Kamis, 29 September 2011

REVIEW : X-MEN: FIRST CLASS


"Listen to me very carefully, my friend: Killing will not bring you peace." - Charles Xavier

Apakah Anda memiliki segudang pertanyaan mengenai bagaimana awal mula terbentuknya X-Men dan Brotherhood of Mutants? Apakah Anda penasaran dengan sejarah rumitnya hubungan antara Charles Xavier (James McAvoy), Erik Lehnsherr (Michael Fassbender), dan Raven alias Mystique (Jennifer Lawrence)? Atau Anda ingin melihat penampilan Professor X dan Magneto di masa muda? Jika jawabannya ya, maka X-Men: First Class harus berada dalam urutan teratas film yang tidak boleh Anda lewatkan. Selama Anda menginginkan semua jawaban atas apa yang terjadi dalam seri film X-Men, maka tidak menjadi soal apakah Anda adalah fans dari X-Men atau bukan. X-Men: First Class ini bagaikan Star Trek versi J.J. Abrams. Mengungkap masa lalu dari beberapa karakter utama dari film-film sebelumnya. Anda boleh menyebutnya sebagai reboot. Tapi yang jelas, First Class direncanakan menjadi awal dari sebuah trilogi baru X-Men. Bukan sesuatu yang baru memang karena sebelumnya Star Trek, Batman Begins dan Star Wars Episode I – The Phantom Menace sudah pernah melakukannya. Namun yang menjadi tantangan sesungguhnya adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan penonton. X-Men: The Last Stand dan X-Men Origins: Wolverine jelas bukan film yang bagus. Bahkan judul yang terakhir disebut adalah sebuah kesalahan besar dan seharusnya tidak pernah dibuat. Hanya menjadi noda hitam bagi X-Men.

Setelah dianggap sebagai ‘pengkhianat’ karena membesut Superman Returns yang berada di bawah payung DC Comics, musuh utama Marvel Comics (tempat dimana X-Men bernaung), Bryan Singer kembali lagi ke dalam keluarga besar X-Men. Tidak lagi sebagai sutradara, melainkan duduk manis sebagai produser. Matthew Vaughn yang angkat nama lewat Kick-Ass didapuk menjadi sutradara. Dengan bantuan duo hebat ini, First Class diharapkan mampu mengangkat lagi nama X-Men yang sebelumnya sempat tercoreng. Mengingat ini adalah sebuah reboot, maka First Class memulai segalanya dari awal, mengambil setting waktu jauh sebelum X-Men pertama terjadi. Ada tiga plot utama yang dimunculkan oleh tim penulis naskah pada awal film sebelum akhirnya nanti dilebur menjadi satu menjelang babak kedua. Erik mengalami masa lalu yang suram saat masa kecilnya dihabiskan di kamp konsentrasi Nazi dan ibunya dibunuh tepat di depannya, suatu kejadian yang membuatnya tumbuh menjadi seseorang yang pendendam. Charles jauh lebih beruntung karena hidup bergelimangan harta dan memiliki otak yang encer. Lalu kita juga akan berkenalan dengan seorang agen CIA yang cantik, Moira (Rose Byrne), yang tengah menyelidiki Sebastian Shaw (Kevin Bacon) yang disinyalir tengah menyusun rencana memanfaatkan krisis misil Kuba untuk memicu Perang Dunia Ketiga. Sebastian Shaw inilah yang mempertemukan ketiga tokoh utama ini ke dalam satu ‘ruangan’.

Harus diakui tahun 2011 ini merupakan salah satu tahun terbaik bagi film adaptasi komik. Walaupun masih ditemukan beberapa film yang kualitasnya mengecewakan, namun secara keseluruhan apa yang disajikan di layar bioskop tahun ini terbilang memuaskan. X-Men: First Class adalah salah satunya. Apa yang disajikan oleh Vaughn disini sudah lebih dari cukup, saya tidak bisa lagi meminta lebih. Dengan durasi sepanjang 130 menit, First Class sama sekali tidak melelahkan. Naskahnya yang padat berisi ditingkahi dengan ritme penceritaan yang berjalan cepat. Durasinya yang panjang tidak disebabkan tim penulis naskah yang sengaja ingin memanjang-manjangkan plot agar terkesan berkualitas atau untuk memberi kesempatan bagi tim special effects untuk pamer kemampuan, akan tetapi apa yang hendak disampaikan kepada penonton memang sangat banyak. Hebatnya, Vaughn mampu mengejewantahkan naskah dengan cekatan sehingga kosa kata seperti membosankan dan berantakan mampu terhindarkan. Untuk sekali ini, First Class digarap dalam tonal warna yang sedikit suram. Adegan kematian bukan menjadi sesuatu yang langka disini. Puncaknya adalah ketika Sebastian Shaw dan anak buahnya menyerang markas Divisi X.


Tidak ada yang lebih membuat saya terpukau ketika menyaksikan First Class selain adu akting James McAvoy dan Michael Fassbender. Chemistry yang berpadu dengan manis menjadikannya sebagai salah satu bromance terbaik yang pernah ada. McAvoy dan Fassbender tidak berusaha mereka ulang apa yang telah dilakukan oleh Patrick Stewart dan Ian McKellen. Professor X dan Magneto diterjemahkan ulang dengan cara mereka sendiri. Hubungan unik yang berkembang diantara mereke berdua sepanjang film menjadi salah satu kunci mengapa First Class sangat nikmat untuk diikuti. Jajaran pemain pendukung pun tak kalah memikat. Kevin Bacon memainkan peran Sebastian Shaw yang tenang namun dingin dan tak berperasaan dengan memikat, Jennifer Lawrence membuat saya bersimpati sekaligus sebal terhadap Raven, dan Nicholas Hoult sanggup menghidupkan Hank dan Beast yang memiliki kepribadian bertolak belakang dengan sama baiknya. Sementara dari mutan-mutan yang belum pernah tampil di seri X-Men sebelumnya, Banshee (Caleb Landry Jones), Azazel (Jason Flemyng) dan Alex Summers (Lucas Till) adalah yang paling mencuri perhatian. Keputusan Vaughn dan tim penulis naskah untuk fokus pada hubungan Erik dan Charles berdampak pada kurang tergalinya tokoh-tokoh pendukung. Emma Frost (January Jones) dan Angel (Zoe Kravitz) sebenarnya memiliki potensi lebih sebagai femme fatale saingan Mystique, namun kehadiran mereka justru hambar.


X-Men: First Class adalah cerminan ideal dari sebuah summer movie. Mayoritas produser film di Hollywood berpedoman bahwa untuk menciptakan sebuah film sukses adalah dengan memanfaatkan teknologi secara maksimal dan naskah kacangan tidak menjadi masalah. Dollar menumpuk, penonton bersorak sorai menyaksikan ledakan-ledakan dan pertempuran seru, namun setelah itu menghilang tak berbekas dari ingatan. Tahun ini cukup berbeda karena tampaknya beberapa produser dan sutradara sudah menyadari bahwa mereka khilaf, kecuali Michael Bay tentunya, sehingga cukup banyak summer movies yang memuaskan lahir dan batin. Agaknya Matthew Vaughn akan segera menjadi komoditi panas Hollywood setelah X-Men: First Class muncul dengan hampir tanpa cela. Vaughn menyajikan First Class dengan adegan aksi dan tampilan visual yang terangkai dengan cantik berpadu bersama drama yang emosional yang dibumbui humor yang segar dan cast yang tepat. Sebuah film aksi superhero yang sangat memuaskan ditilik dari segala segi. X-Men: First Class benar-benar first class. Salut untuk Matthew Vaughn yang telah mengembalikan kepercayaan penonton terhadap franchise ini.

Outstanding

Minggu, 25 September 2011

REVIEW : FINAL DESTINATION 5



"Death doesn't like to be cheated." - Bludworth

Cara paling mudah dalam mengeruk keuntungan dari penjualan tiket bioskop adalah dengan membuat ulang atau melanjutkan sebuah film yang sukses besar di tangga box office. Franchise Final Destination memang bukan tergolong ke dalam franchise yang meraih kesuksesan luar biasa, namun sanggup mencapai Breakeven Point di setiap serinya dan masih menyisakan duit lebih untuk ditabung. Final Destination pertama adalah sebuah sleeper hit di tahun 2000. Di saat film horror remaja pada masa itu didominasi oleh teror pembunuhan berantai, Final Destination menawarkan sebuah ide berbeda yang cukup segar tentang mencurangi kematian. Menerima respon yang positif dari penonton dan beberapa kritikus melayangkan pujian, sudah bisa ditebak jika kemudian Final Destination terus melaju dengan dibuatnya beberapa sekuel. Berbeda dengan Saw yang kualitas penerusnya semakin lama kian menurun, Final Destination berhasil stabil di setiap serinya dan tetap menyenangkan untuk ditonton sekalipun inti ceritanya sebenarnya sama saja. Dengan rentang waktu yang lebih pendek, 2 tahun dari The Final Destination (umumnya tiap seri Final Destination berjarak 3 tahun), Final Destination 5 dirilis. Dikomandoi sutradara anyar, Steven Quale, seri ini menggunakan format 3D seperti prekuelnya yang menjanjikan sebuah tontonan yang lebih seram dan menegangkan.

Dalam sebuah perjalanan bisnis, Sam Lawton (Nicholas D'Agosto) mendapat penglihatan bahwa jembatan yang dilalui oleh bis yang ditumpanginya akan roboh dan menewaskan semua penumpang. Dengan didukung bujet $40 juta, Quale sanggup menampilkan adegan robohnya jembatan dengan cukup rapi. Ditangani dengan cekatan dan tampilan 3D yang sangat nyata, ini menjadi adegan pembuka paling menegangkan dalam seri Final Destination. Saya dipaksa untuk menahan nafas dan rasanya sangat menyenangkan saat mendengar beberapa penonton wanita berteriak ketakutan. Belum apa-apa, adegan kematian yang sadis nan mengejutkan sudah digeber dari sini. Sam yang merasakan keanehan saat bis mencapai jembatan, mulai panik dan meminta penumpang lain untuk turun. Hanya kekasihnya, Molly (Emma Bell), sahabat baiknya yang memiliki wajah mirip Christian Bale, Peter (Milles Fisher), kekasih Peter, Candice (Ellen Wroe), serta beberapa rekan kerja, termasuk atasan Sam, Dennis (David Koechner) yang mengikuti Sam. Benar saja, jembatan roboh beberapa saat setelah mereka turun dari bis dan menewaskan semua penumpang bis. Sam dan ketujuh rekannya yang berhasil selamat tidak begitu saja bisa bernafas lega. Seperti kata Bludworth (Tony Todd), "death doesn't like to be cheated." Satu persatu dari mereka yang selamat pun harus menemui ajalnya dengan cara yang sama sekali tidak disangka-sangka.


Bagi yang tidak menyukai atau tidak tahan tontonan yang penuh dengan darah dan dikemas dengan sadis, maka sebaiknya Final Destination 5 Anda hindari. Quale lebih berani dalam mengumbar adegan-adegan kematian yang sadis ketimbang rekan-rekan pendahulunya. Eric Heisserer yang kebagian jatah untuk menggarap naskah tidak hanya membuat semuanya menjadi lebih berdarah dan sadis semata, namun juga menyelipkan beberapa kejutan. Saya jamin Anda tidak akan bisa menebak bagaimana kedelapan tokoh ini menemui ajalnya. Quale dan Heisserer berhasil mengelabui penonton. Selain satu tokoh yang tewas dengan cepat namun sanggup mengejutkan penonton karena kejadiannya tidak terduga, kematian tokoh-tokoh lain cenderung membuat harap-harap cemas. Lihat saja bagaimana kematian pertama terjadi. Seperti menyaksikan pertandingan sepak bola saat bola sudah berada di dekat gawang dan seorang pemain hendak menciptakan gol tetapi berulang kali tertunda karena berbagai sebab. Persis seperti itulah yang terjadi dilengkapi dengan riuh rendah teriakan histeris penonton yang membuatnya menjadi terasa lebih menegangkan.

Yang patut mendapat apresiasi lebih adalah 3D dari Final Destination 5. Produser Craig Perry ternyata adalah seorang yang 'jujur' karena 3D yang dihasilkan disini benar-benar terasa nyata, bukan tipuan belaka layaknya kebanyakan film Hollywood akhir-akhir ini yang memakai 3D palsu (alias hasil konvert dari 2D, tidak di-shoot langsung dalam 3D). Hasilnya, Anda akan melihat gelimangan darah dan potongan-potongan tubuh menjadi lebih jelas. Segalanya menjadi pop-up. Itulah kenapa jika Anda mudah muntah saat melihat adegan-adegan sadis dan berdarah-darah saya sangat menyarankan agar Anda mengosongkan perut sebelum menyaksikan Final Destination 5. Menonton film ini dalam 3D sambil membawa cemilan sekarung sama sekali bukanlah pilihan yang tepat. Big No No. Setelah Insidious berhasil menghibur saya dengan horror klasiknya yang mencekam, Final Destination 5 pun menyajikan sebuah hiburan yang menyenangkan. Alur yang tidak mudah ditebak, 3D yang nyata, penggunaan special effect yang efektif serta penggarapan yang baik. Inilah film terbaik dari seri Final Destination.

2D atau 3D? Disarankan untuk menontonnya dalam versi 3D karena 3D-nya yang sangat nyata. Final Destination 5 menjadi berkali-kali lipat lebih menegangkan karena faktor 3D. Namun jika Anda tidak menyukai tontonan sadis namun tetap ingin menyaksikan film ini, maka lebih baik pilih versi 2D-nya saja.

Exceeds Expectations

Sabtu, 24 September 2011

REVIEW : CAPTAIN AMERICA THE FIRST AVENGER


"You don't win wars by being nice." - Col. Chester Phillips

Menikmati Captain America: The First Avenger baiknya menggunakan pendekatan dan cara tersendiri. Dari persperktif cerita, Anda harus paham dahulu bahwa Captain America bisa dikatakan tokoh penyemangat di masa perang. Mengambil setting Perang Dunia ke II, jangan bayangkan Engkong Stan Lee menggambarkan Captain America seheroik Superman atau 'semanusiawi' Tony Stark karena Joe Johnston menurut saya mengangkat cerita Steve Rogers (Chris Evans) dengan mempertahankan cita rasa komik hasil dari menerjemahkan karya Stan Lee. Chris Evans yang kita kenal sebagai si “panas” The Torch dalam Fantastic Four disulap menjadi orang yang akan ditolak resimen manapun kala dia mendaftar wajib militer karena dianggap terlalu lemah. Steve Rogers bisa jadi bahan tertawaan bagi penonton di awal cerita karena penampilan fisiknya yang merupakan hasil rekayasa CGI, namun berkat bantuan dari tampilan 3D yang lumayan apik sanggup membantu tampilan fisik Steve Rogers menjadi lebih nyata. Saya sedikit membayangkan jika dalam versi DVD 2D, mungkin rekayasa CGI ini sedikit terlihat aneh karena proporsi dan sebagainya.

Joe Johnston mengusung tema moral melalui tokoh Captain America. Sifat Steve Rogers yang membuat dia dipilih sebagai percobaan proyek rahasia militer yang kemudian merubahnya menjadi Captain America, senjata utama dalam melawan HYDRA, sebuah organisasi yang dipimpin oleh Johann Schmidt (Hugo Weaving). Hubungan Captain America dengan Peggy Carter (Hayley Atwell) dijalin dengan apik oleh Joe Johnston karena Peggy Carter disini bukan Denzel in the stress macam Mary Jane Watson yang sedikit-sedikit harus diselamatkan. Namun Peggy Carter (Hayley Atwell) selalu muncul (entah jabatannya setinggi apa) bersama Colonel Phillips (Tommy Lee Jones) untuk memberikan bantuan dalam pertempuran Captain America. Salah satu misi Captain America adalah menyelamatkan James Barnes (Sebastian Stan) dan banyak pasukan Amerika dari tahanan Hydra. Secara fisik Chris Evans memang cukup besar, namun selain dia terlihat lebih besar ketika menjadi Captain America dengan tambahan protein dan otot, pemilihan lawan main seperti Sebastian Stan, Tommy Lee Jones, dan Dominic Cooper yang tidak terlalu besar juga berpengaruh. Jika lawan mainnya Hugh Jackman, tentu Captain America akan terlihat biasa saja.

Banyak hal yang akan membuat Anda tertawa atau bingung dalam Captain America: The First Avenger ini. Jika anda mengikuti komik Captain America, the cube atau kubus biru yang muncul dalam film mungkin terasa asing, seasing kehadiran Howard Stark (Dominic Cooper). The cube dan Howard Stark (Dominic Cooper) disini selain sebagai bumbu cerita juga dimaksudkan sebagai penghubung nantinya dalam The Avenger. Rasanya ada si Narsis Robert “Iron Man” Downey Jr. dalam Captain America: The First Avenger, yaitu karena Howard Stark. Lompatan alur cerita Captain America: The First Avenger tidak terlalu jauh kecuali bagian awal dan akhir. Efek 3D di beberapa scene sangat terasa, paling tidak Anda tidak terlalu rugi menonton versi 3D. Saya menilai Captain America adalah superhero yang paling polos, lebih polos dari Spiderman yang memang tidak teralu baik nasibnya. Maka Anda perlu menonton Captain America: The First Avenger untuk mengetahuinya.

Note : Jangan terburu-buru meninggalkan gedung bioskop setelah film ini usai karena ada adegan tersembunyi di penghujung film. Anda sama sekali tidak akan rugi untuk sedikit bersabar menunggu.

2D atau 3D? Di beberapa bagian 3D-nya sangat terasa, meskipun secara keseluruhan masih kurang memuaskan. Jika Anda bukan penggila 3D atau memang kurang nyaman dengan 3D, lebih baik pilih versi 2D saja.

Acceptable

Oleh Anisa Caesar (link: http://www.facebook.com/anisacaesar )

Minggu, 18 September 2011

REVIEW : THE HANGOVER PART II


"There is a reason its called Bangkok, sweetie." - Kimmy

Setelah sukses mengumpulkan pundi-pundi sebanyak $467 juta dari peredaran seluruh dunia dan piala Golden Globe untuk Film Komedi/Musikal Terbaik dari hasil mengobrak abrik kota dosa, Las Vegas, kali ini The Wolfpack kembali mengunjungi layar lebar dengan petualangan yang tentunya diharapkan lebih gila dan tak bermoral dari sebelumnya. Sasaran empuknya tidak lagi Las Vegas, bahkan mereka juga tidak lagi berada di Amerika Serikat. Melanglang buana sejauh puluhan ribu kilometer, Thailand menjadi korban selanjutnya. Di Negeri Gajah Putih ini, The Wolfpack siap menebarkan ranjau-ranjau. Tim sukses dari The Hangover beberapa masih dipertahankan untuk menceriakan suasana. Todd Phillips ditunjuk kembali sebagai nahkoda utama, sementara Bradley Cooper, Ed Helms, Zach Galifianakis, Justin Bartha dan Ken Jeong juga kembali hadir. Heather Graham yang difungsikan sebagai pemanis di film sebelumnya absen hadir dan digantikan oleh Jamie Cheung yang berperan sebagai tunangan Stu (Ed Helms). Dengan dukungan dari tim sukses yang kurang lebih sama, The Hangover Part II siap untuk meledakkan bioskop dengan candaan fisik dan humor-humor kasar nan jorok yang lebih 'mengerikan'.

