Sabtu, 29 Oktober 2011

REVIEW : THE PERFECT HOUSE


Saya yakin, Julie (Cathy Sharon), membatin “aku adalah perempuan paling sial di dunia ini,” ketika diminta oleh atasannya untuk menggantikan rekan kerjanya yang hilang sebagai guru privat di rumah Madame Rita (Bella Esperance). Rencana Julie untuk cuti selama sebulan pun hanyalah tinggal rencana. Mau tidak mau dia harus menerima pekerjaan ini agar dapurnya bisa terus mengebulkan asap. Diantar oleh asistennya, Dwi (Wanda Nizar), Julie menuju ke rumah Madame Rita yang lokasinya terpencil di daerah Puncak. Sejak pertama kali bertemu dengan Madame Rita, Julie hanya memperoleh kesan yang tidak menyenangkan. Madame Rita adalah seorang wanita paruh baya yang dingin, disiplin dan keras. Beliau melarang keras cucunya, Januar (Endy Arfian), untuk keluar dari rumah. Julie tidak pernah mendapatkan penjelasan yang jelas dan logis mengenai larangan-larangan yang diberlakukan kepada Januar. Secara diam-diam, Julie pun mengajak Januar untuk melakukan ‘aktivitas terlarang’ karena tak tega melihat perlakuan Madame Rita kepada Januar. Namun semakin lama Julie menetap di rumah tersebut, semakin dia menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres di rumah ini. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh para penghuni rumah ini.

The Perfect House menandai kembalinya Affandi Abdul Rachman ke ranah thriller setelah sebelumnya asyik dengan proyek film-film komedi romantisnya. Seperti halnya film debutnya yang bergenre serupa, Pencarian Terakhir, The Perfect House pun menawarkan premis yang menarik dan mampu mengundang rasa penasaran. Ketika Pencarian Terakhir mengupas tentang sekelompok pendaki gunung yang hilang arah di sebuah gunung, maka The Perfect House mencoba untuk menyingkap tabir misteri di balik sebuah rumah antik yang megah. Sedikit banyak The Perfect House mengingatkan saya pada Rumah Dara, hanya saja The Perfect House cenderung lebih lembut dan bermain aman. Bisa dimengerti karena The Perfect House tidak merangkul genre horror slasher, melainkan psychological thriller. Pada titik tertentu saya sempat mempertanyakan kewarasan Julie. Memiliki masa lalu yang suram, bisa jadi apa yang dialaminya di rumah Madame Rita hanyalah imajinasinya belaka. Namun apa memang benar seperti itu? Nyatanya, Affandi Abdul Rachman malah menjadikan The Perfect House tidak hanya lembut tetapi juga mudah ditebak. Alurnya cenderung lurus tanpa ada twist yang berarti.


Tidak ada usaha untuk menutup-nutupi apa yang sesungguhnya terjadi di rumah tersebut. Lewat tingkah laku yang tidak normal yang dilakukan oleh salah satu karakter serta sepenggal dialog di pertengahan film, Affandi Abdul Rachman secara tidak langsung telah membuka segalanya. Seketika itu, The Perfect House menjadi kurang menarik untuk diikuti terlebih momen-momen menegangkan yang dimunculkan pun minim jumlahnya. Tensinya terus menurun hingga akhirnya sedikit menggeliat menjelang ending. Naskah yang diolah Affandi dan Alim Sudio tidak bisa dibilang buruk, hanya saja terlalu lempeng untuk ukuran film thriller. Kalau saja duo penulis naskah ini lebih banyak menyisipkan adegan penggedor jantung dan menutup misterinya rapat-rapat, apa yang dimunculkan di ending bisa saja tampak brilian. Tokoh yang diperankan oleh Mike Lucock, Yadi, tidak diberi kesempatan untuk berkontribusi lebih banyak kepada perkembangan cerita. Padahal Yadi digambarkan tidak kalah misterius dan menyeramkan dari Madame Rita. Posisinya seakan hanya sebagai pelengkap saja. Beruntung naskah yang lemah ini berhasil sedikit ditutupi oleh sinematografi dari Faozan Rizal dan musik latar gubahan Aghi Narottama dan Bemby Gusti yang mampu dihadirkan dengan tepat di setiap adegan.

Kekuatan utama dari The Perfect House sesungguhnya datang dari Bella Esperance yang membawakan peran Madame Rita dengan amat baik. Aktris watak yang angkat nama lewat Catatan Si Boy III ini selalu mencuri perhatian di setiap kesempatan. Agak mengingatkan pada Shareefa Daanish di Rumah Dara memang, namun tak pelak lagi akting Bella Esperance adalah salah satu yang terkuat tahun ini. Dominasinya membuat Cathy Sharon nyaris tak berkutik meskipun kemampuan akting Cathy Sharon sendiri terus mengalami peningkatan. Sementara Mike Lucock dan Endy Arfian juga sama sekali tidak mengecewakan. Mike Lucock bisa saja menjadi ‘scene stealer’ seandainya ruang geraknya tidak dibatasi oleh naskah. Pun begitu, The Perfect House masih layak untuk mendapatkan apresiasi lebih dan saya pun merekomendasikan Anda untuk menontonnya di bioskop. Sekalipun bukan film yang mengesankan, The Perfect House terlihat jelas digarap secara serius oleh Affandi Abdul Rachman. Akan sangat ironis jika film yang mendapatkan sambutan yang cukup meriah di Puchon International Fantastic Film Festival ini justru ditanggapi dingin oleh penonton lokal.

Acceptable

Tidak ada komentar:

Posting Komentar