sampai menelurkan film yang buruk, namun untuk ukuran Disney, film - film semisal Bolt, Home on the Range, Chicken Little dan Meet the Robinsons, tergolong sangat mengecewakan. Saat Disney memutuskan untuk kembali ke ciri khas lama mereka, membuat animasi klasik yang menampilkan dongeng tentang putri cantik, banyak yang menyambutnya dengan antusias. Namun pada akhirnya, jumlah dollar yang didapat oleh The Princess and the Frog jauh dari harapan. Muncul dugaan kuat gagalnya film ini karena judulnya yang terlalu menonjolkan tokoh sang putri dan belajar dari 'kesalahan' inilah, Rapunzel diubah judulnya menjadi Tangled. Keputusan yang tepat kah ? Hmmm, entahlah. Meskipun tokoh utamanya seorang putri cantik, karakter Flynn disini juga sama kuatnya sehingga para pria tidak perlu khawatir filmnya akan menjadi terlalu girly.

Memang disinilah letak kekuatan Disney yaitu saat menggarap sebuah animasi klasik yang memakai tokoh putri sebagai karakter utamanya. Dan Fogelman berhasil meracik naskah Rapunzel dengan amat baik. Kombinasi yang pas antara petualangan yang seru, humor yang menyegarkan dan drama yang menyentuh mampu menghasilkan sebuah film animasi yang cantik. Yang patut diacungi jempol adalah keberhasilan Fogelman dalam memoles sebuah dongeng klasik yang mungkin hanya bisa dinikmati oleh para gadis cilik menjadi sebuah kisah bagi semua orang. Meski dibuat dengan bantuan CG disana sini dan hadir dalam format animasi 3D, jika kita perhatikan lebih jauh Rapunzel sebenarnya mencoba tampil klasik dengan animasinya yang dibuat seperti dilukis menggunakan tangan. Sesuatu yang belum pernah kita lihat sebelumnya.

Tidak memakai nama populer pun tak masalah, yang penting adalah ketepatan dalam memilih cast. Itulah yang membedakan Disney dengan studio sebelah yang kerap memajang artis - artis beken untuk menyumbang suara. Mandy Moore cukup berhasil membawakan Rapunzel, malahan rasanya dia lebih cocok sebagai dubber ketimbang pelakon. Namun Zachary Levi dan Donna Murphy lah yang paling mencuri perhatian. Murphy sanggup membuat para penonton menjadi kesal dengan Gothel yang super kejam sementara Levi berulang kali memancing tawa penonton karena kekonyolan Flynn. Pascal dan Maximus memang tak memiliki suara disini, akan tetapi tingkah polah mereka selalu mencuri perhatian di setiap scene. Komposer langganan Disney, Alan Menken, berhasil membuat setiap adegan dalam Rapunzel gregetnya lebih terasa berkat score-nya yang indah. Lagu gubahan dia juga cukup menarik untuk disimak meskipun sayangnya cenderung mudah dilupakan.

Akhirnya Disney kembali ke arena permainan setelah cukup lama gagal menghadirkan film - film animasi yang berkualitas tinggi. Beberapa pihak sudah pesimis dengan nasib Disney, cukup beralasan memang karena tanpa Pixar, Disney bukanlah apa - apa. Namun mereka yang telah meremehkan kekuatan Disney sepertinya harus malu karena Disney tetap sanggup membuktikan bahwa mereka masih layak disebut sebagai rajanya film animasi. Rapunzel memang tidak sedahsyat animasi klasik Disney lainnya semacam Snow White and the Seven Dwarfs, Cinderella atau Beauty and the Beast, namun Rapunzel jelas sangat sayang untuk dilewatkan, terutama bagi mereka yang menggemari produk Disney dan film animasi. Sebuah film yang sangat menghibur dengan animasi yang mengagumkan dan score yang indah, Rapunzel dengan cepat melesat ke jajaran film terbaik tahun ini.

Nilai = 8/10 (Exceeds Expectations)

PARADE POSTER FILM (DESEMBER 2010)

Minggu, 28 November 2010

EUROPE ON SCREEN 2010

Europe on Screen (EOS) 2010 alias Festival Film Eropa baru saja selesai digelar di Semarang beberapa hari yang lalu. Kehadiran festival ini selalu saya tunggu setiap tahunnya karena kapan lagi bisa menonton film - film dari benua Eropa dengan gratis ? Dengan lambatnya jalur peredaran film yang sudah mencapai titik klimaks, festival film yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari (bahkan ironisnya totalnya tak mencapai jumlah jari di satu tangan) hingga pemutaran film yang amat sangat jarang diadakan, maka tidak heran jika EOS selalu saya nantikan kedatangannya di Semarang dan tak ambil pusing bagaimana dengan kualitas filmnya karena saya hanya butuh 'sesuatu' untuk menyalurkan hasrat saya terhadap film yang begitu besar (halah, ngomong apaan sih ini kok malah ada hasrat segala..). Setelah Festival Film Prancis tidak lagi mampir disini (Nasib, nasib..) secara otomatis EOS adalah satu - satunya harapan. Jika EOS pun nantinya melengos pergi, nampaknya saya harus angkat kaki dari kota ini secepatnya, haha.. Semarang terbilang beruntung karena mendapat jatah film yang lumayan banyak ketimbang kota lain di luar Jakarta. Tahun ini, tak banyak yang menarik buat disaksikan, jauh berbeda dengan tahun lalu yang memuaskan. Hanya saja sekali ini Semarang cukup beruntung ketiban film pembuka, Dagen Zonder Lief, dan sebuah film dari Bulgaria yang berhasil tembus top 9 Best Foreign Language Film di Oscar 2009, Svetat E Goljam I Spasenie Debne Otvsjakade. Saya hanya akan mengulas 3 dari 6 film saja karena 3 film lainnya membuat saya terkapar tak berdaya (You know what I mean)

1) Svetat E Goljam I Spasenie Debne Otvsjakade (Bulgaria, 2008)


Alex beruntung bisa selamat dari sebuah kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya. Hanya saja, dia tidak bisa mengingat apapun, termasuk namanya sendiri. Sang kakek, Bai Dan, datang ke Jerman untuk membawanya pulang ke Bulgaria. Cara yang unik dilakukan Bai Dan untuk mengembalikan ingatan Alex adalah dengan pulang mengendarai sepeda alih - alih kereta atau pesawat. Dalam perjalanan, Bai Dan membawa Alex ke berbagai tempat yang berhubungan dengan masa lalu Alex. Perlahan tapi pasti, Alex mulai mengingat segalanya, menjadi lebih dekat dengan sang kakek dan tentu saja tak lengkap rasanya jika tak berkenalan dengan seorang gadis cantik. Ide cerita film ini sebenarnya sederhana dan kerap dipakai dalam banyak film, mengenai seseorang yang berusaha untuk memulihkan ingatan orang terkasih dengan membawanya dalam perjalanan spiritual dalam masa lalu. Namun Stephan Komandarev dengan sukses mampu membuat film arahannya ini menjadi sangat menarik buat disimak. Perjalanan dari Jerman ke Bulgaria begitu menyenangkan, sesekali diberi kejutan dan humor yang segar. Didukung akting yang solid dari Miki Manojlovich dan Carlo Ljubek serta sinematografi yang menawan, Svetat E Goljam I Spasenie Debne Otvsjakade rasanya sayang buat dilewatkan. Flashback yang kerap muncul tanpa diduga tak mengganggu plot utama, justru sebaliknya sangat membantu penonton untuk lebih memahami plot utama. Plot yang klise pun bisa menghasilkan sebuah film yang apik jika naskah dan penggarapannya dikerjakan dengan serius.

Nilai = 9/10

2) Dagen Zonder Lief (Belgia, 2007)


Black Kelly kembali ke kampung halamannya di Belgia setelah bertahun - tahun mengadu nasib di New York. Kedatangannya mengejutkan semua orang, termasuk sahabat dekatnya. Black Kelly yang sekarang memiliki rambut blonde segera menyadari bahwa segalanya banyak yang berubah semenjak kepergiannya. Apa yang diharapkan ternyata tak berjalan seperti semestinya. Mantan kekasihnya kini telah dikaruniai seorang anak dan salah seorang kawannya tewas bunuh diri. Hidup ini terus berputar, tentu saja Black Kelly tidak bisa berharap segala sesuatunya masih akan berjalan sama seperti ketika mereka masih muda dan menghabiskan waktu hanya untuk bersenang - senang. Terlihat seperti film remaja biasa, Dagen Zonder Lief mengangkat tema persahabatan dengan plot yang cukup berat. Meski humor hadir disana sini, namun film ini berjalan dengan muram dan lambat. Penonton, khususnya para remaja, diajak untuk merenungi tentang kehidupan. Kita tidak akan selamanya remaja dan menghabiskan waktu hanya untuk bersenang - senang, tak ada yang abadi di dunia ini, bahkan persahabatan sekalipun. Akting dari Wine Dierickx, Jeroen Perceval, Pieter Genard hingga An Miller patut mendapat acungan dua jempol. Mereka berakting dengan natural, permainan ekspresinya pun kuat. Dagen Zonder Lief adalah sebuah film yang menyentuh dan penuh makna, namun disampaikan dengan jenaka sehingga penonton muda bisa memahaminya dengan baik.

Nilai = 8/10

3) Pokoj V Dusi (Slovakia, 2009)


Tono dibebaskan dari penjara setelah mendekam disana selama 5 tahun lamanya karena mencuri kayu. Saat kembali ke rumah, segalanya telah berubah. Istrinya menganggap dia sebagai orang asing, Tono hampir tak mengenali anaknya sendiri yang berusia 5 tahun dan tak ada seorang pun yang mau mempekerjakannya. Sahabat baiknya, Stefan, yang merupakan seorang pengusaha berpengaruh enggan berteman lagi dengannya. Hanya teman masa kecilnya, Marek dan Peter, yang bersedia membantunya. Tapi itupun tidak secara tulus karena sejatinya mereka memiliki maksud lain dengan membantu Tono. Jujur, saya kurang bisa menikmati Pokoj v Dusi. Meski tidak separah 3 film lainnya, film yang memiliki judul bahasa Inggris Soul at Peace ini mengalir begitu lambat dan sangat membosankan. Hanya di 30 menit pertama saja saya bisa menikmatinya dan penasaran dengan apa yang akan terjadi pada Tono, namun setelah itu mata ini terasa begitu berat. Ya, untuk akting, sinematografi dan tetek bengek lainnya memang bisa dibilang oke, namun tidak dengan naskahnya yang bertutur terlalu bertele - tele. Pemandangan indah pedesaan di Slovakia sajalah yang mampu membuat saya bertahan hingga akhir.

Nilai = 5/10