Sabtu, 30 April 2011

NOSTALGIA BIOSKOP - BIOSKOP JADUL

Saya memang tergolong telat mencintai film, walau jika ditilik dari segi usia tergolong masih muda (dan imut tentunya). Awal kecintaan pada film sebenarnya berawal dari saya jatuh cinta setengah hidup kepada bioskop. Lebih tepatnya adalah tur bioskop. Yang berjasa mengenalkan bioskop kepada saya adalah ayah saya (sekarang beliau menyesalnya habis - habisan setelah anaknya yang imut ini menjadi movie freak hohoho *benerin alis*). Dimulai dari iklan bioskop di surat kabar, entah bagaimana ceritanya saya kemudian tergila - gila untuk menyambangi setiap bioskop yang namanya tercantum di iklan tersebut. Di usia sekitar 7 tahun, kalau tidak salah, saya sudah mengunjungi setiap bioskop di Surabaya, Malang, Semarang, Solo dan Kudus. Oh yeah! *bangga bener dah* Hobi ini berlanjut hingga sekarang. Namun yang paling saya sukai adalah saat mendatangi bioskop non-21 dan lokasinya tidak berada dalam mall. Ada rasa yang berbeda. Meski terkadang fasilitasnya kurang bagus dan kondisinya sudah amit - amit, tapi ada perasaan tersendiri berada di gedung bioskop independen. Yang paling terasa bagi saya adalah sensasi menonton di bioskop. Saat saya menonton sebuah film di bioskop dalam mall, terasa ada yang kurang. Namun saat berada dalam bioskop independen (maksudnya disini tidak mengikuti mall), terasa memuaskan, mengesampingkan bioskopnya mewah atau terlihat hampir runtuh.

Di era dimana bioskop dikuasai oleh satu grup saja, ada rasa kangen terhadap bioskop - bioskop jadul yang bukan berasal dari perusahaan raksasa. Saat saya pertama kali mengenal bioskop, itu adalah masa - masa kritis perbioskopan Indonesia. Perfilman dikuasai oleh film - film syur, bioskop banyak yang mulai hancur. Walaupun belum sepenuhnya mengerti film, di era ini saya mengenal nama - nama seperti Sally Marcelina, Indah Febrizha, Liza Chaniago hingga yang impor macam Pheng Tan dan Francoise Yip, hihihi *pasang muka polos* Mengenang masa itu, saya jadi teringat dengan bioskop Empire di Kudus. Bisa dibilang, saya pelanggan setia disana. Dari kelahiran hingga ajal menjemput, saya setia menemani. Waktu masih berjaya, film - film yang diputar disini lumayan update, bahkan memiliki AC. Pengunjung pun ramai. Namun memasuki tahun 2000-an, Empire mulai terseok - seok. Dari 4 studio, sisa 2 studio diserahkan kepada film lokal atau film China yang 'sumuk' (baca : panas). Pengalaman menonton yang buruk pun mulai saya rasakan. Kala itu, saya emosi setiap selesai menonton. Namun jika pengalaman ini diceritakan kepada teman - teman, saya malah ngakak sejadi - jadinya dan kangen dengan Empire. Dimulai dari Fantasi, sekitar tahun 2005. Saat itu saya menontonnya untuk kedua kalinya. Apa yang terjadi saudara - saudara ? Setiap para pemainnya mulai melantunkan lagu, sound-nya ngelokor (duh, apa ya bahasa Indonesia-nya ? Pokoknya suara kaset yang rusak). Parah amat. Waktu nonton Kala, gambarnya buram. Chika, banyak adegan yang dipotong biar durasi pas. Namun yang paling parah ketika nonton Get Married. Alamak, suara hujan yang derasnya ampun - ampun terdengar di dalam studio hingga tak bisa mendengar dialognya ! Hebatnya lagi, para penonton kedatangan 'tamu tak diundang' yang seliweran di depan layar. Seekor kucing dengan muka tak berdosanya mengeong dan melenggak - lenggok dengan santainya. Sudah serasa mau pingsan saja. Apalagi ruangannya pengap, tak ada AC. Help me !

Kini, bioskop 'unik' itu sudah wafat. Empire memang mengikuti sebuah mall, namun itu adalah satu - satunya bioskop yang tersisa di Kudus. Ah, jika mengenang masa kecil, betapa lucu dan serunya. Masih ingatkah kalian dengan mobil yang berkeliling kota dengan speaker yang berfungsi sebagai media promosi film - film yang tengah ditayangkan di suatu bioskop ? Setiap saya mendengar suara dari speaker tersebut, biasanya saya langsung lari ke jalan raya untuk mengambil pamflet - pamflet yang disebar. Pernah suatu kali iseng, bisa dapat 20 lembar pamflet dalam sehari, hihi. Pamflet tersebut juga ditempel di beberapa sudut strategis. Jika ditanya benda apa yang pertama kali aku curi, maka saya akan menjawab pamflet bioskop *malu. Di Solo malah lebih unik lagi. Jika Kudus hanya berupa pamflet, maka Solo memiliki poster mini. Medianya pun bukan cuma papan, tapi ditempel di atas toko atau warung yang lokasinya strategis. Disana memuat judul film, nama pemain, bioskop yang memutar dan jam tayang. Tidak semua lokasi hanya berisi info dari satu bioskop, ada beberapa lokasi yang keroyokan dimana meliputi semua bioskop di Solo. Sayangnya sekarang sudah tak bisa ditemui lagi. Sepengetahuan saya, hanya tersisa bioskop Rajawali di Purwokerto dan Dieng di Wonosobo yang masih memakai cara klasik untuk promosi. Entah dengan kota lain. Sekarang bioskop - bioskop besar pun lebih suka memakai iklan di koran atau internet untuk promo. Poster di depan bioskop berbentuk lukisan pun sekarang makin jarang ditemui.

Coba hitung, ada berapa banyak bioskop di Jakarta dan Bandung yang masih mempertahankan poster di luar gedung bioskop ? Saya yakin, jumlahnya tak banyak. Bahkan di Surabaya, ini sudah tak bisa ditemui lagi. Di kota dimana saya tumbuh ini, bioskop independen tak memiliki tempat. Surabaya dan Mitra yang dulu menjadi favorit sekarang sudah tutup dan beralih fungsi. Perhatian penonton beralih ke Sutos. Sungguh disayangkan. Walaupun di Mitra saya sering menjumpai 'sahabat kecil' yang berseliweran kesana kemari, tapi bagi saya ini adalah salah satu bioskop ternyaman di Surabaya. Harga tiketnya pun ramah dengan kantong. Golden yang kembali dengan bentuk baru, Fortuna, juga akhirnya menyerah setelah 9 tahun berjuang. Pada awalnya Fortuna khusus memutar film - film kelas B yang tak kita jumpai di 21. Tapi strategi itu tak berhasil. Sempat terjebak dalam film sumuk, Fortuna bangkit setelah 'bekerja sama' dengan 21. Jika ada bioskop 21 yang berdiri sendiri, maka itu adalah Metropole XXI (Jakarta) dan Empire XXI (Jogja). Siapapun tahu bahwa Metropole adalah bioskop yang bersejarah. Sempat hampir bangkrut hingga akhirnya diselamatkan 21 dan dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya oleh gubernur Jakarta. Empire XXI memiliki kisah yang lain lagi. Bioskop mewah ini dibangun diatas bekas lahan Empire 21 dan Regent yang hangus terbakar secara misterius di tahun 1990-an. Sempat mangkrak bertahun - tahun, lokasi yang menurut warga setempat ini angker, akhirnya dijadikan sebagai XXI pertama di DIY - Jateng. Meski tak mengikuti mall, kedua bioskop ini tak memasang poster lukis di depan gedung. Tulisan XXI / Cinema XXI yang menjadi penanda bahwa ini adalah bioskop.

Hadirnya Empire XXI membawa tumbal. Setidaknya ada 3 bioskop yang gugur semenjak Empire dan Studio (berlokasi di Plaza Ambarukmo) datang. Ketiga bioskop itu adalah Mataram, Indra dan Permata. Mataram sempat berjaya di tahun 1990-an hingga pertengahan 2000-an karena saat itu menjadi bioskop termewah di Jogja paska hancurnya Regent dan Empire. Kondisinya sekarang memprihatinkan, tak terurus dan terlihat seperti rumah hantu. Permata malah lebih mengenaskan. Bioskop yang berdiri sejak 1940-an ini pernah menjadi sebuah fenomena di tahun 60 - 70-an. Saat itu, hampir semua orang mengetahui Permata. Bahkan nama jalan dimana bioskop itu berada, Sultan Agung, kalah populer dan masyarakat lebih suka menyebutnya dengan Permata. Setelah bioskop modern menyerbu Jogja, Permata tenggelam. Bioskop antik ini mungkin tak akan dilirik jika temboknya tidak diselimuti mural. Menjelang akhir hayatnya, Permata memutar film - film sumuk. Sekali waktu saya mencoba menjajal nonton disini. Saya terkejut, interiornya klasik sekali. Penonton pun bebas melakukan apapun di dalam gedung, silahkan mau angkat kaki, membawa jajanan hingga merokok, tak ada yang melarang. Saat itu saya teringat dengan kisah dari orang tua dimana dahulu ada jeda di pertengahan film dan para penjaja makanan memasuki gedung bioskop. Saya geli membayangkannya. Oh iya, penonton pun bisa memasuki ruang operator jika minta izin. Wow, mesin pemutar rol film-nya jadul sekali. Sungguh sayang pemerintah tidak memperhatikan bioskop ini. Kalau pun akhirnya tutup, dialihkan menjadi semacam museum film atau gedung pertunjukkan rasanya lebih pantas ketimbang dibiarkan mangkrak atau malah dirobohkan.

Menonton film di bioskop jadul memang mengasyikkan. Sayangnya, sekarang ini hampir mustahil untuk ditemukan. Belum sempat menjajal asyiknya nonton di bioskop misbar (gerimis bubar) di Malang, eh sudah keburu wafat. Di tempat saya tinggal saat ini, Semarang, tak ada lagi bioskop murah meriah. Papan bioskop memang masih ada, tapi bioskopnya sudah tergolong mewah. E-Plaza (Entertainment Plaza) adalah satu - satunya bioskop lawas di Semarang yang masih bertahan hingga kini, itupun setelah berganti konsep menjadi one stop entertainment. Bioskop sinepleks pertama di Semarang ini agak mengingatkan pada Blitz Megaplex, namun dengan ukuran studio yang hanya sedikit lebih besar dari Movie Box. Malahan Citra 21 yang berlokasi di dalam mall yang memiliki kesan 'klasik'. Disini, saya mengalami 2 kesialan. Rol film kebalik saat nonton Harry Potter and the Goblet of Fire sehingga saya menikmati ending dulu baru klimaks dan listrik mati beberapa kali saat menyaksikan Chika. Apanya yang klasik ? Kursinya, saudara - saudara. Jika kalian kurang beruntung, maka akan menemukan kursi tanpa wadah minuman dan tentu saja, goyangannya. Jangan coba - coba menghantamkan punggung ke kursi dengan keras jika tidak ingin dipelototi penonton lain. Semua penonton yang berada dalam satu deretan akan merasakan hantaman itu dan belum lagi bunyinya yang mengganggu, kiyek kiyek kiyek. Oh, saya sangat merindukan bioskop - bioskop jadul :(

REVIEW : IN A BETTER WORLD


In a Better World, film peraih Oscar untuk kategori Best Foreign Language Film, mungkin tak sepopuler Biutiful di Indonesia. Bahkan meskipun sudah menggondol Golden Globe sebelumnya, film asal Denmark ini masih dianggap sebelah mata dan kalah populer dibanding Dogtooth, Biutiful bahkan Incendies. Namun setelah saya melihat In a Better World, saya mafhum kenapa para juri Oscar memilihnya sebagai pemenang. Saya juga sama sekali tidak keberatan. Berbalut melodrama yang cukup mendayu – dayu, tersimpan berbagai pesan mengenai kehidupan yang menyentil dan disampaikan dengan tidak menggurui. Ada sesuatu yang bisa didapatkan setelah menyaksikan In a Better World. Tampaknya Susanne Bier tidak hanya ingin ‘memberi’ dunia yang lebih baik kepada para karakter di filmnya, tetapi juga kepada para penontonnya. Bagi yang sudah akrab dengan karya – karya Bier tentu sudah akrab dengan cara penyampaiannya. Sekali lagi, setelah After the Wedding yang memukau itu, Bier menambahkan unsur – unsur kemanusiaan ke dalam In a Better World.

Sejatinya film berjudul asli Hǽvnen ini memiliki plot yang sangat sederhana dengan pengemasan yang sederhana pula. Saya bisa saja menuliskan bahwa ini adalah film mengenai persahabatan dua bocah yang merindukan kasih sayang dari orang tua. Namun tentu tak akan menarik jika saya hanya memberi premisnya saja tanpa memberi gambaran bagaimana plot lengkapnya. Dua bocah yang saya maksud adalah Elias (Markus Rygaard) dan Christian (William Jǿhnk Nielsen). Kedua bocah ini mengalami permasalahan yang berat dalam keluarga yang membuat sisi pemberontak dalam diri mereka muncul ke permukaan. Jika Elias bisa dibilang masih agak ‘lembut’, maka Christian sudah dalam tahap ekstrim. Christian bahkan tak segan memukul seorang bocah yang kerap mengganggu Elias dengan sebuah pompa ban dan mengancamnya dengan pisau. Persahabatan antara Elias dan Christian terjalin saat keduanya mulai menyadari bahwa mereka mengalami nasib yang sama. Christian baru saja ditinggal oleh ibunya yang meninggal karena kanker, sementara kedua orang tua Elias sedang berada dalam proses perceraian. Ayah Elias, Anton (Mikael Persbrandt), absen dalam kehidupan Elias demi menjadi dokter sukarelawan di kamp pengungsi Sudan.


Merasa kesepian ditambah dengan orang tua yang acuh tak acuh membuat Elias dan Christian menjadi semakin dekat dan sering kumpul bareng di gedung kosong di pelabuhan. Seiring berjalannya film, penonton menyadari bahwa sesungguhnya dua sahabat ini memiliki sifat yang bertolak berlakang. Elias yang agak penakut ini sebenarnya memiliki sifat pemaaf, namun sikapnya yang labil membuatnya mudah terpengaruh dengan Christian yang pendendam. Kisah mulai memanas tatkala Anton diganggu oleh orang asing yang kasar. Di hadapan Elias dan Christian, Anton mengajarkan pelajaran moral dengan tidak membalas perlakuan kasar orang asing tersebut dan bersedia memaafkannya. Justru Christian yang tersulut. Bersama dengan Elias, dia merencakan untuk membalas dendam dengan meledakkan mobil orang asing tersebut. Kisah persahabatan Elias dengan Christian ini berjalan paralel bersama kisah Anton di Sudan. Menangani pasien – pasien korban kekejaman Big Man, Anton mengalami sebuah dilema saat dimintai pertolongan Big Man yang terluka parah. Meski sangat membencinya, namun jauh di lubuk hatinya dia tidak tega membiarkannya. Anton berharap mungkin bantuan ini bisa mengubah Big Man menjadi manusia yang lebih baik. Tapi apa benar bisa begitu ? Mungkin saja dunia ini bisa menjadi lebih baik jika semua manusia memiliki sikap seperti Anton. Kekerasan memang tak seharusnya dibalas dengan kekerasan karena pada akhirnya itu tak menyelesaikan masalah.

Tapi sebagai manusia, Anton juga tidak sempurna. Pilihan yang harus dihadapi oleh Anton sangat dilematis karena dia harus memilih antara menyelamatkan nyawa jutaan manusia yang tak berdaya dan memberi dukungan moral kepada anaknya. Pada akhirnya, dia memilih opsi pertama yang justru mengakibatkan Elias terkapar di rumah sakit karena Anton lebih sibuk memikirkan nasib korban Big Man yang tidak dikenalnya ketimbang anaknya sendiri. Disini Bier ingin membuka mata penonton bahwa menjadi orang tua itu tidak mudah. Konsekuensinya berat jika melalaikan tugas sebagai orang tua. Apa pilihan Anton bisa dibenarkan ? Anton jelas memiliki hati yang mulia, tapi bukan orang tua yang baik. Di tangan Mikael Persbrandt, Anton terlihat manusiawi. Karakternya menjadi menyebalkan semenjak Anton terlihat lebih peduli dengan korban Big Man ketimbang putranya yang sedang terlibat masalah besar. Kekesalan penonton muncul karena Anton tidak paham mana yang lebih penting untuk diprioritaskan. Memang dibutuhkan sebuah tragedi untuk menyadarkan para orang tua semacam ini. Duet maut antara William Jǿhnk Nielsen dan Markus Rygaard terlihat natural serta believable. Sebagai tokoh kunci di In a Better World, keduanya bermain kuat dan cemerlang. Naskah sederhana nan menyentuh racikan Anders Thomas Jensen berhasil diterjemahkan dengan sempurna oleh Susanne Bier ke bentuk film. Pada akhirnya, In a Better World menunjukkan kepada dunia bahwa tidak perlu biaya dan special effects yang jor joran untuk menarik perhatian para juri Oscar. Yang dibutuhkan hanyalah kisah sederhana dengan pesan yang kuat. Itu saja.


Sabtu, 23 April 2011

REVIEW : THE CLASSIC


Sebelum industri perfilman Korea dikuasai oleh genre thriller / horror dan sageuk, sebelum perfilman Thailand menjulang namanya berkat genre komedi romantis dan sebelum Indonesia memiliki Cintra Fitri yang fenomenal itu, ada suatu masa dimana film romantis membanjiri Korea hingga sulit untuk dibendung. Dari keromantisan yang dicampur bumbu yang menggelikan, mengerikan, menegangkan sampai yang membuat air mata mengucur deras membentuk gelombang tsunami kecil di pipi yang manis, semuanya ada. Pecinta film Asia sepakat jika menyebut sineas Korea sebagai ahlinya dalam menghasilkan film - film yang tearjerker. Mereka adalah sekumpulan orang paling tak berperasaan yang ada di muka bumi ini karena membiarkan para penontonnya menangis sesenggukan dan sakit hati melihat kekejaman mereka dalam menyiksa si tokoh utama. Masa - masa paling indah sekaligus menyakitkan itu mungkin sudah berlalu, tapi kenangannya akan selalu membekas di dalam hati para pecinta film, khususnya pecinta K-movie (halah, kayak udah mati aja..). Dari sekian banyak film Korea romantis yang dilempar ke pasaran sepanjang tahun 2000-an, apa yang paling membekas di ingatan ? Hampir dapat dipastikan mayoritas jawabannya berkutat pada My Sassy Girl, A Moment to Remember atau mungkin Windstruck. Tapi, ada satu film Korea yang keromantisannya mampu membuat saya leleh dan film tersebut jarang diketahui oleh pecinta film. Judulnya, The Classic.

Kwak Jae-yong adalah sutradara The Classic. Bagi yang belum familiar, beliau adalah otak dibalik kesuksesan dua film manis, My Sassy Girl dan Windstruck. Dalam The Classic, Kwak Jae-yong banyak menggunakan teknik bertutur flashback demi menceritakan isi surat yang dibaca oleh Ji-hye (Son Ye-jin). Saat sedang membersihkan rumah, Ji-hye menemukan sebuah kardus yang berisi sejumlah surat tua dan buku harian milik ibunya, Joo-hee. Dari yang awalnya hanya iseng belaka, Ji-hye malah justru menjadi tertarik (atau malah terobsesi ?) dengan tulisan sang ibu. Surat dan buku harian tersebut merupakan curahan hati Joo-hee saat dirinya tengah dihinggapi asmara di masa muda. Dalam kisah dengan setting 1960-an, Joo-hee yang tengah berlibur di rumah pamannya di desa bertemu dengan Joon-ha (Jo Seung-woo). Pertemuan yang singkat itu ternyata membekas di hati keduanya hingga Joo-hee memberinya oleh - oleh berupa sebuah kalung untuk Joon-haa sebelum berpisah. Malang beribu malang. Tatkala Joon-ha dan Joo-hee tampaknya bisa bersatu, Joon-ha menemukan kenyataan bahwa gadis impiannya tersebut hendak dinikahkan dengan Tae-Soo, sahabat karib Joon-ha. Sementara itu, di masa kini, Ji-hye jatuh cinta dengan Sang-min (Jo In-Seong) yang ternyata juga menjadi incaran sahabat Ji-hye, Soo-kyeong. Agaknya kesamaan kisah dengan sang ibu inilah yang membuat Ji-hye tak bisa melepaskan benda kenangan Joo-hee.


Plotnya terdengar agak membingungkan ? Tapi tenang saja, The Classic mudah diikuti kok. Kwak Jae-yong memang kadang suka seenak hatinya merubah setting waktu tanpa peringatan namun itu tak menganggu kenikmatan menonton. Jika biasanya pembeda waktu ditandai dengan warna yang mungkin agak suram, dalam The Classic kita melihatnya melalui kostum para pemain. Yang mungkin akan mengecoh penonton adalah karakter Ji-hye dan Joo-hee, maklum keduanya diperankan oleh aktris yang sama sehingga saat perputaran melibatkan dua karakter ini agak sedikit membuat bingung. Dalam menyaksikan The Classic yang kudu disiapkan adalah sekotak tissue. Ya ya ya, saya akan terdengar lebay, tapi film ini sanggup membuat saya membentuk sungai amazon mini di rumah. Berderai air mata sejak paruh kedua dimulai. Bagi sebagian orang mungkin menganggap apa yang dihadirkan oleh Kwak Jae-yong agak terlalu berlebihan, atau bahkan norak. Tapi apa sih yang diharapkan dari menonton melodrama seperti ini ? Selama penggarapannya bagus, tidak masalah. Adegan - adegan yang akan berakhir menjijikkan di tangan sineas yang salah menjadi sangat romantis di bawah arahan Jae-yong.

Yang sulit dilupakan tentu saja adalah adegan hujan, baik di masa dahulu maupun masa kini. Astaga, sudah berapa kali hujan dimanfaatkan untuk memancing momen romantis ? Disini, Jae-yong membungkusnya dengan sangat cantik, menjadikan adegan yang super klise ini terus dikenang hingga sekarang. Pemilihan soundtrack-nya pun tepat ! Tapi apalah artinya sebuah film romantis jika chemistry para pemainnya payah *tunjuk film sebelumnya, tuh tuh*. Son Ye-jin sangat klop dipasangkan Jo Seung-woo, tarikannya begitu kuat dan sanggup membuat gemas para penonton. Jo In-seong masih terlihat agak kagok namun tetap saja chemistry-nya dengan Son Ye-jin tak bisa dikatakan buruk. Hanya saja saat dia tampil Ye-jin, terlihat seperti kehilangan separuh jiwanya, lemah tak berdaya. Dan, saya hampir saja melupakan sinematografi hasil bidikan Lee Joon-kyoo yang sangat indah itu. Selain adegan hujan - hujanan yang romantis nan menggetarkan hati tersebut, masih banyak sejumlah adegan cantik lainnya yang disuguhkan oleh Lee Joon-kyoo. Selama 127 menit kita tidak akan selalu disuguhi dengan gambar - gambar indah menyejukkan mata yang pasti akan membuat kita kebelet ingin segera terbang ke Korea. Hahhhh... *mulai membayangkan keindahan Korea* Ya, boleh saja The Classic tidak sepopuler dan tidak sesukses karya Kwak Jae-yong yang lain macam My Sassy Girl atau Windstruck, tapi secara keseluruhan, The Classic menawarkan kisah romantis yang lebih mengena dan menyentuh. Sungguh indah.

Exceeds Expectations

Trailer :


REVIEW : THE LAST SONG

"Sometimes you have to be apart from the people you love, but that doesn't make you love them any less. Sometimes it makes you love them more." - Steve

Ada tiga hal yang kerap kita temui saat menonton film yang diadaptasi dari novel buatan Nicholas Sparks. Pertama, kisah cinta yang terlarang antara dua insan 'beda kelas sosial'. Kedua, seseorang yang memiliki arti penting dalam kehidupan sang tokoh utama harus menemui ajalnya sebelum sang tokoh utama mencapai kebahagiaannya. Terakhir, adanya kesalahpahaman yang sebenarnya sederhana namun dibuat terlihat seakan mustahil untuk diselesaikan. Setidaknya ini kita temui dalam The Notebook, A Walk to Remember dan The Last Song. Adaptasi yang lain juga memiliki kesamaan (pada dasarnya semua novel Nicholas Sparks memiliki inti kisah yang sama. Duh.) namun ketiga film tersebut yang kemiripannya paling 'mengerikan'. Untunglah The Notebook dan A Walk to Remember memiliki penggarapan yang apik sehingga penonton masih sanggup dibuai, namun bagaimana dengan The Last Song ? Ditangani oleh sutradara debutan, Julie Anne Robinson, jelas sekali terlihat bahwa film ini mencoba menjual dua bintang utamanya, Miley Cyrus dan Liam Hemsworth, yang memang tengah menjalin hubungan asmara.

Setelah kedua orang tuanya bercerai, Ronnie (Miley Cyrus) berubah. Dia menyalahkan sang ayah, Steve (Greg Kinnear), yang pergi meninggalkannya. Dalam pemberontakannya, dia berhenti bermain piano dan menolak beasiswa ke Julliard karena ingin melepas kenangannya bersama sang ayah. Bahkan surat - surat yang dikirimkan Steve kepadanya tak ada yang digubrisnya. Saat ibunya, Kim (Kelly Preston), mengirim Ronnie dan adiknya, Jonah (Bobby Coleman), ke rumah Steve untuk berlibur musim panas, mau tak mau keduanya mulai berhubungan. Steve mencoba bersikap lunak kepada anak perempuannya ini, tapi Ronnie justru bersikap dingin kepadanya. Jika saja Ronnie tidak bertemu dengan Will (Liam Hemsworth), seorang atlet voli pantai, mungkin musim panas ini akan menjadi mimpi buruk baginya. Setelah sejumlah pendekatan yang dilakukan Will tidak berhasil, gayung akhirnya bersambut tatkala Ronnie menyadari bahwa dia dan Will memiliki banyak kesamaan. Ronnie juga merasa tersentuh melihat perjuangan gigih Will demi mendapatkan cintanya. Pertemuannya dengan Will membuat hubungan Ronnie dan Steve berangsur membaik. Namun tentu dalam film drama romantis semuanya tidak akan berjalan mulus. Orang tua Will yang kaya tampak tidak menyukai Ronnie, mantan pacar Will yang mencoba untuk menjauhkan Ronnie dari Will dan sebuah kenyataan pahit mengenai Steve.


Satu - satunya yang menarik dari film ini adalah settingnya, Georgia. Beruntunglah sang sinematografer, John Lindley, pintar dalam mencari sudut - sudut menarik untuk ditangkap sehingga mata yang lelah menyaksikan The Last Song ini menjadi sedikit melek. Jujur sejujur jujurnya, The Last Song ternyata sama sekali tidak menarik dan jauh dari harapan saya. Selain kecantikan Georgia, tidak ada yang bisa dibanggakan dari film ini. Departemen kasting harus bertanggung jawab karena telah menunjuk Miley Cyrus dan Liam Hemsworth sebagai bintang utama. Jelas sekali Cyrus dan Hemsworth bukanlah pilihan yang tepat untuk mengisi peran Ronnie dan Will. Hemsworth mungkin masih lebih baik, tapi Cyrus tampil mengenaskan dan terlihat kebingungan. Ronnie yang meledak - ledak dan susah diatur ini menjadi datar di tangan Cyrus. Imej Hannah Montana masih melekat kuat dalam dirinya, hanya saja kali ini dia tampil agak sedikit 'nakal'. 'Percikan unsur kimia' antara Cyrus dan Hemsworth yang seharusnya menjadi kekuatan film malah loyo tak berdaya. Astaga, apakah benar mereka berdua pacaran ? Karena yang terlihat dalam film adalah seperti dua orang yang tak pernah saling bertemu dan dipaksa untuk menjadi sepasang kekasih. "Kamu Miley Cyrus ya ? Mari menjadi kekasihku dalam film ini."

The Last Song mungkin sudah tenggelam ke dasar samudra jika Billy Ray Cyrus muncul menggantikan Greg Kinnear, syukurlah itu tidak terjadi. Kinnear adalah malaikat penyelamat yang membawakan peran Steve dengan baik dan mampu mengundang simpati penonton. Meski hanya sebagai peran pembantu, untungnya porsi peran cukup banyak. Kesalahan terbesar dari The Last Song adalah keputusan Nicholas Sparks untuk menangani naskahnya sendiri. Dia memang lihai merangkai kata - kata romantis nan gombal dalam novel, tapi Sparks kewalahan saat diberi tanggung jawab membuat skenario. Ini menjadi bukti lain bahwa novel dan film adalah media yang berbeda. Seorang penulis novel handal sekalipun belum tentu sanggup mengerjakan skenario film, begitu juga sebaliknya. The Last Song berpijak dari sebuah skenario yang lemah dengan plot yang luar biasa klise, menjemukan dan mudah ditebak. Kegagalan Julie Anne Robinson dalam eksekusi berujung pada hasil akhir yang sama buruknya dengan naskah, lebih parah lagi menjadi film yang membosankan. Apabila ditangani oleh sutradara yang tepat, The Last Song mungkin bisa menjadi sedikit lebih baik. Nights in Rodanthe yang semrawut itu bahkan masih lebih lumayan dibandingkan The Last Song.

Poor

Trailer :


Sabtu, 16 April 2011

REVIEW : JAKARTA MAGHRIB


Lima segmen yang tidak memiliki kaitan satu sama lain memotret tentang kehidupan masyarakat di kota metropolis, Jakarta, di kala menjelang Maghrib. Salman Aristo yang bertindak sebagai sutradara sekaligus penulis skenario mengangkat kelima kisah ini berdasarkan realita yang sering terjadi di perkampungan Jakarta. Sedikit bumbu disana sini yang mungkin terkesan agak berlebihan masih bisa dimaklumi agar kisah menjadi lebih menarik. Lelah pulang dari kerja setelah tiga hari lembur, yang diinginkan oleh Iman (Indra Birowo) hanyalah berhubungan seks dengan istrinya, Nur (Widi Mulia). Namun impiannya itu mendadak buyar saat mendapati Nur direpotkan oleh bayi mereka yang tak kunjung berhenti menangis. Saat segalanya tampak mulai beres, adzan Maghrib berkumandang. Iman pun uring - uringan. Sementara itu, Pak Armen (Sjafrial Arifin), seorang pemilik warung sekaligus penjaga mushola, kedatangan pelanggan yang sedang teler, Baung (Asrul Dahlan). Keduanya bercakap - cakap mengenai pekerjaan hingga kematian. Baung merasa aneh dengan Pak Armen yang bersedia mengurus mushola yang hampir tak pernah dikunjungi oleh warga kampung.

Penjaja nasi goreng yang terkenal karena kegurihannya, Aki, tak kunjung datang. Lima warga sebuah komplek perumahan yang merupakan penggemar berat nasi goreng Aki memutuskan untuk menunggunya di taman. Tapi tampaknya Aki tidak datang hari itu. Kelima warga ini pun terpaksa berkenalan satu sama lain. Suatu hal yang ironis. Meskipun telah bertetangga dalam hitungan tahun, mereka tak pernah saling mengenal. Dan sayangnya, ini sebuah kenyataan. Individualistis telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Jakarta, selain kemacetan lalu lintas tentunya. Di segmen berikutnya kita dikenalkan kepada Ivan (Aldo Tansani), potret seorang bocah yang enggan mengakui kelemahannya dan malah bertindak bodoh untuk menutupi kelemahannya sendiri. Karakter macam ini kerap kita temui dalam kehidupan sehari - hari, so real. Ivan membolos dari madrasah demi bermain play station. Tapi yang terjadi kemudian adalah rental langganannya penuh. Dia pun mengarang kisah tentang seramnya Maghrib untuk mengusir para pelanggan. Berhasil. Namun saat adzan Maghrib mulai berkumandang, bulu kuduk Ivan berdiri. Dia kena batunya.

Sebagai penutup, kita disodori akting memikat dari Reza Rahadian dan Adinia Wirasti. Mereka memerankan dua sejoli yang telah berpacaran selama tujuh tahun tapi belum juga mendapat kepercayaan dari orang tua masing - masing untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Setting-nya sangat minimalis, di dalam mobil. Cekcok terjadi sepanjang perjalanan mereka menuju tempat pernikahan kerabat. Si cewek mulai merasa bahwa kekasihnya tidak menganggap hubungan mereka secara serius. Saat si cowok memutuskan untuk mengambil jalan pintas dan malah justru nyasar, tensi meninggi. Si cewek menyebut kekasihnya sebagai pria yang tidak mengerti arti prioritas. Apakah Jakarta Maghrib lantas diakhiri begitu saja ? Tentu tidak. Ada segmen tambahan bertajuk Ba'da yang menjadi titik temu antara kelima kisah setelah masing - masing menemukan Maghrib-nya sendiri - sendiri serta membuka misteri hilangnya sosok Aki sang penjual nasi goreng dari segmen ketiga, Menunggu Aki.

Lagi - lagi saya bermasalah dengan ending. Salman Aristo mengakhiri segmen Adzan dengan cukup menyentuh sekaligus terkesan dipaksakan. Apakah seorang preman pemabuk yang telah lama tidak 'bersentuhan' dengan agama mendadak tobat hanya dalam hitungan menit ? Mungkin bisa saja terjadi, tapi yang terjadi setelahnya lah yang agak janggal. Oke, mungkin lebih baik saya lupakan saja hal ini karena toh tak mempengaruhi film secara keseluruhan. Salman Aristo menunjukkan kebolehannya di film ini. Menjadi film panjang pertamanya, Jakarta Maghrib sama sekali tak mengecewakan. Dibalik kisahnya yang sederhana dan sedikit konyol, tersimpan beberapa dialog cerdas yang menohok. Beberapa kali Salman Aristo memberi kritikan terhadap kondisi perfilman Indonesia yang memprihatinkan. Paling jelas digambarkan dalam segmen terakhir, Jalan Pintas, yang berisi keluhan tentang perfilman lokal yang dipenuhi dengan genre horror seks serta bagaimana perjuangan para filmmaker yang sedang merintis karir dalam menghadapi cibiran masyarakat yang menganggap bahwa pekerjaan mereka adalah sesuatu yang sia - sia dan tak ada artinya.

Dua dialog yang paling saya suka dan membuat saya terkekeh adalah saat Iman melihat Adinia Wirasti menangis, "perempuan kalau sudah menangis saja merasa yang paling bener," atau ketika Pak Armen berdialog dengan Baung, "sepertinya hanya saat Maghrib dimana orang Jakarta melakukan jama'ah di mushola." Kenyataannya, ini memang sungguh terjadi dan menjadi bagian sehari - hari dari masyarakat. Salman Aristo mencoba untuk membuat film debutnya ini senyata dan sedekat mungkin dari masyarakat. Kisah di setiap segmen bercermin dari apa yang terjadi dan kepecayaan dalam masyarakat. Tidak baik menidurkan bayi di kala Maghrib, Mushola yang hanya ramai dikunjungi saat Maghrib, kehidupan sosial warga Jakarta yang individualistis, makhluk halus yang bergentanyang kala Maghrib menjelang dan kritikan terhadap ego laki - laki yang kelewat besar. Ini semua dirangkum menjadi sebuah tontonan yang menarik dalam Jakarta Maghrib. Debut penyutradaraan yang sukses dan layak mendapatkan apresiasi lebih. Salman Aristo membuktikan bahwa dia tidak hanya jago di atas kertas saja.

Acceptable

Trailer :


Sabtu, 09 April 2011

REVIEW : ? (TANDA TANYA)

Indonesia adalah sebuah negara dimana berbagai macam agama bisa hidup dan berkembang, para penganutnya saling menghormati satu sama lain, penuh kedamaian dan tidak mengusik kegiatan beribadah agama lain. Namun itu dulu (atau malah hanya sekadar wacana ?). Pada kenyataannya, apa yang terjadi di Indonesia terkadang malah lebih parah ketimbang, katakanlah, Amerika maupun negara - negara di Eropa. Ini ironis. Kekerasan terjadi di sebuah negara yang katanya menjunjung tinggi pluralisme dan kebhinekaan. Lebih ironis lagi, pelakunya mengatasnamakan sebuah agama dan melegalkan perbuatan mereka dengan dalih perintah dari kitab suci. Hanung Bramantyo tergelitik untuk mengangkat permasalahan sensitif ini menjadi sebuah tema utama dalam film terbarunya yang memakai judul ?, sebuah judul yang unik dan tak biasa yang mampu membuat calon penonton penasaran akan filmnya. Kabarnya, berbagai kisah yang ada dalam ? berangkat dari beberapa kisah nyata yang terjadi akhir - akhir ini. Sebuah langkah yang patut diacungi jempol karena di tengah era perpocongan dan dedemit, Hanung berani menawarkan sebuah film yang berbeda, terlebih dengan kisah yang berpotensi memunculkan kontroversi.

Dalam ? (Tanda Tanya), Hanung Bramantyo beserta Titien Wattimena, tidak hanya menampilkan satu plot, tetapi ada multi plot dengan kisah yang berbeda namun memiliki keterkaitan satu sama lain. Kita akan diperkenalkan kepada tiga keluarga yang masing - masing memiliki problematika hidup yang rumit dan berkaitan dengan agama. Tan Kat Sun (Hengky Solaiman) adalah pemeluk Konghucu yang memiliki sebuah restoran Cina dengan para pegawainya yang mayoritas Muslim. Koh Tan dikenal sebagai pribadi yang menjunjung tinggi pluralisme dan sangat menghormati agama lain walaupun perlakuan tak menyenangkan kerap diterimanya. Bahkan Koh Tan memiliki standar yang berbeda dalam memasak babi, dia sangat mewanti - wanti agar jangan sampai masakan berbahan babi bercampur dengan lainnya. Apa yang dilakukan oleh Koh Tan ini sayangnya tak menurun pada putranya, Hendra (Rio Dewanto), yang jelas - jelas menunjukkan kebenciannya kepada warga Muslim. Agaknya ini ada hubungannya dengan Menuk (Revalina S. Temat), pegawai Koh Tan yang paling setia. Menuk sendiri memiliki masalah dengan keluarganya lantaran sang suami yang berego tinggi, Soleh (Reza Rahadian), tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Soleh yang temperamen ini kerap mengalami konflik dengan Hendra dan memandang sinis agama lain. Saat Soleh diterima menjadi anggota Banser, Menuk mulai mengalami pergolakan batin.

Kisah yang terakhir adalah mengenai Rika (Endhita) dan Surya (Agus Kuncoro). Rika memutuskan untuk melepaskan jilbabnya paska bercerai dengan sang suami dan pindah agama menjadi Katolik. Demi menanggung keputusannya ini, Rika mendapat cemoohan dari para tetangga dan protes dari anaknya sendiri, Abi (Baim). Rika sendiri menginginkan agar Abi tak mengikuti jejaknya dan menjadi seorang Muslim yang taat. Persahabatannya dengan Surya mengalami tarik ulur dan sepertinya mereka memiliki perasaan yang tak terungkapkan. Surya adalah seorang aktor gagal yang berhutang budi pada Rika karena telah membantunya mendapatkan peran utama. Tapi peran ini justru membuat Surya mengalami konflik batin karena dia dituntut untuk memerankan Yesus ! Ya, dari ketiga kisah ini, Rika & Agus adalah yang paling menarik. Konflik yang dialami oleh Rika dan Surya digambarkan begitu jelas dan harus diakui, yang paling pelik dari semua karakter disini. Endhita dan Agus Kuncoro pun bermain apik. Bagaimana Rika harus menghadapi berbagai cercaan dari masyarakat, kemarahan dari anaknya dan terkadang dirinya pun belum sepenuhnya yakin bahwa pilihannya ini benar. Sementara pergolakan batin yang dialami Surya pun tak kalah hebat, akankah dia menerima peran Yesus demi karir aktingnya yang tidak seberapa ? Ketakutannya, imannya akan runtuh karena peran ini. Namun seperti yang Romo bilang, "Iman seseorang tidak akan hancur karena drama, melainkan karena kebodohan."

Beruntunglah Revalina S. Temat dan Reza Rahadian tahu apa yang diinginkan oleh Hanung Bramantyo karena bagian Menuk & Soleh sama sekali tidak menarik. Konfliknya terlalu biasa dan umum, hampir tak ada greget. Seandainya mereka berdua salah mempersepsikan keinginan Hanung, maka film akan berjalan timpang. Apa yang dimunculkan dalam segmen Tan Kat Sun & Hendra masih lebih enak untuk dinikmati. Sungguh disayangkan Rio Dewanto kurang maksimal, padahal konflik yang dihadirkan lumayan memikat. Pertemuan dua kisah ini dihadirkan dengan cukup menggugah dan mau tak mau mengingatkan kita pada Sang Pencerah. Rumah makan Koh Tan diserbu massa lantaran Hendra keukeuh untuk membuka rumah makan saat Idul Fitri tiba. Sekali lagi pengrusakan ini mengatasnamakan agama. Dari puing - puing rumah makan yang berserakan, Hendra menemukan sebuah buku berisi Asmaul Husna. Dari sinilah dia mulai sadar. Alur pun mulai berjalan normal kembali hingga akhirnya memuncak saat sebuah gereja diteror bom di malam natal. Segalanya baik - baik saja sampai disini, tapi kemudian Hanung mencederai filmnya sendiri dengan memberi close ending yang terkesan dipaksakan. Haruskah seperti itu ?

Setelah berjalan 100 menit dengan cukup mulus, ? (Tanda Tanya) malah diakhiri dengan paksa. Open ending rasanya malah lebih cocok untuk film seperti ini. Pada akhirnya setelah menonton ? (Tanda Tanya) kita akan dipaksa untuk bertanya kepada diri sendiri. Apakah kita sudah menjalankan perintah agama dengan benar ? Percuma jika kita rajin beribadah dan hafal isi kitab suci jika kemudian menyerang pemeluk agama lain karena menganggap mereka sesat. Apa kita sudah lebih baik dari mereka ? Hanya Tuhan yang berhak menghakimi. Serahkan semuanya kepada Tuhan. Doakan mereka. Hanung mencoba memperlihatkan kepada kita bahwa perbedaan itu adalah sesuatu yang indah, bahwa tak seharusnya sebagai sesama makhluk Tuhan saling membenci dan menyakiti hanya karena berbeda. Demi mencapai tujuannya, Hanung agak sedikit ekstrem menjelaskannya dalam bahasa gambar. Dari sinilah kita juga seharusnya tahu, menonton film itu tidak gampang. Butuh pemikiran yang terbuka dan pemahaman. Jika mengutip apa yang dikatakan oleh Romo, iman seseorang tidak akan hancur karena sebuah film, tetapi karena kebodohan.

Acceptable

Trailer :


Senin, 04 April 2011

CINETARIZ BAGI - BAGI HADIAH !

Hai, Cinetariz kembali !

Seperti janji Cinetariz di postingan sebelumnya, Cinetariz akan membagi dua DVD original secara gratis kepada dua pengunjung Cinetariz yang beruntung. Ini sebagai bentuk ungkapan rasa terima kasih saya kepada para pengunjung Cinetariz yang setia hingga blog ini bisa mencapai usia satu tahun. Film yang saya bagikan ini adalah film favorit saya dan keduanya menduduki peringkat 1 sebagai film yang paling saya sukai di tahun 2009 dan 2010. Menggiurkan, bukan ? Mungkin ada beberapa dari kalian yang tidak puas dengan hadiahnya, Cinetariz tak bisa memuaskan semua pihak. Jika ada keluhan mengenai hadiah yang dibagikan atau hal lain, bisa disampaikan melalui email, shoutbox atau komentar :)

Lantas, bagaimana cara mendapatkan dua dvd gratis tersebut ? Caranya sangat gampang. Kalian hanya perlu menjawab 4 pertanyaan yang saya berikan plus 1 pertanyaan bonus. Ini dia :

1. Kapan Cinetariz pertama kali melakukan posting ?
2. Sebutkan 5 film Indonesia yang Cinetariz anggap paling memuaskan di tahun 2010 !
3. Sejauh ini, Cinetariz baru mengulas 2 serial TV. Sebutkan judul 2 serial TV tersebut !
4. Tuliskan kritik dan saran yang membangun untuk kemajuan Cinetariz ke depan ya :)

Pertanyaan bonus :
* Adegan ini diambil dari film apa ?


Syarat :
1. Mengirimkan jawaban pertanyaan utama + bonus ke taufiqur.rizal014@gmail.com dengan subyek 'Kuis Ulang Tahun Cinetariz'.
2. Hanya diperbolehkan mengirimkan email SATU KALI SAJA. Jika ditemukan email ganda dengan nama dan alamat yang sama, dinyatakan gugur saat itu juga.
3. Kuis ini hanya berlaku bagi pembaca yang berdomisili di Indonesia.
4. Keluarga dari pemilik blog Cinetariz tidak diperkenankan mengikuti kuis (Sorry!).
5. Kuis akan ditutup pada tanggal 30 April 2011 dan pemenang diumumkan pada bulan Mei 2011.
6. Keputusan tidak bisa diganggu gugat dan saya juga menolak sogokan (kecuali kalau sogokannya tiket konser Carrie Underwood hohoho..)

Note : pertanyaan bonus tidak wajib diwajab.

Inilah hadiahnya... JRENGGGGGGGG !!!!

Jumat, 01 April 2011

HAPPY BIRTHDAY, CINETARIZ !


Happy birthday, Cinetariz !

Mungkin banyak yang mengatakan bahwa saya terlalu lebay karena terlalu menggembar gemborkan ulang tahun Cinetariz yang pertama. Bagi kebanyakan blogger, bisa melewati tahun pertama merupakan hal yang sangat biasa, namun bagi saya itu sesuatu yang luar biasa. Sebelum mengurus Cinetariz, saya memiliki sekitar 3 blog di tempat yang berbeda dan semuanya bernasib 'hangat - hangat tai ayam'. Pada dua bulan pertama rajin update-nya gila - gilaan, tapi setelah memasuki bulan ke-3 dan seterusnya, mulai malas. Dari ke-3 blog itu hanya satu yang bisa melalui tahun pertama dan itupun jarang saya update. Lainnya harus menemui ajal dengan sangat mengenaskan (baca : saya lupa alamat dan password !). Itulah kenapa saya senangnya bukan main saat Cinetariz bisa melalui tahun pertamanya dengan cukup mulus dan sering di-update secara berkala.

Berbagai tantangan tentu sempat saya hadapi. Masalah terbesar yang harus diatasi setiap blogger adalah melawan rasa malas yang terus menyerang setiap saat. Menjaga konsistensi itu tidak mudah lho ! Makanya saya kagum dengan beberapa rekan movie blogger yang sanggup meng-update blog mereka per 2 hari atau 3 hari. Saya memperbarui per 1 minggu saja rasanya alamak susah bener. Mengumpulkan mood adalah yang paling berat karena sejatinya saya bisa menonton 3 - 4 film dalam satu minggu - dengan catatan banyak waktu luang - dan pada akhir minggu hanya paling mentok 2 film yang bisa saya ulas. Sungguh menyedihkan bukan ? Hiks...

Nah, 1 April kemarin yang bertepatan dengan April Mop adalah hari kelahiran Cinetariz. Ini hanyalah kebetulan semata karena saya tak ada niatan untuk membuatnya berbarengan dengan suatu hari khusus. Usia satu tahun memang tergolong sangat belia tapi untuk bisa mencapai angka satu ini pun bukan perkara mudah. Bukan ingin sombong, tapi jika memang tidak ada keteguhan dari hati serta niat yang kuat, bisa ambruk di bulan - bulan awal, seperti yang saya ceritakan di awal postingan. Puji syukur di tahun pertama ini Cinetariz sudah dikunjungi sebanyak 34,000 kali, angka yang sangat di luar perkiraan. Namun satu hal yang membuat saya sedih, kebanyakan pengunjung blog saya ternyata lebih suka menjadi silent reader ! Ayo dong sesekali tinggalkan komentar karena saya juga penasaran dengan sudut pandang penilaian dari kalian semua. Bukankah akan sangat mengasyikkan jika kita bisa saling berdiskusi ?

Baiklah, saya tidak ingin menulis panjang lebar karena nanti malah pada bosan bacanya, hihi. Selamat ulang tahun anakku tersayang, Cinetariz. Semoga makin maju, update, informatif serta berguna bagi nusa dan bangsa. Semoga bisa terus bertahan hingga tahun kedua, ketiga, keempat bahkan hingga satu abad. Amin. Oh iya, saya juga ingin mengucapkan TERIMA KASIH yang sebesar - besarnya, setinggi - tingginya, serta sedahsyat - dahsyatnya kepada para pengunjung setia blog saya dan rekan - rekan movie blogger yang terus memicu semangat saya untuk terus maju. Sebagai ungkapan rasa terima kasih saya kepada kalian semua, saya berniat untuk membagikan 2 DVD Original secara cuma - cuma. Film apa yang akan saya berikan ? Tunggu tanggal mainnya. Yang pasti, pantau Cinetariz terus ya untuk kabar terbaru mengenai kuis ini. Bersiaplah !

Tanpa dukungan dari kalian semua, Cinetariz mungkin tak akan bisa bertahan hingga sekarang. Salam cinta dari Cinetariz