Senin, 20 Juni 2011

REVIEW : SIN NOMBRE

Di tahun 2003, ditemukan sebuah truk yang berisi sekitar 80 imigran gelap yang terkunci dan dibuang di Texas. Sembilan belas diantaranya dalam kondisi tak bernyawa. Konon, peristiwa inilah yang menjadi inspirasi sutradara debutan, Cary Joji Fukunaga, dalam melahirkan Sin Nombre. Sebuah film yang indah dan menyentuh tentang perjuangan sekelompok imigran gelap demi menggapai sesuatu yang dikenal sebagai 'American Dream'. Untuk mencapainya, mereka harus sukses melewati sebuah kawasan bernama El Norte atau Utara. Sukses atau runtuhnya impian ditentukan disini. Jika beruntung, American Dream akan selangkah lebih dekat, namun jika gagal, akan dideportasi atau malah berujung pada kematian. Fukunaga tidak hanya mencoba untuk menuturkan tentang usaha-usaha yang dilakukan oleh para imigran demi melintasi perbatasan, tetapi juga menggambarkan kehidupan masyarakat di Tapachula, Mexico, yang penuh dengan kekerasan terutama disebabkan adanya geng Mara Salvatrucha yang kerap menebar teror. Untuk menyampaikan kisahnya ini, Fukunaga membagi Sin Nombre menjadi dua plot yang berbeda.

Sin Nombre bagaikan Amores Perros versi ringan. Menggunakan penyampaian secara multiplot, Sin Nombre hanya membaginya ke dalam dua segmen saja dan kemudian menyatukannya di pertengahan film, alih-alih ending seperti kebanyakan film sejenis. Dalam kisah pertama, kita dikenalkan pada Willy alias El Casper (Edgar Flores), anggota dari geng Mara Salvatrucha. Casper membawa seorang bocah berusia 12 tahun untuk direkrut menjadi anggota baru geng. Casper mendapat tugas untuk membantu bocah yang mendapat panggilan Smiley ini untuk mengeksekusi anggota dari geng lain agar Smiley secara resmi dapat bergabung dengan Mara Salvatrucha. Sementara itu, Casper menjalin hubungan dengan Martha Marlene. Demi keamanan Martha, Casper merahasiakan hubungannya ini dari Lil Mago (Tenoch Huerta Meija), sang pemimpin. Kerap menghilang secara tiba-tiba dan menunjukkan gerak-gerik yang mencurigakan, Mago mulai meragukan kesetiaan Casper. Kisah kedua fokus pada Sayra (Paulina Gaitan) dari Honduras yang diajak oleh ayah dan pamannya melintasi perbatasan untuk menemui keluarga mereka di New Jersey.

Fukunaga mengaitkan kedua kisah ini di pertengahan film ketika hujan mengguyur deras daratan Mexico. Mago, Smiley dan Casper merampok para imigran gelap yang berada di atas gerbong kereta api. Ketika Mago berusaha untuk memerkosa Sayra, Casper membunuhnya. Dendamnya atas kematian Martha terbalaskan. Casper menyuruh Smiley untuk pergi meninggalkannya. Dari sini, kisah semakin berkembang. Sayra jatuh cinta kepada Casper dan memintanya untuk ikut ke New Jersey. Tanpa diduga, Smiley kembali ke tempat asalnya dan melaporkan kematian Mago. Berusaha mendapatkan posisi yang lebih baik dalam geng, Smiley yang di awal film terlihat polos mengkhianati orang yang 'berjasa' terhadap diterimanya dia dalam geng. Sebagai penonton yang mengharapkan sebuah film dengan akhir happily ever after akan sangat membenci Smiley yang digambarkan sebagai bocah tidak tahu terima kasih. Namun Fukunaga mencoba untuk realistis dan seakan menantang penonton, apakah kamu akan lebih memilih untuk mengkhianati Mara Salvatrucha apabila berada dalam posisi Smiley? Fukunaga bersikukuh menampilkan plot Sin Nombre dengan memegang teguh unsur realisme. Penuh dengan tragedi dan kesedihan, tapi memang seperti itulah kehidupan. Kebahagiaan absolut rasanya hanya ada di negeri dongeng saja.

Perhatikan setiap detail gambar yang ditangkap oleh Adriano Goldman. Fukunaga serius dalam menangani film pertamanya ini dan emoh jika hasil akhirnya hanya berupa potongan-potongan gambar tanpa arti. Disini, Goldman diharuskan memakai kamera film 35mm. Memikirkan bujet produksi yang serba terbatas dan lokasi syuting yang semrawut, agak mengejutkan Fukunaga keukeuh untuk tidak menggunakan hi-def video dalam menyampaikan bahasa gambar. Hasil yang ditampilkan memang sangat sepadan. Tidak hanya gambar menjadi lebih indah dan kaya warna, tetapi juga lebih hidup dan memiliki rasa. Sekalipun Sin Nombre tak ada dialog, gambar akan tetap mampu berbicara banyak. Tidak mengherankan jika duo Fukunaga dan Goldman berjaya di festival film Sundance. Menyoal akting, Edgar Flores dan Paulina Gaitan bermain apik dan meyakinkan. Chemistry yang tumbuh perlahan diantara mereka believable. Reaksi yang ditunjukkan oleh Gaitan menjelang akhir film dalam adegan menyebrang sungai mampu membuat hati saya terasa tersayat-sayat. Sangat meyakinkan. Dengan kombinasi yang sempurna antara naskah, akting dan sinematografi, Sin Nombre menjadi sebuah debut penyutradaraan yang gemilang dari Cary Joji Fukunaga.

Outstanding

Trailer :






Tidak ada komentar:

Posting Komentar