Sabtu, 16 April 2011

REVIEW : JAKARTA MAGHRIB


Lima segmen yang tidak memiliki kaitan satu sama lain memotret tentang kehidupan masyarakat di kota metropolis, Jakarta, di kala menjelang Maghrib. Salman Aristo yang bertindak sebagai sutradara sekaligus penulis skenario mengangkat kelima kisah ini berdasarkan realita yang sering terjadi di perkampungan Jakarta. Sedikit bumbu disana sini yang mungkin terkesan agak berlebihan masih bisa dimaklumi agar kisah menjadi lebih menarik. Lelah pulang dari kerja setelah tiga hari lembur, yang diinginkan oleh Iman (Indra Birowo) hanyalah berhubungan seks dengan istrinya, Nur (Widi Mulia). Namun impiannya itu mendadak buyar saat mendapati Nur direpotkan oleh bayi mereka yang tak kunjung berhenti menangis. Saat segalanya tampak mulai beres, adzan Maghrib berkumandang. Iman pun uring - uringan. Sementara itu, Pak Armen (Sjafrial Arifin), seorang pemilik warung sekaligus penjaga mushola, kedatangan pelanggan yang sedang teler, Baung (Asrul Dahlan). Keduanya bercakap - cakap mengenai pekerjaan hingga kematian. Baung merasa aneh dengan Pak Armen yang bersedia mengurus mushola yang hampir tak pernah dikunjungi oleh warga kampung.

Penjaja nasi goreng yang terkenal karena kegurihannya, Aki, tak kunjung datang. Lima warga sebuah komplek perumahan yang merupakan penggemar berat nasi goreng Aki memutuskan untuk menunggunya di taman. Tapi tampaknya Aki tidak datang hari itu. Kelima warga ini pun terpaksa berkenalan satu sama lain. Suatu hal yang ironis. Meskipun telah bertetangga dalam hitungan tahun, mereka tak pernah saling mengenal. Dan sayangnya, ini sebuah kenyataan. Individualistis telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Jakarta, selain kemacetan lalu lintas tentunya. Di segmen berikutnya kita dikenalkan kepada Ivan (Aldo Tansani), potret seorang bocah yang enggan mengakui kelemahannya dan malah bertindak bodoh untuk menutupi kelemahannya sendiri. Karakter macam ini kerap kita temui dalam kehidupan sehari - hari, so real. Ivan membolos dari madrasah demi bermain play station. Tapi yang terjadi kemudian adalah rental langganannya penuh. Dia pun mengarang kisah tentang seramnya Maghrib untuk mengusir para pelanggan. Berhasil. Namun saat adzan Maghrib mulai berkumandang, bulu kuduk Ivan berdiri. Dia kena batunya.

Sebagai penutup, kita disodori akting memikat dari Reza Rahadian dan Adinia Wirasti. Mereka memerankan dua sejoli yang telah berpacaran selama tujuh tahun tapi belum juga mendapat kepercayaan dari orang tua masing - masing untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Setting-nya sangat minimalis, di dalam mobil. Cekcok terjadi sepanjang perjalanan mereka menuju tempat pernikahan kerabat. Si cewek mulai merasa bahwa kekasihnya tidak menganggap hubungan mereka secara serius. Saat si cowok memutuskan untuk mengambil jalan pintas dan malah justru nyasar, tensi meninggi. Si cewek menyebut kekasihnya sebagai pria yang tidak mengerti arti prioritas. Apakah Jakarta Maghrib lantas diakhiri begitu saja ? Tentu tidak. Ada segmen tambahan bertajuk Ba'da yang menjadi titik temu antara kelima kisah setelah masing - masing menemukan Maghrib-nya sendiri - sendiri serta membuka misteri hilangnya sosok Aki sang penjual nasi goreng dari segmen ketiga, Menunggu Aki.

Lagi - lagi saya bermasalah dengan ending. Salman Aristo mengakhiri segmen Adzan dengan cukup menyentuh sekaligus terkesan dipaksakan. Apakah seorang preman pemabuk yang telah lama tidak 'bersentuhan' dengan agama mendadak tobat hanya dalam hitungan menit ? Mungkin bisa saja terjadi, tapi yang terjadi setelahnya lah yang agak janggal. Oke, mungkin lebih baik saya lupakan saja hal ini karena toh tak mempengaruhi film secara keseluruhan. Salman Aristo menunjukkan kebolehannya di film ini. Menjadi film panjang pertamanya, Jakarta Maghrib sama sekali tak mengecewakan. Dibalik kisahnya yang sederhana dan sedikit konyol, tersimpan beberapa dialog cerdas yang menohok. Beberapa kali Salman Aristo memberi kritikan terhadap kondisi perfilman Indonesia yang memprihatinkan. Paling jelas digambarkan dalam segmen terakhir, Jalan Pintas, yang berisi keluhan tentang perfilman lokal yang dipenuhi dengan genre horror seks serta bagaimana perjuangan para filmmaker yang sedang merintis karir dalam menghadapi cibiran masyarakat yang menganggap bahwa pekerjaan mereka adalah sesuatu yang sia - sia dan tak ada artinya.

Dua dialog yang paling saya suka dan membuat saya terkekeh adalah saat Iman melihat Adinia Wirasti menangis, "perempuan kalau sudah menangis saja merasa yang paling bener," atau ketika Pak Armen berdialog dengan Baung, "sepertinya hanya saat Maghrib dimana orang Jakarta melakukan jama'ah di mushola." Kenyataannya, ini memang sungguh terjadi dan menjadi bagian sehari - hari dari masyarakat. Salman Aristo mencoba untuk membuat film debutnya ini senyata dan sedekat mungkin dari masyarakat. Kisah di setiap segmen bercermin dari apa yang terjadi dan kepecayaan dalam masyarakat. Tidak baik menidurkan bayi di kala Maghrib, Mushola yang hanya ramai dikunjungi saat Maghrib, kehidupan sosial warga Jakarta yang individualistis, makhluk halus yang bergentanyang kala Maghrib menjelang dan kritikan terhadap ego laki - laki yang kelewat besar. Ini semua dirangkum menjadi sebuah tontonan yang menarik dalam Jakarta Maghrib. Debut penyutradaraan yang sukses dan layak mendapatkan apresiasi lebih. Salman Aristo membuktikan bahwa dia tidak hanya jago di atas kertas saja.

Acceptable

Trailer :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar