Saat rekan seperjuangannya di The Twilight Saga, Robert Pattinson dan Kristen Stewart, lebih memilih untuk mengembangkan kemampuan beraktingnya dengan memilih peran-peran yang berbeda nan menantang dalam berbagai genre film, maka Taylor Lautner justru sebaliknya. Sadar diri bahwa dia belum bisa berakting secara baik dan benar, maka cara paling aman adalah dengan memanfaatkan tubuh atletisnya sebagai jualan utama. Menggabungkan dengan keahliannya dalam karate, maka jalan satu-satunya untuk bisa memamerkannya adalah melalui film action. Akan sangat aneh jika Lautner memutuskan untuk bak bik buka seraya membuka kaos dan berjalan kemana-mana dengan bertelanjang dada dalam film drama. Valentine's Day adalah sebuah kesalahan, dan dia tidak bisa bergerak disana. Dalam Abduction, dia mencoba untuk melepas bayang-bayang Jacob Black sedikit demi sedikit dan mencoba untuk mengejar karir sebagai action hero papan atas. Lautner pun nekat untuk melakukan banyak adegan aksi tanpa bantuan stuntman di film arahan John Singleton, pembesut Shaft dan 2 Fast 2 Furious, ini. Premisnya mengenai identitas yang hilang cukup membuat penasaran dan mau tak mau akan membuat Anda untuk membandingkannya dengan triloginya mas Jason Bourne. Apakah Taylor Lautner akan menjadi versi muda dari Jason Bourne?
Tidak seperti film sejenis yang memulai segalanya dengan cepat, Abduction baru memasuki inti kisah setelah berceloteh kesana kemari sepanjang 15 menit. Saya paham bahwa Shawn Christensen ingin mengajak penonton untuk menyelami kehidupan Nathan Harper (Taylor Lautner) terlebih dahulu, tetapi apa yang disampaikan hampir tak bermakna. Semuanya dijelaskan secara sekilas saja dan selebihnya adalah kegilaan Nathan bersama konco-konconya plus adegan buka baju yang ditunggu-tunggu oleh fans Taylor Lautner. Kita juga akan menyaksikan usaha Nathan untuk menarik perhatian Karen (Lily Collins), gadis cantik yang sudah lama ditaksirnya. Untuk sesaat saya merasakan bahwa ini bukanlah sebuah film action thriller, melainkan drama romantis picisan. Saya mulai mengantuk dan rasanya ingin berteriak, dimana semua aksi seru yang digeber di trailer? Ketika Nathan dan Karen sedang mengerjakan tugas bersama dan menemukan sebuah website orang hilang, ketegangan mulai muncul. Ada foto masa kecil Nathan disana! Jika memang benar itu adalah foto dia, lantas siapa sebenarnya Kevin (Jason Isaacs) dan Mara (Maria Bello) yang selama ini mengaku sebagai orang tuanya? Dua orang tak dikenal lantas menyergap rumah Nathan malam itu juga dan menghabisi Kevin dan Mara. Dengan bantuan dari terapisnya, Geraldine Bennett (Sigourney Weaver), Nathan pun menelusuri masa lalunya.
Baiklah, satu lagi pelajaran penting yang saya dapatkan usai menyaksikan Abduction, jangan pernah memercayai trailer dari film Hollywood. Apa yang saya saksikan ternyata tidak seperti janji-janji yang diobral melalui trailer. Bagi yang Anda yang berminat untuk menyaksikan Abduction, saya sarankan untuk tidak menonton trailer-nya terlebih dahulu. Apa yang tersaji sepanjang 106 menit, hampir separuhnya sudah saya lihat melalui trailer-nya. Saya tidak lagi terperangah menontonnya, justru saya berulang kali mengintip arloji dan mengeluh, kapan film ini akan selesai? Agak mengejutkan Singleton dan Christensen tidak menghadirkan Abduction sebagai sebuah film aksi dengan ketegangan tiada henti. Menyebut Nathan Harper sebagai versi remaja dari Jason Bourne adalah sebuah kesalahan. Alih-alih menggedor jantung, Abduction malah membosankan dan menggelikan. Naskahnya sangat dangkal dan mudah ditebak sementara dialognya datar, cheesy dan sesekali terdengar bodoh. Bahkan film spionase remaja ringan semacam Agent Cody Banks dan Stormbreaker masih lebih menyenangkan untuk diikuti ketimbang Abduction.
Dengan minimnya adegan aksi yang seru, maka Abduction mau tak mau bertumpu pada akting para pemainnya karena naskahnya yang amburadul jelas tak bisa menjadi penyelamat. Sialnya, departemen akting pun tak memberikan sumbangsih yang baik. Taylor Lautner terlihat kesulitan mendalami perannya sedangkan Lily Collins membuat saya ingin menangis melihat aktingnya. Apakah saya sedang menyaksikan behind the scene dari sebuah pemotretan yang dikemas dalam bentuk film layar lebar? Kehadiran para aktor senior macam Alfred Molina, Sigourney Weaver, Jason Isaacs dan Maria Bello sama sekali tidak membantu. Bahkan ironisnya dua nama terakhir sekadar numpang lewat saja. Motif mereka dalam berpartisipasi meramaikan Abduction pun seketika dipertanyakan. Dengan sinematografi yang biasa saja dan soundtrack yang meh, membuat Abduction melaju kencang menuju Razzie Awards 2012. Hampir tak ada yang bisa dibanggakan dari film ini. Bisa tayang di bioskop secara luas saja sudah bersyukur banget. Sayang sekali memang karena sejatinya Abduction berpotensi menjadi sebuah film action yang menarik. Penanganan Singleton yang buruk dan lemahnya naskah Christensen menjadikan Abduction sebagai sebuah film action yang membosankan dan terasa seperti versi parodi dari The Bourne Identity. Namun seburuk apapun film ini, fans Taylor Lautner kemungkinan besar masih akan tetap mencintainya.
