Minggu, 30 Oktober 2011

25 FILM PALING MENCEKAM DEKADE LALU - BAGIAN 1

Cinetariz kembali dengan edisi special, Halloween Edition. Yayyyy!!! Pasti kalian telah menanti-nantikannya sejak lama, ya kan? Ya kan? Ngaku sajooooooo *ceileh, GR bener* karena list yang saya buat ini keren luar biasa, seperti yang bikin *uhuk imut*. Rasanya kurang afdol ya jika saya menyusun 21 film paling romantis decade lalu untuk menyambut Valentine, tetapi tidak membuat 25 film paling mencekam untuk menyambut Halloween. Ugh, ternyata membuat list ini sama sekali tidak mudah, teman-teman. Awalnya saya kira sehari bisa tersusun dengan rapi, namun kenyataan berkata lain. Di tahun 2000 hingga 2009, ada sekitar 50 film yang mampu membuat saya melompat dari kursi, menggedor jantung hingga berteriak-teriak tak karuan. Tentu ini sulit karena pada awalnya saya hendak mempersempitnya hingga 13 film saja. Akan tetapi, karena galau yang tidak berkesudahan melihat banyak film horror yang saya depak, saya pun menambahkan 12 film lagi ke dalam daftar. Itupun masih banyak yang harus dikorbankan. Sedih sekali rasanya, hiks hiks.. Jalan keluar satu-satunya adalah dengan memasukkannya ke dalam ‘Honorable Mentions.’ Jadi maaf beribu maaf ya kalau film favorit kalian tidak bisa duduk dengan manis di posisi 25 besar. Sungguh, ini keputusan yang sulit. Saya sampai harus bertapa demi mendapatkan ilham film apa saja yang layak untuk menempati 25 besar.

Berbeda dengan sebelumnya, list ini nantinya akan saya bagi ke dalam dua bagian. Alasannya sederhana, biar tidak kelihatan penuh sesak dan kepanjangan. Saya khawatir para pembaca yang budiman bakal keliyengan kalau melihat tulisan terlalu banyak, hoho. Untuk bagian pertama akan menghadirkan 15 film, sementara bagian kedua berisi 10 film. Yang perlu digarisbawahi, film-film yang masuk ke dalam daftar adalah film horror / thriller yang dirilis di tahun 2000 hingga 2009. Dan karena ini adalah list yang saya buat secara personal, maka akan sangat wajar jika ada film horror bagus yang terlewatkan. Maklum udah tua, jadi mungkin saja kelupaan. Let me know, what I missed. Tak usah ragu untuk memberikan komentar atau koreksi untuk postingan ini, sehingga untuk list berikutnya biar semakin tertata rapi. Ocret mencret?

Sebelumnya, inilah 15 film mencekam yang terpaksa tidak saya loloskan ke top 25 :

- Uzumaki (Jepang, 2000)
- Jelangkung (Indonesia, 2001)
- Ginger Snaps (Kanada, 2000)
- Session 9 (US, 2001)
- Frailty (US, 2002)
- The Host (Korea Selatan, 2006)
- 28 Days Later (Inggris, 2002)
- The Mist (US, 2007)
- Martyrs (Prancis, 2008)
- Shutter (Thailand, 2004)

- Joy Ride (US, 2001)
- Kairo (Jepang, 2001)

- Bunian (Indonesia, 2004)

- High Tension (Prancis, 2003)
- What Lies Beneath (US, 2000)

Baiklah, tanpa perlu berbasa basi lagi, inilah 25 film paling mencekam dekade lalu versi Cinetariz. Cekidot!

#25
Trick ‘r Treat (US, 2009)

Inilah the most underrated horror movie di dekade lalu. Padahal filmnya sendiri sama sekali tidak buruk. Hanya saja karena langsung edar dalam bentuk DVD, banyak yang menduga Trick ‘r Treat tidak layak untuk ditonton. Dengan menggunakan 4 plot utama, Trick ‘r Treat sanggup menyebarkan kengerian khas film-film horror dari tahun 1990-an. Twist ending yang disisipkan oleh Michael Dougherty membuat film ini terasa istimewa.

#24
Dawn of the Dead (US, 2004)

Versi aslinya ditangani oleh George A. Romero dan merupakan salah satu film zombie terbaik yang pernah dibuat. Remake-nya dikomandoi oleh Zack Snyder dengan hasil yang sangat memuaskan. Tidak sebaik versi aslinya tentu saja, namun Zack Snyder menciptakan style-nya sendiri untuk Dawn of the Dead. Tidak berkesan kuno dan sangat menyenangkan untuk ditonton.

#23
Lake Mungo (Australia, 2008)

Hanya segelintir orang yang tahu mengenai film bergenre mockumentary horror asal Australia ini. Lake Mungo adalah salah satu yang terbaik di genre-nya. Sesi wawancara dan potongan-potongan video yang menyeramkan ditampilkan dengan meyakinkan. Tapi yang membuat saya melonjak kaget adalah ending-nya yang sama sekali tidak saya duga. Tidak ada persiapan sama sekali untuk adegan yang sangat mengerikan itu.

#22
Saw (US, 2004)

Lupakan saja sekuel-sekuelnya yang semakin lama semakin ngawur, Saw jilid pertama adalah film yang cerdas. Hanya dengan memanfaatkan ruang gerak yang sempit dan dua aktor yang berlakon, Saw tidak terjebak menjadi sebuah film yang monoton. Dilapisi dengan setumpuk misteri yang perlahan-lahan dibongkar hingga endingnya yang mencengangkan, ketegangan Saw terjaga konstan dan tidak mampu ditandingi oleh sekuel maupun penirunya.

#21
4bia (Thailand, 2008)

Antologi horror asal Negeri Gajah yang terdiri dari 4 segmen ini sejatinya hanya memiliki 2 segmen yang mencekam, segmen pertama dan terakhir. Terror yang terjadi di sebuah kamar dan pesawat terbang ini disampaikan perlahan dengan atmosfir yang menyeramkan. Saya sangat menyarankan Anda untuk menonton film ini sendirian di dalam kamar saat tengah malam dengan pintu terkunci. Dijamin bulu kuduk Anda langsung berdiri.

#20
Identity (US, 2003)

Pernah membaca novel Agatha Christie yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi Sepuluh Anak Negro? Nah, Identity ini bisa dibilang adalah adaptasi bebas dari novel tersebut. 10 orang dari latar belakang yang berbeda terjebak di sebuah motel karena badai dan seorang pembunuh berantai bebas berkeliaran. Dibuka dengan opening sequence yang menarik, Identity berkembang menjadi sebuah film misteri yang mencekat dan penuh dengan ketegangan.

#19
The Eye (Hong Kong, 2002)

Apakah Anda memilih untuk tetap buta seandainya setelah memperoleh donor kornea justru mampu melihat hal-hal yang diinginkan? Pang Brothers mengajak kita untuk memasuki dunia baru dari seorang gadis yang baru saja bisa melihat. Layaknya film horror dari Asia kebanyakan, The Eye pun memulai segalanya dengan lamban hingga akhirnya adegan-adegan yang mengerikan pun digeber sesaat setelah sang gadis mendapatkan penglihatannya.

#18
The Exorcism of Emily Rose (US, 2005)

Sebenarnya film yang berangkat dari kisah nyata ini lebih banyak berputar-putar di ruang pengadilan ketimbang menyuguhkan adegan kerasukan setan. Scott Derrickson menyuguhkan segalanya dengan nyata, seolah-olah kita sedang menyaksikan rekaman video di sebuah acara talk show. Drama di pengadilan menegangkan dan horror di rumah Emily Rose pun menyeramkan. Sebuah kombinasi yang manis.

#17
Pocong 2 (Indonesia, 2006)

Film pertamanya dilarang untuk beredar dan sebagai gantinya Rudi Soedjarwo meluncurkan sekuel yang lebih menakutkan. Pocong 2 dijamin membuat para pocong tersenyum bangga dan mengirimkan kado untuk Rudi Soedjarwo. Disini, pocong diperlakukan dengan selayaknya. Kemunculan pocong selalu berhasil menimbulkan kengerian yang luar biasa. Skrip dan akting para pemainnya pun mumpuni. Kalau Anda jenuh dengan film-film pocong saat ini yang hancur lebur, maka tonton Pocong 2. Berani ke kamar sendirian malam-malam setelah menonton film ini, saya acungi jempol.

#16
The Orphanage (Spanyol, 2007)

The Orphanage bukanlah tipe film horror yang menakut-nakuti penontonnya melalui penampakan yang berulang kali atau sound memekakkan telinga. J.A. Bayona menawarkan sensasi suspense yang mendebarkan. Atmosfir rumah yang ‘creepy’ plus music gubahan Fernando Velázquez turut berpengaruh dalam membangun ketegangan. Bisa dibilang, The Orphanage adalah film horror modern dengan style kuno yang masih memperhatikan dramalurgi dan akting memikat para pemain sebagai salah satu komponen tak terpisahkan untuk menciptakan film horror yang baik.

#15
Drag Me to Hell (US, 2009)

Keasyikan menonton Drag Me to Hell memang tiada tara. Film ini mampu membuat saya menjerit dan tertawa di saat yang bersamaan. Sam Raimi adalah salah satu maestro penghasil film horror komedi. Jika ingin mengetahui bagaimana seharusnya sebuah film horror dipadukan dengan komedi, maka tontonlah Drag Me to Hell, sebuah film yang sangat menghibur, lucu dan menakutkan. Alih-alih stres karena ketakutan, Anda justru akan terhibur saat menyaksikan Drag Me to Hell. Fun as hell!

#14
Inside (Prancis, 2007)

Penggemar film horror yang berdarah-darah tentu tidak akan melewatkan Inside. Sebagai salah satu film terbaik dari generasi 'New Wave of Extreme French Horror Films'. Sangat brutal, tidak berperikemanusiaan, penuh dengan tumpahan darah dan potongan tubuh berceceran dimana-mana. Bahkan sebuah adegan di ending membuat saya tidak tahan menontonnya saking sadisnya. Pun begitu, Inside tidak hanya menjual kesadisan semata karena ditilik dari penggarapan, akting dan naskah, film ini pun tergolong jempolan.

#13
The Descent (Inggris, 2005)

Opening sequence dari The Descent berada dalam posisi atas sebagai adegan paling traumatik versi Cinetariz. Belum apa-apa, saya sudah dibuat tidak nyaman. Memasuki inti cerita ketika para gadis ini menjelajahi gua, The Descent semakin tidak menyenangkan untuk ditonton, dalam arti positif tentu saja. Makhluk misterius yang meneror para gadis ini ditampilkan sangat menyeramkan. Adegan ‘cat and mouse’ pun bergulir yang membuat saya berkali-kali menahan nafas dan jantung pun ikut berdegup kencang.

#12
The Ring (US, 2002)

The Ring versi Gore Verbinski hanyalah segelintir dari film horror dari Asia yang di-remake dengan sukses oleh Hollywood. Rasa ngeri yang teramat sangat ketika menyaksikan Ringu masih bisa ditemukan disini. Verbinski memulai segalanya dengan adegan yang sukses meneror penonton. Adegan-adegan selanjutnya pun tak kalah mengerikan. Imajinasi liar Koji Suzuki berhasil dijewantahkan Verbinski dengan apik, bahkan hanya setingkat lebih rendah dari Hideo Nakata.

#11
Keramat (Indonesia, 2009)

Oke, saya akui saya pernah meremehkan film ini dan sekarang saya kualat. Keramat ternyata lebih menyeramkan dari yang saya duga. Dibuat dengan gaya ‘found footage’, Keramat sanggup membuat saya sulit tidur beberapa hari dan parno terhadap suara gamelan. Dengan minimnya adegan penampakan-penampakan yang murahan, Keramat malah terasa lebih natural. Fakta bahwa setting dekat dengan rumah dan saya pernah mengalami secara langsung salah satu kejadian dalam film membuat kengeriannya berlipat ganda.

Bersambung...

