Sabtu, 23 Oktober 2010

REVIEW : RINTIHAN KUNTILANAK PERAWAN

"Di setiap gigitan, terselubung ribuan rintihan Kuntilanak mengincarmu"

Mumpung lagi tak ada film baru di bioskop (Damn you, XXI!) saya pun melangkahkan kaki ke 'kuil beribadah' untuk mencicipi film terbaru dari baginda KK Dheeraj lewat rumah produksinya K2K Production yang berjudul Rintihan Kuntilanak Perawan. Sudah, sudah, tak usah ributin judulnya, karena hanya Baginda saja yang mengetahui secara pasti apa maksudnya, seperti halnya Selimut Berdarah yang nyata - nyata sepanjang film selimutnya diumpetin ama baginda biar penonton sibuk mencari keberadaannya. Ah, KKD ini memang paling bisa aja deh! Untuk penyutradaraan, KKD tidak turun tangan sendiri, dia minta kepada muridnya, Yoyok Dumprink. Tidak hanya di film ini saja, beberapa film baginda yang terakhir juga mengerahkan murid - muridnya. KKD cuma duduk berleha - leha di kursi produser sambil bawa dikipasi dayang - dayangnya. Jadi jika kelak KKD tak lagi eksis sang murid bisa meneruskan apa yang telah baginda mulai. Oh, betapa mulianya hatimu, baginda. Saya jadi terharu *mulut berbusa*

Banyak yang menyebut Rintihan Kuntilanak Perawan menjiplak jalan cerita dari Jennifer's Body yang dibintangi si seksi Megan Rubah, percayakah kalian ? kalau saya sih tidak. Seorang sejenius KKD tentu tak akan main asal jiplak. Ada kemungkinan Karyn Kusama yang menyontek *detektif mode ON* Alkisah, KKD yang lagi buntu dan mengalami writer's block, terbang ke Amrik untuk mencari inspirasi. Disana dia mengikuti semacam seminar untuk para penulis naskah. Nah, disinilah dia berkenalan dengan Karyn Kusama. Spontan, baginda yang super jenius ini tanpa sengaja membeberkan apa yang ada di dalam pikirannya. Ya, cikal bakal munculnya Jennifer's Body. Tarararara, baginda pun mencak - mencak saat mengetahui Jennifer's Body memiliki kisah yang sama persis dengan ide yang diutarakannya ke Kusama. Malas menuntut, baginda tetap berusaha mewujudkan idenya itu dengan jalinan kisah, penggarapan, sisi teknis dan akting pemeran yang sejuta kali lipat lebih buagus! *harapan KKD sih begitu, tapi kenyataannya kalian tentu sudah tahu sendiri hohoho.. *whistle

Siapa ya yang bisa ngalahin Megan Fox ? Pikiran itu terus membayangi KKD selama berabad - abad lamanya. Hingga akhirnya sang sahabat sekaligus bromance dia, Nayato, menelponnya dan memberi dia pencerahan. Nama Tera Patrick masuk bursa. Dengan hobinya 'jualan semangka' yang berukuran super gede, KKD makin mantap untuk memakainya. Kali ini lebih terang - terangan bo. Biasanya kan si KKD suka main rahasia - rahasiaan tuh ma kita "Artis Jepang no 1" atau "Bintang Korea". Oke, saya datang 20 menit lebih awal agar tidak ketinggalan satu scene pun dari film yang lebih enak disingkat jadi Rin Kuper ini. Saat film berjalan 15 menit, sempat berpikiran untuk meninggalkan bioskop karena ternyata Rin Kuper lebih bagus dari Diperkosa Setan. Dang it! Kucoba untuk bersabar dan Ulalaaaaaa, ternyata semakin dalam justru makin tak karuan. Mantafffff! Jadi, si Alice (Tera Patrick) ini dikisahkan masih perawan *keselek biji kedondong yang ga tau dateng darimana* Bahkan saat vokalis The Kerens merayunya *sumpah, gue ga salah ketik disini, nama band-nya emang gitu* dengan gayanya yang khas dia bilang, "I'm still virgin." OMG, dengan penampilan yang kayak begono dan kerjaannya cuma bolak - balik diskotik bareng sepupunya, Lily (Angel Lelga), ente percaya dia masih perawan ? *ambil inhaler*

Singkatnya, Alice pun 'diculik' The Kerens yang aduhai kerennya itu dan mendadak sering ngilang sampai bikin Lily stres. Suatu malam, Lily yang cuma memakai pakaian dalam ini memergoki Alice makan makanan mentah dan entah kenapa langsung pingsan. Mendadak dia dibangunkan oleh ibunya, rupanya dia tertidur di meja makan. Haisssahhhh. Uniknya, waktu bercerita ke kekasihnya, Mike (aktor langganan KKD, Andreano Philip), yang dimunculkan dalam flashback, setelah dia melihat Alice makan wortel mentah, dia mengepel lantai bekas muntahan Alice. Nah lho! Coba positive thinking aja, mungkin itu di malam yang lain. Jadi, si Alice ini mendadak punya kepribadian ganda. Dia suka membantai para pria yang digodanya di diskotik di sebuah villa tua yang dipenuhi karung yang disobek - sobek agar terlihat menyeramkan. Oh iya, Alice yang menurut Lily adalah "lulusan mahasiswa Amerika yang memiliki nilai cum laude" (apa yang aneh dari dialog ini ?) ini rupanya ga bisa bahasa Indonesia lho meskipun sejak kecil udah tinggal disini. Dialog berbahasa Indonesia yang pertama kali diucapkannya adalah, "Tutup!" Tepuk tangan pun bergemuruh. Memang sepanjang film dia juarang buanget ngomong bahasa Indonesia sementara Angel Lelga juga emoh berdialog bahasa Inggris terus - terusan. Lantas ? bilingual tentunya.

Sebentar, otak saya membeku. Saya bingung harus menceritakan apa lagi. Oh, mungkin salah satu korban Alice yang dandanannya mirip Rizky Mocil. Jadi, si Mocil ini nyerahin hapenya ke Alice minta nomor hape, tapi cuma dilihat doang, kagak dikasih nomornya tapi Alice bilang gini "If you want me (or my body ?), just text me." Sms kemane ? Nomor hape aja kaga lu kasih! *emosi, lempar kursi 21 yang udah berbunyi kiyak kiyek ke layar* Nah nah, tapi si cowok ini nyatanya bisa sampai juga ke tempat persembunyian Alice *nangis darah* kayaknya Alice dan dia punya kontak batin (positive thinking!). Entah kenapa, Alice ini suka sekali bunuh manager The Kerens. Dua kali lho (atau malah tiga ?). Meski demikian, The Kerens tetap melenggang sukses, bahkan mendapat rekor MURI sekalipun (Kayaknya sih rekor 'band yang managernya paling sering tewas dibunuh'). Mike yang bertubuh kekar namun cemen ini kemudian pindah ke rumahnya Lily karena takut dibunuh juga. Dengan gayanya yang sok, dia bilang ke ibunya Lily "saya akan jaga anak tante" Lah, lu aja pindah ke rumah dia karena ketakutan! Karena dilarang tinggal sekamar dengan Mike, Lily girang bener saat ibunya pergi ke rumah sahabatnya. Berarti saatnya... (silahkan diisi sendiri)
Yang saya tak habis pikir, kenapa ada Sadako Cilukba yang selalu muncul tiba - tiba ? Jrengggg, dengan backsound yang mengagetkan tapi tak memiliki korelasi dengan ceritaaaaaa! *banting gelas* Sepertinya KKD terinspirasi Kala-nya Joko Anwar. Mungkin setan ini adalah jelmaan dari Alice atau pelindungnya. Gregetan karena mbak Kunti tak kunjung muncul, semakin gregetan melihat Tera Jana yang sedari menit pertama hingga menit terakhir berakting dengan gaya yang sama, gerakkan bahu ke kanan, lantas ke kiri, bermain - main dengan rambut dan ditambah senyuman sinis yang menyebalkan. Sebelum menggoda korban, jejogetan dulu deh di lantai diskotik dengan cara yang sama pula *hammer* Tapi, itu belum ada apa - apanya jika dibanding akting The Kerens yang alamakkkkkk bisa bikin saya menangis mengalahkan tangisan Erika Sawajiri di 1 Litre of Tears. Oke, kuntilanak tak kunjung nongol, saya juga baru menyadari rupanya mbak Keket juga belum nongol. Hingga menit ke-60 juga tak ada sedikit pun tanda. Hingga akhirnya Tania (Catherine Wilson) mendadak nongol di depan rumah Lily. Saya jadi penasaran, Keket dibayar berapa ya untuk bermain disini ? Porsi aktingnya paling kecil, namun kebagian jatah adegan dan dialog oon paling buanyak. Tengok aja peribahasa andalan dia, "Udah keburu tenggelam, sekalian aja nyelam." atau saat dia masih sempat - sempatnya berwasiat ke Lily saat Alice udah siap menyerangnya.

Klimaks Rin Kuper emang sangat ampun - ampun deh. Saya sampai malas menjelaskannya karena saking ajaibnya. Ada aki - aki tua yang ngeselin pula. Jadi, si aki ini yang memberi kekuatan 'supernatural' ke Alice sehingga saat Alice terluka, dia bisa cepat sembuh (mirip Claire di Heroes dengan kekuatan regeneration). Saking senengnya dikasih kekuatan begini, Alice bolak - balik nyilet pembuluh nadi di lengannya. Namun yang bikin gemes justru kakek tua ini. Dia yang ngasih kekuatan, tapi saat keadaan mulai menjadi tak terkendali, dia ogah ngilanginnya. Malah dia lempar kertas berisi mantra kepada Lily dan Tania agar mereka yang mengatasinya karena hanya orang terkasih saja yang mampu. Dasar kakek tua mesum tak bertanggung jawab! *sobek wadah popcorn* Yah, tentu kalian sudah bisa menebak endingnya seperti apa. KKD selain menganut aliran mesumisme dan absurdisme, beliau ternyata juga menganut aliran lebayisme. Tak terhitung berapa kali baginda berlebay - lebay ria, namun yang lebaynya ga ketulungan tentu di ending saat Tania memukul tempurung kaki Alice dengan balok kayu yang mengakibatkan Alice lumpuh hingga dua tahun lamanya. Padahal mukulnya pelan banget! *acak - acak rambut*

Rin Kuper berakhir bahagia dan ditutup dengan potongan - potongan koran yang memperlihatkan sebuah headline news "The Kerens ditangkap, masyarakat mengecam" Inilah bukti bahwa dialog dan kata - kata di film baginda memiliki sejuta makna. Apa penafsiran kalian dari judul tersebut ? Kalau menurut saya sih, masyarakat mengecam pihak kepolisian karena The Kerens ditangkap *nenggak racun tikus*

Nilai = Maaf, nilainya sedang merintih kesakitan.

Minggu, 17 Oktober 2010

REVIEW : STEP UP 3D


"People dance because dance can change things" - Moose

Sudah siapkah kalian untuk kembali bergoyang dan menghentakkan kaki di bioskop ? Jika ya, maka bersiaplah karena Step Up telah kembali dan kali ini dalam format 3D! Inilah film dance pertama yang pengambilan gambarnya menggunakan kamera 3D secara keseluruhan. Banyak pihak yang meragukan pemakaian 3D dalam film ini, beberapa menyebutnya sebagai alat untuk pendongkrak popularitas belaka. Namun jika mengetahui bahwa Step Up 3D bukanlah hasil konversi dari 2D, hal itu tampaknya tak sepenuhnya benar. Jon Chu, sutradara Step Up 3D yang juga membesut prekuelnya Step Up 2 : The Streets, ingin membuat semua tarian yang ada dalam film ini terasa lebih hidup sehingga penonton pun bisa lebih mendapat 'feel-nya'. Seperti kedua prekuelnya, Step Up 3D tidak memasang bintang populer sebagai pemain utamanya. Hanya saja kali ini sedikit terasa lebih istimewa karena kehadiran beberapa finalis dari So You Think You Can Dance.

Kisah dari Step Up 3D tidak ada hubungannya dengan film sebelumnya. Yang menghubungkan Step Up franchise adalah para karakternya. Rasanya Step Up 2 dan Step Up 3D lebih pantas disebut sebagai spin-off ketimbang sekuel, terutama karena kisahnya yang memfokuskan pada karakter pembantu di film sebelumnya. Step Up 3D memiliki Moose (Adam Sevani) dan Camille Gage (Alyson Stoner) yang masing - masing pernah muncul di The Streets dan Step Up. Moose dikisahkan sudah memasuki bangku kuliah di NYU dan berjanji kepada Camille bahwa dirinya akan meninggalkan hobinya, dance. Tentu bukan perkara yang mudah terutama saat Moose berkenalan dengan pimpinan grup dance Pirates, Luke (Rick Malambri). Luke menjadikan gudang miliknya sebagai 'markas' bagi Pirates yang terdiri dari sekumpulan dancer berbakat yang tidak memiliki tempat tinggal karena berbagai alasan. Dari awalnya hanya iseng berkunjung, pada akhirnya Moose pun direkrut menjadi salah satu anggota Pirates. Masalah keuangan yang mengancam keberadaan Pirates memaksa Luke untuk mendaftarkan timnya dalam kompetisi tari tingkat dunia, World Jam. Untuk menambah kekuatan, belakangan Luke juga merekrut Natalie (Sharnie Vinson), gadis cantik misterius yang menarik perhatian Luke saat di klub. Mereka pun mati - matian berlatih demi bisa memenangkan kompetisi tersebut dan menyingkirkan rival terberat mereka, House of Samurai. Konflik pun mulai bermunculan disini termasuk Moose yang harus berbohong kepada Camille demi mengikuti kata hatinya.


Yang perlu dicatat adalah Step Up 3D jelas bukan film yang dibuat untuk memuaskan para kritikus dan pecinta film dengan ceritanya yang berbobot, sehingga jangan berharap banyak dengan apa yang dituturkan oleh film ini. Lupakan naskahnya yang kelewat ringan dan banyak lubang karena tujuan utama dibuatnya Step Up 3D hanya untuk menjual berbagai atraksi dance. Ya, kisahnya memang tidak menarik dan sangat klise, tapi koreografi tariannya sangat aduhai. Dari ketiga seri Step Up, hanya tarian dari seri ketiga inilah yang bikin saya jatuh hati, begitu indah dan menyenangkan. Non-stop dance movie, mungkin itulah julukan yang paling pas untuk film ini. Selama kurang lebih 100 menit kita diajak untuk terus bergoyang dan menghentakkan kaki. Tidak seperti kedua prekuelnya yang memakai battle dance di penghujung film saja, kali ini hampir sepanjang film dipenuhi oleh battle dance. Jangan lewatkan aksi Pirates saat memamerkan kemampuan tari mereka di atas panggung yang penuh dengan air atau tarian Broadway dari Moose dan Camille yang menyenangkan sekaligus menyegarkan. Yang mencuri perhatian saya dan para penonton adalah anggota Pirates bernama Vladd yang memiliki ciri khas tarian Robot. Eitsss, jangan salah sangka dulu. Tarian robot ini bukan seperti yang biasa kita saksikan, tentunya disini dibuat lebih unik dan menarik. Penasaran seperti apa ?

Keunggulan dari Step Up 3D selain koreografinya yang ciamik, tentu saja penggunaan 3D yang efektif. Dibuat langsung secara 3D berpengaruh pada hasil akhirnya yang terasa nyata dan beberapa kali terasa 'eye-popping'. Sekalipun dipakai di sepanjang film, Jon Chu lebih sering memanfaatkan World Jam untuk lebih mengeksplor 3D karena memang disinilah koreografi - koreografi tarian yang sulit nan menakjubkan kerap muncul. Salut atas kerja keras Hi-Hat dan para pemain yang berhasil memunculkan tarian sebagus ini. Pemilihan soundtrack pun saya rasa sangat tepat karena beberapa lagu sangat mendukung apa yang hadir di layar. Track paling asyik tentu saja "Club Can't Handle Me" dari Flo Rida dan David Guetta, namun yang membekas di hati saya adalah "Bust Your Windows" milik Jazmine Sullivan lantaran momennya yang sangat pas mengiringi Luke dan Natalie saat menari tango. Ah, manis sekali hingga bikin sakit gigi..

Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, Step Up 3D memang khusus dibuat sebagai film hiburan sehingga tak heran jika naskahnya agak keteteran dan para pemainnya berakting cenderung datar. Terlalu fokus untuk menciptakan adegan tari yang wah membuat Jon Chu tidak sempat untuk memperhatikan naskahnya yang mengabaikan kedalaman karakter. Untuk teknisnya sendiri tak ada masalah berarti, Step Up 3D memang terbentur dengan masalah naskah. Tapi rasanya hanya segelintir penonton yang ambil pusing dengan naskah karena mayoritas memilih Step Up 3D sebagai tontonan ringan dan menghibur, tak mau peduli bagaimana dengan plotnya. Ya, saya sendiri juga seperti itu. Tak berekspektasi lebih karena sedari awal Step Up 3D memang dibuat khusus sebagai 'popcorn movie'. Nikmati saja filmnya, maka kalian akan terhibur. Bukan film tari terbaik yang pernah dibuat Hollywood, namun Step Up 3D adalah salah satu film paling menghibur tahun ini. Jujur, saya bahkan menontonnya hingga dua kali karena Step Up 3D membuat mood saya membaik. Obviously, a very fun movie.

Nilai = 7/10 (Acceptable)


Jumat, 08 Oktober 2010

REVIEW : MADAME X


"Dengan kekuatan datang bulan, aku akan menghukummu !" - Madame X

Saat perfilman Indonesia mulai surut dan genre komedi seks serta horror perlahan mulai dijauhi penonton, maka itulah saatnya bagi para sineas untuk memikirkan cara bagaimana menyelamatkan industri film lokal. Tak lagi soal mencari untung belaka, tetapi kualitas pun dipikirkan. Sayangnya hanya ada segelintir saja yang menyadari keadaan ini, kebanyakan masa bodoh dan tutup mata telinga hati, urusan mati suri nanti saja, yang penting duit terus mengalir ke dalam kantong. Kalyana Shira bergabung dalam barisan pertama yang memikirkan masa depan perfilman nasional. Tak hanya sekarang, saat masih berjaya pun Kalyana Shira selalu melempar film yang kualitasnya mampu dipertanggungjawabkan. Kalyana Shira gitu loh! Setelah berbagai drama berat serta komedi yang menyegarkan, Kalyana Shira punya ide segar untuk perfilman, meski ini tergolong nekat, dengan mencoba menghadirkan genre komedi superhero. Dibebankan kepada sineas muda, Lucky Kuswandi, Madame X terlihat menjanjikan sekaligus mengkhawatirkan. Proyek ini memiliki peluang sukses dan gagal sama besarnya terlebih karena tema dan genre yang coba diangkat tergolong ke dalam sesuatu yang jarang disentuh oleh para sineas karena potensi gagalnya yang besar. Namun munculnya nama Nia Dinata sebagai produser yang merupakan jaminan mutu serta ensemble cast yang meyakinkan, mau tak mau mengusik diri kita dan penasaran akan hasilnya.

Hari itu seharusnya menjadi hari ulang tahun yang membahagiakan bagi Adam (Aming) jikalau kelompok ekstrim bernama Bogem pimpinan Kanjeng Badai (Marcell Siahaan) tidak menyerang klub malam tempat dimana Adam bersama kawan – kawan terdekatnya sedang merayakan pesta ulang tahun Adam. Para waria diciduk dan diangkut ke truk yang berujung pada tewasnya sahabat Adam, Aline (Joko Anwar). Tidak terima dengan perlakuan Kanjeng Badai kepada Aline, Adam memberontak. Usahanya tak membuahkan hasil, dia justru dibuang di jalanan dan akhirnya terdampar di Tanjung Awan. Untunglah dia diselamatkan oleh Om Rudy (Robby Tumewu) dan Tante Yantje (Ria Irawan), pasangan pemilik sanggar tari. Demi membalas kebaikan pasangan ini, Adam rela menjadi salah satu penari dan berlatih Tari Lenggok. Meski awalnya tak meyakinkan, Adam justru menunjukkan kemajuan yang paling pesat diantara rekan – rekannya. Singkat cerita, Adam kemudian menyadari bahwa Om Rudy dan Tante Yantje ini bukanlah pasangan biasa, pekerjaan sampingan mereka adalah menumpas kejahatan dan Adam dilatih untuk menjadi superhero melawan kaum minoritas. Awalnya menolak, namun setelah Tante Yantje tewas di tangan Bogem, Adam pun membara. Dengan bantuan Cun Cun (Fitri Tropica) dan Din (Vincent Rompies), Adam bertransformasi menjadi Madame X, superhero penegak peadilan yang membela kaum minoritas, khusunya kaum gay, lesbian dan transgender. Klimaksnya, Madame X pun harus berhadapan dengan Kanjeng Badai dan ketiga istrinya, Bunda Lilis (Sarah Sechan), Kinky Amalia (Shanty) dan, Bunda Ratu (Titi DJ), saat berusaha menyelamatkan Ratih (Saira Jihan) yang diculik oleh Bogem.


Madame X adalah karakter asli rekaan Aming, bukan merupakan adaptasi dari komik seperti kebanyakan film tentang superhero. Jangan keburu pesimis dan menuduh film ini jiplakan dari film bikinan Hollywood, Madame X justru mengingatkan saya pada tokusatsu dari Jepang. Telinga ini geli saat mendengar apa yang diucapkan oleh Adam saat dia berubah wujud, "Dengan kekuatan datang bulan, aku akan menghukummu!" Kalian yang mengikuti anime dan manga di tahun 90-an tentu tahu siapa sosok yang ditiru oleh Adam. Yup, Usagi Tsukino alias Sailormoon. Gayanya pun cenderung mirip, meski tidak bisa dikatakan menjiplak, terinspirasi mungkin. Berbicara mengenai inspirasi, sepertinya kostum rancangan Tania Soeprapto dan Isabelle Patrice terinspirasi dari kostum Lady Gaga, desainnya mirip. Apa yang dikenakan oleh tiga istri Kanjeng Badai terlihat seperti kostum penari Gaga di videoklip Bad Romance. Namun saya tidak akan menyerang departemen kostum, justru pujianlah yang saya layangkan. Bersama dengan tim make up, mereka berhasil memberi warna tersendiri di Madame X dengan desain yang unik dan penuh warna, sanggat menggambarkan kaum minoritas yang disentil oleh film ini.

Tak ada istilah salah casting disini karena seluruh pemain berakting bagus, terutama Joko Anwar yang bisa disebut sebagai scene stealer disini. Porsinya sedikit, tapi begitu membekas di ingatan. Karakter banci yang selama ini diperankan Aming di Extravaganza masih sedikit melekat, untungnya di paruh akhir saat berubah menjadi Madame X perlahan menghilang. Untuk memancing tawa penonton, Agasyah Karim dan Khalid Kashogi tidak melulu memakai komedi slapstick, beberapa kali humor cerdas yang menjadi ciri khas dari Kalyana Shira pun diluncurkan. Sudah menjadi rahasia umum jika membuat film komedi itu bukanlah perkara mudah, salah - salah bukannya penonton tertawa yang ada justru bermuka masam. Madame X beberapa kali mengalami hal itu, humor garing sempat muncul. Madame X mencoba tampil bagaikan komik, adegan aksi dibubuhi kata "Boom!", "Kapow!", "Wadaww!" dan semacamnya agar terlihat konyol, settingnya pun penuh warna. Untuk special effect sendiri masih banyak kekurangan, masalah yang sangat umum di perfilman Indonesia. Jangan mengharap pertarungan yang spektakuler, kalian akan dibuat kecewa olehnya.

Madame X bukanlah film komedi superhero yang hanya menjual kekerasan dan lawakan semata, banyak sekali pesan terselip di dalamnya. Diam - diam, Agasyah dan Khalid mencoba melakukan kritik sosial. Cermati saja kisahnya dengan baik, kalian tentu tak akan susah menangkap sindiran yang mereka lontarkan. Terkadang halus, namun tak jarang pula begitu frontal. Dari plotnya sendiri sudah bisa ditebak Madame X akan berisi sindiran - sindiran terhadap kehidupan sosial masyarakat. Selama ini para waria dibuang dan tidak dianggap hanya karena kehidupan mereka berbeda dari masyarakat pada umumnya. Madame X tidak pro waria dan mencoba untuk membuat waria bak pahlawan, mereka hanya ingin mencoba menyadarkan kita bahwasanya waria tidaklah lebih buruk, mereka juga ingin hidup normal seperti kita. Jangan menghakimi seseorang hanya dari penampilan, mungkin itu yang hendak disampaikan. Terkadang seseorang yang berperilaku santun serta mereka yang berkoar - koar ingin melindungi negara justru memiliki perilaku lebih buruk. Madame X menyentilnya berkali - kali.

Nilai = 7/10 (Acceptable)

Sabtu, 02 Oktober 2010

REVIEW : LEGEND OF THE GUARDIANS : THE OWLS OF GA'HOOLE


Mata ini sempat terbelalak saat melihat nama Zack Snyder tertulis sebagai sutradara dari Legend of the Guardians : The Owls of Ga'hoole. Bagi yang akrab dengan film buatan Snyder, hal ini tentu sangat mengherankan dan mengejutkan namun sekaligus mengundang rasa penasaran. Bagaimana jadinya saat sutradara khusus film dewasa yang terbiasa memakai adegan kekerasan penuh darah harus menangani sebuah film animasi tentang burung hantu yang diperuntukkan sebagai tontonan keluarga ? Belum apa - apa sudah banyak cibiran dan pesimis terhadap film ini karena adanya faktor Snyder. Saya pribadi tidak memiliki cukup info mengenai The Owls of Ga'hoole saat menontonnya, bahkan siapa saja artis yang menyumbang suara pun tak tahu. Bermodalkan nekat, saya pun berangkat ke bioskop terdekat untuk menyaksikan The Owls of Ga'hoole yang memang dibuat untuk konsumsi 3D ini.

Dengan durasi sepanjang 90 menit, The Owls of Ga'hoole terasa pas, tidak terlalu pendek dan juga tidak terlampau panjang. Alurnya pun bergerak cepat. Si bungsu Eglantine (Adrienne deFaria) bersama dengan kedua kakaknya, Soren (Jim Sturgess) dan Klud (Ryan Kwanten), bermain seolah - olah mereka adalah Guardians, burung hantu penjaga yang terkenal dengan sikap kepahlawanannya. Eglantine dan Soren memang sangat mengagungkan legenda tentang Guardians, tapi Kludd tidak begitu peduli karena menganggap Guardians tidak benar - benar ada, hanyalah sebuah mitos. Keributan kecil yang disebabkan oleh Klud yang merasa iri melihat Soren lebih diperhatikan oleh kedua orang tuanya saat berlatih terbang membuat Klud dan Soren terjatuh dari pohon mereka dan seketika diangkut oleh sepasang burung hantu yang tidak mereka kenal. Mereka dibawa ke sebuah tempat berkedok penampungan yatim piatu bernama St. Aggie yang dipimpin oleh Metalbeak (Joel Edgerton) dan Nyra (Helen Mirren). Soren segera menyadari bahwa pasangan ini memiliki niat yang tidak baik terlebih setelah melihat para burung hantu yang dibuat kesurupan dan diperbudak oleh mereka. Bersama dengan Gylfie (Emily Barclay), Soren pun merencanakan untuk kabur dan mencari pertolongan ke para Guardians. Klud menolak untuk mengikuti Soren, sebaliknya dia malah memihak kepada Nyra.


Tampaknya keputusan yang tepat menyerahkan posisi sutradara kepada Zack Snyder. The Owls of Ga'hoole tidak muncul sebagai film animasi yang kekanakan. Mereka yang telah dewasa pun bisa menikmatinya dengan baik. Ciri khas Snyder masih tetap dipertahankan disini, tentu saja minus adegan telanjang dan kekerasan yang berdarah - darah yang menjadi favoritnya. Yang saya maksudkan disini adalah adegan yang dibuat slow motion, khususnya saat pertempuran. Untuk The Owls of Ga'hoole, Snyder sering sekali memakai ciri khasnya ini, ditunjang dengan pemakaian 3D yang apik, adegan - adegan yang hadir terasa begitu nyata dan istimewa. Saat Soren dan kawan - kawannya dilatih di tengah badai besar serta saat Soren mencoba mengambil api untuk menyelamatkan para Guardian, sungguh menegangkan. Penonton dibuat menahan nafas saat menyaksikan adegan ini.

Tak ada pertempuran penuh darah disini, namun bukan berarti The Owls of Ga'hoole tidak menyajikan adegan pertempuran yang seru. Adegan saat para Guardians menyerbu sarang "Pure Ones" disajikan dengan sangat apik oleh Snyder meskipun terkesan sedikit menyeramkan buat anak - anak. Setidaknya The Owls of Ga'hoole tak segaring The Chronicles of Narnia. Untuk efek visual serta animasinya sendiri tak usah diragukan lagi. Begitu kinclong dan hidup. Animal Logic yang sebelumnya sukses menghidupkan para penguin di Happy Feet kali ini pun sukses membuat sekumpulan burung hantu ini terasa hidup. Mimik wajah dan cara mereka bicara yang biasanya cenderung datar, tergambar dengan baik disini. Gemas rasanya saat melihat para burung hantu ini berbicara. Imut sekali. Haha...

Jika ingin menonton film dengan pemakaian teknologi 3D yang apik, maka cobalah film ini. Bisa dibilang, The Owls of Ga'hoole setara dengan Avatar untuk penggunaan 3D. Oleh karena itu, jika ada uang lebih, jangan segan untuk merogoh kocek sedikit lebih dalam demi merasakan sensasi 3D yang disajikan oleh Zack Snyder dan tim. Saya jamin kalian tak akan menyesal. Jangan lupa pula ajak anak atau keponakan saat menyaksikan The Owls of Ga'hoole. Ceritanya sederhana dan tidak sulit untuk dicerna buat penonton cilik ditambah lagi sudah tersedia teks bahasa Indonesia. Sekali - kali menyenangkan mereka tak ada salahnya, bukan ? Toh film ini memang sebenarnya ditujukan untuk penonton cilik. Yang pasti banyak sekali adegan yang akan membuat penonton cilik bersorak sorai gembira, tertawa lepas dan berkobar penuh semangat.

Nilai = 8/10 (Exceeds Expectations)