Sabtu, 23 April 2011

REVIEW : THE CLASSIC


Sebelum industri perfilman Korea dikuasai oleh genre thriller / horror dan sageuk, sebelum perfilman Thailand menjulang namanya berkat genre komedi romantis dan sebelum Indonesia memiliki Cintra Fitri yang fenomenal itu, ada suatu masa dimana film romantis membanjiri Korea hingga sulit untuk dibendung. Dari keromantisan yang dicampur bumbu yang menggelikan, mengerikan, menegangkan sampai yang membuat air mata mengucur deras membentuk gelombang tsunami kecil di pipi yang manis, semuanya ada. Pecinta film Asia sepakat jika menyebut sineas Korea sebagai ahlinya dalam menghasilkan film - film yang tearjerker. Mereka adalah sekumpulan orang paling tak berperasaan yang ada di muka bumi ini karena membiarkan para penontonnya menangis sesenggukan dan sakit hati melihat kekejaman mereka dalam menyiksa si tokoh utama. Masa - masa paling indah sekaligus menyakitkan itu mungkin sudah berlalu, tapi kenangannya akan selalu membekas di dalam hati para pecinta film, khususnya pecinta K-movie (halah, kayak udah mati aja..). Dari sekian banyak film Korea romantis yang dilempar ke pasaran sepanjang tahun 2000-an, apa yang paling membekas di ingatan ? Hampir dapat dipastikan mayoritas jawabannya berkutat pada My Sassy Girl, A Moment to Remember atau mungkin Windstruck. Tapi, ada satu film Korea yang keromantisannya mampu membuat saya leleh dan film tersebut jarang diketahui oleh pecinta film. Judulnya, The Classic.

Kwak Jae-yong adalah sutradara The Classic. Bagi yang belum familiar, beliau adalah otak dibalik kesuksesan dua film manis, My Sassy Girl dan Windstruck. Dalam The Classic, Kwak Jae-yong banyak menggunakan teknik bertutur flashback demi menceritakan isi surat yang dibaca oleh Ji-hye (Son Ye-jin). Saat sedang membersihkan rumah, Ji-hye menemukan sebuah kardus yang berisi sejumlah surat tua dan buku harian milik ibunya, Joo-hee. Dari yang awalnya hanya iseng belaka, Ji-hye malah justru menjadi tertarik (atau malah terobsesi ?) dengan tulisan sang ibu. Surat dan buku harian tersebut merupakan curahan hati Joo-hee saat dirinya tengah dihinggapi asmara di masa muda. Dalam kisah dengan setting 1960-an, Joo-hee yang tengah berlibur di rumah pamannya di desa bertemu dengan Joon-ha (Jo Seung-woo). Pertemuan yang singkat itu ternyata membekas di hati keduanya hingga Joo-hee memberinya oleh - oleh berupa sebuah kalung untuk Joon-haa sebelum berpisah. Malang beribu malang. Tatkala Joon-ha dan Joo-hee tampaknya bisa bersatu, Joon-ha menemukan kenyataan bahwa gadis impiannya tersebut hendak dinikahkan dengan Tae-Soo, sahabat karib Joon-ha. Sementara itu, di masa kini, Ji-hye jatuh cinta dengan Sang-min (Jo In-Seong) yang ternyata juga menjadi incaran sahabat Ji-hye, Soo-kyeong. Agaknya kesamaan kisah dengan sang ibu inilah yang membuat Ji-hye tak bisa melepaskan benda kenangan Joo-hee.


Plotnya terdengar agak membingungkan ? Tapi tenang saja, The Classic mudah diikuti kok. Kwak Jae-yong memang kadang suka seenak hatinya merubah setting waktu tanpa peringatan namun itu tak menganggu kenikmatan menonton. Jika biasanya pembeda waktu ditandai dengan warna yang mungkin agak suram, dalam The Classic kita melihatnya melalui kostum para pemain. Yang mungkin akan mengecoh penonton adalah karakter Ji-hye dan Joo-hee, maklum keduanya diperankan oleh aktris yang sama sehingga saat perputaran melibatkan dua karakter ini agak sedikit membuat bingung. Dalam menyaksikan The Classic yang kudu disiapkan adalah sekotak tissue. Ya ya ya, saya akan terdengar lebay, tapi film ini sanggup membuat saya membentuk sungai amazon mini di rumah. Berderai air mata sejak paruh kedua dimulai. Bagi sebagian orang mungkin menganggap apa yang dihadirkan oleh Kwak Jae-yong agak terlalu berlebihan, atau bahkan norak. Tapi apa sih yang diharapkan dari menonton melodrama seperti ini ? Selama penggarapannya bagus, tidak masalah. Adegan - adegan yang akan berakhir menjijikkan di tangan sineas yang salah menjadi sangat romantis di bawah arahan Jae-yong.

Yang sulit dilupakan tentu saja adalah adegan hujan, baik di masa dahulu maupun masa kini. Astaga, sudah berapa kali hujan dimanfaatkan untuk memancing momen romantis ? Disini, Jae-yong membungkusnya dengan sangat cantik, menjadikan adegan yang super klise ini terus dikenang hingga sekarang. Pemilihan soundtrack-nya pun tepat ! Tapi apalah artinya sebuah film romantis jika chemistry para pemainnya payah *tunjuk film sebelumnya, tuh tuh*. Son Ye-jin sangat klop dipasangkan Jo Seung-woo, tarikannya begitu kuat dan sanggup membuat gemas para penonton. Jo In-seong masih terlihat agak kagok namun tetap saja chemistry-nya dengan Son Ye-jin tak bisa dikatakan buruk. Hanya saja saat dia tampil Ye-jin, terlihat seperti kehilangan separuh jiwanya, lemah tak berdaya. Dan, saya hampir saja melupakan sinematografi hasil bidikan Lee Joon-kyoo yang sangat indah itu. Selain adegan hujan - hujanan yang romantis nan menggetarkan hati tersebut, masih banyak sejumlah adegan cantik lainnya yang disuguhkan oleh Lee Joon-kyoo. Selama 127 menit kita tidak akan selalu disuguhi dengan gambar - gambar indah menyejukkan mata yang pasti akan membuat kita kebelet ingin segera terbang ke Korea. Hahhhh... *mulai membayangkan keindahan Korea* Ya, boleh saja The Classic tidak sepopuler dan tidak sesukses karya Kwak Jae-yong yang lain macam My Sassy Girl atau Windstruck, tapi secara keseluruhan, The Classic menawarkan kisah romantis yang lebih mengena dan menyentuh. Sungguh indah.

Exceeds Expectations

Trailer :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar