Jumat, 28 Oktober 2011

REVIEW : SUPER 8


"Bad things happen... but you can still live." - Joe Lamb

Dalam Cloverfield, enam anak muda menggunaka
n handheld camera untuk mendokumentasikan sebuah serangan monster di New York. Lari kesana kemari menyebabkan kamera terus berguncang, alhasil penonton pun mual melihatnya. Sekalipun mampu menyebabkan pusing, Cloverfield dinilai berhasil dalam menyampaikan kisah dan ketegangannya terjaga hingga ending. Ingin mengulang kesuksesan yang serupa, J.J. Abrams kembali bermain-main dengan kamera, anak muda atau errrr… lebih tepat disebut bocah, dan monster. Untuk kali ini, tidak lagi bersetting di sebuah kota metropolitan namun di sebuah kota kecil yang aman dan tentram. Settingnya pun tidak lagi di masa kini, namun mundur jauh ke akhir tahun 1970-an. Ketika mengintip trailernya, sejenak pikiran saya pun melanglang buana. Super 8 sedikit banyak mengingatkan saya pada E.T. the Extra-Terrestrial. Bisa dimaklumi karena Steven Spielberg turut mendukung proyek ini dengan duduk di bangku produser. Agaknya Abrams pun ingin memberi penghormatan kepada Spielberg dengan memasukkan cukup banyak elemen yang jelas terlihat terinspirasi dari film Spielberg yang indah itu.

Para jagoan dari Super 8 adalah sekumpulan bocah SMP yang tengah menggarap sebuah film zombie menggunakan kamera Super 8. Dengan bujet yang terbatas, mereka pun harus memutar otak untuk bisa syuting tanpa harus mengeluarkan biaya. Sang sutradara, Charles (Riley Griffiths) digambarkan sebagai seorang bocah gemuk yang memiliki semangat luar biasa dan bossy. Joe (Joel Courtney), Alice (Elle Fanning), Preston (Zach Mills), dan rekan satu geng lainnya, terkadang gemas dengan Charles yang kelewat otoriter. Terobsesi menghasilkan sebuah film yang bagus agar bisa mengikuti festival film, tidak jarang Charles agak kelewat batas. Mereka mengendap-endap di tengah malam demi bisa mendapatkan gambar bagus di stasiun kereta api. Saat tengah melakukan syuting inilah, mereka terjebak dalam sebuah peristiwa yang mengerikan. Sebuah truk yang belakangan diketahui dikendarai oleh guru biologi para bocah ini (Glynn Turman) menghadang sebuah kereta yang tengah melaju kencang. Tabrakan maut pun tak terhindarkan. Namun peristiwa ini tidak ada apa-apanya dengan apa yang terjadi kemudian. Berbagai serangan misterius meneror kota bersamaan dengan raibnya sejumlah penduduk. Pasukan militer dibawah komando Kolonel Nelec yang menginvasi kota (Noah Emmerich) semakin memperburuk suasana. Dengan menghilangnya Sheriff, Deputi Jack Lamb (Kyle Chandler) yang juga ayah dari Joe, pun menjadi tumpuan masyarakat yang ketakutan.


Penonton yang mengharapkan Super 8 akan mengulang ketegangan yang ditonjolkan oleh Cloverfield mungkin akan sedikit kecewa. Pasalnya, J.J. Abrams menyuntikkan cukup banyak drama dalam film terbarunya ini. Hadirnya Steven Spielberg di bangku produser rupanya turut berpengaruh terhadap Super 8 yang nuansanya lebih terasa Spielberg ketimbang Abrams. Tidak hanya E.T. seperti yang telah saya sebutkan di atas, tetapi hawa Close Encounter of the Third Kind plus War of the Worlds juga sangatlah terasa. Dengan masuknya drama, khususnya yang fokus menyoroti hubungan Jack Lamb dengan Joe yang memburuk, tentu saja membuat jenuh penonton yang mengharapkan Abrams akan menyuguhkan tontonan yang penuh dengan hingar bingar dan misteri. Akan tetapi justru disinilah poin plus Super 8. Abrams tidak melupakan ramuan-ramuan film bagus yang sudah hampir disingkirkan oleh kebanyakan film blockbuster dewasa ini. Dalam Super 8, kita akan menemukan chemistry yang terjalin kuat, naskah yang berisi serta karakter yang bernyawa. Larry Fong turut berkontribusi dalam menampilkan gambar-gambar yang cantik dan membekas untuk Super 8. Special effect-nya tidak usah ditanya lagi, nyaris tanpa cela. Ketegangan demi ketegangan sanggup dibangun oleh Abrams dengan rapi sekalipun penyelesaiannya yang cenderung terlalu sederhana membuat hati ini dongkol. I want more! Ah, tapi saya masih bisa memaafkannya toh endingnya tidak bodoh seperti War of the Worlds.

Dan saya suka sekali melihat sepak terjang para jagoan kita di Super 8 ini. Dengan chemistry yang sangat kuat, mereka terasa nyata dan dekat dengan penonton. Joel Courtney, Riley Griffiths, Ryan Lee, Zach Mills, Gabriel Basso, dan Elle Fanning, berakting secara natural dan pesonanya mampu melibas para aktor yang lebih berpengalaman macam Kyle Chandler dan Noah Emmerich. Akting prima yang ditunjukkan oleh para aktor ABG ini memberikan energi lebih bagi Super 8 yang telah kuat di sektor naskah, teknis dan penggarapan. Sekalipun banyak penonton yang mengeluhkan bahwa Super 8 tidak seepik Cloverfield, tidak menjadi soal bagi saya. Super 8 adalah salah satu film terbaik dari J.J. Abrams dan tentunya kontender kuat untuk menduduki posisi 3 besar film yang paling saya suka tahun ini. Super 8 memiliki resep yang tepat dalam menjadikannya sebagai sebuah film yang mengagumkan. Dikerjakan dengan sangat baik, memiliki naskah dengan alur yang rapi, special effect di atas rata-rata serta akting para pemainnya yang cantik. Sesuatu yang sudah sangat sulit ditemukan dari film-film blockbuster keluaran Hollywood.

Note : Jangan terburu-buru meninggalkan teater setelah film berakhir. Saat credit title bergulir, film pendek buatan Joe dan kawan-kawan turut ditampilkan. Sayang sekali jika Anda melewatkannya.

Outstanding

Tidak ada komentar:

Posting Komentar