"It happened again!," teriak Phil (Bradley Cooper) saat terbangun dalam keadaan tidak karuan di sebuah hotel kumuh di Bangkok, Thailand. Kondisinya sama persis seperti dua tahun lalu di Las Vegas, hanya saja kali ini semakin gila. Phil, Stu, dan Alan (Zach Galifianakis) tidak ingat apa yang telah terjadi semalam. Sebelumnya, mereka berada di sebuah resor mewah dalam rangka merayakan pernikahan Stu, namun kemudian mereka terbangun di sebuah hotel kumuh yang berantakan. Apa yang telah terjadi? Jika dalam film sebelumnya ada harimau dan bayi, maka kali ini digantikan oleh seekor monyet cerdas dan Leslie Chow (Ken Jeong), seorang kriminal lucu yang menghebohkan The Hangover. Stu tidak kehilangan giginya, namun hadir tato yang mirip dengan milik Mike Tyson di kepalanya, dan Alan kehilangan rambutnya alias gundul. Sebenarnya ini tidak akan menjadi masalah besar karena bisa saja mereka bertiga hanya tinggal meninggalkan hotel tersebut dan kembali ke resor. Hanya saja, The Wolfpack tidak sendirian. Mereka membawa serta Teddy (Mason Lee), calon adik ipar Stu, dan Teddy menghilang! Jika Stu tidak bisa menemukan Teddy, maka tamat sudah riwayatnya terlebih Teddy adalah anak kesayangan ayah mertuanya. Bisa-bisa pernikahan Stu dan Lauren (Jamie Chung) terancam dibatalkan.


Maka, The Hangover Part II ini adalah mengenai petualangan The Wolfpack menelusuri gang-gang sempit di Bangkok dalam usahanya menemukan Teddy. Karena ini adalah sebuah sekuel, tentu Todd Philips tidak akan bersantai ria menikmati perjalanan ke Thailand. Dosis kegilaan harus ditambahkan hingga titik klimaks. Phillips turun tangan sendiri mengurus naskahnya dan dia mengajak duo penulis yang telah menghasilkan naskah untuk film-film sinting, Scot Armstrong dan Craig Mazin, untuk membantunya memoles naskah hingga menjadi tak karuan tingkat kebodohannya. The Hangover Part II pun menjelma menjadi sebuah tontonan tak berotak yang penuh dengan kegilaan dan sangat ngawur sejak menit pertama hingga ending. Pada dasarnya, film ini tak dimodali ide cerita yang luar biasa karena apa yang dituturkan disini hanyalah copy paste dari prekuelnya dengan kegilaan yang dilipatgandakan. Tak ada sesuatu yang baru untuk ditawarkan, tapi jelas masih efektif untuk mengundang tawa renyah penonton. Misteri kemana menghilangnya Teddy pun sejatinya sudah bisa ditebak sejak awal, sehingga untuk membuat penonton betah duduk di kursi hingga menit terakhir murni mengandalkan petualangan gila The Wolfpack.

Siapapun yang telah menyaksikan The Hangover tentu mengerti bahwa untuk bisa menikmatinya berarti harus menyingkirkan logika akal sehat untuk sejenak. Dalam The Hangover Part II, segalanya menjadi semakin tidak masuk akal saja. Jika Anda menginginkan adegan-adegannya relevan dan masuk akal, ada baiknya film ini dihindari. Tujuan Phillips jelas, menghadirkan sebuah tontonan yang mampu membuat penontonnya tertawa tiada henti. Komedinya tidak lagi secerdas prekuelnya, karena disini Phillips lebih banyak bermain-main dalam area slapstick. Ketololan Alan yang dikisahkan semakin menjadi jadi dan porsi Ken Jeong yang diperbesar adalah sarana efektif, kalau tidak mau disebut murahan, untuk memancing tawa. Meskipun The Hangover Part II tetap menjadi sajian hiburan yang menyenangkan, namun kesegarannya menjadi jauh berkurang karena faktor copy paste tadi. Apa yang akan terjadi selanjutnya menjadi mudah ditebak. Padahal yang membuat The Hangover jilid pertama terasa lezat adalah komedinya yang berisi dan banyaknya kejutan. Semoga saja di sekuelnya nanti, yang menurut rencana akan menjadi jilid penutup, Phillips dan tim tidak melakukan kesalahan yang sama. Sungguh disayangkan sekali karena The Hangover Part II ini bisa berpotensi menjadi film yang lebih sinting dan menyenangkan seandainya tidak terjadi pengulangan plot.

Acceptable


Kamis, 15 September 2011

REVIEW : RISE OF THE PLANET OF THE APES


"Apes alone weak. Apes together strong."

Apa revolusi yang paling menggemparkan dunia? Bukan revolusi Perancis, revolusi Russia, revolusi Iran, apalagi revolusi industri. Ini benar-benar sesuatu yang tidak biasa dan aneh. Revolusi kera. Nah lho, bisa dibayangkan bagaimana kekacauan yang terjadi, bukan? Sekelompok primata mengamuk, menghancurkan bangunan-bangunan di perkotaan dengan membabi buta menuntut kebebasan dan perlakuan yang layak terhadap manusia. Walaupun hanya terjadi di film Hollywood terbaru, namun tidak menutup kemungkinan hal ini bisa terjadi di masa mendatang terutama ketika hari kiamat telah mendekat. Revolusi kera ini terjadi dalam film garapan Rupert Wyatt, Rise of the Planet of the Apes, yang merupakan film ketujuh dari franchise Apes. Mengingat Rise of the Planet of the Apes (selanjutnya akan saya sebut dengan ROTPOTA) adalah sebuah reboot, maka ROTPOTA tidak memiliki keterkaitan dengan Planet of the Apes garapan Tim Burton yang dikecam para kritikus tersebut. Apabila melihat dari sejarah franchise-nya, ROTPOTA sedikit banyak memiliki kemiripan alur dengan Conquest of the Planet of the Apes (1972). Menjadi semacam pertanda bahwa franchise ini akan kembali dilanjutkan.

Protagonis kita adalah Will Rodman (James Franco), seorang ilmuwan yang tengah melakukan eksperimen terhadap sejumlah simpanse demi menemukan cara untuk mengobati penyakit Alzheimer. Gen-Sys, perusahaan tempat Will bernaung, enggan memberikan suntikan dana pada eksperimen ini setelah salah satu simpanse bernama Bright Eyes mendadak menjadi liar dan membuat para investor merugi. Will yang putus asa kemudian merawat anak Bright Eyes, Caesar (Andy Serkis), seraya mencoba untuk menemukan ramuan obat Alzheimer yang lebih pas. Caesar pun dijadikannya sebagai kelinci percobaan. Tak dinyana, obat yang dikembangkan oleh Will ini memberi dampak yang luar biasa kepada Caesar. Dia tidak lagi menjadi simpanse biasa. Tingkah lakunya menyerupai manusia dan Caesar memahami bahasa isyarat. Semakin hari, Caesar menjadi semakin cerdas dan cerdas. Melihat respon yang positif seperti ini, Will menjajalnya pada sang ayah, Charles (John Lithgow) yang mengidap Alzheimer. Penyakitnya seketika lenyap dalam semalam. Atasan Will, Steven (David Oyewolo), yang semula mendepaknya langsung mengutusnya untuk mengembangkan obat ini. Namun keserakahan para manusia yang bertindak seolah-olah sebagai Tuhan ini akhirnya harus dibayar mahal. Caesar mulai memberontak dan kondisi Charles justru kembali memburuk. Setelah menyerang seorang pria yang memaki Charles, Caesar dikirim ke semacam tempat penampungan hewan yang lebih mirip seperti sebuah penjara. Dikomandoi oleh seseorang yang mirip Hannibal Lecter dan hadirnya Draco Malfoy versi kucel, ini jelas bukan tempat yang tepat bagi Caesar yang emosinya tengah labil.

Saya sama sekali tidak menduga ROTPOTA akan menjadi sebuah sajian yang sangat memuaskan. Diremehkan oleh banyak pihak ketika proyek ini pertama kali didengungkan, Rupert Wyatt sukses membungkam siapa saja yang awalnya memandang film buatannya ini dengan sebelah mata, termasuk saya. Saat materi promosinya dipublikasikan, ROTPOTA sudah terlihat menjanjikan. Film ini langsung bercokol di urutan pertama film yang paling saya nantikan kehadirannya di bulan Agustus lalu. Setelah berminggu-minggu lamanya mengalami kegalauan mengkhawatirkan ROTPOTA yang mungkin saja tidak akan ditayangkan di bioskop-bioskop Indonesia, minggu lalu saya bisa bernafas lega setelah 21 Cineplex dan Blitz memberi lampu hijau untuk film ini. Penantian saya pun terbayar lunas. Seperti halnya Star Trek garapan J.J. Abrams, ROTPOTA versi Wyatt ini telah membuat saya jatuh hati pada franchise Apes. Sebelumnya, saya tidak tertarik sama sekali. Naskah racikan Rick Jaffa dan Amanda Silver sebetulnya sederhana, akan tetapi penanganan Wyatt yang tepat adalah kuncinya. Wyatt tidak memusingkan penontonnya dengan istilah-istilah yang rumit agar ROTPOTA bisa disebut sebagai film science fiction berkualitas tinggi. Alur berjalan dengan menarik dan tidak bertele-tele. Saat Caesar berjuang untuk mendapatkan kebebasannya, tensi meningkat. Pada titik ini yang berkeliaran di pikiran saya adalah, “apakah ROTPOTA bisa disebut sebagai film horror?” Penjara primata ini tidak hanya menjadi momok bagi para primata, tetapi juga penonton. Kita turut merasakan apa yang mereka rasakan. Saat revolusi mulai bergejolak, kita dihadapkan pilihan antara membenarkan tindakan primata-primata ini atau justru mengutuknya. Wyatt dan tim berada dalam posisi netral, tidak membiarkan kita memihak salah satu pihak meski terkadang ada kalanya penonton akan lebih memilih mendukung tindakan para primata.

Sanjungan juga patut untuk dilayangkan kepada Andy Serkis dan CGI buatan WETA yang memesona. Andy Serkis bisa dikatakan sebagai dewa penyelamat. Departemen aktingnya sama sekali tidak istimewa. Cenderung datar malah. James Franco bermain di zona yang terlalu aman, Freida Pinto terasa sama sekali tidak penting dan duo Brian Cox plus Tom Felton tak ada bedanya dengan villain di film sejenis yang sangat menyebalkan yang adegan kematiannya dirancang untuk membuat penonton bersorak sorai. Beruntung, Wyatt memiliki Serkis. Setelah bermain apik sebagai Gollum di trilogy The Lord of the Rings dan menghidupkan kembali tokoh legendaris, King Kong, Serkis tampil mengesankan sebagai Caesar. Dia adalah bintang sesungguhnya di ROTPOTA. Apakah penampilan briliannya disini sudah cukup untuk membuat Serkis mendapatkan piala Oscar? We’ll see. Special effect dalam ROTPOTA memang tidak semewah seperti apa yang ditunjukkan oleh Transformers 3, namun tetap digarap rapi dan porsinya tidak berlebihan karena difungsikan hanya sebagai penunjang, bukan sebagai kebutuhan utama. Sesuatu yang sudah sangat jarang ditemukan dalam film-film berbujet besar saat ini. Wyatt dan tim tidak manja. Sekalipun difasilitasi dengan special effect yang canggih, naskah tetap diperhatikan dengan baik. Dengan kepuasan tiada tara yang saya dapatkan seusai menonton film ini, pantaslah rasanya saya menempatkan ROTPOTA ke dalam jajaran film terbaik tahun ini.

Exceeds Expectations