Sabtu, 29 Oktober 2011

REVIEW : THE PERFECT HOUSE


Saya yakin, Julie (Cathy Sharon), membatin “aku adalah perempuan paling sial di dunia ini,” ketika diminta oleh atasannya untuk menggantikan rekan kerjanya yang hilang sebagai guru privat di rumah Madame Rita (Bella Esperance). Rencana Julie untuk cuti selama sebulan pun hanyalah tinggal rencana. Mau tidak mau dia harus menerima pekerjaan ini agar dapurnya bisa terus mengebulkan asap. Diantar oleh asistennya, Dwi (Wanda Nizar), Julie menuju ke rumah Madame Rita yang lokasinya terpencil di daerah Puncak. Sejak pertama kali bertemu dengan Madame Rita, Julie hanya memperoleh kesan yang tidak menyenangkan. Madame Rita adalah seorang wanita paruh baya yang dingin, disiplin dan keras. Beliau melarang keras cucunya, Januar (Endy Arfian), untuk keluar dari rumah. Julie tidak pernah mendapatkan penjelasan yang jelas dan logis mengenai larangan-larangan yang diberlakukan kepada Januar. Secara diam-diam, Julie pun mengajak Januar untuk melakukan ‘aktivitas terlarang’ karena tak tega melihat perlakuan Madame Rita kepada Januar. Namun semakin lama Julie menetap di rumah tersebut, semakin dia menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres di rumah ini. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh para penghuni rumah ini.

The Perfect House menandai kembalinya Affandi Abdul Rachman ke ranah thriller setelah sebelumnya asyik dengan proyek film-film komedi romantisnya. Seperti halnya film debutnya yang bergenre serupa, Pencarian Terakhir, The Perfect House pun menawarkan premis yang menarik dan mampu mengundang rasa penasaran. Ketika Pencarian Terakhir mengupas tentang sekelompok pendaki gunung yang hilang arah di sebuah gunung, maka The Perfect House mencoba untuk menyingkap tabir misteri di balik sebuah rumah antik yang megah. Sedikit banyak The Perfect House mengingatkan saya pada Rumah Dara, hanya saja The Perfect House cenderung lebih lembut dan bermain aman. Bisa dimengerti karena The Perfect House tidak merangkul genre horror slasher, melainkan psychological thriller. Pada titik tertentu saya sempat mempertanyakan kewarasan Julie. Memiliki masa lalu yang suram, bisa jadi apa yang dialaminya di rumah Madame Rita hanyalah imajinasinya belaka. Namun apa memang benar seperti itu? Nyatanya, Affandi Abdul Rachman malah menjadikan The Perfect House tidak hanya lembut tetapi juga mudah ditebak. Alurnya cenderung lurus tanpa ada twist yang berarti.


Tidak ada usaha untuk menutup-nutupi apa yang sesungguhnya terjadi di rumah tersebut. Lewat tingkah laku yang tidak normal yang dilakukan oleh salah satu karakter serta sepenggal dialog di pertengahan film, Affandi Abdul Rachman secara tidak langsung telah membuka segalanya. Seketika itu, The Perfect House menjadi kurang menarik untuk diikuti terlebih momen-momen menegangkan yang dimunculkan pun minim jumlahnya. Tensinya terus menurun hingga akhirnya sedikit menggeliat menjelang ending. Naskah yang diolah Affandi dan Alim Sudio tidak bisa dibilang buruk, hanya saja terlalu lempeng untuk ukuran film thriller. Kalau saja duo penulis naskah ini lebih banyak menyisipkan adegan penggedor jantung dan menutup misterinya rapat-rapat, apa yang dimunculkan di ending bisa saja tampak brilian. Tokoh yang diperankan oleh Mike Lucock, Yadi, tidak diberi kesempatan untuk berkontribusi lebih banyak kepada perkembangan cerita. Padahal Yadi digambarkan tidak kalah misterius dan menyeramkan dari Madame Rita. Posisinya seakan hanya sebagai pelengkap saja. Beruntung naskah yang lemah ini berhasil sedikit ditutupi oleh sinematografi dari Faozan Rizal dan musik latar gubahan Aghi Narottama dan Bemby Gusti yang mampu dihadirkan dengan tepat di setiap adegan.

Kekuatan utama dari The Perfect House sesungguhnya datang dari Bella Esperance yang membawakan peran Madame Rita dengan amat baik. Aktris watak yang angkat nama lewat Catatan Si Boy III ini selalu mencuri perhatian di setiap kesempatan. Agak mengingatkan pada Shareefa Daanish di Rumah Dara memang, namun tak pelak lagi akting Bella Esperance adalah salah satu yang terkuat tahun ini. Dominasinya membuat Cathy Sharon nyaris tak berkutik meskipun kemampuan akting Cathy Sharon sendiri terus mengalami peningkatan. Sementara Mike Lucock dan Endy Arfian juga sama sekali tidak mengecewakan. Mike Lucock bisa saja menjadi ‘scene stealer’ seandainya ruang geraknya tidak dibatasi oleh naskah. Pun begitu, The Perfect House masih layak untuk mendapatkan apresiasi lebih dan saya pun merekomendasikan Anda untuk menontonnya di bioskop. Sekalipun bukan film yang mengesankan, The Perfect House terlihat jelas digarap secara serius oleh Affandi Abdul Rachman. Akan sangat ironis jika film yang mendapatkan sambutan yang cukup meriah di Puchon International Fantastic Film Festival ini justru ditanggapi dingin oleh penonton lokal.

Acceptable

Jumat, 28 Oktober 2011

REVIEW : SUPER 8


"Bad things happen... but you can still live." - Joe Lamb

Dalam Cloverfield, enam anak muda menggunaka
n handheld camera untuk mendokumentasikan sebuah serangan monster di New York. Lari kesana kemari menyebabkan kamera terus berguncang, alhasil penonton pun mual melihatnya. Sekalipun mampu menyebabkan pusing, Cloverfield dinilai berhasil dalam menyampaikan kisah dan ketegangannya terjaga hingga ending. Ingin mengulang kesuksesan yang serupa, J.J. Abrams kembali bermain-main dengan kamera, anak muda atau errrr… lebih tepat disebut bocah, dan monster. Untuk kali ini, tidak lagi bersetting di sebuah kota metropolitan namun di sebuah kota kecil yang aman dan tentram. Settingnya pun tidak lagi di masa kini, namun mundur jauh ke akhir tahun 1970-an. Ketika mengintip trailernya, sejenak pikiran saya pun melanglang buana. Super 8 sedikit banyak mengingatkan saya pada E.T. the Extra-Terrestrial. Bisa dimaklumi karena Steven Spielberg turut mendukung proyek ini dengan duduk di bangku produser. Agaknya Abrams pun ingin memberi penghormatan kepada Spielberg dengan memasukkan cukup banyak elemen yang jelas terlihat terinspirasi dari film Spielberg yang indah itu.

Para jagoan dari Super 8 adalah sekumpulan bocah SMP yang tengah menggarap sebuah film zombie menggunakan kamera Super 8. Dengan bujet yang terbatas, mereka pun harus memutar otak untuk bisa syuting tanpa harus mengeluarkan biaya. Sang sutradara, Charles (Riley Griffiths) digambarkan sebagai seorang bocah gemuk yang memiliki semangat luar biasa dan bossy. Joe (Joel Courtney), Alice (Elle Fanning), Preston (Zach Mills), dan rekan satu geng lainnya, terkadang gemas dengan Charles yang kelewat otoriter. Terobsesi menghasilkan sebuah film yang bagus agar bisa mengikuti festival film, tidak jarang Charles agak kelewat batas. Mereka mengendap-endap di tengah malam demi bisa mendapatkan gambar bagus di stasiun kereta api. Saat tengah melakukan syuting inilah, mereka terjebak dalam sebuah peristiwa yang mengerikan. Sebuah truk yang belakangan diketahui dikendarai oleh guru biologi para bocah ini (Glynn Turman) menghadang sebuah kereta yang tengah melaju kencang. Tabrakan maut pun tak terhindarkan. Namun peristiwa ini tidak ada apa-apanya dengan apa yang terjadi kemudian. Berbagai serangan misterius meneror kota bersamaan dengan raibnya sejumlah penduduk. Pasukan militer dibawah komando Kolonel Nelec yang menginvasi kota (Noah Emmerich) semakin memperburuk suasana. Dengan menghilangnya Sheriff, Deputi Jack Lamb (Kyle Chandler) yang juga ayah dari Joe, pun menjadi tumpuan masyarakat yang ketakutan.


Penonton yang mengharapkan Super 8 akan mengulang ketegangan yang ditonjolkan oleh Cloverfield mungkin akan sedikit kecewa. Pasalnya, J.J. Abrams menyuntikkan cukup banyak drama dalam film terbarunya ini. Hadirnya Steven Spielberg di bangku produser rupanya turut berpengaruh terhadap Super 8 yang nuansanya lebih terasa Spielberg ketimbang Abrams. Tidak hanya E.T. seperti yang telah saya sebutkan di atas, tetapi hawa Close Encounter of the Third Kind plus War of the Worlds juga sangatlah terasa. Dengan masuknya drama, khususnya yang fokus menyoroti hubungan Jack Lamb dengan Joe yang memburuk, tentu saja membuat jenuh penonton yang mengharapkan Abrams akan menyuguhkan tontonan yang penuh dengan hingar bingar dan misteri. Akan tetapi justru disinilah poin plus Super 8. Abrams tidak melupakan ramuan-ramuan film bagus yang sudah hampir disingkirkan oleh kebanyakan film blockbuster dewasa ini. Dalam Super 8, kita akan menemukan chemistry yang terjalin kuat, naskah yang berisi serta karakter yang bernyawa. Larry Fong turut berkontribusi dalam menampilkan gambar-gambar yang cantik dan membekas untuk Super 8. Special effect-nya tidak usah ditanya lagi, nyaris tanpa cela. Ketegangan demi ketegangan sanggup dibangun oleh Abrams dengan rapi sekalipun penyelesaiannya yang cenderung terlalu sederhana membuat hati ini dongkol. I want more! Ah, tapi saya masih bisa memaafkannya toh endingnya tidak bodoh seperti War of the Worlds.

Dan saya suka sekali melihat sepak terjang para jagoan kita di Super 8 ini. Dengan chemistry yang sangat kuat, mereka terasa nyata dan dekat dengan penonton. Joel Courtney, Riley Griffiths, Ryan Lee, Zach Mills, Gabriel Basso, dan Elle Fanning, berakting secara natural dan pesonanya mampu melibas para aktor yang lebih berpengalaman macam Kyle Chandler dan Noah Emmerich. Akting prima yang ditunjukkan oleh para aktor ABG ini memberikan energi lebih bagi Super 8 yang telah kuat di sektor naskah, teknis dan penggarapan. Sekalipun banyak penonton yang mengeluhkan bahwa Super 8 tidak seepik Cloverfield, tidak menjadi soal bagi saya. Super 8 adalah salah satu film terbaik dari J.J. Abrams dan tentunya kontender kuat untuk menduduki posisi 3 besar film yang paling saya suka tahun ini. Super 8 memiliki resep yang tepat dalam menjadikannya sebagai sebuah film yang mengagumkan. Dikerjakan dengan sangat baik, memiliki naskah dengan alur yang rapi, special effect di atas rata-rata serta akting para pemainnya yang cantik. Sesuatu yang sudah sangat sulit ditemukan dari film-film blockbuster keluaran Hollywood.

Note : Jangan terburu-buru meninggalkan teater setelah film berakhir. Saat credit title bergulir, film pendek buatan Joe dan kawan-kawan turut ditampilkan. Sayang sekali jika Anda melewatkannya.

Outstanding

Sabtu, 22 Oktober 2011

REVIEW : CARS 2


"He who finds a friend finds a treasure."

Cars 2 menjadi semacam pembenaran bahwasanya tiada gading yang tak retak. Sang dewa animasi, Pixar, akhirnya melakukan blunder setelah konsisten menghasilkan karya-karya yang berkualitas ciamik. Sejujurnya, saya sudah ragu Cars 2 akan tampil memukau mengingat prekuelnya sendiri bukanlah tergolong salah satu karya terbaik Pixar sekalipun memiliki popularitas yang tinggi di kalangan anak-anak. Yang menjadi daya tarik dari Cars adalah para karakternya yang memesona, jalan ceritanya yang heartwarming beserta pemandangan Radiator Springs dan Route 66 yang cantik. Keunikan lainnya, semua benda hidup dalam film animasi ini digantikan dengan mobil yang bisa berbicara. Jadi jangan berharap melihat adanya manusia yang wara wiri. Konsep yang terdengar absurd ini tentu saja berhasil di tangan Pixar yang serba bisa. Penonton cilik pun mudah menyukainya terutama karena faktor Lightning McQueen yang bisa jadi merupakan salah satu karakter terbaik yang pernah diciptakan oleh Pixar. Pun begitu, saya kurang menyukai Cars. Jikalau tidak diiringi dengan lagu-lagu Country yang renyah itu dan para karakternya tak menarik, saya mungkin tidak akan berhasil mencapai ending. Bagi saya, Cars adalah sebuah film yang menjemukan. Maka ketika sekuelnya muncul, saya kurang antusias menyambutnya. Namun saya yakin bahwa Pixar bisa memperbaiki kesalahannya di masa lalu.

Lightning McQueen (Owen Wilson) kini tidak lagi didapuk menjadi bintang utama. Posisinya digeser oleh Matter (Larry the Cable Guy), sahabat McQueen yang berbentuk mobil derek tua yang tolol. Seusai menjalani sejumlah perlombaan, McQueen berniat untuk berlibur sejenak bersama kawan-kawannya di Radiator Springs. Namun ketenangannya terusik tatkala pembalap sombong, Francesco Bernoulli (John Turturro) menantangnya melalui sebuah program TV. Dengan dukungan dari geng Radiator Springs, McQueen mengikuti World Grand Prix yang digelar di tiga negara oleh pengusaha sukses, Miles Axlerod (Eddie Izzard). Di tengah perlombaan yang seru, terjadi kesalahpahaman yang membuat Matter terlibat dalam aksi spionase. Finn (Michael Caine) dan Holley (Emily Mortimer) salah mengira Matter sebagai agen dari Amerika. Dengan tololnya, Matter menerima begitu saja tugas yang diberikan oleh Finn dan Holley tanpa berpikir panjang terlebih setelah hubungannya dengan McQueen merenggang karena berbagai kecerobohan yang disulut oleh Matter. Saat Cars bertutur sederhana tentang memaknai arti persahabatan dan kehidupan, maka Cars 2 lebih rumit. Sejak opening scene, kentara sekali bahwa Cars 2 akan diarahkan ke ranah film spionase yang penuh dengan intrik alih-alih sekadar film keluarga yang menceramahi penontonnya dengan setumpuk pesan moral.

John Lasseter dan Brad Lewis mencoba untuk merangkul penonton dewasa yang kebanyakan mencemooh Cars. Sebuah usaha yang patut mendapat apresiasi lebih, namun dengan adanya dua plot utama yang saling bertumpukan membuat penonton cilik agak kesulitan dalam mencerna Cars 2. Selain film menjadi lebih rumit, Cars 2 terasa agak kedodoran di beberapa bagian. Maka Lasseter dan Lewis pun terpaksa mengorbankan salah satu plot demi menyelamatkan film. Sialnya, justru bagian Lightning McQueen yang dipangkas alih-alih Matter. Maka Cars 2 tidak lagi menyorot sepak terjang McQueen di arena balap dan beralih menyoroti usaha Matter dalam menyesuaikan diri dengan ‘profesi barunya’ sebagai mata-mata. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ini, tapi perlu diperhatikan bahwa mayoritas penonton Cars 2 datang ke bioskop dengan harapan mendapat sajian adegan balapan yang seru. Maka ketika yang muncul adalah kisah spionase yang serba rumit, ada sedikit rasa kecewa sekalipun plot baru ini sama sekali tidak mengecewakan.

Yang menjadi masalah sesungguhnya adalah keputusan Lasseter dan Lewis mengalihkan posisi poros utama dari McQueen kepada Matter. Dari sekian banyak karakter yang muncul, kenapa harus Matter yang mendapat porsi lebih? Matter adalah tipe karakter yang sulit untuk dicintai oleh penonton. Bahkan saya sendiri sangat sebal dengan karakter ini. Ketololannya tidak bisa ditolerir. Tanpa menjadi tolol pun, Matter sulit untuk mendapatkan simpati. Konsekuensi dari pilihan ini adalah McQueen tergeser, begitu pula dengan karakter lain. Selama 100 menit rasanya sangat tersiksa menyaksikan Matter menguasai layar. Beruntung ada dua karakter anyar keren, Finn dan Holley, yang ditempatkan sebagai penetralisir atas kebodohan-kebodohan Matter sehingga mual penonton pun dapat segera teratasi. Michael Caine dan Emily Mortimer sangat pas sekali membawakan suara dua karakter ini. Gaya Finn dan Holley yang berkelas menjadi daya tarik tersendiri dari Cars 2. Tentu saja Cars 2 masih memanfaatkan animasi khas Pixar yang cantik, tata visual dan suara yang mengesankan sebagai jualan utama. Adegan McQueen dan lawan-lawannya menggila di arena balap digarap sangat serius sehingga terasa lebih greget dan nampol. Disisipkan di sela-sela plot spionase yang memusingkan, adegan balapan ini pun menjadi wake up call yang efektif bagi penonton yang kebosanan. Pada akhirnya, usaha Lasseter dan Lewis dalam memaksakan dua plot besar untuk membaur menjadi satu ternyata berbuah bumerang. Cars 2 memang tidak menjadi sebuah film animasi yang buruk, tapi tetap saja mengejutkan melihat Pixar menelurkan sebuah film animasi berkualitas so-so.
Acceptable

2D atau 3D? Silahkan jajal saja 3D-nya karena Pixar serius dalam menanganinya. Tata visualnya menjadi terlihat ciamik di layar 3D. Adegan balapannya pun flawless.

Sabtu, 15 Oktober 2011

REVIEW : THE SMURFS


"Oh My Smurf!"

Hanya tinggal menunggu waktu bagi sekumpulan makhluk kecil berwarna biru bernama Smurfs untuk berkeliaran di layar lebar setelah Scooby Doo, Alvin and the Chipmunks hingga Transformers terbukti ampuh sebagai mesin pengeruk Dollar hingga melahirkan franchise sekalipun dihujat para kritikus. Berangkat dari sebuah komik berseri klasik asal Belgia karangan Peyo yang laris manis, The Smurfs lantas berkembang menjadi sebuah serial animasi di tahun 1980-an. Dengan mengombinasikan tokoh-tokoh berwarna biru yang imut dan menggemaskan dengan cerita yang mudah dicerna plus humor-humor slapstick, The Smurfs berhasil mengumpulkan jutaan fans dari seluruh dunia, termasuk Indonesia. Serialnya sendiri memang tidak lagi ditayangkan di stasiun televisi nasional di negeri kita, namun komik The Smurfs masih banyak dijumpai tertata manis di toko-toko buku. Seraya menyambut datangnya The Smurfs ke layar lebar, tidak ada salahnya jika kita berkenalan lebih dahulu dengan makhluk-makhluk ini melalui komiknya agar lebih memahami semangat The Smurfs yang diusung oleh Raja Gosnell. Sebagai seorang sutradara, Raja Gosnell memiliki catatan yang terbilang kurang menggembirakan. Selain Big Momma’s House, dwilogi Scooby-Doo, Beverly Hills Chihuahua dan The Smurfs, film buatannya kurang mendapat respons positif dari penonton. Begitupun dengan yang laris manis, kritikus menanggapinya dengan sinis.

Mengingat The Smurfs adalah sebuah adaptasi dari komik anak-anak dan Gosnell yang menanganinya, tentu Anda jangan terlalu serius dalam menilai film ini. Sejak awal pangsa pasar yang ditarget adalah keluarga. Maka jangan heran jika plot yang klise, villain yang kelewat bodoh dan humor slapstick khas film keluarga akan Anda temukan dengan sangat mudah disini. The Smurfs berkisah tentang Gargamel (Hank Azaria), seorang penyihir jahat, yang merusak kedamaian Desa Smurf tatkala para Smurf sedang sibuk mempersiapkan Blue Moon Festival. Desa Smurf porak poranda sementara para penduduknya lari menyelamatkan diri dari kejaran Gargamel yang mematikan. Di tengah pelarian, Clumsy (disuarakan oleh Anton Yelchin), terpisah dari rombongan dan menuntunnya ke sebuah gua misterius. Mengandalkan visi yang didapat sebelum serangan dari Gargamel, Papa Smurf (Jonathan Winter) memutuskan untuk menyusul Clumsy. Bergabung dengan Papa Smurf ada Grouchy (George Lopez), Brainy (Fred Armisen), Smurfette (Katy Perry), dan Gutsy (Alan Cumming). Sialnya, Gargamel dan kucingnya yang menggemaskan, Azrael (Frank Welker), berhasil mengejar mereka. Dalam kondisi terpojok, keenam jagoan kita ini nekat terjun ke sebuah pusaran raksasa yang melempar mereka ke New York. Disini, mereka tinggal bersama dengan pasangan muda, Patrick (Neil Patrick Harris) dan Grace (Jayma Mays), yang tengah menantikan momongan. Tentu Gargamel tidak membiarkan para Smurf ini bebas begitu saja. Perburuan terhadap Smurf terus dilakukan hingga memaksa Patrick dan Grace mau tak mau untuk terlibat.

Raja Gosnell memanfaatkan The Smurfs sebagai sebuah kesempatan baginya untuk menebus kesalahan-kesalahan yang telah dia perbuat kepada dwilogi Scooby-Doo yang mengecewakan itu. Elemen pondasi klasik yang dipergunakan untuk menciptakan sebuah film keluarga tetap dipertahankan, namun sekali ini Gosnell terbantu dengan naskah yang ditulis keroyokan oleh para penulis naskah yang beberapa diantaranya merupakan fans berat dari The Smurfs. Gosnell memang tidak lantas membuat The Smurfs sebagai sebuah masterpiece dan adaptasi terbaik di genrenya, tapi ini jelas merupakan sebuah peningkatan dan setidaknya tidak mengecewakan fans The Smurfs. Yang membuat saya senang, Gosnell dan tim penulis naskah tidak melupakan para penonton dewasa non fans sekalipun mereka bukanlah target utama. Humor yang bersinggungan dengan pop culture beberapa kali diselipkan dan cukup mampu membuat saya setidaknya menyunggingkan senyum. Memiliki kedekatan serta pengetahuan yang luas mengenai The Smurfs turut membantu tim penulis naskah dalam menyampaikan kisah. Mereka setia dengan gaya bertutur Peyo sehingga para fans pun tak merasa terkhianati meskipun ini akan membuat para penonton dewasa yang tidak akrab dengan The Smurfs mengernyitkan dahi menyaksikan sejumlah adegan yang dikreasi secara childish dengan humor-humor slapstick.

Naskah digarap serius, tidak hanya menyoal tentang petualangan para Smurf di Big Apple namun juga membahas hubungan antar karakter yang menjadikannya terasa sedikit sentimentil di beberapa adegan. Ini menjadi kekuatan The Smurfs tatkala kebanyakan film sejenis cenderung mengabaikan kekuatan naskah. Dari jajaran pemain pun sama sekali tidak mengecewakan. Ketiga bintang utama The Smurfs yang masing-masing berasal dari serial komedi yang berbeda (Glee, How I Met Your Mother dan Modern Family) tampil pas dan tidak berlebihan. Neil Patrick Harris menunjukkan kapasitasnya sebagai aktor komedi berbakat, sementara Sofia Vergara yang berperan sebagai atasan Patrick yang memiliki karakteristik layaknya Cruella de Vil sekalipun tidak secemerlang seperti saat di Modern Family akan tetapi tetap mencuri perhatian dengan aksennya yang khas. Jayma Mays bermain terlalu aman, posisinya diuntungkan dengan karakter Grace yang memiliki peranan penting dalam kehidupan Patrick. Sementara untuk pengisi suara dari para Smurf nyaris tanpa cela. Jonathan Winter yang pernah mengisi suara dalam versi animasi The Smurfs selama beberapa episode berhasil menjiwai karakter Papa Smurf dengan baik. Barisan pendukungnya pun patut mendapat acungan jempol. Andai saja saya tidak mengetahui siapa saja yang ambil bagian sebagai dubber, maka saya tidak akan menyadari Katy Perry ikut meramaikan suasana. Maka, Raja Gosnell pun patut melayangkan beribu ucapan berterima kasih kepada para pemain dan penulis naskah yang telah berjasa membawa The Smurfs setingkat lebih tinggi derajatnya ketimbang film sejenis sehingga karir Gosnell di Hollwood pun masih bisa terselamatkan. Yah, setidaknya pihak Sony Pictures tidak ragu untuk mengontaknya kembali demi The Smurfs 2.

Acceptable

2D atau 3D? Saya lebih menyarankan Anda untuk berhemat dengan menontonnya dalam versi 2D saja karena tidak ada perbedaan yang signifikan dalam versi 3D-nya.

Sabtu, 08 Oktober 2011

REVIEW : ABDUCTION


Saat rekan seperjuangannya di The Twilight Saga, Robert Pattinson dan Kristen Stewart, lebih memilih untuk mengembangkan kemampuan beraktingnya dengan memilih peran-peran yang berbeda nan menantang dalam berbagai genre film, maka Taylor Lautner justru sebaliknya. Sadar diri bahwa dia belum bisa berakting secara baik dan benar, maka cara paling aman adalah dengan memanfaatkan tubuh atletisnya sebagai jualan utama. Menggabungkan dengan keahliannya dalam karate, maka jalan satu-satunya untuk bisa memamerkannya adalah melalui film action. Akan sangat aneh jika Lautner memutuskan untuk bak bik buka seraya membuka kaos dan berjalan kemana-mana dengan bertelanjang dada dalam film drama. Valentine's Day adalah sebuah kesalahan, dan dia tidak bisa bergerak disana. Dalam Abduction, dia mencoba untuk melepas bayang-bayang Jacob Black sedikit demi sedikit dan mencoba untuk mengejar karir sebagai action hero papan atas. Lautner pun nekat untuk melakukan banyak adegan aksi tanpa bantuan stuntman di film arahan John Singleton, pembesut Shaft dan 2 Fast 2 Furious, ini. Premisnya mengenai identitas yang hilang cukup membuat penasaran dan mau tak mau akan membuat Anda untuk membandingkannya dengan triloginya mas Jason Bourne. Apakah Taylor Lautner akan menjadi versi muda dari Jason Bourne?

Tidak seperti film sejenis yang memulai segalanya dengan cepat, Abduction baru memasuki inti kisah setelah berceloteh kesana kemari sepanjang 15 menit. Saya paham bahwa Shawn Christensen ingin mengajak penonton untuk menyelami kehidupan Nathan Harper (Taylor Lautner) terlebih dahulu, tetapi apa yang disampaikan hampir tak bermakna. Semuanya dijelaskan secara sekilas saja dan selebihnya adalah kegilaan Nathan bersama konco-konconya plus adegan buka baju yang ditunggu-tunggu oleh fans Taylor Lautner. Kita juga akan menyaksikan usaha Nathan untuk menarik perhatian Karen (Lily Collins), gadis cantik yang sudah lama ditaksirnya. Untuk sesaat saya merasakan bahwa ini bukanlah sebuah film action thriller, melainkan drama romantis picisan. Saya mulai mengantuk dan rasanya ingin berteriak, dimana semua aksi seru yang digeber di trailer? Ketika Nathan dan Karen sedang mengerjakan tugas bersama dan menemukan sebuah website orang hilang, ketegangan mulai muncul. Ada foto masa kecil Nathan disana! Jika memang benar itu adalah foto dia, lantas siapa sebenarnya Kevin (Jason Isaacs) dan Mara (Maria Bello) yang selama ini mengaku sebagai orang tuanya? Dua orang tak dikenal lantas menyergap rumah Nathan malam itu juga dan menghabisi Kevin dan Mara. Dengan bantuan dari terapisnya, Geraldine Bennett (Sigourney Weaver), Nathan pun menelusuri masa lalunya.


Baiklah, satu lagi pelajaran penting yang saya dapatkan usai menyaksikan Abduction, jangan pernah memercayai trailer dari film Hollywood. Apa yang saya saksikan ternyata tidak seperti janji-janji yang diobral melalui trailer. Bagi yang Anda yang berminat untuk menyaksikan Abduction, saya sarankan untuk tidak menonton trailer-nya terlebih dahulu. Apa yang tersaji sepanjang 106 menit, hampir separuhnya sudah saya lihat melalui trailer-nya. Saya tidak lagi terperangah menontonnya, justru saya berulang kali mengintip arloji dan mengeluh, kapan film ini akan selesai? Agak mengejutkan Singleton dan Christensen tidak menghadirkan Abduction sebagai sebuah film aksi dengan ketegangan tiada henti. Menyebut Nathan Harper sebagai versi remaja dari Jason Bourne adalah sebuah kesalahan. Alih-alih menggedor jantung, Abduction malah membosankan dan menggelikan. Naskahnya sangat dangkal dan mudah ditebak sementara dialognya datar, cheesy dan sesekali terdengar bodoh. Bahkan film spionase remaja ringan semacam Agent Cody Banks dan Stormbreaker masih lebih menyenangkan untuk diikuti ketimbang Abduction.

Dengan minimnya adegan aksi yang seru, maka Abduction mau tak mau bertumpu pada akting para pemainnya karena naskahnya yang amburadul jelas tak bisa menjadi penyelamat. Sialnya, departemen akting pun tak memberikan sumbangsih yang baik. Taylor Lautner terlihat kesulitan mendalami perannya sedangkan Lily Collins membuat saya ingin menangis melihat aktingnya. Apakah saya sedang menyaksikan behind the scene dari sebuah pemotretan yang dikemas dalam bentuk film layar lebar? Kehadiran para aktor senior macam Alfred Molina, Sigourney Weaver, Jason Isaacs dan Maria Bello sama sekali tidak membantu. Bahkan ironisnya dua nama terakhir sekadar numpang lewat saja. Motif mereka dalam berpartisipasi meramaikan Abduction pun seketika dipertanyakan. Dengan sinematografi yang biasa saja dan soundtrack yang meh, membuat Abduction melaju kencang menuju Razzie Awards 2012. Hampir tak ada yang bisa dibanggakan dari film ini. Bisa tayang di bioskop secara luas saja sudah bersyukur banget. Sayang sekali memang karena sejatinya Abduction berpotensi menjadi sebuah film action yang menarik. Penanganan Singleton yang buruk dan lemahnya naskah Christensen menjadikan Abduction sebagai sebuah film action yang membosankan dan terasa seperti versi parodi dari The Bourne Identity. Namun seburuk apapun film ini, fans Taylor Lautner kemungkinan besar masih akan tetap mencintainya.

