Senin, 27 Juni 2011

REVIEW : MILLI & NATHAN


Sudah tak terhitung berapa jumlah film romantis yang mengangkat tentang kisah cinta anak SMA. Biasanya dimulai dengan permusuhan si cewek dengan si cowok, atau bisa saja mereka berdua adalah sahabat kental. Saling ledek dan caci maki, namun diam-diam sebenarnya saling lirik. Dalam hati berkata, “aku mencintaimu.” Karena tak bisa mengungkapkan, maka yang muncul berkebalikan dengan kata hati. Dan, formula ini selalu diulang di hampir semua film romantis, khususnya yang ditargetkan untuk remaja. Keahlian penulis naskah dalam meracik naskah sangat diperlukan disini karena premis yang diangkat sudah sangat umum dan jika tidak ditangani secara tepat, kisah romantis yang sangat klise dengan akhir yang sangat bisa ditebak adalah hasil akhirnya. Milli & Nathan, sebagai sebuah film romantis, memakai plot klasik tersebut. Titien Wattimena bersama Hanny R Saputra mengemban tugas berat agar Milli & Nathan tidak menjadi tontonan pengantar tidur dengan naskah yang basi.

Yang menjadi kekuatan utama dari Milli & Nathan adalah akting Olivia Lubis Jensen yang memesona. Karakter Milli terlihat begitu hidup dibawakan olehnya. Sulit untuk tidak mencintai Milli. Sepertinya asyik memiliki teman seperti Milli. Milli digambarkan sebagai seorang gadis yang ceria dan sangat santai dalam menikmati hidup. Sekolah bukan menjadi prioritasnya, hanya sekadar untuk mengisi waktu atau menghindari status pengangguran. Sifat Milli yang kelewat santai ini sering membuat gemas sahabatnya, Nathan (Chris Laurent), yang super serius. Tidak heran jika keduanya sering ribut. Walaupun Milli dan Nathan memiliki sifat yang saling bertolak belakang, cinta bersemi diantara keduanya. Kisah cinta antara Milli dan Nathan sedikit banyak mengingatkanku kepada Nam dan Shone dalam Crazy Little Thing Called Love. Bedanya, Nathan memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya kepada Milli tanpa harus menunggu bertahun-tahun. Disini, Hanny R Saputra menggiring penonton ke sejumlah adegan romantis nan cheesy yang memperlihatkan kemesraan hubungan Milli dan Nathan. Bagi yang pernah merasakan cinta monyet saat SMA akan tersipu malu dan tersenyum karena teringat dengan masa-masa pacaran yang indah.

Sayangnya, hubungan Milli dan Nathan tidak berlangsung lama. Saat masa SMA berakhir, mereka putus. Nathan fokus pada studinya, sementara Milli ingin meraih impiannya menjadi seorang penulis. Meski begitu, mereka tetap berkomunikasi dengan baik. Pada titik ini, Nathan terlihat seperti Hari dalam Hari Untuk Amanda. Setelah menjalani waktu yang menyenangkan bersama Milli, dia ingin mereka rujuk. Nathan memang tidak digambarkan sebagai cowok brengsek dan hanya menginginkan kesenangan saja layaknya Hari, tapi dia seperti tidak yakin dengan suara hatinya dan cenderung enggan mengambil resiko. Milli menolak kembali ke pelukan Nathan. Selain telah memiliki Oscar (Fendy Chow), dia juga tidak yakin apakah Nathan benar-benar telah yakin dengan pilihannya. Seakan ada pesan yang ingin disampaikan oleh Titien Wattimena sehubungan dengan perkembangan karakter Milli dan Nathan. Kesuksesan tidak selalu berbanding lurus dengan prestasi akademis. Yang terpenting adalah keberanian untuk mengambil resiko dan percaya dengan kemampuan diri sendiri. Nathan tentu tidak pernah menyangka jika Milli akan memiliki masa depan yang lebih baik darinya. Milli percaya dan mantap dengan kata hatinya, sementara Nathan dipenuhi keraguan.

Dengan chemistry yang terjalin apik antara Olivia Lubis Jensen dan Chris Lauren serta cukup banyaknya dialog-dialog cerdas, Milli & Nathan adalah sebuah tontonan yang cukup menyegarkan. Tidak kelewat membanyol dan tidak juga kelewat cengeng seperti Satu Jam Saja. Takarannya pas. Namun sayangnya, kesalahan yang terjadi di kebanyakan film Indonesia kembali terulang. Penyelesaian masalahnya terkesan terlalu terburu-buru dan digampangkan. Endingnya yang sangat klise membuat saya kesal. Apa tidak ada cara lain yang lebih segar, realistis dan greget? Penonton seolah dipermainkan. Maka jangan heran jika saya begitu memuja Hari Untuk Amanda. Salman Aristo dan Ginatri S. Noer mengakhiri kisahnya dengan dewasa dan manis. Seandainya Titien Wattimena sedikit lebih berani dalam mengambil resiko, mungkin Milli & Nathan akan lebih mengesankan. Penyelesaian kisah Milli sudah apik, sayang kisah Nathan diakhiri dengan klasik. Bahkan sejak pertengahan film sudah bisa ditebak bagaimana akhir dari kisah percintaan Milli dan Nathan. Ya, memang tidak ada gading yang tidak retak.

Acceptable

Trailer :

Kamis, 23 Juni 2011

REVIEW : INSIDIOUS


"It's not the house that is haunted. It's your son." - Elise

Kapan Anda terakhir kali menonton film horror buatan Hollywood yang menakutkan? Kalau saya, ketika menyaksikan Drag Me to Hell di bioskop. Film olahan Sam Raimi ini berhasil memadukan horror dan komedi dalam takaran yang pas sehingga menghasilkan tontonan yang tidak hanya mencekam tetapi juga mengundang gelak tawa. Sejak itu, tak ada lagi film horror dari US yang berhasil membuat saya menjerit-jerit di bioskop. Buried terpaksa saya kesampingkan karena efek yang dihasilkan lebih kepada tekanan secara psikologis, bukan sebuah film yang menyenangkan untuk ditonton. Nah, kehadiran Insidious ini mampu mengobati kerinduan saya terhadap film horror supernatural bergaya klasik yang mengasyikkan. Apalagi buatan lokal sama sekali tidak bisa diandalkan. Memiliki tampilan poster, trailer dan sinopsis yang kurang meyakinkan, pada kenyataannya Insidious justru menjelma menjadi sebuah tontonan yang sangat mencekam dari awal hingga akhir. Proyek kolaborasi terbaru dari pencetus film sakit, Saw, James Wan dan Leigh Whannell ini sangat tidak saya sarankan untuk ditonton oleh mereka yang lemah jantung, sedang hamil dan penonton dibawah umur.

Siapa bilang film horror harus bersetting di sebuah rumah tua yang sudah reyot dan jauh dari pemukiman penduduk? Seperti yang dilakukan oleh Oren Peli dalam Paranormal Activity, Wan dan Whannell mendobrak aturan tak tertulis dari film horror. Mereka seakan ingin mengatakan, "hey, rumah modern di pemukiman padat penduduk pun bisa berhantu!." Ya, setting yang dipakai memang modern, namun jangan bayangkan rumah keluarga Lambert ini mewah. Interior ruangannya klasik, menyimpan banyak lorong dan ruangan yang misterius. Pencahayaannya pun hampir selalu remang-remang. Menghemat listrik? Bisa jadi, apalagi Josh (Patrick Wilson) dan Renai (Rose Byrne) baru saja pindahan bersama ketiga anak mereka. Di rumah yang terlihat cantik namun misterius ini, mereka siap untuk menjalani hidup yang lebih baik. Namun tentu saja segalanya tidak berjalan dengan semestinya. Anak mereka, Dalton (Ty Simpkins) terjatuh dari tangga ketika 'menjelajah' loteng dan mendadak koma. Dokter tidak menemukan ada sesuatu yang salah dalam tubuh Dalton. Lantas apa yang terjadi dengan Dalton?


Renai mulai merasakan berbagai kejanggalan semenjak Dalton koma. Seperti ada yang sedang mengawasi gerak-geriknya. Josh menjadi kerap lembur, membuat Renai terperangkap sendirian di rumah. Ketika segalanya semakin tak terkendali, Renai menuntut Josh untuk pindah rumah. Apakah itu berarti teror yang dihadapi oleh Renai berakhir begitu saja? Tidak, karena menurut Elise (Lin Shaye), seorang cenayang, bukan rumah mereka yang dihantui, tetapi Dalton! Saat Renai memekerjakan dua ghostbuster, Specs (Leigh Whannell) dan Tucker (Angus Sampson), saya mengira Insidious akan berubah menjadi film horror yang mudah ditebak. Tingkah laku mereka yang menggelikan dimaksudkan untuk mencairkan ketegangan penonton. Lumayan berhasil. Namun sejak kehadiran mereka dan Elise, tensi ketegangan justru semakin meningkat dan meningkat. Josh yang awal kemunculannya terlihat hanya sebagai pelengkap saja ternyata memegang peranan penting menuju ending. Teror yang dihadapi oleh Renai dan penonton di rumah baru ini nyatanya malah justru lebih parah dan mencekam ketimbang sebelumnya. James Wan tidak akan membiarkan Anda duduk tenang di kursi bioskop.

Sesungguhnya, Insidious tidak dilengkapi naskah yang istimewa. Kesuksesan dalam membuat penonton menjerit ketakutan karena Wan pintar menciptakan atmosfir yang pas. Belum lagi musik gubahan Joseph Bishara yang mendukung. Terdengar berisik dan kuno, namun efektif. Grafik ketegangan sempat menukik turun saat penonton mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan Dalton dan sosok apa yang menghantuinya. Tapi lagi-lagi, Insidious tidak berakhir begitu saja. Wan dan Whannell masih menyisipkan sejumlah twist yang pasti membuat Anda gemas dan lemas. Jantung terus digedor hingga credit title benar-benar berakhir. Alunan lagu dari Tiny Tim, Tiptoe Through The Tulips mendukung segalanya. Jika Anda, setelah menyaksikan film ini, berani tidur dalam kegelapan dan bercermin, maka saya acungi dua jempol. Karena saya dibuat lemas tak berdaya setelah menonton Insidious. Kesalahan saya, tidak memersiapkan jantung dengan baik dan terlalu meremehkan film horror buatan James Wan ini. Insidious adalah bukti film horror yang sangat menakutkan tanpa perlu dibanjiri dengan bergalon-galon darah, potongan tubuh dan ketelanjangan.

Exceeds Expectations

Trailer


Senin, 20 Juni 2011

REVIEW : SIN NOMBRE

Di tahun 2003, ditemukan sebuah truk yang berisi sekitar 80 imigran gelap yang terkunci dan dibuang di Texas. Sembilan belas diantaranya dalam kondisi tak bernyawa. Konon, peristiwa inilah yang menjadi inspirasi sutradara debutan, Cary Joji Fukunaga, dalam melahirkan Sin Nombre. Sebuah film yang indah dan menyentuh tentang perjuangan sekelompok imigran gelap demi menggapai sesuatu yang dikenal sebagai 'American Dream'. Untuk mencapainya, mereka harus sukses melewati sebuah kawasan bernama El Norte atau Utara. Sukses atau runtuhnya impian ditentukan disini. Jika beruntung, American Dream akan selangkah lebih dekat, namun jika gagal, akan dideportasi atau malah berujung pada kematian. Fukunaga tidak hanya mencoba untuk menuturkan tentang usaha-usaha yang dilakukan oleh para imigran demi melintasi perbatasan, tetapi juga menggambarkan kehidupan masyarakat di Tapachula, Mexico, yang penuh dengan kekerasan terutama disebabkan adanya geng Mara Salvatrucha yang kerap menebar teror. Untuk menyampaikan kisahnya ini, Fukunaga membagi Sin Nombre menjadi dua plot yang berbeda.

Sin Nombre bagaikan Amores Perros versi ringan. Menggunakan penyampaian secara multiplot, Sin Nombre hanya membaginya ke dalam dua segmen saja dan kemudian menyatukannya di pertengahan film, alih-alih ending seperti kebanyakan film sejenis. Dalam kisah pertama, kita dikenalkan pada Willy alias El Casper (Edgar Flores), anggota dari geng Mara Salvatrucha. Casper membawa seorang bocah berusia 12 tahun untuk direkrut menjadi anggota baru geng. Casper mendapat tugas untuk membantu bocah yang mendapat panggilan Smiley ini untuk mengeksekusi anggota dari geng lain agar Smiley secara resmi dapat bergabung dengan Mara Salvatrucha. Sementara itu, Casper menjalin hubungan dengan Martha Marlene. Demi keamanan Martha, Casper merahasiakan hubungannya ini dari Lil Mago (Tenoch Huerta Meija), sang pemimpin. Kerap menghilang secara tiba-tiba dan menunjukkan gerak-gerik yang mencurigakan, Mago mulai meragukan kesetiaan Casper. Kisah kedua fokus pada Sayra (Paulina Gaitan) dari Honduras yang diajak oleh ayah dan pamannya melintasi perbatasan untuk menemui keluarga mereka di New Jersey.

Fukunaga mengaitkan kedua kisah ini di pertengahan film ketika hujan mengguyur deras daratan Mexico. Mago, Smiley dan Casper merampok para imigran gelap yang berada di atas gerbong kereta api. Ketika Mago berusaha untuk memerkosa Sayra, Casper membunuhnya. Dendamnya atas kematian Martha terbalaskan. Casper menyuruh Smiley untuk pergi meninggalkannya. Dari sini, kisah semakin berkembang. Sayra jatuh cinta kepada Casper dan memintanya untuk ikut ke New Jersey. Tanpa diduga, Smiley kembali ke tempat asalnya dan melaporkan kematian Mago. Berusaha mendapatkan posisi yang lebih baik dalam geng, Smiley yang di awal film terlihat polos mengkhianati orang yang 'berjasa' terhadap diterimanya dia dalam geng. Sebagai penonton yang mengharapkan sebuah film dengan akhir happily ever after akan sangat membenci Smiley yang digambarkan sebagai bocah tidak tahu terima kasih. Namun Fukunaga mencoba untuk realistis dan seakan menantang penonton, apakah kamu akan lebih memilih untuk mengkhianati Mara Salvatrucha apabila berada dalam posisi Smiley? Fukunaga bersikukuh menampilkan plot Sin Nombre dengan memegang teguh unsur realisme. Penuh dengan tragedi dan kesedihan, tapi memang seperti itulah kehidupan. Kebahagiaan absolut rasanya hanya ada di negeri dongeng saja.

Perhatikan setiap detail gambar yang ditangkap oleh Adriano Goldman. Fukunaga serius dalam menangani film pertamanya ini dan emoh jika hasil akhirnya hanya berupa potongan-potongan gambar tanpa arti. Disini, Goldman diharuskan memakai kamera film 35mm. Memikirkan bujet produksi yang serba terbatas dan lokasi syuting yang semrawut, agak mengejutkan Fukunaga keukeuh untuk tidak menggunakan hi-def video dalam menyampaikan bahasa gambar. Hasil yang ditampilkan memang sangat sepadan. Tidak hanya gambar menjadi lebih indah dan kaya warna, tetapi juga lebih hidup dan memiliki rasa. Sekalipun Sin Nombre tak ada dialog, gambar akan tetap mampu berbicara banyak. Tidak mengherankan jika duo Fukunaga dan Goldman berjaya di festival film Sundance. Menyoal akting, Edgar Flores dan Paulina Gaitan bermain apik dan meyakinkan. Chemistry yang tumbuh perlahan diantara mereka believable. Reaksi yang ditunjukkan oleh Gaitan menjelang akhir film dalam adegan menyebrang sungai mampu membuat hati saya terasa tersayat-sayat. Sangat meyakinkan. Dengan kombinasi yang sempurna antara naskah, akting dan sinematografi, Sin Nombre menjadi sebuah debut penyutradaraan yang gemilang dari Cary Joji Fukunaga.

Outstanding

Trailer :






Minggu, 12 Juni 2011

INTERVIEW WITH CINE ET CETERA


Cinetariz sangat beruntung bisa mendapat kesempatan emas untuk mewawancarai Cine et Cetera, sebuah production house baru yang namanya melambung setelah film perdana mereka, Yours Truly, menjadi bahan pembicaraan di berbagai situs jejaring sosial. Diwakili oleh komandan Yours Truly, Ian Salim, Cinetariz mendapat sambutan yang sangat hangat. Suatu hal yang jarang saya temui. Bahkan Cinetariz dan Ian Salim (serta Cine et Cetera tentunya) masih menjalin hubungan hingga kini melalui jejaring sosial. Saya sungguh kagum dengan semangat dari bang Ian Salim dalam usahanya untuk memajukan perfilman Indonesia yang bisa dikatakan sedang mengalami penurunan dari segi kualitas saat ini. Hebatnya, Ian Salim mampu membuat film debutnya ini masuk menjadi finalis 10 besar Asian Short Film Festival di Singapura. Prestasi yang sangat membanggakan terutama untuk sutradara debutan :) Congrats ya!

Nah, berikut ini adalah petikan dari wawancara Cinetariz bersama bang Ian Salim yang mewakili Cine et Cetera.

1. Ceritakan sedikit mengenai Yours Truly dan apa yang menarik dari film ini ?
CEC: Yours Truly (YT) adalah film pendek indie yang ultra low budget. YT juga sekaligus produksi pertama dari Cine et Cetera. Dari sudut pandang kami, yang menarik dari film pendek ini adalah pengalamannya, karena ini adalah pengalaman pertama kami bikin film. Tidak ada satupun dari team Cine et Cetera yang punya pengalaman di film, jadi pembuatan filmnya sendiri menjadi pembelajaran buat kami semua sekaligus jadi sesuatu yang asyik.

2. Mengapa kalian memilih untuk membuat film dengan genre psychological horror, dan darimana ide cerita film ini muncul ?
CEC: Alasannya mungkin karena kami memang suka dengan genre psycho-horror dan masih jarang diangkat di Indonesia. Ide awal film ini sederhana sekali, penulis kami Elvira cuma ingin mengangkat plot cowo pendiam, introvert dan agak psikopat yang ketemu dengan cewe cantik tapi bawel dan dominan. Sisanya improvisasi pengembangan plot aja.

3. Butuh waktu berapa lama untuk menyiapkan Yours Truly hingga akhirnya tayang, kendala apa saja yang dihadapi ?
CEC: Mulai dari decide mau jalan project ini, utak atik plot, nulis cerita dan persiapan pre-production, casting kilat dan production (shooting) itu memakan waktu kurang dari 1 bulan. Kendala yang dihadapi? Semuanya kendala hehehe... karena indie, low budget, dan waktunya mepet, itu semua menyulitkan kami yang nol pengalaman di produksi film. Dari sisi penulisan script, kami tidak mengerti nulis script yg baik dan benar, jadi bentuknya malah lebih mirip cerpen hehehe... Dari sisi produksi, kami harus berusaha keras memanfaatkan peralatan dan setting yang seadanya.

4. Apakah sebelum Yours Truly kalian sudah pernah menghasilkan film sebelumnya ?
CEC: Belum pernah. Sama sekali. Beberapa dari kami, backgroundnya cuma dokumentasi event seperti wedding dll. Itu tidak banyak membantu kami di produksi film.

5. Berbicara mengenai Cineetcetera, apa sih Cineetcetera itu Jelaskan sedikit mengenai Cineetcetera, mungkin dari proses terbentuknya hingga segmentasinya.
CEC: Cine et Cetera adalah production house baru yang isinya orang-orang masih minim pengalaman di film. Keinginan kami adalah memproduksi karya-karya film dan multimedia yang seoptimal mungkin hasilnya tapi dengan budget yang tidak terlalu besar. Cine et Cetera dibentuk awal tahun 2011 oleh suami istri Ian Salim dan Elvira Kusno, lalu mengajak beberapa teman untuk bergabung. Segmentasinya tidak ada yang khusus, sementara ini kami memang fokus di genre tertentu seperti horror, fantasy, thriller dan sci-fi tapi tidak menutup kemungkinan untuk genre lain di masa mendatang.

6. Setelah Yours Truly, apa proyek film terbaru kalian ? Ada rencana membuat film panjang ?
CEC: Kita sudah ada sekitar 3-4 project mendatang. Yang paling dekat itu masih film pendek yang sub-genrenya popcorn horror alias film setan hehehe... tapi akan coba kami hadirkan dengan BERBEDA. Ya, kita ada rencana membuat film panjang ... ada yang berminat invest?

7. Kalau boleh tahu, apa film favorit kalian ?
CEC: Tidak ada film yang spesifik favorit kami, tapi yang jelas Ian suka dengan film-film horror (non-gore hehe...) dan misteri. Elvira lebih suka film-film drama.

8. Sebagai pecinta film horror, saya sakit hati dg para sineas 'jenius' yang memperkosa genre ini sehingga terkesan sebagai genre sampah, bagaimana pendapat kalian mengenai hal ini dan (tentunya) kondisi perfilman nasional saat ini ?
CEC: Sebetulnya sah-sah aja kalo memproduksi film dengan tujuan komersial dan mendapat keuntungan semaksimal mungkin. Tapi rasanya sangat tidak bijak kalo dengan tujuan itu lalu dengan cara apapun membuat film-film yang bisa berpengaruh negatif. Tapi juga bukan lalu berarti harus banyak film-film religi atau drama yang menggurui. Sebetulnya masih banyak cara lain untuk bikin film horror yang simple, menghibur sekaligus bisa laku. Itu tergantung pembuat filmnya, mau pake jalan pintas atau sedikit lebih repot aja.

9. Apa arti film bagi kalian ?
CEC: Film itu harus menghibur. Itu harga mati buat kami sebagai pembuat film. Soal bisa belajar sesuatu dll. itu urusan masing-masing penonton.

10. Wah, Terima kasih banyak ya untuk wawancaranya yang menyenangkan. Ada pesan, saran atau kritik untuk Cinetariz ?
CEC: Sama-sama. Pesan kami mungkin cuma berharap akan lebih banyak movie bloggers bermunculan yang mendukung perfilman Indonesia dan bisa review dengan objektif. Terus terang, kami sebagai pembuat film sangat terbantu dengan adanya movie bloggers yang positif mendukung.

Ah, wawancara yang sungguh menyenangkan. Sungguh sayang, bang Ian Salim tidak mau fotonya dipublikasikan di media karena fotonya dianggap tidak layak! *timpuk kemoceng* Padahal bang Ian Salim orangnya cakep lho, para pembaca budiman. Kalian pasti langsung naksir sejak pandangan pertama hihihi (bukan postingan berbayar!) *digorok jeung Elvira*. Anyway, sekali lagi saya ucapkan terima kasih banyak atas kesempatan yang diberikan oleh Cine et Cetera kepada Cinetariz. Semoga tidak hanya Yours Truly yang membumbung tinggi tetapi film-film berikutnya turut mengikuti. Semangat, sukses selalu dan tetap dukung perfilman Indonesia!

Bagi yang belum mengetahui mengenai Yours Truly, bisa baca review dan filmnya DISINI.

Kamis, 09 Juni 2011

REVIEW : BEASTLY

"You have a year to make someone love you, or stay like this for ever." - Kendra

Sementara Red Riding Hood masih ditahan oleh pihak bea cukai, Beastly melenggang masuk dengan mudah. Bisa dimengerti karena distribusi Beastly ditangani oleh importir yang sudah melunasi kewajibannya. Mungkin yang membuat bertanya-tanya adalah, kenapa saya membandingkan Beastly dengan Red Riding Hood? Mudah, karena keduanya berasal dari dongeng anak yang terkenal. Beastly memang mengadaptasi novel berjudul sama karangan Alex Flinn, namun sejatinya ini adalah adaptasi modern dari Beauty and the Beast. Perombakan dilakukan disana sini untuk memuaskan target penonton yang mengincar remaja usia belasan. Para pemainnya pun dipilih yang memiliki wajah yang rupawan. Jika gadis bertudung merah mengandalkan Amanda Seyfried yang sensual, maka si buruk rupa didukung Alex Pettyfer, Vanessa Hudgens dan aktris favorit saya, Mary-Kate Olsen. Sampai sini, Beastly lebih unggul. Menilik raihan box office, Hood terbang lebih tinggi. Lantas bagaimana dengan kualitasnya? Baik Hood dan Beastly tidak memuaskan, tetapi tentu ada yang sedikit lebih baik. Kesalahan tak termaafkan dari sebuah film adalah jika menghadirkan tontonan yang membosankan. Sayangnya, Beastly melakukannya.

Bagi yang pernah menyaksikan Beauty and the Beast, dapat dengan mudah menebak akan dibawa kemana film ini oleh Daniel Barnz. Bayangkan saja petualangan cinta Belle dan Beast dengan setting Manhattan yang padat dan penuh kesibukan. Hilangkan pemikiran bahwa Beast akan ditampilkan dalam sosok monster besar berbulu yang mengerikan dan gantikan dengan pemuda bertubuh atletis yang lebih terlihat seperti penderita kanker alih-alih penerima kutukan berwajah buruk rupa. Dan, tentu saja dia bukan seorang bangsawan. Hanya seorang pemuda kaya yang sombong dan manja yang haus akan kasih sayang orang tua. Kyle (Alex Pettyfer) dianugerahi oleh Tuhan dengan bentuk tubuh yang nyaris sempurna serta otak yang cemerlang. Tetapi dia tidak bisa menyelaraskan pemakaian otak dengan hati. Kerap memandang rendah mereka yang memiliki fisik tidak menarik dan menjadikannya sebagai bahan hinaan. Kendra (Mary-Kate Olsen) menjadi salah satu korbannya. Pilihan yang salah, Kyle, pilihan yang salah. Kendra membuktikan bahwa dirinya bukanlah gadis biasa. Sebagai balasan atas perlakuan Kyle, Kendra menghadiahinya sebuah kutukan yang mengubah Kyle menjadi pemuda buruk rupa. Untuk menghilangkannya, dia kudu mencari seseorang yang mengatakan 'I Love You' dengan tulus kepadanya sebelum satu tahun. Apakah orang tersebut adalah Lindy (Vanessa Hudgens), teman lamanya? Tidak perlu menjadi jenius untuk bisa menebaknya. Ayah Lindy terlibat dalam suatu kasus kriminal dan Kyle 'memerasnya'. Dia ingin Lindy tinggal bersamanya selama beberapa bulan dengan dalih untuk melindunginya.

Beastly adalah sebuah film drama romantis yang penuh dengan hal-hal bercita rasa klise. Tidak ada yang salah dengan klise, penanganan yang tepat akan menghadirkan tontonan dengan dasar naskah yang klise menjadi sesuatu yang menyenangkan. Barnz gagal melakukannya. Film pun berjalan dengan datar, membosankan dan anti-klimaks. Lindy digambarkan sebagai gadis yang bersahaja, menolak pemberian barang-barang mahal nan bermerk dari Kyle. Kyle diperlihatkan sebagai pemuda yang perkasa, mampu membangun sebuah rumah kaca tanpa bantuan siapapun. Oh, please. Norak dan menjengkelkan. Ini terjadi berulang kali, Barnz mencoba untuk berlindung di balik tameng pakem yang harus dipenuhi oleh drama romantis. Dengan minimnya konflik yang dimunculkan, saya menyesali keputusan untuk tidak membawa bantal dan selimut ke gedung bioskop (atau memilih untuk menontonnya di kelas VIP). Siksaan demi siksaan diluncurkan bertubi-tubi. Kelopak mata terasa sangat berat. Berada dalam kelas Contemporary of English Drama menjadi pilihan yang lebih menyenangkan saat itu. Sungguh, saya ingin seseorang menampar saya kala itu.

Yang lebih menjengkelkan, saya ingin menelepon seorang kawan dari klub teater di pertengahan film. Sudah jelas, Alex Pettyfer adalah versi cowok dari Megan Fox. Mengandalkan wajah tampan dan tubuh atletisnya sebagai bahan jualan. Dari Stormbreaker, Tormented, I Am Number Four hingga Beastly, tidak ada perkembangan signifikan yang ditunjukkan oleh Pettyfer, kecuali dia menjadi semakin tampan saja. Duh. Apakah ini berarti saya harus mengirimkan kartu nama Didi Petet kepada dia untuk mengajarinya cara mengolah ekspresi wajah yang baik dan benar? Oh, tunggu dulu, saya harus mengopi kartu namanya dulu karena saya juga harus mengirimkannya kepada Vanessa Hudgens. Astaga, apa yang dilakukan oleh jeung Gabriella Montez disana? Apakah dia telah mengkhianati Troy Bolton yang dianggapnya tidak cukup kaya? Sepertinya, penolakan hadiah itu hanyalah basa-basi semata. Dih. Mari kita langsung temui Mary-Kate Olsen dan Neil Patrick Harris saja. Saran untuk Barnz, kisah cinta antara seorang penyihir dengan pria buta agaknya lebih menarik untuk diangkat. Setidaknya Olsen dan Harris tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Maklum, mereka memiliki jam terbang yang lebih tinggi. Tapi tentu saja itu bukan alasan yang bisa diterima. Chemistry hambar yang ditunjukkan oleh jeng Montez dan pak Rider 'dipermanis' dengan naskah buatan Barnz yang lebih cocok disebut lullaby ketimbang script. Dan, saya pun lebih memilih untuk tidur. Terima kasih.

Poor

Trailer :


Rabu, 01 Juni 2011

REVIEW : SCREAM 4

"You forgot the first rule of remakes; don't fuck with the original!" - Sidney Prescott

Butuh 11 tahun untuk kembali melanjutkan Scream. Wes Craven emoh menggarap Scream 4 jika tidak memiliki naskah yang kuat. Maka proyek yang telah menjadi bahan gossip para pecinta film sejak setahun setelah Scream 3 rilis ini pun terkatung-katung. Bisa dimengerti, Craven dan Bob Weinstein tidak ingin menodai franchise Scream. Apalagi Scream menjadikan film horror sebagai bahan olok-olokkan. Tentu akan sangat ironis jika kemudian kondisi berbalik. Sebagai pionir munculnya film horror remaja; dwilogi I Know What You Did Last Summer, Urban Legend, dan lain sebagainya. memang kurang sepantasnya jika Scream 4 tampil buruk. Minimal, masih sanggup menghibur penonton. Dan apakah keinginan Craven dan jutaan fans franchise ini terpenuhi? Selera tiap orang memang berbeda-beda, namun bagi saya, Scream 4 adalah sebuah hiburan yang menyenangkan. Tidak masalah jika kalian belum pernah menonton prekuelnya karena plot terbilang sederhana. Kalau saya pribadi sih menyarankan kalian untuk menonton Scream 1, 2 dan 3 terlebih dahulu agar feel lebih terasa dan tentunya tahu apa yang dimau Craven dan antek-anteknya.

Woodsboro, 10 tahun setelah ending Scream 3. Sidney Prescott (Neve Campbell) telah menjadi penulis buku yang sukses dan kembali ke kampung halamannya untuk mempromosikan buku barunya. Gale Weather (Courtney Cox) meninggalkan profesinya sebagai reporter demi menikahi Dewey Riley (David Arquette) yang sekarang menjabat sebagai sheriff. Belum sempat ketiganya untuk bereuni atau hanya bertemu sekadar minum teh, tragedi kembali terjadi. Dua gadis SMA ditemukan tewas terbunuh secara mengenaskan. Pelakunya diketahui memakai topeng Ghostface. Sidney dan sepupunya, Jill (Emma Roberts), segera diamankan. Dewey yakin sang pelaku mengincar Sidney. Korban mulai berjatuhan sejak saat itu. Jill dan Kirby (Hayden Panettiere) menyaksikan sahabat mereka dibantai dengan brutal di depan mata kepala mereka sendiri. Masyarakat Woodsboro menyalahkan Sidney atas segala insiden ini. Jill sendiri mencurigai mantan pacarnya, Trevor (Nico Tortorella), yang tak pernah berhenti untuk mengganggunya. Sementara itu, Gale yang kecewa lantaran Dewey menolak untuk diajak kerja sama memutuskan untuk melakukan penyelidikan sendiri. Berbagai bukti menuntunnya ke sebuah gudang tempat diadakannya pesta tahunan penggemar film 'Stab'. Sebelum identitas asli Ghostface berhasil terkuak, Gale diserang.

Naskah buatan Kevin Williamson tergodok dengan sempurna. Setelah Scream 3 berubah menjadi sebuah lawakan, ada kekhawatiran sekuelnya akan bernasib seperti Urban Legends: Final Cut yang lebih konyol daripada ketoprak. Untunglah itu tidak terjadi. Penantian panjang para fans terbayarkan. Tidak mampu melebihi apa yang dihadirkan oleh Scream pertama, Scream 4 tetap tampil lebih baik dari Scream 2 dan 3. Craven mampu menampilkan sejumlah adegan penggedor jantung yang diselingi dengan dialog-dialog jenaka nan menggelitik sebagai pencair ketegangan. Kelucuan berhasil dimunculkan dengan takaran yang pas. Perpaduan yang manis diantara keduanya menghadirkan sebuah tontonan yang tidak hanya seru tetapi juga menyenangkan. Pemakaian sejumlah bintang muda lumayan menyegarkan mata. Ada yang bening-bening diantara tumpahan bergalon-galon darah. Syukurlah, akting mereka tak melempem. Emma Roberts dan Hayden Panettiere justru tampil lebih kuat dibanding Campbell, Cox dan Arquette.

Melihat bagaimana cara Scream 4 mengolok-olok film horror sungguh mengasyikkan. Bagi yang belum mengenal franchise Scream, memang inilah semangat yang diusung oleh Scream. Tidak membanyol seperti Scary Movie, ejekannya lebih bersifat sarkatis. Coba simak dialog yang dilontarkan oleh Kirby yang pecandu film horror atau obrolan iseng antara Perkins (Anthony Anderson) dan Hoss (Adam Brody) mengenai kematian deputi di setiap film horror saat mereka tengah menjaga rumah keluarga Prescott. Adegan yang cerdas. Bagi para penggemar film horror dijamin dibuat terkekeh dengan berbagai adegan yang sengaja dibuat untuk menyentil film horror masa kini yang hampir nol kreativitas. Untuk kali ini, Williamson juga sedikit banyak menyinggung mengenai perilaku remaja masa kini. Inilah mengapa saya begitu mencintai franchise Scream. Meskipun dibangun dengan plot yang klise, namun sindirannya hampir tak pernah meleset. Belum lagi opening dan ending-nya tak pernah mengecewakan. Teori mengenai pelaku pembunuhan di Scream 4 yang saya bangun sejak pertengahan film nyatanya hanya 50 % akurat. Lagi-lagi saya tertipu! Oh iya, sangat disarankan untuk menyaksikan Scream 4 di layar bioskop. Sound yang mengejutkan, adegan pembunuhan yang tergambar dengan detail serta pekikan-pekikan para penonton cewek dijamin membuatnya terasa lebih seru. Usahakan pula jangan datang terlambat. Kalian akan sangat menyesal jika telah melewatkan 15 menit pertama film ini. Sangat jenius. Salah satu opening scene terbaik dalam satu dekade terakhir!

Trailer :