Minggu, 28 November 2010

EUROPE ON SCREEN 2010

Europe on Screen (EOS) 2010 alias Festival Film Eropa baru saja selesai digelar di Semarang beberapa hari yang lalu. Kehadiran festival ini selalu saya tunggu setiap tahunnya karena kapan lagi bisa menonton film - film dari benua Eropa dengan gratis ? Dengan lambatnya jalur peredaran film yang sudah mencapai titik klimaks, festival film yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari (bahkan ironisnya totalnya tak mencapai jumlah jari di satu tangan) hingga pemutaran film yang amat sangat jarang diadakan, maka tidak heran jika EOS selalu saya nantikan kedatangannya di Semarang dan tak ambil pusing bagaimana dengan kualitas filmnya karena saya hanya butuh 'sesuatu' untuk menyalurkan hasrat saya terhadap film yang begitu besar (halah, ngomong apaan sih ini kok malah ada hasrat segala..). Setelah Festival Film Prancis tidak lagi mampir disini (Nasib, nasib..) secara otomatis EOS adalah satu - satunya harapan. Jika EOS pun nantinya melengos pergi, nampaknya saya harus angkat kaki dari kota ini secepatnya, haha.. Semarang terbilang beruntung karena mendapat jatah film yang lumayan banyak ketimbang kota lain di luar Jakarta. Tahun ini, tak banyak yang menarik buat disaksikan, jauh berbeda dengan tahun lalu yang memuaskan. Hanya saja sekali ini Semarang cukup beruntung ketiban film pembuka, Dagen Zonder Lief, dan sebuah film dari Bulgaria yang berhasil tembus top 9 Best Foreign Language Film di Oscar 2009, Svetat E Goljam I Spasenie Debne Otvsjakade. Saya hanya akan mengulas 3 dari 6 film saja karena 3 film lainnya membuat saya terkapar tak berdaya (You know what I mean)

1) Svetat E Goljam I Spasenie Debne Otvsjakade (Bulgaria, 2008)


Alex beruntung bisa selamat dari sebuah kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya. Hanya saja, dia tidak bisa mengingat apapun, termasuk namanya sendiri. Sang kakek, Bai Dan, datang ke Jerman untuk membawanya pulang ke Bulgaria. Cara yang unik dilakukan Bai Dan untuk mengembalikan ingatan Alex adalah dengan pulang mengendarai sepeda alih - alih kereta atau pesawat. Dalam perjalanan, Bai Dan membawa Alex ke berbagai tempat yang berhubungan dengan masa lalu Alex. Perlahan tapi pasti, Alex mulai mengingat segalanya, menjadi lebih dekat dengan sang kakek dan tentu saja tak lengkap rasanya jika tak berkenalan dengan seorang gadis cantik. Ide cerita film ini sebenarnya sederhana dan kerap dipakai dalam banyak film, mengenai seseorang yang berusaha untuk memulihkan ingatan orang terkasih dengan membawanya dalam perjalanan spiritual dalam masa lalu. Namun Stephan Komandarev dengan sukses mampu membuat film arahannya ini menjadi sangat menarik buat disimak. Perjalanan dari Jerman ke Bulgaria begitu menyenangkan, sesekali diberi kejutan dan humor yang segar. Didukung akting yang solid dari Miki Manojlovich dan Carlo Ljubek serta sinematografi yang menawan, Svetat E Goljam I Spasenie Debne Otvsjakade rasanya sayang buat dilewatkan. Flashback yang kerap muncul tanpa diduga tak mengganggu plot utama, justru sebaliknya sangat membantu penonton untuk lebih memahami plot utama. Plot yang klise pun bisa menghasilkan sebuah film yang apik jika naskah dan penggarapannya dikerjakan dengan serius.

Nilai = 9/10

2) Dagen Zonder Lief (Belgia, 2007)


Black Kelly kembali ke kampung halamannya di Belgia setelah bertahun - tahun mengadu nasib di New York. Kedatangannya mengejutkan semua orang, termasuk sahabat dekatnya. Black Kelly yang sekarang memiliki rambut blonde segera menyadari bahwa segalanya banyak yang berubah semenjak kepergiannya. Apa yang diharapkan ternyata tak berjalan seperti semestinya. Mantan kekasihnya kini telah dikaruniai seorang anak dan salah seorang kawannya tewas bunuh diri. Hidup ini terus berputar, tentu saja Black Kelly tidak bisa berharap segala sesuatunya masih akan berjalan sama seperti ketika mereka masih muda dan menghabiskan waktu hanya untuk bersenang - senang. Terlihat seperti film remaja biasa, Dagen Zonder Lief mengangkat tema persahabatan dengan plot yang cukup berat. Meski humor hadir disana sini, namun film ini berjalan dengan muram dan lambat. Penonton, khususnya para remaja, diajak untuk merenungi tentang kehidupan. Kita tidak akan selamanya remaja dan menghabiskan waktu hanya untuk bersenang - senang, tak ada yang abadi di dunia ini, bahkan persahabatan sekalipun. Akting dari Wine Dierickx, Jeroen Perceval, Pieter Genard hingga An Miller patut mendapat acungan dua jempol. Mereka berakting dengan natural, permainan ekspresinya pun kuat. Dagen Zonder Lief adalah sebuah film yang menyentuh dan penuh makna, namun disampaikan dengan jenaka sehingga penonton muda bisa memahaminya dengan baik.

Nilai = 8/10

3) Pokoj V Dusi (Slovakia, 2009)


Tono dibebaskan dari penjara setelah mendekam disana selama 5 tahun lamanya karena mencuri kayu. Saat kembali ke rumah, segalanya telah berubah. Istrinya menganggap dia sebagai orang asing, Tono hampir tak mengenali anaknya sendiri yang berusia 5 tahun dan tak ada seorang pun yang mau mempekerjakannya. Sahabat baiknya, Stefan, yang merupakan seorang pengusaha berpengaruh enggan berteman lagi dengannya. Hanya teman masa kecilnya, Marek dan Peter, yang bersedia membantunya. Tapi itupun tidak secara tulus karena sejatinya mereka memiliki maksud lain dengan membantu Tono. Jujur, saya kurang bisa menikmati Pokoj v Dusi. Meski tidak separah 3 film lainnya, film yang memiliki judul bahasa Inggris Soul at Peace ini mengalir begitu lambat dan sangat membosankan. Hanya di 30 menit pertama saja saya bisa menikmatinya dan penasaran dengan apa yang akan terjadi pada Tono, namun setelah itu mata ini terasa begitu berat. Ya, untuk akting, sinematografi dan tetek bengek lainnya memang bisa dibilang oke, namun tidak dengan naskahnya yang bertutur terlalu bertele - tele. Pemandangan indah pedesaan di Slovakia sajalah yang mampu membuat saya bertahan hingga akhir.

Nilai = 5/10


Minggu, 21 November 2010

REVIEW : HARRY POTTER AND THE DEATHLY HALLOWS PART I


"What a beautiful place to be with friends and Harry Potter is a friend of Dobby." - Dobby

Harry Potter telah mencapai babak akhir. Dengan dalih untuk memuaskan para fans bukunya, produser David Heyman dan Warner Bros. pun memutuskan untuk membagi Harry Potter and the Deathly Hallows menjadi dua bagian. Untuk babak pertama dilempar ke pasaran pada bulan November 2010 sementara bagian penutup baru menyusul sekitar 8 bulan kemudian. Bangku penyutradaraan masih dipegang oleh David Yates begitu pula dengan naskah yang masih tetap digarap oleh Steve Kloves. Tak ada perubahan signifikan dalam jajaran pemain, hanya ada beberapa tambahan pemain baru plus kembalinya para pemain lama yang sebelumnya sempat absen di beberapa film terakhir. Berita yang cukup mengejutkan fans Harry Potter adalah saat pihak Warner Bros. membatalkan 3D dari bagian I karena dinilai tak memuaskan, sepertinya trauma akan hasil Clash of the Titans masih membayangi. Untungnya, untuk seri kedua akan tetap diluncurkan dalam format 3D. Setelah gembar gembor masalah 3D ini berakhir, saya dan para fans kembali pada pertanyaan lama, akankah babak terakhir dari perjalanan Harry Potter dan dua sahabatnya ini digarap dengan memuaskan mengingat David Yates telah menghancurkan Harry Potter and Order of Phoenix dan Harry Potter and the Half-Blood Prince dengan sukses ? Kekhawatiran yang cukup beralasan, namun Yates sudah menjanjikan dirinya akan lebih setia terhadap buku dan memasukkan cukup banyak adegan intens ke dalamnya. Well, let's see!

Setelah kematian Dumbledore (Michael Gambon), dunia sihir menjadi kacau balau dengan ancaman dan teror dari Voldemort (Ralph Fiennes) dan para pasukan Death Eaters. Kementrian Sihir lumpuh, begitu halnya dengan Hogwarts yang bukan lagi merupakan tempat yang aman. Ron (Rupert Grint) dan Hermione (Emma Watson) memutuskan untuk keluar dari sekolah demi membantu sahabat mereka, Harry Potter (Daniel Radcliffe), dalam usahanya untuk menghancurkan rahasia kekebalan Voldemort, Horcruxes. Petualangan ini lebih sulit dari sebelumnya mengingat mereka tak lagi mendapat bantuan dari Dumbledore dan serangan dari Death Eaters yang sewaktu - waktu bisa membahayakan jiwa mereka. Tak ada lagi tempat yang aman bagi mereka. Harry sebelumnya ingin rehat sejenak di The Burrow bersama keluarga Weasley dan anggota Orde Phoenix yang tersisa, namun serangan dari Death Eaters di malam pernikahan Bill (Domhnall Gleeson) dan Fleur (Clemence Poesy) membuat Harry dan kedua sahabatnya itu kabur. Petunjuk mengenai keberadaan Horcrux lainnya mengarah pada sebuah liontin yang dikenakan oleh Dolores Umbridge (Imelda Staunton). Harry, Ron dan Hermione dengan bantuan ramuan Polijus mendobrak masuk ke Kementrian Sihir. Liontin berhasil didapatkan, namun siapa yang menduga bahwa efek dari liontin ini begitu dahsyat sehingga sempat meretakkan persahabatan antara Ron dengan Harry dan Hermione. Tak ada ide mengenai bagaimana cara menghancurkan liontin ini, mereka mendatangi Bathilda Bagshot (Hazel Douglas) yang bahkan belum sempat buka mulut sudah keburu dibunuh oleh Nagini. Keadaan menjadi semakin bertambah sulit saat Death Eaters berhasil melacak keberadaan mereka dan beberapa orang terkasih pun harus tewas demi menyelamatkan Harry Potter.

Saya pribadi lupa - lupa ingat mengenai jalan cerita dari Harry Potter and the Deathly Hallows karena saya membacanya sekitar dua tahun silam ditambah tebalnya novel sehingga beberapa detail sudah terlupakan. Untungnya, keputusan Warner Bros. untuk membelahnya menjadi dua bagian yang membuat banyak detail berhasil masuk, membuat ingatan saya segar kembali. Untuk sekali ini, pujian patut disematkan kepada David Yates dan tim. Entah bagaimana bisa Yates membuat dua film sebelumnya menjadi begitu buruk sementara Deathly Hallows bisa dia bikin dengan sangat apik. Agaknya Yates mempelajari kesalahannya sendiri saat membesut Harry Potter and the Half-Blood Prince yang meskipun mengantongi banyak pujian dari para kritikus dunia, nyatanya justru mengecewakan para fans Harry Potter. Babak paling tragis tersebut seakan hanya lewat saja, tak meninggalkan kesan apapun. Beruntunglah Warner Bros. kali ini memberi lampu hijau terhadap pembuatan versi film Harry Potter yang dibagi ke dalam dua bagian setelah sebelumnya beberapa kali ditolak. Meski banyak yang menuduh langkah ini hanya sebagai penambah pundi - pundi dollar semata (ya, saya juga sangat yakin akan hal itu, ini semua demi duit) tapi banyak kenyataannya ini merupakan keputusan yang tepat. Plot hole di Harry Potter and the Deathly Hallows tidak begitu besar, malahan hasil akhirnya ini sangat memuaskan dan diluar dugaan.

Dalam Half-Blood Prince, Yates gagal bermain di jalur romantis, namun tidak kali ini. Dia berhasil menyampaikannya dan tidak diumbar secara berlebihan. Adegan drama dan penuh dialog panjang tidak terasa menjemukan, justru sebaliknya, sangat membantu mereka yang belum pernah membaca bukunya. Bahkan beberapa kali Yates sanggup membuat saya emosional, feel-nya dapet banget! Tidak ada lagi adegan tak penting yang dimasukkan. Yah, ada untungnya Yates berkonsultasi kepada J.K. Rowling jika melihat hasilnya akan sebaik ini. Bagus dalam drama, menakjubkan saat Yates mencoba untuk bermain di jalur action dan horror. Kucuran dana sebesar $250 juta dimanfaatkan dengan sangat baik menghasilkan berbagai adegan aksi yang menegangkan. Salut kepada tim special effects atas hasil kerjanya yang luar biasa, mulus sekali. Lihat saja karakter Dobby, Goblin dan Kreacher yang terlihat nyata. Bahkan adegan di awal film juga digarap dengan bagus, sanggup membuat penonton menahan nafas. Nuansa suram dan mencekam coba dihadirkan disini. Inilah kekuatan utama dari Harry Potter and the Deathly Hallows. Yates sanggup menyaingi Alfonso Cuaron soal menciptakan adegan yang mencekam, tak terhitung berapa kali sound mengejutkan saya. Tidak disarankan bagi yang memiliki penyakit jantung untuk menyaksikan film ini. Sinematografi dari Eduardo Sera tampil cantik dan memikat sementara score gubahan Alexandre Desplat terasa megah.

Akan terlihat lucu dan aneh jika selama 9 tahun lamanya Daniel Radcliffe, Emma Watson dan Rupert Grint belum juga melebur dengan karakter yang mereka perankan. Emma Watson dan Rupert Grint berakting dengan kualitas jempolan disini, kemajuannya sungguh mengagumkan. Sebaliknya, Daniel Radcliffe masih berjalan di tempat meskipun aktingnya tak buruk, standar. Akibatnya, Watson dan Grint lebih mencuri perhatian ketimbang Radcliffe meski porsi akting mereka tidak sebesar Radcliffe. Sepertinya Radcliffe terlalu memikirkan beban yang harus dipikulnya sehingga menyebabkan aktingnya kurang lepas. Bagi yang sudah membaca bukunya tentu tahu bagaimana karakter Harry Potter begitu dominan sampai - sampai Ron dan Hermione terkesan sebagai tempelan semata. Hal ini tidak berlaku dalam versi filmnya berkat kekuatan akting dari Grint dan Watson. Untuk pemeran pendukung tentu tak perlu diragukan lagi karena diisi para aktor aktris Inggris kelas wahid dengan kualitas akting yang brilian. Imelda Staunton, Ralph Fiennes, Helena Bonham Carter hingga Jason Isaacs bermain di atas rata - rata seperti biasanya. Sungguh menyenangkan melihat sejumlah aktor aktris ternama bermain bersama dan bersaing satu sama lain untuk menyuguhkan akting terbaik kepada publik.

So far, inilah film terbaik dari Harry Potter saga. Setelah kegagalannya dalam mengejewantahkan dua seri sebelumnya, David Yates mencoba untuk menebus kesalahannya dan terbukti sekali ini dia tidak sekadar umbar janji. Prisoner of Azkaban yang selama ini bertengger di posisi puncak sebagai hasil adaptasi terbaik terpaksa harus menyingkir dan menyerahkan tahtanya kepada Deathly Hallows part I. Pemenggalannya pun terasa pas dan membuat penonton tidak sabar untuk segera menyaksikannya 8 bulan lagi. Entah bagaimana hasil part II nanti, tapi satu hal yang pasti David Yates telah memenuhi janjinya kepada para pecinta Harry Potter untuk tetap setia kepada novelnya dan menyuguhkan banyak adegan yang menarik.

Nilai = 8/10 (Exceeds Expectations)

Selasa, 16 November 2010

REVIEW : MEGAMIND


Metro City is MINE! - Megamind

Apakah kalian sudah bosan dengan film yang memakai format 3D ? Saya harap belum. Hingga tahun 2012, masih akan ada banyak sekali film yang menggunakanformat 3D sebagai daya tarik, bahkan untuk bulan November 2010 ini dua film berformat 3D siap mengunjungi penonton di bioskop, Megamind dan Tangled. Kebetulan sekali kedua film tersebuat adalah animasi 3D khusus konsumsi semua umur yang dibuat oleh penghasil film animasi terkemuka di Hollywood. Sementara Tangled baru akan ditayangkan pada akhir November, Megamind sudah lebih dulu menyapa pada awal bulan ini. Dilahirkan oleh DreamWorks Animation, sudah barang tentu Megamind memakai banyak bintang populer untuk ikut serta dalam mengisi suara. Sekali ini tampuk penyutradaraan dipegang oleh Tom McGrath, dalang dibalik kesuksesan dwilogi Madagascar.

Kisah Megamind sendiri terbilang sederhana, kalau tak ingin d
ikatakan klise. Intinya tentang kebaikan melawan kejahatan, tema yang sering dipakai dalam film keluarga dan superhero. Megamind (Will Ferrell) seperti halnya Metro Man (Brad Pitt), berasal dari suatu planet nun jauh disana yang hancur karena black hole. Mendarat di bumi, keduanya mengalami nasib yang berbeda. Metro Man lebih beruntung karena dikaruniai wajah yang rupawan, tubuh yang atletis dan kemampuan super yang baik, sementara Megamind hanyalah alien buruk rupa dengan kecerdasan diatas rata - rata yang sayangnya selalu apes dan dipinggirkan oleh rekan sebayanya. Berbagai kejadian buruk yang menimpa Megamind membuatnya memutuskan untuk menjadi penjahat. Dibantu oleh rekan sekaligus pengasuhnya, Minion (David Cross), Megamind tumbuh menjadi penjahat super kejam di Metro City. Yah, setidaknya itu yang diharapkan oleh Megamind, meski pada kenyataannya dia hanyalah penjahat gagal yang usahanya senantiasa digagalkan oleh Metro Man. Berkali - kali menculik seorang reporter cantik, Roxanne Ritchi (Tina Fey), tanpa membuahkan hasil, bahkan Roxanne sendiri sampai bosan. Hingga suatu ketika, saat museum Metro Man diresmikan dan Roxanne kembali diculik, Megamind berhasil mengalahkan Metro Man dan mengubahnya menjadi tengkorak!

Metro City berubah menjadi kota yang suram, Megamind menguasai seluruh aspek kehidupan. Saat mengira dirinya akan mendapat kebahagiaan, Megamind justru merasakan kekosongan dalam hidupnya. Hal ini mendorongnya melakukan suatu tindakan gila ; menciptakan seorang superhero. Tanpa pertimbangan yang matang dan cenderung asal - asalan, dia mengubah juru kamera Roxanne, Hal Stewart (Jonah Hill), sebagai pahlawan super bernama Tighten. Sakit hati yang didapat karena ditolak mentah - mentah cintanya oleh Roxanne dan tidak diakui keberadaannya oleh masyarakat, justru menjadikan Tighten sebagai seorang penjahat alih - alih pahlawan. Dari segi cerita memang tak ada sesuatu yang baru untuk ditawarkan kepada penonton, terlebih kisah mengenai seorang penjahat yang berubah menjadi pahlawan sudah lebih dulu dihadirkan oleh Despicable Me.



Jika tetap keukeuh memakai plot yang serupa, tentu Megamind tak akan menarik untuk ditonton karena hanya berupa pengulangan saja. Namun, duo penulis skenario, Alan J. Schoolcraft dan Brent Simons, mengapungkan sebuah ide yang cukup menarik, bagaimana jika penjahat dan pahlawan saling membutuhkan ? Lebih spesifik lagi, si penjahat sangat membutuhkan keberadaan si pahlawan. Diakui atau tidak, Megamind dan Metro Man memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Pada dasarnya Megamind memiliki hati yang lembut, namun dia mencoba untuk mengingkarinya karena hatinya terluka oleh berbagai peristiwa ketika dirinya masih berada di bangku sekolah. Kepergian Metro Man rupanya tak membuat hatinya bahagia, justru hanya menambah kekosongan dalam hatinya. Tak berani mengungkapkan isi hatinya secara langsung kepada Roxanne, yang diam - diam dicintainya, Megamind menyamar sebagai Bernard, seorang petugas di museum Metro Man. Dari sini terlihat bahwa film ini ternyata tak sesederhana kelihatannya. Karakter Megamind cukup complicated terlebih saat kita mencoba untuk memahami jalan pikirannya.

Megamind memang hadir sebagai sebuah film animasi yang menghibur. Terlepas dari naskahnya yang tidak istimewa, pemilihan cast-nya sangat tepat. Will
Ferrell cemerlang. Entah bagaimana jadinya jika Megamind disuarakan oleh aktor lain. Aksennya itu lho, ga nahan! Megamind di tangannya terasa begitu hidup dan mampu membuat penonton jatuh cinta. Tina Fey, Jonah Hill, David Cross dan Brad Pitt juga bagus, sayangnya performa mereka tertutup oleh kecemerlangan Ferrell. Pemakaian Pitt juga terasa percuma, disamping porsinya yang sedikit, rasanya Metro Man bisa lebih baik lagi jika dibawakan oleh aktor lain. Agaknya kemunculan Pitt disini hanya sebagai penyedap saja. Untuk humor dan naskahnya memang biasa saja. Entahlah, bayang - bayang Despicable Me masih sangat melekat di benak saya sehingga sulit rasanya untuk tidak membandingkan keduanya, apalagi jalan ceritanya yang nyaris serupa. Ada beberapa bagian dalam Megamind yang terasa menjemukan dan humornya kurang nendang.

Secara keseluruhan, Megamind tidak begitu mengecewakan, meski tidak juga memuaskan. Sedang - sedang saja. Cocok sebagai hiburan dikala diri ini sedang penat karena banyak masalah dan tugas menumpuk. Tanpa ekspektasi apapun, kalian dijamin akan dibuat terhibur oleh Megamind. Beberapa penonton terlihat tertawa lepas melihat aksi - aksi konyol dari Megamind dan Minion. Bukan film animasi terbaik tahun ini, tapi tetap sayang untuk dilewatkan begitu saja.

Nilai = 7/10 (Acceptable)

Jumat, 12 November 2010

REVIEW : TAKERS


Film mengenai perampokan bank memang selalu asyik buat ditonton, terlepas dari kualitas ceritanya yang bagus atau tidak. Bagian paling menyenangkan tentu saja saat para perampok menyusun strategi dan melancarkan aksinya. Biasanya sih, ada pengkhianat diantara mereka untuk menambah bumbu ketegangan, meski sekarang ini resep kuno yang cukup efektif tersebut sudah jarang digunakan. Beberapa film perampokan yang cukup memorable bagi saya antara lain Heat, Reservoir Dogs, Ocean's Eleven, Inside Man dan The Italian Job. Malahan Reservoir Dogs bertutur dengan unik karena apa yang ditunggu - tunggu justru tak pernah diperlihatkan, tapi hebatnya tak sedikit pun mengurangi kadar ketegangan. Tahun ini Hollywood menghadirkan Takers, sebuah film aksi perampokan dengan nuansa pop yang lebih kental. Diarahkan oleh sutradara tak terkenal, John Luessenhop, dan dibintangi oleh aktor - aktor idola, Takers jelas tak berniat untuk menjadi film yang serius.

Berkisah tentang sekelompok perampok bank profesional yang mampu melakukan kejahatan dengan sangat mulus, tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Kelompok yang dipimpin oleh Gordon (Idris Elba) ini terdiri dari John (Paul Walker), A.J. (Hayden Christensen) serta kakak beradik Jake (Michael Ealy) dan Jesse (Chris Brown). Mereka memiliki komitmen untuk melakukan perampokan bank hanya sekali dalam setahun untuk menjaga profesionalitas dan membuat keberadaan mereka sulit untuk dilacak. Namun semuanya buyar saat mantan anggota mereka yang baru saja bebas dari penjara, Ghost (T.I.) datang dan memberi penawaran yang sulit untuk ditolak, merampok sebuah mobil berlapis baja yang membawa uang $30 juta. Masalahnya, mereka hanya diberi waktu 5 hari untuk menyiapkan segalanya dan adanya keraguan akan rasa setia kawan pada diri Ghost. Benarkah Ghost bisa dipercaya ? Pertanyaan itu terus berkecamuk dalam diri masing - masing personil. Ghost memang memiliki masa lalu yang kelam bersama mereka dan terutama mantan kekasih Ghost, Lily (Zoe Saldana), kini menjadi tunangan Jake. Masalah ini menjadi semakin rumit tatkala dua detektif, Jack (Matt Dillon) dan Eddie (Jay Hernandez) berambisi untuk menangkap mereka.


Mengingat bahwa Takers memang dipersiapkan sebagai 'popcorn movie', tentu kita tidak bisa berharap banyak kepada film ini. Plotnya sangat biasa, klise dan mudah ditebak. Penonton yang terbiasa menonton film sejenis ini tak akan kesulitan mengetahui ke arah mana film ini berjalan, bagaimana endingnya dan siapa pengkhianat diantara mereka. Setelah sebuah aksi perampokan yang berjalan seru di 15 menit pertama, Takers berjalan membosankan. Untungnya tidak berlangsung lama, Luessenhop dan tim penulis naskah cepat tanggap dan kembali menaikkan tensinya. Meskipun Takers mudah ditebak, namun tetap saja film ini enak buat diikuti. Klimaksnya yang mengambil setting di jalanan kota Los Angeles dan Hotel Roosevelt sangat menegangkan. Saya akui, Luessenhop berhasil membuat saya cukup emosional disini. Seandainya tiap karakter digali lebih dalam, mungkin hasilnya akan lebih bagus.

Para pemain pun bermain biasa saja, beberapa malah cukup buruk. Yang berakting cukup apik malah Marianne Jean-Baptiste yang berperan sebagai kakak dari Gordon. Sementara untuk aktor utama hanya Idris Elba, Hayden Christensen dan Matt Dillon yang terbilang lumayan. Bukan sepenuhnya salah para pemain karena naskahnya memang tidak memungkinkan mereka untuk bergerak lebih leluasa. Cukup disayangkan memang apalagi mengingat beberapa nama bukanlah pemain baru di Hollywood dan kualitas aktingnya terbilang bagus. Takers sebenarnya berpotensi menjadi film yang bagus jikalau naskahnya digarap lebih serius dan pemilihan cast-nya tepat. Semisal Luessenhop tidak sadar diri dengan membiarkan Takers dikuasai adegan drama, bisa jadi Takers menjadi film yang sangat buruk. Yah, adegan aksi menyelamatkan segalanya.

Bagi kalian yang menyukai film hiburan ringan dan tak peduli soal kualitas naskah dan akting, Takers lumayan buat dijadikan pengisi waktu kosong. Takers adalah film perampokan bank yang menghibur meskipun naskahnya sangat klise dan para pemainnya berakting dengan mengecewakan. Namun bagi yang mencari hiburan berkualitas, ada baiknya jangan menyentuh Takers.

Nilai = 6/10 (Acceptable)

Minggu, 07 November 2010

REVIEW : AKU ATAU DIA ?


Seharusnya Novi (Julie Estelle) berbahagia karena sang kekasih, Dafi (Rizky Hanggono), mendapatkan promosi dalam pekerjaannya. Namun semuanya hancur tatkala Dafi justru minta putus karena ingin konsentrasi dalam karirnya. Hubungan yang berlangsung selama 4 tahun kandas begitu saja seakan tak ada artinya bagi Dafi. Novi kesal, dia tak terima dicampakkan oleh Dafi tanpa alasan yang masuk akal. Kekesalan Novi semakin menjadi - jadi tatkala dia melihat Dafi sedang menggandeng mesra atasannya, Amara (Aline Adita), di sebuah mal. Itulah adegan pembuka dari Aku atau Dia ?. Beberapa menit penonton saya sempat mengernyitkan dahi karena alurnya yang cenderung mirip dengan FTV. Tapi saya yakin Affandi Abdul Rachman tidak akan membuat film dengan alur yang klise dan mudah ditebak, apalagi ini adalah sekuel dari Heart-Break.Com yang menuai banyak pujian itu.

Benar saja, Aku atau Dia ? mulai enak diikuti terutama saat Novi memutuskan untuk memakai jasa Heart-Break.Com agar Dafi kembali ke pelukannya. Saudara Novi, Wawan (Ananda Omesh) rupanya sudah cukup akrab dengan sistem kerja Heart-Break.Com karena di film sebelumnya dia juga berada dalam situasi yang sama saat teman kontrakannya diputus oleh kekasihnya yang hendak melanjutkan studi di luar negeri. Dukungan dari orang terdekat seperti Wawan, Pipit (TJ) dan Asep (Ringgo Agus Rahman) sangat dibutuhkan saat ini demi suksesnya misi yang hendak dijalankan. Elza (Sophie Navita), sang pemilik jasa, mengutus mantan agennya, Rama (Fedi Nuril). Sepertinya ada trauma masa lalu antara Rama dengan Heart-Break.Com sehingga dia tidak begitu saja mengiyakan tawaran dari Elza. Dalam misi kali ini, Rama dipersiapkan sebagai pria mapan, kekasih baru Novi, sementara penampilan Novi diubah sedemikian rupa agar terlihat lebih modis dan 'berani'.

Lucunya, Dafi seperti kebakaran jenggot saat melihat Rama dan Novi bermesraan. Tentu Dafi tak bisa melarang Rama untuk berdekatan dengan Novi karena status Dafi yang bukan lagi sebagai kekasih Novi. Misi ini mulai menjadi berantakan saat Rama merasakan getaran cinta dengan Novi yang berujung pada kemarahan Novi pada Heart-Break.Com dan minta agar misi ini dibatalkan. Sayang sekali saya belum menyaksikan Heart-Break.Com sehingga tak bisa membandingkannya dengan Aku Atau Dia ?. Namun jika dinilai sebagai sebuah film yang berdiri sendiri, bukan sekuel, Aku Atau Dia ? berhasil menuntaskan misinya dengan baik. Aku Atau Dia ? adalah sebuah film komedi romantis yang memikat. Komposisi antara komedi dan romantis seimbang, berpadu dengan amat cantik menghasilkan tontonan yang manis, bermutu dan layak diapresiasi. Sempat muncul rasa pesimis dalam diri ini saat film romantis buatan lokal kebanyakan jadi 'memble' dan malah berakhir menjadi film cengeng alih - alih romantis. Contoh terbaik untuk film romantis tahun ini, tentu saja, adalah Hari Untuk Amanda.

Meski baru menelurkan tiga film saja, Affandi Abdul Rachman layak diperhitungkan. Konsisten menghasilkan karya bagus dengan ide cerita yang segar, sosok seperti Affandi inilah yang dibutuhkan oleh perfilman lokal saat ini. Ide cerita Heart-Break.Com, Aku Atau Dia ? maupun Pencarian Terakhir sebenarnya sederhana dan cenderung klise, namun Affandi berhasil mengemas ketiga film tersebut menjadi lebih menarik. Aku Atau Dia ? tidak jatuh menjadi film komedi romantis penuh lawakan tidak jelas, cengeng atau malah gombal, film ini mengalir dengan realistis dan natural. Beberapa kali Affandi sukses menggiring penontonnya ke dalam adegan yang mengocok perut, romantis hingga menegangkan. Endingnya pun manis, tak terkesan dipaksakan untuk memuaskan penonton. Dari segi teknis juga tidak ada masalah yang berarti.

Julie Estelle bermain kuat disini. Sekalipun dikelilingi oleh Ringgo Agus Rahman, TJ dan Omesh yang super heboh, tapi Julie Estelle tidak tenggelam. Affandi tahu betul bagaimana membagi porsi untuk tiap karakter sehingga tidak ada satupun karakter yang merasa karakternya kecolongan atau kurang mendapat porsi. Bahkan Aline Adita yang mendapat porsi kecilpun tetap terlihat menonjol. Trio Ringgo, TJ dan Omesh plus para tim Heart-Break.Com, terutama Edo Borne, sukses membawakan peran mereka sebagai sang penghibur, meski terkadang kelewat lebay. Yang cukup membuat saya kagum adalah kemajuan akting dari Rizky Hanggono yang biasanya berakting lempeng, sekali ini berhasil 'konek' ke penonton. Karakter Dafi bisa membuat penonton sebal, namun di sisi lain juga sanggup membuat penonton merasa bersimpati. Justru Fedi Nuril yang kurang meyakinkan. Entahlah, meski karakter Rama digambarkan sebagai pria idaman, namun Fedi Nuril kurang berhasil membawakannya. Tidak jelek, hanya kurang greget. Saya yakin Fedi Nuril bisa bermain lebih bagus lagi.

Seperti yang sudah saya tulis, Aku Atau Dia ? adalah sebuah film komedi romantis yang memikat. Komposisi antara komedi dan romantis seimbang, berpadu dengan amat cantik menghasilkan tontonan yang manis, bermutu dan layak diapresiasi. Bosan dengan film lokal yang semakin tidak jelas ? Aku Atau Dia ? bisa menjadi pilihan alternatif, apalagi dengan cara bertuturnya yanng ringan dan menghibur. Film ini membuat kita tetap optimis bahwa masih ada sineas lokal yang peduli dengan nasib perfilman nasional.

Nilai = 7/10 (Acceptable)