Poor
Tidak seperti film sejenis yang memulai segalanya dengan cepat, Abduction baru memasuki inti kisah setelah berceloteh kesana kemari sepanjang 15 menit. Saya paham bahwa Shawn Christensen ingin mengajak penonton untuk menyelami kehidupan Nathan Harper (Taylor Lautner) terlebih dahulu, tetapi apa yang disampaikan hampir tak bermakna. Semuanya dijelaskan secara sekilas saja dan selebihnya adalah kegilaan Nathan bersama konco-konconya plus adegan buka baju yang ditunggu-tunggu oleh fans Taylor Lautner. Kita juga akan menyaksikan usaha Nathan untuk menarik perhatian Karen (Lily Collins), gadis cantik yang sudah lama ditaksirnya. Untuk sesaat saya merasakan bahwa ini bukanlah sebuah film action thriller, melainkan drama romantis picisan. Saya mulai mengantuk dan rasanya ingin berteriak, dimana semua aksi seru yang digeber di trailer? Ketika Nathan dan Karen sedang mengerjakan tugas bersama dan menemukan sebuah website orang hilang, ketegangan mulai muncul. Ada foto masa kecil Nathan disana! Jika memang benar itu adalah foto dia, lantas siapa sebenarnya Kevin (Jason Isaacs) dan Mara (Maria Bello) yang selama ini mengaku sebagai orang tuanya? Dua orang tak dikenal lantas menyergap rumah Nathan malam itu juga dan menghabisi Kevin dan Mara. Dengan bantuan dari terapisnya, Geraldine Bennett (Sigourney Weaver), Nathan pun menelusuri masa lalunya.
Baiklah, satu lagi pelajaran penting yang saya dapatkan usai menyaksikan Abduction, jangan pernah memercayai trailer dari film Hollywood. Apa yang saya saksikan ternyata tidak seperti janji-janji yang diobral melalui trailer. Bagi yang Anda yang berminat untuk menyaksikan Abduction, saya sarankan untuk tidak menonton trailer-nya terlebih dahulu. Apa yang tersaji sepanjang 106 menit, hampir separuhnya sudah saya lihat melalui trailer-nya. Saya tidak lagi terperangah menontonnya, justru saya berulang kali mengintip arloji dan mengeluh, kapan film ini akan selesai? Agak mengejutkan Singleton dan Christensen tidak menghadirkan Abduction sebagai sebuah film aksi dengan ketegangan tiada henti. Menyebut Nathan Harper sebagai versi remaja dari Jason Bourne adalah sebuah kesalahan. Alih-alih menggedor jantung, Abduction malah membosankan dan menggelikan. Naskahnya sangat dangkal dan mudah ditebak sementara dialognya datar, cheesy dan sesekali terdengar bodoh. Bahkan film spionase remaja ringan semacam Agent Cody Banks dan Stormbreaker masih lebih menyenangkan untuk diikuti ketimbang Abduction.
Dengan minimnya adegan aksi yang seru, maka Abduction mau tak mau bertumpu pada akting para pemainnya karena naskahnya yang amburadul jelas tak bisa menjadi penyelamat. Sialnya, departemen akting pun tak memberikan sumbangsih yang baik. Taylor Lautner terlihat kesulitan mendalami perannya sedangkan Lily Collins membuat saya ingin menangis melihat aktingnya. Apakah saya sedang menyaksikan behind the scene dari sebuah pemotretan yang dikemas dalam bentuk film layar lebar? Kehadiran para aktor senior macam Alfred Molina, Sigourney Weaver, Jason Isaacs dan Maria Bello sama sekali tidak membantu. Bahkan ironisnya dua nama terakhir sekadar numpang lewat saja. Motif mereka dalam berpartisipasi meramaikan Abduction pun seketika dipertanyakan. Dengan sinematografi yang biasa saja dan soundtrack yang meh, membuat Abduction melaju kencang menuju Razzie Awards 2012. Hampir tak ada yang bisa dibanggakan dari film ini. Bisa tayang di bioskop secara luas saja sudah bersyukur banget. Sayang sekali memang karena sejatinya Abduction berpotensi menjadi sebuah film action yang menarik. Penanganan Singleton yang buruk dan lemahnya naskah Christensen menjadikan Abduction sebagai sebuah film action yang membosankan dan terasa seperti versi parodi dari The Bourne Identity. Namun seburuk apapun film ini, fans Taylor Lautner kemungkinan besar masih akan tetap mencintainya.
Poor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar