Sabtu, 23 April 2011

REVIEW : THE LAST SONG

"Sometimes you have to be apart from the people you love, but that doesn't make you love them any less. Sometimes it makes you love them more." - Steve

Ada tiga hal yang kerap kita temui saat menonton film yang diadaptasi dari novel buatan Nicholas Sparks. Pertama, kisah cinta yang terlarang antara dua insan 'beda kelas sosial'. Kedua, seseorang yang memiliki arti penting dalam kehidupan sang tokoh utama harus menemui ajalnya sebelum sang tokoh utama mencapai kebahagiaannya. Terakhir, adanya kesalahpahaman yang sebenarnya sederhana namun dibuat terlihat seakan mustahil untuk diselesaikan. Setidaknya ini kita temui dalam The Notebook, A Walk to Remember dan The Last Song. Adaptasi yang lain juga memiliki kesamaan (pada dasarnya semua novel Nicholas Sparks memiliki inti kisah yang sama. Duh.) namun ketiga film tersebut yang kemiripannya paling 'mengerikan'. Untunglah The Notebook dan A Walk to Remember memiliki penggarapan yang apik sehingga penonton masih sanggup dibuai, namun bagaimana dengan The Last Song ? Ditangani oleh sutradara debutan, Julie Anne Robinson, jelas sekali terlihat bahwa film ini mencoba menjual dua bintang utamanya, Miley Cyrus dan Liam Hemsworth, yang memang tengah menjalin hubungan asmara.

Setelah kedua orang tuanya bercerai, Ronnie (Miley Cyrus) berubah. Dia menyalahkan sang ayah, Steve (Greg Kinnear), yang pergi meninggalkannya. Dalam pemberontakannya, dia berhenti bermain piano dan menolak beasiswa ke Julliard karena ingin melepas kenangannya bersama sang ayah. Bahkan surat - surat yang dikirimkan Steve kepadanya tak ada yang digubrisnya. Saat ibunya, Kim (Kelly Preston), mengirim Ronnie dan adiknya, Jonah (Bobby Coleman), ke rumah Steve untuk berlibur musim panas, mau tak mau keduanya mulai berhubungan. Steve mencoba bersikap lunak kepada anak perempuannya ini, tapi Ronnie justru bersikap dingin kepadanya. Jika saja Ronnie tidak bertemu dengan Will (Liam Hemsworth), seorang atlet voli pantai, mungkin musim panas ini akan menjadi mimpi buruk baginya. Setelah sejumlah pendekatan yang dilakukan Will tidak berhasil, gayung akhirnya bersambut tatkala Ronnie menyadari bahwa dia dan Will memiliki banyak kesamaan. Ronnie juga merasa tersentuh melihat perjuangan gigih Will demi mendapatkan cintanya. Pertemuannya dengan Will membuat hubungan Ronnie dan Steve berangsur membaik. Namun tentu dalam film drama romantis semuanya tidak akan berjalan mulus. Orang tua Will yang kaya tampak tidak menyukai Ronnie, mantan pacar Will yang mencoba untuk menjauhkan Ronnie dari Will dan sebuah kenyataan pahit mengenai Steve.


Satu - satunya yang menarik dari film ini adalah settingnya, Georgia. Beruntunglah sang sinematografer, John Lindley, pintar dalam mencari sudut - sudut menarik untuk ditangkap sehingga mata yang lelah menyaksikan The Last Song ini menjadi sedikit melek. Jujur sejujur jujurnya, The Last Song ternyata sama sekali tidak menarik dan jauh dari harapan saya. Selain kecantikan Georgia, tidak ada yang bisa dibanggakan dari film ini. Departemen kasting harus bertanggung jawab karena telah menunjuk Miley Cyrus dan Liam Hemsworth sebagai bintang utama. Jelas sekali Cyrus dan Hemsworth bukanlah pilihan yang tepat untuk mengisi peran Ronnie dan Will. Hemsworth mungkin masih lebih baik, tapi Cyrus tampil mengenaskan dan terlihat kebingungan. Ronnie yang meledak - ledak dan susah diatur ini menjadi datar di tangan Cyrus. Imej Hannah Montana masih melekat kuat dalam dirinya, hanya saja kali ini dia tampil agak sedikit 'nakal'. 'Percikan unsur kimia' antara Cyrus dan Hemsworth yang seharusnya menjadi kekuatan film malah loyo tak berdaya. Astaga, apakah benar mereka berdua pacaran ? Karena yang terlihat dalam film adalah seperti dua orang yang tak pernah saling bertemu dan dipaksa untuk menjadi sepasang kekasih. "Kamu Miley Cyrus ya ? Mari menjadi kekasihku dalam film ini."

The Last Song mungkin sudah tenggelam ke dasar samudra jika Billy Ray Cyrus muncul menggantikan Greg Kinnear, syukurlah itu tidak terjadi. Kinnear adalah malaikat penyelamat yang membawakan peran Steve dengan baik dan mampu mengundang simpati penonton. Meski hanya sebagai peran pembantu, untungnya porsi peran cukup banyak. Kesalahan terbesar dari The Last Song adalah keputusan Nicholas Sparks untuk menangani naskahnya sendiri. Dia memang lihai merangkai kata - kata romantis nan gombal dalam novel, tapi Sparks kewalahan saat diberi tanggung jawab membuat skenario. Ini menjadi bukti lain bahwa novel dan film adalah media yang berbeda. Seorang penulis novel handal sekalipun belum tentu sanggup mengerjakan skenario film, begitu juga sebaliknya. The Last Song berpijak dari sebuah skenario yang lemah dengan plot yang luar biasa klise, menjemukan dan mudah ditebak. Kegagalan Julie Anne Robinson dalam eksekusi berujung pada hasil akhir yang sama buruknya dengan naskah, lebih parah lagi menjadi film yang membosankan. Apabila ditangani oleh sutradara yang tepat, The Last Song mungkin bisa menjadi sedikit lebih baik. Nights in Rodanthe yang semrawut itu bahkan masih lebih lumayan dibandingkan The Last Song.

Poor

Trailer :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar