Senin, 02 April 2012

REVIEW : LOVE IS U

“Nggak, nggak, nggak kuat… Nggak, nggak, nggak kuat…” Lho, lho, itu kan kutipan lirik ‘Playboy’ tembang milik 7 Icons? Tenang, jangan keburu protes dulu. Sepenggal lirik ini bukan bermaksud untuk membandingkan siapa yang lebih superior antara 7 Icons dengan Cherrybelle, melainkan hanya ungkapan hati saya saat menyaksikan film debut dari Cherrybelle di bioskop, Love is U. Saking tidak kuatnya, saya sampai ingin menggigit kursi yang ada di depan saya. Sial sekali waktu itu saya memutuskan untuk tidak memiliki segelas minuman bersoda dan berondong jagung yang bisa saya telan bulat-bulat ketika jengkel. Dan lebih sial lagi, pulsa di handphone sedang menipis. Maka satu-satunya cara untuk menghilangkan rasa bosan yang sudah mencapai ubun-ubun adalah memandangi personil Cherybelle satu persatu secara cermat. Strategi jitu? Nampaknya, apalagi setelah menyaksikan film ini saya mendadak jatuh cinta setengah mati dengan girlband ini, seolah-olah mereka adalah sekumpulan bidadari yang baru saja turun dari langit.

Menyaksikan Love is U membuat saya tidak tahan untuk segera menyandingkannya dengan Fantasi, Spice World, Purple Love hingga Baik-Baik Sayang yang memiliki tujuan yang senada, memanfaatkan sejumlah orang atau sebuah band yang tengah naik daun demi menumpuk pundi-pundi. Sekalipun empat film tersebut memiliki kualitas yang pas-pasan, jalinan ceritanya yang menghibur membuatnya menjadi semacam ‘guilty pleasure’ bagi sebagian orang, termasuk non-fans. Sayangnya, ini tidak terjadi pada Love is U. Naskah buatan Jamil Aurora kelewat datar, sementara Hanny R. Saputra tidak bisa berbuat banyak. Alhasil, dengan dialog yang membosankan, akting yang ‘begitu deh’, setting yang melulu disitu-situ saja dan nyaris tidak dihiasi dengan percikan konflik yang bikin gregetan, tentu Anda sudah bisa membayangkan betapa menyiksanya film ini. Jika memang sejak awal tujuan dibuatnya film ini adalah sebagai media promosi, sepertinya dikemas dalam bentuk film konser seperti Hannah Montana atau Glee adalah pilihan yang lebih baik. Memaksakannya muncul sebagai sebuah film layar lebar sementara hampir seluruh aspek belum siap hanya akan mempermalukan diri sendiri.

Agak mengherankan sutradara sekelas Hanny R. Saputra bersedia menerima tawaran film dengan naskah yang bahkan lebih lemah dari FTV sekalipun ini. Para personil Cherybelle dikisahkan tengah dikarantina menyusul kegagalan mereka tampil secara kompak dalam sebuah pertunjukkan. Layaknya Akademi Fantasi Indosiar, kita pun disuguhi dengan tayangan seputar kehidupan sehari-hari para personil Cherybelle saat mereka berlatih koreografi, vokal, hingga bersantai bersama di tempat karantina. Agar tidak monoton, maka sejumlah bumbu penyedap berupa konflik antar personil, konflik dengan anggota keluarga dan konflik dengan para pelatih pun dicemplungkan. Apakah bumbu-bumbu ini membuat Love is U menjadi terasa lezat? Oh, sayang sekali tidak. Menyebalkan, ya. Serentetan konflik yang berpotensi memanaskan suasana, dimunculkan sepotong-sepotong dengan penyelesaian yang serba mudah. Penyelesaian konflik selalu ditandai dengan personil Cherybelle yang saling berpelukan, menangis bersama, lalu melantunkan tembang “Beautiful”, “Love is You”, dan “I’ll Be There For You” berulang-ulang hingga saat Anda keluar dari gedung bioskop, tanpa sadar Anda telah hafal dengan lirik tiga lagu tersebut. Saya tidak sedang menonton salah satu episode Teletubbies kan?

Pada akhirnya, kemunculan Love is U di layar lebar memang hanya untuk memuaskan dahaga para ‘Twibi’ dan ‘Twiboy’ yang seakan belum puas melihat idolanya bersliweran di layar kaca setiap hari. Love is U adalah bentuk pengkultusan terhadap Cherybelle. Hanya para fans yang akan jejeritan atau bertepuk tangan setelah film berakhir. Sementara mereka yang tidak terlalu mengenal girlband ini, atau malah membencinya, akan menepuk jidat mereka berulang-ulang dan mengacak-acak rambut, kecuali mereka tahu cara mengatasi kebosanan. Menyaksikan sembilan gadis dengan cara berbusana, cara berbicara, menangis, marah, hingga tertawa dengan cara yang nyaris serupa ditambah perilaku kekanak-kanakan yang dibuat-dibuat tentu bukan pemandangan yang menyenangkan, meski mereka luar biasa cantik. Jika ada yang bergembira ria, maka sekali lagi itu hanyalah fans Chibi, (dan anehnya) saya. Karena saya sudah luar biasa putus asa mencari kegembiraan di tengah gurun yang gersang. Ketika rasa haus dan lapar mulai menyerang, apapun terlihat lezat.

Troll

Jumat, 30 Maret 2012

REVIEW : HI5TERIA



"Jika kepala terlepas dari ragamu, carilah wanita berbadan dua. Atau bayi yang masih suci.." - Vita

Lima sutradara, lima rasa takut, lima mimpi buruk. Proyek impian dari Upi Avianto ini mungkin akan mengingatkan Anda pada Phobia 2 dari Thailand atau Takut dari dalam negeri. Film bergenre horror dengan konsep omnibus. Namun pada dasarnya, Hi5teria memiliki semangat yang sama dengan FISFiC Vol. 1 yang lahir dari INAFFF tahun lalu, sutradara-sutradara pendatang baru memegang kendali di setiap segmen sementara Upi Avianto memantau dari bangku produser. Lagi-lagi, seperti halnya FISFiC, Hi5teria tidak memiliki benang merah yang mengaitkan antar satu segmen dengan segmen lainnya, kesamaan hanya terletak pada karakter utama yang didera terror adalah wanita, dan adanya twist yang terselip di penyelesaian masalah. Kelima wanita yang ‘sial’ tersebut adalah Tara Basro, Maya Otos, Luna Maya, Imelda Therinne, dan Ichi Nuraini, sedangkan posisi ‘algojo’ ditempati oleh Adriyanto Dewo, Chairun Nissa, Billy Christian, Nicholas Yudifar, dan Harvan Agustriansyah. Premisnya menarik, mencoba mengangkat kisah-kisah mistis yang beredar di sekitar kita.

Tara Basro dijadikan sebagai tumbal pertama. Dia adalah Sari, dalam segmen Pasar Setan, yang terpisah dari kekasihnya saat mendaki gunung. Tersesat di hutan, Sari bertemu dengan Zul (Dion Wiyoko). Mereka berdua terus menerus melewati jalan yang sama, tidak kunjung menemukan jalan setapak yang membawa mereka keluar dari hutan. Suara-suara aneh mulai menghantui. Sebagai sebuah pembuka, Pasar Setan menjanjikan. Ketegangan dibangun secara perlahan-lahan. Adriyanto Dewo sanggup mengimbangi kepiawaian Affandi Abdul Rachman saat menggarap Pencarian Terakhir. Endingnya pun terasa pas, malah saya menganggapnya ini adalah ending terbaik dari semua segmen. Meski tidak semencekam segmen-segmen berikutnya, Pasar Setan memberikan kengerian yang nyata terutama bagi para pendaki gunung. Secara personal, saya memilih segmen ini sebagai favorit saya karena pengalaman pribadi dimana saya beberapa kali mengalami sebuah mimpi buruk dimana saya selalu kembali ke tempat yang sama sekalipun telah berjalan jauh. Sulit untuk tidak jatuh cinta dengan Pasar Setan jika menyukai Pencarian Terakhir maupun Dead End.

Sementara Wajang Koelit buatan Chairun Nissa yang memasang Maya Otos sebagai wartawan asing yang tengah melakukan riset mengenai wayang kulit di sebuah daerah di Jawa Tengah malah kurang menggigit. Kedekatan setting seharusnya mampu menegakkan bulu roma saya, namun pada kenyataannya segmen ini tidak berjalan sesuai harapan, jalan ceritanya mudah sekali ditebak. Jika ada yang membuatnya terasa menakutkan, maka itu berkat instrumen musiknya. Wajang Koelit seperti berusaha untuk mengikuti jejak Titisan Naya, dan twist yang disisipkan membuatnya terkesan dipaksakan. Permasalahan yang sama juga menimpa dua segmen berikutnya, Kotak Musik dan Loket. Dalam Kotak Musik, Luna Maya mengalami serangkaian peristiwa aneh yang memaksanya untuk mau tidak mau memercayai hal-hal gaib. Billy Christian menawarkan sebuah premis biasa yang dieksekusi dengan cukup apik, tetapi tensi ketegangan mulai merosot semenjak Luna Maya diikuti oleh hantu anak kecil. Jika ada yang membuat segmen ini menonjol adalah Luna Maya yang terlihat lebih cantik dari biasanya serta sanggup berakting menawan. Dan saya suka sekali setiap dia melontarkan dialog, “mbok, bikin kaget!”.

Palasik dari Nicho Yudifar menebar kengerian kepada penonton melalui mitos supernatural masyarakat Minangkabau. Diantara segmen-segmen lainnya, Palasik adalah yang terkuat. Imelda Therinne yang sedang hamil besar diajak berlibur oleh suaminya yang sabar dan anak tirinya, Poppy Sovia, yang keras ke sebuah villa. Liburan yang seharusnya damai, menenangkan, dan membuat pikiran terasa jernih justru membuat Imelda Therinne tergoncang setelah dia melihat sebuah kepala terbang. Setelah pembukaan yang memancing rasa penasaran, Nicho Yudifar lantas menggiring kita ke dalam teror yang kian mengerikan setiap menitnya. Visualisasi setan yang menyeramkan namun tidak banci tampil menambah daya tarik tersendiri. Pun begitu, penonton dituntut untuk mencari tahu sendiri apa makna dari ‘Palasik’ karena selama film berlangsung, hanya secuil informasi yang diberikan. Menginjak segmen terakhir, Loket, tingkat kesulitan permainan ditingkatkan. Harvan Agustriansyah menyajikan sebuah tayangan yang mendebarkan, dan membuat penonton harap-harap cemas. Wanita sial di segmen ini adalah Ichi Nuraini, petugas penjaga loket parkiran basement di sebuah gedung yang mengalami malam yang tidak mengenakkan. Tidak banyak dialog disini. Kengerian dibangun melalui suasana parkiran yang sunyi sepi nan gelap. Cukup lama penonton ditempatkan dalam posisi yang tidak menyenangkan, dibiarkan menduga-duga sendiri kapan teror yang sebenarnya akan datang. Ketika apa yang dinanti-nantikan oleh penonton akhirnya datang, tensi segera saja menukik turun. Penyelesaiannya membuat saya tidak habis pikir. Haruskah diberi twist?

Inilah yang menjadi pertanyaan bagi setiap segmen di Hi5teria, kenapa twist ending menjadi sesuatu yang wajib dipergunakan? Tidak masalah jika pemakaiannya tepat seperti dalam kasus Pasar Setan atau Palasik, tapi itu akan menjadi bumerang bagi filmnya sendiri apabila dipaksakan untuk tampil, seperti yang terjadi dalam Wajang Koelit, Kotak Musik, dan Loket. Malah akan lebih terasa mencekam, dan tentunya riil, apabila dibiarkan apa adanya. Tidak semua film horror perlu diberi twist ending. Pun begitu, saya cukup puas dengan kinerja dari sutradara-sutradara muda di Hi5teria yang terlepas dari hasil akhirnya yang bagus atau mengecewakan. Langkah seperti yang dilakukan oleh Upi Avianto ini patut mendapat apresiasi lebih mengingat ini merupakan sebuah kesempatan baik untuk menemukan sutradara muda yang memiliki bakat terpendam. Apabila ada kekurangan disana-sini, tentu masih dapat dimaklumi. Setidaknya, Hi5teria telah memberikan sebuah angin segar kepada masyarakat Indonesia yang sudah terlanjur bersikap skeptis terhadap film horor lokal yang semakin lama kian tak berotak.

Acceptable


Kamis, 22 Maret 2012

REVIEW : THE HUNGER GAMES


"They just want a good show, that's all they want."

Bersetting di masa depan dimana dunia mengalami kehancuran setelah perang nuklir dan Amerika Serikat terpecah belah menjadi ke beberapa area baru. Di sebuah area yang bernama Panem, kita diperkenalkan kepada sebuah permainan ekstrim tahunan yang menjadi judul dari film ini, The Hunger Games. Dua puluh empat remaja usia belasan, masing-masing terdiri dari dua belas laki-laki dan dua belas perempuan, yang terpilih secara acak dimana mereka mewakili dua belas distrik di Panem dilepaskan ke alam bebas hingga hanya satu orang saja yang selamat. Sang pemenang akan mendapatkan hadiah berupa kehormatan, ketenaran, dan persedian pangan untuk keluarga. Plotnya sedikit banyak mengingatkan saya pada Battle Royale, film buatan tahun 2000 asal Jepang yang diadaptasi dari novel berjudul sama, yang mengisahkan sejumlah siswa bermasalah yang dikirim ke sebuah pulau terpencil untuk saling membunuh dan pemenangnya adalah siswa yang terakhir bertahan. Yang mendasari munculnya kedua permainan ini sama, terjadinya degradasi moral. Apabila dirunut lebih jauh, para remaja ini hanyalah sekumpulan remaja biasa yang dijadikan kambing hitam atas kesalahan yang dilakukan oleh para penguasa. Dihimpit oleh keadaan yang serba tidak menguntungkan, rakyat-rakyat kecil ini pun manut saja dengan permainan yang dirancang oleh para penguasa yang lalim.

Tokoh utama dari The Hunger Games adalah dua Tribute – sebutan untuk peserta terpilih – dari distrik termiskin di Panem, Distrik 12, Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) dan Peeta Mellark (Josh Hutcherson). Ada yang unik disini. Berbeda dengan film hasil adaptasi novel remaja kebanyakan, Katniss tidak digambarkan sebagai gadis lemah yang senantiasa merengek meminta perlindungan. Mandiri, kuat dari segi fisik dan mental, serta mahir menggunakan busur dan panah, Katniss malah terkesan lebih maskulin ketimbang Peeta. Suzanne Collins, sang penulis novel yang juga bertindak selaku penulis naskah, menempatkan Katniss sebagai pelindung bagi Peeta. Jennifer Lawrence memainkan perannya dengan amat baik dan meyakinkan. Tidak heran, Katniss sedikit banyak memiliki kemiripan karakter dengan Ree Dolly di Winter’s Bone. Josh Hutcherson mengalami peningkatan akting disini. Beradu akting bersama Lawrence, Woody Harrelson, Elizabeth Banks, Stanley Tucci dan Donald Sutherland rupanya memicu semangat Hutcherson untuk mengerahkan kemampuan terbaiknya.

Disandingkan dengan Battle Royale, The Hunger Games terasa lebih tidak manusiawi karena pertarungan antar Tribute dari dua belas distrik ini disajikan secara live melalui sebuah acara realitas. Ada kemiripan dengan The Condemned disini. Tapi lagi-lagi, masih lebih bermoral ketimbang apa yang dilakukan oleh Seneca Crane (Wes Bentley), penanggub jawab The Hunger Games. Dua puluh empat remaja tak bersalah dipaksa bertarung hingga mati demi memuaskan hasrat dari para manusia tidak beradab. Terkesan semakin barbar saat mengetahui bahwa peserta yang mengikuti acara ini adalah remaja berusia 12 hingga 18 tahun dengan sistem pemilihan acak. Maka pertarungan ini pun bersifat tak sehat karena kekuatan antar satu peserta dengan peserta lain tidak sebanding. Namun tentu saja Seneca dan para penguasa di kota Capitol tidak ambil pusing, terlebih ini akan menjadikan acara kian menarik untuk disimak. Untuk bertahan di Arena – tempat pertarungan – para Atribut ini pun membutuhkan sponsor yang akan menyuplai kebutuhan mereka selama bertanding. Caranya, dengan unjuk kebolehan sebelum memasuki Arena. Kemampuan yang mengesankan membuat Katniss lantas menjadi buah bibir. Apabila meminjam istilah dari para fans American Idol, maka Katniss adalah ‘frontrunner’ sementara Peeta adalah ‘cannon fodder’.

Lantas, apa sebenarnya tujuan diadakannya The Hunger Games? Berdasar video yang diputar setiap sebelum pemilihan Tribute dimulai, permainan ini bertujuan untuk mengenang kehancuran dari distrik ke-13 dan sebagai hukuman kepada distrik 1-12 atas kesalahan di masa lalu. Pada akhirnya, permainan ini justru menjadi manifestasi kekuasaan dan hiburan bagi pemerintah. Disiarkan secara live, dikemas dalam bentuk acara realitas, Collins seakan ingin mengritik moral masyarakat saat ini yang menggemari tontonan yang sarat akan kekerasan dan menjadikan orang yang dalam masalah pelik sebagai sebuah tontonan televisi yang menghibur di waktu senggang. Sisi kelam dari acara realitas yang nyatanya dipenuhi dengan kepalsuan dan ego produser yang tinggi turut disentil. Pun begitu, sang sutradara, Gary Ross – yang kita kenal melalui dua film apik, Pleasantville dan Seabiscuit, tidak berlama-lama dengan kritik sosial demi menghindari kejenuhan penonton. Setelah pesan dirasa telah cukup tersampaikan, The Hunger Games kembali ke jalur utamanya untuk menyajikan sebuah hiburan yang menyenangkan. Dan apakah hal itu berhasil? Saya akan menjawabnya, sangat berhasil. Adalah sebuah keputusan yang tepat menjadikan si pencipta novel sebagai penulis naskah. The Hunger Games adalah salah satu film adaptasi novel terbaik yang pernah saya tonton. Memesona, menegangkan, lucu, dan menyentuh. Durasinya yang cukup panjang, eksploitasi romantisme dan penggunaan handheld camera memang cukup melelahkan, namun The Hunger Games telah berhasil memenuhi ekspektasi saya sekalipun masih kurang berani dalam menonjolkan aksi kekerasan yang membuatnya terkesan canggung di beberapa bagian. Menghindari rating R, mungkin? Oia, jangan pernah samakan The Hunger Games dengan The Twilight Saga. Keduanya jauh berbeda.

Exceeds Expectations

Rabu, 21 Maret 2012

REVIEW : JOHN CARTER


"When I saw you, I believed it was a sign... that something new can come into this world."

Ketika rekan seperjuangannya di Pixar, Brad Bird, melewati masa transisi dari film animasi 3D ke film live action dengan mulus melalui Mission: Impossible
– Ghost Protocol, maka tidak halnya dengan Andrew Stanton. Film live action perdananya, John Carter, adalah adaptasi dari Princess of Mars yang merupakan bagian dari novel berseri, Barsoom, karangan Edgar Rice Burroughs yang selama ini Anda kenal sebagai pencipta Tarzan. Berbeda dengan “saudaranya” yang mengalami nasib baik dalam hal adaptasi, John Carter justru terseok-seok. Sempat menjadi proyek yang selalu mengembara dari satu tangan ke tangan lain, dan pada akhirnya tercatat sebagai salah satu “development hell” terlama dalam sepanjang sejarah sinema, proyek mendapatkan lampu hijau setelah Disney mengakuisisi hak ciptanya. Disuntik dana sebesar $250 juta, Andrew Stanton membidani sebuah proyek yang megah. Belum apa-apa, banyak kalangan mencibir. Disney dinilai terlalu percaya diri mengingat John Carter tidak terlalu dikenal oleh publik di luar Amerika. Dengan dana sebesar itu, dan melihat kondisi ekonomi saat ini, apa sanggup John Carter balik modal? Pertanyaan yang lebih penting, akankah hasil akhirnya semegah yang diharapkan oleh para penonton?

Secara garis besar dapat dituliskan bahwa John Carter berkisah tentang veteran Perang Sipil bernama John Carter (Taylor Kitsch) yang ‘terlempar’ ke Mars setelah berusaha menghindari kejaran suku Indian. Saat sesosok makhluk asing datang dari planet seberang, rupawan, perkasa, dan bisa terbang, maka tidak ada alasan untuk menyiksanya. Carter yang menjalin hubungan baik dengan makhluk Mars berkulit hijau yang membuat saya jijik, Tars Tarkas (Willem Dafoe), dan putri Mars yang aduhai, Dejah Thoris (Lynn Collins), langsung mengubah statusnya dari tawanan menjadi pahlawan dalam waktu sekejap. Misinya, menyelamatkan Mars dari Sab Than (Dominic West), penguasa Zodanga yang kejam yang mengancam akan menyulut peperangan apabila Dejah dari Helium menolak untuk menikahinya. Pertanyaan demi pertanyaan pun mulai mengemuka setelah Carter menjelajahi Mars. Apakah masyarakat Barsoom (Mars) selain kekurangan air juga kekurangan kain? Kasihan John Carter yang sepanjang film harus rela bertelanjang dada sehingga dituduh sebagai eksibisionis. Dan sebagai sebuah planet dimana teknologi telah jauh berkembang pesat melewati Jarsoom (Bumi), Barsoom enggak banget. Lihat saja cara mereka berperang, masih memakai pedang cuy! Yang membuat saya tidak habis pikir, mengapa hewan super lamban masih dijadikan alat transportasi? Saya mengerti jika bangsa Tharks menolak untuk terbang, tapi mbok ya bikin alat transportasi darat yang memadai.

Untuk ukuran sebuah film dengan bujet raksasa, efek khusus dari John Carter tergolong kurang bombastis dan telah kita lihat berulang kali di film-film fiksi ilmiah sebelum ini. Tidak ada inovasi. Bandingkan dengan Transformers: Dark of the Moon yang memiliki beberapa adegan yang mencengangkan. Di beberapa bagian pengerjaannya masih tampak kasar walaupun tampilan Helium dan adegan peperangannya terasa megah, dan 3D-nya pun tak sehebat Hugo. Sekalipun di lini teknis tak sehebat yang diharapkan, Stanton mampu mewujudkan tujuan utama John Carter, yakni menghibur penonton. Ya, saya mengakui bahwa film ini ternyata mampu membawa saya ke beberapa momen menyenangkan dan kepenatan dalam memikirkan beban hidup yang kian menumpuk pun hilang. Bukan yang terbaik dalam hal memuaskan penonton, namun John Carter ternyata tidak seburuk yang diperkirakan. Tentu saja ini belum termasuk dengan sektor naskah. Jika Anda berusaha untuk menilai film ini dari sudut pandang cerita, maka kemungkinan besar Anda akan langsung putus asa. Naskah yang dikerjakan secara keroyokan oleh Stanton, Mark Andrews, dan Michael Chabon, luar biasa menggelikan. Jika mengutip ucapan yang sering terlontar dari mulut salah satu teman, “film iki absurd tenan!” Tapi toh bukan ini yang dicari oleh penonton kebanyakan. Keanehan jalan cerita dari John Carter malah menjadi hiburan tersendiri bagi saya. Memasang ekspektasi yang serendah mungkin terhadap film ini ternyata membawa keuntungan. Apabila Anda ingin bersantai menghabiskan waktu luang di bioskop bersama teman atau orang terkasih, maka John Carter adalah pilihan yang tepat. Semrawut, tanpa otak, namun menghibur.

Acceptable


Senin, 19 Maret 2012

REVIEW : HUGO


" If you've ever wondered where your dreams come from, you look around... this is where they're made."

Sulit untuk tidak mencintai Hugo. Ini adalah sebuah surat cinta yang ditujukan oleh Martin Scorsese khusus untuk sinema. Isinya berupa ungkapa
n hati dari seseorang yang sangat mengagumi keindahan dan magis dari sebuah film. Sebagai pecinta film, rasanya hampir mustahil tidak terpukau dengan film terbaru dari sineas spesialis film-film bertemakan gangster dan kekerasan ini. Wujud kecintaannya terhadap sinema, dan untuk pertama kalinya setelah hampir 50 tahun berkarir, diwujudkan dalam bentuk film untuk segala umur! Tidak tanggung-tanggung, Hugo hadir dalam versi 3D! Selalu ada pertama kali bagi setiap orang. Keputusan Scorsese untuk menjajal ranah baru tentu bukannya tanpa alasan atau sekadar mengikuti tren belaka. Dengan membesut film keluarga, tentu pasarnya akan lebih luas sehingga pesan yang ingin disebarkan dapat diterima oleh banyak orang dari setiap lapisan usia. Pemakaian 3D pun bukan hanya sekadar gimmick, melainkan dibutuhkan untuk membuat Hugo terasa lebih emosional, lebih nyata, dan dekat dengan hati. Simak saja opening scene-nya yang luar biasa cantik. Sekalipun ini film debutnya dalam 3D, Scorsese telah terlihat seperti maestro. Dia memerlihatkan kepada dunia bagaimana seharusnya sebuah film 3D dibuat.

Naskah dari John Logan berpijak pada novel unik karangan Brian Selznick, The Invention of Hugo Cabret. Yang perlu dicatat, petualangan yang diusung oleh Hugo ini tidak sedikitpun mendekati Harry Potter, justru lebih mirip dengan Oliver Twist. Maka mengharapkan Hugo Cabret berpetualang di dunia fantasi hanya akan membuat Anda mendengus kecewa. Alurnya cenderung realistis. Bisa dikatakan, Hugo adalah cerminan hidup dari sang pembesutnya, dan bisa jadi Anda. Bukan mengenai kehidupan sebagai bocah yatim tunawisma, melainkan bagaimana sihir dari sinema mengubah jalan hidup seseorang. Hugo Cabret (Asa Butterfield) tidak memiliki siapapun dalam hidupnya. Ayahnya (Jude Law) tewas dalam sebuah kebakaran di museum saat sedang bekerja. Setelah sang ayah tiada, Hugo diasuh oleh pamannya yang pemabuk, Claude (Ray Winstone). Dia dipaksa tinggal di stasiun, lebih tepatnya diantara dinding-dinding stasiun, dan membantu Claude merawat jam-jam yang berada di stasiun Gare Montparnasse, Paris, Prancis. Belum reda duka Hugo atas kepergian sang ayah, Claude pun pergi tak tahu rimbanya. Jadilah Hugo yang kini bertanggung jawab atas jalannya jarum-jarum jam secara teratur.

Hidup seorang diri di sebuah stasiun yang besar tentu bukanlah perkara mudah. Untuk menyambung hidup, Hugo menjadi pencuri. Inspektur Gustave (Sascha Baron Cohen) menjadi musuh bebuyutannya. Bagaikan Tom dalam Tom & Jerry, Gustave seakan tak pernah mengenal kata menyerah untuk menangkap Hugo dan mengirimkannya ke panti asuhan seperti yang telah dia lakukan kepada anak jalanan sebelumnya. Selain Gustave, Hugo pun harus berhadapan dengan pemilik toko mainan yang sinis (Ben Kingsley) yang mengambil paksa buku catatan miliknya. Demi mendapatkannya kembali, si bocah gelandangan ini meminta bantuan kepada Isabelle (Chloe Grace Moretz). Isabelle menyanggupi, dengan satu syarat, dia ingin Hugo mengajaknya bertualang. Petualangan inilah yang dinanti-nanti oleh para pecinta film. Martin Scorsese mengajak para penonton untuk memelajari sejarah sinema awal. Ayah Hugo dikisahkan pernah terkesima dengan sebuah film berjudul Voyage to the Moon buatan George Méliès. Sutradara asal Prancis ini merupakan salah satu pionir lahirnya sinema. Voyage to the Moon menjadi karyanya yang paling terkenal dan merupakan film fiksi ilmiah pertama yang dibuat. Karakter Méliès ini memegang peranan yang sangat penting dalam Hugo.

Tujuan utama dari Hugo Cabret adalah menemukan satu komponen yang hilang dari automaton, robot berbentuk manusia yang menjadi proyek ambisius sang ayah. Apabila Hugo mampu mendapatkannya, maka sebuah tabir misteri terungkap. Untuk ukuran film keluarga, sayangnya, Hugo masih terbilang cukup berat untuk dinikmati bagi anak-anak sekalipun Scorsese sangat terampil dalam menyatukan nuansa drama yang menyentuh, romansa yang syahdu, komedi yang menggelitik, dan sedikit aksi dengan dukung efek khusus yang memesona. Paruh awalnya terasa kurang menggigit, namun memasuki babak petualangan Hugo dan Isabelle, plot mulai terasa cihuy. Yang menjadikan Hugo menarik adalah ketepatan dalam memasukkan serangkaian kejadian bersejarah ke dalam sebuah kisah fiksi. Perkenalan dengan George Méliès adalah bagian terbaik dari film ini. Awalnya, beliau adalah seorang pesulap dan pembuat mainan. Tertarik dengan apa yang dilakukan oleh Lumiere bersaudara dalam Arrival of a Train at La Ciotat, Méliès banting setir menjadi sineas. Jatuh bangun dari sang pionir digambarkan cukup akurat oleh Scorsese, termasuk dengan memasukkan potongan-potongan film buatan Méliès. Sebuah suguhan yang menakjubkan dari sutradara peraih Oscar melalui The Departed ini. Hugo menunjukkan bagaimana indahnya sebuah film tatkala dikerjakan dengan segenap rasa cinta. Bersanding dengan The Artist yang tidak kalah cantiknya, Hugo adalah sebuah pilihan yang tepat bagi Anda yang ingin merayakan sinema.

Outstanding

Kamis, 15 Maret 2012

REVIEW : NEGERI 5 MENARA


"Man Jadda Wajada!"

Negeri 5 Menara
memberikan secercah harapan kepada perfilman lokal yang lesu dalam mendulang penonton. Tahun lalu, Surat Kecil Untuk Tuhan yang
dinobatkan sebagai film terlaris tak sanggup menggapai angka 800 ribu penonton. Sungguh memprihatinkan. Berangkat dari sebuah novel laris yang mengumpulkan jutaan pembaca dari berbagai pelosok negeri, Negeri 5 Menara berpotensi mengulang kesuksesan Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Jika harapan itu dirasa terlalu muluk-muluk, setidaknya mampu mengimbangi raihan Sang Pencerah. Dikomandoi oleh Affandi Abdul Rachman yang pernah menghasilkan beberapa film apik, Pencarian Terakhir, Heart-Break.com, Aku atau Dia? dan The Perfect House, dan naskah ditangani oleh penulis naskah jempolan, Salman Aristo, film yang mengisahkan tentang perjuangan enam santri di sebuah pondok di Ponorogo ini berpotensi menjadi sebuah tontonan yang berkualitas. Namun tentu saja duo ini mengemban tugas berat mengingat mereka harus memadatkan novel setebal 416 halaman menjadi sebuah film berdurasi 120 menit saja. Apabila mereka sanggup membuat para penggemar novelnya merasa terpuaskan dan penonton yang tidak mengetahui seluk beluk mengenai novel karya Ahmad Fuadi mendadak tertarik untuk membaca novelnya, maka tujuan berhasil tercapai. Yang menjadi pertanyaan, apakah tujuan tersebut berhasil tercapai?

Affandi Abdul Rachman memulai film dari sebuah desa di pinggir Danau Maninjau dengan memerlihatkan kehidupan Alif (Gazza Zubizareta) yang serba sederhana dengan Amak (Lulu Tobing) dan Ayah (David Chalik). Sekalipun hidup dalam struktur sosial konvensional, Alif dan sahabatnya, Randai (Sakurta Ginting), tidak berpikiran seperti rekan-rekan sebayanya, mereka memiliki mimpi yang tinggi. Alif berniat melanjutkan pendidikan ke sebuah SMA di Bandung, dilanjut dengan memasuki kampus idamannya, ITB. Sayangnya, Amak tidak sepemikiran dengan putra sulungnya ini. Amak menginginkan Alif untuk memasuki pondok pesantren di Ponorogo, Jawa Timur, bernama Pondok Madani. Walau terasa berat harus merelakan mimpinya terkubur, Alif merasa wajib mendengarkan perkataan orang tuanya. Bagaimanapun, orang tua mengetahui apa yang terbaik untuk anaknya. Ditemani sang Ayah, Alif berangkat mengikuti ujian ke Ponorogo. Hatinya remuk mengetahui keadaan pondok yang jauh dari kesan ideal, belum lagi dengan keharusan mundur setahun demi mengikuti kelas adaptasi. Alif mencoba untuk bertahan, setidaknya hingga tahun pertama berlalu. Surat-surat yang dikirim oleh Randai semakin menggoda iman Alif untuk segera kabur ke Bandung. Namun seiring dengan berjalannya waktu, Pondok Madani terasa bagaikan rumah kedua yang nyaman bagi Alif terlebih dengan kehadiran Baso (Billy Sandy), Atang (Rizky Ramdani), Said (Ernest Samudera), Raja (Jiofani Lubis), dan Dulmajid (Aris Putra). Mereka berenam kerap berkumpul di bawah menara masjid dan menamakan diri mereka sebagai “Sahibul Menara”.

Tidak seperti Laskar Pelangi yang mempunyai grafik konflik yang tergambar dengan tegas, Negeri 5 Menara cenderung adem ayem dalam bertutur, mengalir dengan tenang bagaikan tengah menaiki sebuah perahu yang melintasi sungai dengan pemandangan yang menyejukkan mata ditemani dengan rekan-rekan yang menyenangkan. Meski tenang tanpa tantangan, perjalanan tersebut tak terasa membosankan. Konflik batin yang dihadapi Alif pun tidak lama-lama dibahas, segera terselesaikan ketika film memasuki menit ke-20. Selebihnya, Affandi Abdul Rachman menyuguhkan tentang suka duka menjadi santri pondok yang sejujurnya cukup membuat saya tergoda untuk menjajalnya. Demi mempertahankan mood penonton, maka dirasa perlu membuat cabang cerita baru. Baso yang tidak terlalu pandai dalam Bahasa Inggris diminta rekan-rekannya untuk mengikuti lomba pidato Bahasa Inggris, atau ketika Alif menjadi wartawan di Koran pondok dan terkesima dengan kecantikan Sarah (Eriska Rein), keponakan dari Kyai Rais (Ikang Fawzi). Ditampilkan secara jujur nan polos, cabang-cabang ini sanggup menggelitik penonton. Kedekatannya dengan kehidupan kita menjadikan Negeri 5 Menara terasa membumi dan lezat untuk disantap. Tertawa geli melihat para santri dihukum oleh Ustadz mereka lantaran telat ke masjid, grogi saat berhadapan dengan santriwati, atau the power of kepepet, ide-ide cerdas yang muncul saat kepepet. Ada dua kemungkinan saat penonton tergelak; heran melihat kelakuan para santri atau pengalaman pribadi.

Namun dari semua itu, Negeri 5 Menara memberikan sebuah mentera sakti bagi siapapun yang ingin mencapai kesuksesan. Di kelas hari pertamanya, Alif dikenalkan dengan mantera “Man Jadda Wajada!” oleh Ustad Salman (Donny Alamsyah), yang berarti siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Disinilah yang membedakan Negeri 5 Menara dengan film sejenis bertema “zero to hero” yang menyoroti perjuangan siswa dari kampung menjadi orang sukses. Segala sesuatu yang ada di dunia tidak dapat diraih secara instan, butuh perjuangan yang seringkali penuh lika liku. Sahibul Menara memiliki impian untuk menaklukkan dunia. “Kita bikin janji di menara ini, nanti kita akan bertemu dan foto dengan menara kita masing-masing,” kata Baso kepada rekan-rekannya. Impian dari Sahibul Menara tidak diperlihatkan mendadak tercapai begitu saja. Beberapa kali mereka meneriakkan mantra “Man Jadda Wajada” tatkala hati mulai dipenuhi dengan keraguan.

Sekalipun berasal dari sebuah pesantren yang tidak terlalu terkenal, Sahibul Menara tidak segan memiliki impian yang besar. Seperti yang pernah dikatakan oleh seorang bijak, “jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apapun. Sesungguhnya Tuhan Maha Mendengar.” Sayangnya, keterbatasan durasi memaksa Affandi Abdul Rachman memangkas proses perjuangan tokoh-tokoh kesayangan kita ini dalam menggapai sukses. Endingnya muncul secara prematur. Saat layar tiba-tiba menghitam memunculkan nama-nama di jajaran pemain dan kru, secara spontan saya nyeletuk, “gitu doang?”. Endingnya terasa datar dan janggal. Bagaikan tengah menaiki roller coaster yang memacu adrenalin, ternyata kita hanya dibawa dalam satu putaran saja. Tak puas, menginginkan lebih. Pun begitu, Affandi Abdul Rachman dan Salman Aristo telah berhasil menyuguhkan salah satu tontonan terbaik di awal tahun. Lucu, mengharukan, dan inspiratif. Negeri 5 Menara sayang untuk dilewatkan begitu saja.

Acceptable

Minggu, 11 Maret 2012

REVIEW : THE ARTIST


"I won't talk! I won't say a word!" - George Valentin

Sesuatu yang wajar jika kita menyebut Michel Hazanavicius sebagai sutradara sinting. Bagaimana tidak, di era ketika para sineas dunia mengeksplorasi kecanggihan teknologi dengan pemanfaatan 3D serta efek khusus secara gila-gilaan, Hazanavicius justru nekat membesut sebuah film bisu dan hitam putih. Sebuah pertaruhan yang sangat berani. Siapa yang rela menyisakan waktu dan uangnya demi menyaksikan sebuah film hitam putih nan bisu selain para kritikus dan penggila film? Rasanya, The Artist pun tidak akan sepopuler sekarang apabila Academy tidak mengganjarnya dengan 5 piala Oscar, termasuk
Film Terbaik. Bukan bermaksud pesimis, hanya mencoba untuk bersikap realistis. Ketika 21 Cineplex merilisnya di bioskop-bioskop besar jaringannya, masih dirasa perlu bagi mereka untuk mencantumkan peringatan kepada calon penonton melalui poster, “film ini hitam putih dan tanpa dialog”, sebagai antisipasi agar peristiwa “ganti rugi karena merasa tertipu” seperti yang terjadi di Inggris tidak kembali terulang. Dengan peringatan seperti ini, belum apa-apa banyak masyarakat yang merasa terintimidasi. Sungguh disayangkan, padahal The Artist adalah sebuah film yang luar biasa indah.

The Artist membahas mengenai era kejayaan film bisu, masa transisi ke film bersuara hingga bagaimana seorang aktor film bisu menyikapi masa transisi ini. Aktor film bisu yang dimaksud adalah George Valentin (Jean Dujardin), seorang aktor yang menyerupai George Clooney di masa kini yang film-filmnya senantiasa mencetak box office dan para penggemar mengelu-elukannya. Hidupnya bisa dibilang sempurna, dia telah memiliki semua apa yang dibutuhkan. Entah karena sombong atau tak siap, ketika pemilik studio, Al Zimmer (John Goodman), mengutarakan niatnya untuk membuat film bersuara, Geroge Valentin justru tak menganggapnya serius. Dia tetap keukeuh bahwa film bisu masih diminati. Didepak dari studio, George Valentin membuat film bisunya sendiri di tengah terjangan film bersuara yang digila-gilai. Anak didiknya, Peppy Miller (Berenice Bejo), kian melejit karirnya, sementara Valentin perlahan mulai dilupakan setelah filmnya flop. “Saatnya memberi jalan pada yang muda,” begitu ujar Peppy. Hidupnya pun hancur. Istri yang dicintainya, Doris (Penelope Ann Miller) pergi meninggalkannya. Hanya anjing peliharaannya, Jack, dan si supir, Clifton (James Cromwell) yang masih setia mendampingi.

Pernahkah Anda menitikkan air mata saat menonton sebuah film karena saking indahnya? Saya pernah beberapa kali, dan The Artist adalah salah satunya. Film arahan sutradara Prancis, Michel Hazanavicius, ini tidak hanya indah, tetapi juga unik, cerdas, lucu, lembut, dan menyentuh. Tanpa perlu memaksa para pemainnya merengek-rengek sesenggukan, air mata penonton tetap berhasil tumpah. Bahkan untuk pertama kalinya, di bioskop Semarang, saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri bagaimana The Artist sanggup membuat sebagian besar penonton terharu dan, yang lebih luar biasa lagi, memberikan standing ovation setelah film berakhir! Sebuah pemandangan yang langka. Tidak menyangka efeknya akan sebesar itu. Hanya dengan bermodalkan cerita yang sederhana dan intertitle sebagai pengganti dialog, Hazanavicius sanggup membuat penonton terkoneksi dengan film arahannya. Sekalipun ini adalah film bisu, bukan berarti The Artist sepi total yang menyebabkan suara Anda saat berbisik di dalam studio terdengar bagaikan Dolby Digital. Musik gubahan Ludovic Bource yang menawan menemani sepanjang perjalanan Anda menyaksikan sekelumit sejarah film bisu.

Beruntung The Artist diperkuat oleh pemain-pemain yang hebat. Jean Dujardin sanggup mengaduk-aduk emosi penonton, memberikan perasaan yang tidak menentu kepada Valentin. Terkadang dia adalah sebuah karakter yang menyenangkan, tetapi terkadang menyebalkan luar biasa terutama saat dia menolak bergabung dengan generasi anyar, namun dia pun sebenarnya patut dikasihani. Pesonanya yang kuat mengingatkan pada Humphrey Bogart dan Douglas Fairbanks. Sementara Berenice Bejo tampil enerjik sebagai gadis muda penuh mimpi yang ceria dan menyenangkan, Peppy Miller. Bintang pendukungnya tidak terlalu menonjol karena tertutup oleh pesona Dujardin dan Bejo, kecuali Uggie yang memerankan Jack si anjing yang sangat setia kepada majikannya. Mungkin bagi sebagian penonton akting dari Dujardin maupun Bejo terkesan berlebihan, dan naskahnya pun klise tiada tara bak melodrama kebanyakan. Jika Anda termasuk salah satunya, ada baiknya menjajal ‘film bisu beneran’ terlebih dahulu sebelum menyaksikan The Artist. Ini adalah sebuah homage terhadap era film bisu yang terbungkus elegan dan berusaha untuk setia kepada ‘tuannya’ layaknya Clifton dan Jack.

Salah satu wujud kesetiaan Hazanavicius nampak pada tempo film yang mengalir ringan menyenangkan bak film bisu Hollywood tahun 1920-an, sekalipun ini sebenarnya adalah produksi Prancis yang terkenal lambat dalam menuturkan alur film-filmnya. Selain itu, film ini pun dibuat menggunakan aspek rasio layar 1.33:1 yang umum digunakan oleh film bisu. Dan saya ingin mengatakan kepada para pembaca yang budiman bahwa saya tidak sekalipun mengintip jam tangan! Bukti bahwa saya sangat menikmati film ini. Rasanya saya ingin menontonnya lagi, lagi, dan lagi. Sayangnya belum sempat saya mewujudkan keinginan saya, The Artist sudah tergusur dari bioskop. Menontonnya ulang di layar laptop atau televisi tidak akan memberikan pengalaman menonton yang sama. The Artist lebih enak dinikmati di layar bioskop. Sungguh pedih melihat film sebrilian ini kurang diminati oleh masyarakat hanya karena ini adalah ‘film bisu dan hitam putih’. Cobalah terlebih dahulu, Anda dijamin tidak akan menyesalinya. Bukankah ada pepatah yang mengatakan bahwa ‘silence is golden’? Dan pepatah itu cocok sekali diberikan kepada The Artist. What a wonderful movie to celebrate cinema!

Outstanding