"Kita jatuh bukan karena batu besar, tapi karena kerikil!" - Wisnu
Sepakbola merupakan olahraga yang sangat populer di Indonesia. Anehnya, hanya segelintir sineas di Indonesia yang berani membesut film yang bersentuhan olahraga ini bahkan ketika film buatan Ifa Isfansyah, Garuda di Dadaku, secara mengejutkan berhasil menorehkan angka di atas 1,4 juta penonton pada tahun 2009 silam sekalipun. Kebanyakan cenderung memilih untuk menelurkan karya-karya yang aman, dalam artian proses produksinya mudah, murah, dan cepat. Tidak mengherankan jika perfilman lokal didominasi oleh film yang bertema seragam. Hasrat para pecinta olahraga untuk menyaksikan olahraga favoritnya diwujudkan ke dalam bentuk film layar lebar pun tak tersalurkan. Beruntung masih ada beberapa pekerja film yang cermat melihat peluang. Rudi Soedjarwo dan Hanung Bramantyo yang disebut-sebut sebagai salah satu sineas terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia, bersaing di tahun 2011 ini dalam menghasilkan sebuah film tentang sepakbola. Jika Hanung Bramantyo memulainya dari awal, maka Rudi Soedjarwo menerima tongkat estafet dari Ifa Isfansyah untuk melanjutkan kisah Bayu (Emir Mahira) dalam Garuda di Dadaku 2. Naskah masih tetap ditangani oleh Salman Aristo yang baru-baru ini menggarap naskah Sang Penari.
Impian Bayu untuk menjadi bagian dari timnas sepakbola Indonesia U-13 berhasil terwujud. Tidak tanggung-tanggung, dia turut diangkat menjadi kapten tim karena dinilai memiliki kemampuan bermain yang handal. Tentu saja Salman Aristo tidak akan selamanya membiarkan Bayu untuk bersuka cita. Proses pendewasaan diri Bayu menjadi konflik utama yang disuguhkan dalam Garuda di Dadaku 2. Berbagai cobaan mendera Bayu dari segala arah, seakan tak mengenal ampun. Tim yang dipimpinnya berulang kali menghadapi kegagalan yang berakibat pada dipecatnya sang pelatih, Harri Dotto (Dorman Boerisman). Penggantinya adalah seorang pelatih muda yang sangat disiplin, ambisius dan keras, Wisnu (Rio Dewanto) yang cara melatihnya membuat Bayu merasa tidak nyaman. Wisnu pun mendatangkan seorang pemain berbakat dari Makassar, Yusuf (Muhammad Ali), yang dalam waktu singkat mencuri perhatian banyak pihak, termasuk sahabat Bayu, Heri (Aldo Tansani), yang semakin lama semakin akrab dengan Yusuf. Ketika lapangan tidak lagi menyenangkan bagi Bayu, rumah pun turut berasa seperti neraka terlebih dengan hadirnya Rudi (Rendi Krisna) yang merenggangkan hubungan Bayu dengan sang ibu, Wahyuni (Maudy Koesnadi). Di sekolah, permasalahan datang dari ketua kelompok belajarnya, Anya (Monica Sayangbati), yang ‘meneror’ Bayu dengan deadline tugas dan tidak mau tahu posisi Bayu sebagai kapten timnas.
Garuda di Dadaku 2 dihadirkan dalam alur dan stuktur cerita yang padat, dialog yang bernas, serta penggarapan dari Rudi Soedjarwo yang tidak kalah menarik dari Ifa Isfansyah. Salman Aristo memasukkan sindiran-sindiran halus kepada pemerintah, dan tak lupa menjumput beberapa referensi dari apa yang tengah hangat di dunia sepakbola Indonesia dalam beberapa bulan terakhir, semisal kisruh kongres PSSI, pelatih timnas yang diberhentikan secara tidak hormat, hingga atlit sepakbola yang menjadi artis infotainment. Politisasi Sepakbola yang disuntikkan ke dalam film bisa jadi akan sulit dicerna bagi penonton cilik, namun ini menjadi hiburan tersendiri bagi penonton yang akrab dengan dunia sepakbola lokal. Jika dalam prekuelnya penonton melihat bagaimana perjuangan Bayu demi menggapai impiannya, maka disini penonton melihat upaya Bayu menyikapi berbagai macam problematika kehidupan sebagai bagian dari proses pendewasaan diri. Rudi Soedjarwo dan Salman Aristo memutar balik apa yang terjadi di film sebelumnya, sehingga formula ‘hero to zero’ diterapkan disini. Bayu dituntut untuk bersikap dewasa dan membuang sikap egois yang menghinggapinya dalam menghadapi setiap rintangan yang ada.
Ada konsekuensi yang harus diterima ketika tim memutuskan untuk menumpuk sejumlah konflik agar film menjadi padat. Terlalu banyaknya lapisan konflik justru membuat Rudi Soedjarwo kebingungan dalam menentukan prioritas. Penggaliannya terasa kurang dalam dan tidak ada dinamika pada hubungan antar karakter. Setiap karakter yang memiliki koneksi dengan Bayu ditampilkan selewat saja, tak berkesan. Bromance antara Bayu, Heri, dan Yusuf, bagi saya, ditampilkan agak berlebihan karena terkesan terlalu cengeng. Malah menggelikan. Namun yang paling saya sesalkan, pertandingan sepakbola yang seharusnya menjadi momen penting, tidak begitu ditonjolkan. Gegap gempita dalam Tendangan Dari Langit, tidak saya temukan disini. Beruntung, Rudi Soedjarwo memiliki tim yang solid di sisi teknis dan akting. Garuda di Dadaku 2 terbantu editing yang dinamis, pengambilan gambar yang indah dan kekuatan akting setiap pemainnya. Emir Mahira sanggup menampilkan emosi yang dibutuhkan dengan pas, luwes dan believable, sementara Rio Dewanto membuktikan kepada khalayak ramai bahwa dia adalah aktor yang patut diperhitungkan. Masih segar di ingatan bagaimana Rio Dewanto tampil begitu kemayu di Arisan! 2 dan sekarang dia menjelma menjadi pelatih yang macho, tegas dan berwibawa. Kelemahan memang masih ditemukan disana sini, itu sangat manusiawi. Sekalipun tak bisa menyaingi jilid pertamanya yang sedemikian renyah, Garuda di Dadaku 2 menutup tahun 2011 ini dengan indah. Saya masih percaya, masa depan cerah menanti perfilman Indonesia.
Acceptable
Tidak ada komentar:
Posting Komentar