Poor

Selasa, 04 Oktober 2011

REVIEW : PIRATES OF THE CARIBBEAN: ON STRANGER TIDES


"Better to not know which moment may be your last. Every morsel of your entire being alive to the infinite mystery of it all." - Jack Sparrow

Absennya Black Pearl dan pasangan romantis nan menggemaskan, Will (Orlando Bloom) dan Elizabeth (Keira Knightley), tidak menyurutkan niat Walt Disney untuk melanjutkan Pirates of the Carribean menuju ke instalmen keempat. Selama Johnny Depp alias Jack Sparrow masih berada dalam genggaman, maka franchise ini masih bisa terus berlayar mengarungi layar-layar bioskop demi membajak harta karun berupa pundi-pundi Dollar dari penonton. Maka tak heran jika ada kabar bahwa Depp mendapat bayaran sebesar $55 juta untuk melanjutkan perannya sebagai bajak laut slebor ini. Akibatnya, bujet produksi pun membengkak hingga mencapai $250 juta. Dengan angka sebesar ini, agaknya wajar bagi para penonton untuk sedikit berekspektasi lebih terhadap adegan-adegan aksi yang dijual di Pirates of the Caribbean: On Stranger Tides. Gore Verbinski yang mengarahkan tiga film sebelumnya bergabung bersama Orlando Bloom dan Keira Knightley untuk meninggalkan franchise yang telah berjasa melambungkan nama mereka ini. Rob Marshall pun dipilih untuk mengambil alih kemudi kapal dan melanjutkan perjalanan bersama Jack Sparrow. Dengan hilangnya Bloom dan Knightley, maka didatangkan beberapa wajah baru dalam franchise untuk mengisi kekosongan. Ucapkan selamat datang kepada Penelope Cruz, Ian McShane, Sam Claflin dan Àstrid Bergès-Frisbey yang jelita berseri-seri.

Jack Sparrow tidak berjuang sendirian untuk melanjutkan petualangannya karena dia masih setia didampingi oleh Gibbs (Kevin McNally) dan musuh bebuyutannya, Hector Barbossa (Geoffrey Rush). Mengambil kisah dari novel berjudul sama karangan Tim Powers, On Stranger Tides bertutur mengenai usaha Jack Sparrow dalam menemukan Fountain of Youth. Sekalipun plot cenderung berjalan lurus dan mudah ditebak, namun perjalanan Sparrow tetap saja penuh lika liku. Sparrow diculik oleh kekasihnya yang telah lama hilang, Angelica (Penelope Cruz), dan terpaksa bergabung ke dalam kapal Queen Anne's Revenge milik bajak laut misterius yang mematikan, Blackbeard (Ian McShane), yang berambisi untuk menemukan Fountain of Youth. Sementara itu, Gibbs bergabung bersama dengan Barbossa untuk memburu Blackbeard. Rupanya Barbossa memiliki dendam pribadi terhadap Blackbeard setelah Barbossa kehilangan Black Pearl dan salah satu kakinya. Petualangan yang seru ini juga diwarnai dengan romansa unik yang terjalin antara seorang misionaris, Philip (Sam Claflin) dengan salah satu putri duyung yang memiliki posisi penting dalam film, Syrenna (Àstrid Bergès-Frisbey).


Berbeda dengan ketiga film sebelumnya, On Stranger Tides cenderung mudah untuk diikuti dan tidak berbelit-belit dalam menuturkan kisah. Terry Rossio dan Ted Elliott memasukkan lebih banyak unsur hiburan dan tidak terlalu berusaha untuk menampilkan intrik kelas tinggi yang terkadang sulit untuk dicerna bagi para penonton yang tidak mengikuti petualangan Jack Sparrow sejak awal. Segalanya dimulai lagi dari awal mengingat On Stranger Tides dicanangkan sebagai jilid pertama dari sebuah trilogi baru. Dengan jalan cerita yang jauh lebih ringan ketimbang pendahulunya, menjadikan On Stranger Tides enak untuk diikuti tanpa harus mengerutkan dahi dan memutar otak memikirkan apa yang telah terjadi di ketiga film sebelumnya. Rob Marshall mengemasnya dengan baik. Sayangnya ini berdampak pada dialog dan humor-humor cerdas khas Pirates of the Caribbean yang terpaksa dikorbankan untuk diganti dengan eksploitasi adegan-adegan bertaburkan special effects dan humor yang menyentuh ranah slapstick. Namun dari sekian banyak adegan yang memanfaatkan CGI, murni hanya adegan penyerangan putri duyung di pantai yang berhasil membuat saya cukup terpukau. Selebihnya hanya pengulangan.

Tidak salah rasanya keputusan untuk menggaji Depp sedemikian tinggi karena Jack Sparrow masih tetap tampil sangat menghibur dan mampu menghindarkan film dari kata membosankan. Adu akting Depp dengan Ian McShane dan Geoffrey Rush adalah salah satu bagian terbaik dari On Stranger Tides. McShane menghidupkan Blackbeard dengan sangat meyakinkan dan Rush membuat saya seolah tak percaya bahwa dia adalah orang yang sama yang berperan di The King's Speech tempo hari. Claflin dan Bergès-Frisbey bermain sesuai dengan porsinya dan sesekali mencuri perhatian. Chemistry yang terjalin diantara mereka berdua malah cenderung lebih believable ketimbang apa yang coba dihadirkan oleh Depp dan Cruz. Penelope Cruz sebenarnya lumayan menghibur, hanya saja pesona Àstrid Bergès-Frisbey yang kuat dan chemistry-nya yang lemah dengan Depp, membuat dia menjadi sedikit terpinggirkan.

Beberapa penggemar Pirates of the Caribbean mungkin akan sedikit kecewa melihat franchise favorit mereka ini disajikan sedemikian ringan. Para kritikus film pun melayangkan kritikan pedas untuk On Stranger Tides. Namun tetap saja, On Stranger Tides melaju dengan kencang di tangga box office sekaligus memecahkan beberapa rekor. Agaknya penonton awam lebih menyukai tampilan baru dari franchise ini. Meskipun belum bisa menyamai jilid pertama dan keduanya yang sangat menghibur, akan tetapi On Stranger Tides berkali-kali lipat lebih mengasyikkan ketimbang At World's End yang melelahkan itu. Dengan durasi 30 menit lebih pendek, On Stranger Tides terasa pas dan tidak bertele-tele. Special effects dimanfaatkan dengan sangat baik dan departemen aktingnya jempolan. Pada akhirnya, Rob Marshall berhasil menjalankan misinya dengan baik untuk menjadikan On Stranger Tides sebagai sebuah summer movie yang menghibur.

2D atau 3D? Sekalipun film ini disyut memakai kamera 3D, tampilan 3D-nya tidak terlampau istimewa. Jika bujet Anda terbatas, maka sebaiknya jangan memaksakan untuk menonton versi 3D-nya.

Acceptable