Setelah dianggap sebagai ‘pengkhianat’ karena membesut Superman Returns yang berada di bawah payung DC Comics, musuh utama Marvel Comics (tempat dimana X-Men bernaung), Bryan Singer kembali lagi ke dalam keluarga besar X-Men. Tidak lagi sebagai sutradara, melainkan duduk manis sebagai produser. Matthew Vaughn yang angkat nama lewat Kick-Ass didapuk menjadi sutradara. Dengan bantuan duo hebat ini, First Class diharapkan mampu mengangkat lagi nama X-Men yang sebelumnya sempat tercoreng. Mengingat ini adalah sebuah reboot, maka First Class memulai segalanya dari awal, mengambil setting waktu jauh sebelum X-Men pertama terjadi. Ada tiga plot utama yang dimunculkan oleh tim penulis naskah pada awal film sebelum akhirnya nanti dilebur menjadi satu menjelang babak kedua. Erik mengalami masa lalu yang suram saat masa kecilnya dihabiskan di kamp konsentrasi Nazi dan ibunya dibunuh tepat di depannya, suatu kejadian yang membuatnya tumbuh menjadi seseorang yang pendendam. Charles jauh lebih beruntung karena hidup bergelimangan harta dan memiliki otak yang encer. Lalu kita juga akan berkenalan dengan seorang agen CIA yang cantik, Moira (Rose Byrne), yang tengah menyelidiki Sebastian Shaw (Kevin Bacon) yang disinyalir tengah menyusun rencana memanfaatkan krisis misil Kuba untuk memicu Perang Dunia Ketiga. Sebastian Shaw inilah yang mempertemukan ketiga tokoh utama ini ke dalam satu ‘ruangan’.
Harus diakui tahun 2011 ini merupakan salah satu tahun terbaik bagi film adaptasi komik. Walaupun masih ditemukan beberapa film yang kualitasnya mengecewakan, namun secara keseluruhan apa yang disajikan di layar bioskop tahun ini terbilang memuaskan. X-Men: First Class adalah salah satunya. Apa yang disajikan oleh Vaughn disini sudah lebih dari cukup, saya tidak bisa lagi meminta lebih. Dengan durasi sepanjang 130 menit, First Class sama sekali tidak melelahkan. Naskahnya yang padat berisi ditingkahi dengan ritme penceritaan yang berjalan cepat. Durasinya yang panjang tidak disebabkan tim penulis naskah yang sengaja ingin memanjang-manjangkan plot agar terkesan berkualitas atau untuk memberi kesempatan bagi tim special effects untuk pamer kemampuan, akan tetapi apa yang hendak disampaikan kepada penonton memang sangat banyak. Hebatnya, Vaughn mampu mengejewantahkan naskah dengan cekatan sehingga kosa kata seperti membosankan dan berantakan mampu terhindarkan. Untuk sekali ini, First Class digarap dalam tonal warna yang sedikit suram. Adegan kematian bukan menjadi sesuatu yang langka disini. Puncaknya adalah ketika Sebastian Shaw dan anak buahnya menyerang markas Divisi X.
Tidak ada yang lebih membuat saya terpukau ketika menyaksikan First Class selain adu akting James McAvoy dan Michael Fassbender. Chemistry yang berpadu dengan manis menjadikannya sebagai salah satu bromance terbaik yang pernah ada. McAvoy dan Fassbender tidak berusaha mereka ulang apa yang telah dilakukan oleh Patrick Stewart dan Ian McKellen. Professor X dan Magneto diterjemahkan ulang dengan cara mereka sendiri. Hubungan unik yang berkembang diantara mereke berdua sepanjang film menjadi salah satu kunci mengapa First Class sangat nikmat untuk diikuti. Jajaran pemain pendukung pun tak kalah memikat. Kevin Bacon memainkan peran Sebastian Shaw yang tenang namun dingin dan tak berperasaan dengan memikat, Jennifer Lawrence membuat saya bersimpati sekaligus sebal terhadap Raven, dan Nicholas Hoult sanggup menghidupkan Hank dan Beast yang memiliki kepribadian bertolak belakang dengan sama baiknya. Sementara dari mutan-mutan yang belum pernah tampil di seri X-Men sebelumnya, Banshee (Caleb Landry Jones), Azazel (Jason Flemyng) dan Alex Summers (Lucas Till) adalah yang paling mencuri perhatian. Keputusan Vaughn dan tim penulis naskah untuk fokus pada hubungan Erik dan Charles berdampak pada kurang tergalinya tokoh-tokoh pendukung. Emma Frost (January Jones) dan Angel (Zoe Kravitz) sebenarnya memiliki potensi lebih sebagai femme fatale saingan Mystique, namun kehadiran mereka justru hambar.
Outstanding
Tidak ada komentar:
Posting Komentar