Minggu, 25 September 2011

REVIEW : FINAL DESTINATION 5



"Death doesn't like to be cheated." - Bludworth

Cara paling mudah dalam mengeruk keuntungan dari penjualan tiket bioskop adalah dengan membuat ulang atau melanjutkan sebuah film yang sukses besar di tangga box office. Franchise Final Destination memang bukan tergolong ke dalam franchise yang meraih kesuksesan luar biasa, namun sanggup mencapai Breakeven Point di setiap serinya dan masih menyisakan duit lebih untuk ditabung. Final Destination pertama adalah sebuah sleeper hit di tahun 2000. Di saat film horror remaja pada masa itu didominasi oleh teror pembunuhan berantai, Final Destination menawarkan sebuah ide berbeda yang cukup segar tentang mencurangi kematian. Menerima respon yang positif dari penonton dan beberapa kritikus melayangkan pujian, sudah bisa ditebak jika kemudian Final Destination terus melaju dengan dibuatnya beberapa sekuel. Berbeda dengan Saw yang kualitas penerusnya semakin lama kian menurun, Final Destination berhasil stabil di setiap serinya dan tetap menyenangkan untuk ditonton sekalipun inti ceritanya sebenarnya sama saja. Dengan rentang waktu yang lebih pendek, 2 tahun dari The Final Destination (umumnya tiap seri Final Destination berjarak 3 tahun), Final Destination 5 dirilis. Dikomandoi sutradara anyar, Steven Quale, seri ini menggunakan format 3D seperti prekuelnya yang menjanjikan sebuah tontonan yang lebih seram dan menegangkan.

Dalam sebuah perjalanan bisnis, Sam Lawton (Nicholas D'Agosto) mendapat penglihatan bahwa jembatan yang dilalui oleh bis yang ditumpanginya akan roboh dan menewaskan semua penumpang. Dengan didukung bujet $40 juta, Quale sanggup menampilkan adegan robohnya jembatan dengan cukup rapi. Ditangani dengan cekatan dan tampilan 3D yang sangat nyata, ini menjadi adegan pembuka paling menegangkan dalam seri Final Destination. Saya dipaksa untuk menahan nafas dan rasanya sangat menyenangkan saat mendengar beberapa penonton wanita berteriak ketakutan. Belum apa-apa, adegan kematian yang sadis nan mengejutkan sudah digeber dari sini. Sam yang merasakan keanehan saat bis mencapai jembatan, mulai panik dan meminta penumpang lain untuk turun. Hanya kekasihnya, Molly (Emma Bell), sahabat baiknya yang memiliki wajah mirip Christian Bale, Peter (Milles Fisher), kekasih Peter, Candice (Ellen Wroe), serta beberapa rekan kerja, termasuk atasan Sam, Dennis (David Koechner) yang mengikuti Sam. Benar saja, jembatan roboh beberapa saat setelah mereka turun dari bis dan menewaskan semua penumpang bis. Sam dan ketujuh rekannya yang berhasil selamat tidak begitu saja bisa bernafas lega. Seperti kata Bludworth (Tony Todd), "death doesn't like to be cheated." Satu persatu dari mereka yang selamat pun harus menemui ajalnya dengan cara yang sama sekali tidak disangka-sangka.


Bagi yang tidak menyukai atau tidak tahan tontonan yang penuh dengan darah dan dikemas dengan sadis, maka sebaiknya Final Destination 5 Anda hindari. Quale lebih berani dalam mengumbar adegan-adegan kematian yang sadis ketimbang rekan-rekan pendahulunya. Eric Heisserer yang kebagian jatah untuk menggarap naskah tidak hanya membuat semuanya menjadi lebih berdarah dan sadis semata, namun juga menyelipkan beberapa kejutan. Saya jamin Anda tidak akan bisa menebak bagaimana kedelapan tokoh ini menemui ajalnya. Quale dan Heisserer berhasil mengelabui penonton. Selain satu tokoh yang tewas dengan cepat namun sanggup mengejutkan penonton karena kejadiannya tidak terduga, kematian tokoh-tokoh lain cenderung membuat harap-harap cemas. Lihat saja bagaimana kematian pertama terjadi. Seperti menyaksikan pertandingan sepak bola saat bola sudah berada di dekat gawang dan seorang pemain hendak menciptakan gol tetapi berulang kali tertunda karena berbagai sebab. Persis seperti itulah yang terjadi dilengkapi dengan riuh rendah teriakan histeris penonton yang membuatnya menjadi terasa lebih menegangkan.

Yang patut mendapat apresiasi lebih adalah 3D dari Final Destination 5. Produser Craig Perry ternyata adalah seorang yang 'jujur' karena 3D yang dihasilkan disini benar-benar terasa nyata, bukan tipuan belaka layaknya kebanyakan film Hollywood akhir-akhir ini yang memakai 3D palsu (alias hasil konvert dari 2D, tidak di-shoot langsung dalam 3D). Hasilnya, Anda akan melihat gelimangan darah dan potongan-potongan tubuh menjadi lebih jelas. Segalanya menjadi pop-up. Itulah kenapa jika Anda mudah muntah saat melihat adegan-adegan sadis dan berdarah-darah saya sangat menyarankan agar Anda mengosongkan perut sebelum menyaksikan Final Destination 5. Menonton film ini dalam 3D sambil membawa cemilan sekarung sama sekali bukanlah pilihan yang tepat. Big No No. Setelah Insidious berhasil menghibur saya dengan horror klasiknya yang mencekam, Final Destination 5 pun menyajikan sebuah hiburan yang menyenangkan. Alur yang tidak mudah ditebak, 3D yang nyata, penggunaan special effect yang efektif serta penggarapan yang baik. Inilah film terbaik dari seri Final Destination.

2D atau 3D? Disarankan untuk menontonnya dalam versi 3D karena 3D-nya yang sangat nyata. Final Destination 5 menjadi berkali-kali lipat lebih menegangkan karena faktor 3D. Namun jika Anda tidak menyukai tontonan sadis namun tetap ingin menyaksikan film ini, maka lebih baik pilih versi 2D-nya saja.

Exceeds Expectations

Tidak ada komentar:

Posting Komentar