Jika dulu membicarakan film Thailand berarti membicarakan film horror, maka sekarang tidak lagi. Ada tren baru yang berkembang di negara gajah putih ini paska kesuksesan luar biasa dari Bangkok's Traffic Love Story dan Hello Stranger. Setelah dua tahun berturut-turut film komedi romantis merajai tangga box office di Thailand, maka film horror yang selalu menjadi andalan Thailand harus mengalah sejenak. Mengambil pendekatan yang agak mirip dengan film romantis buatan Korea membuat Love Story dan Stranger mudah diterima oleh kalangan luas. Apalagi Korea sekarang lebih asyik membuat genre thriller / suspense ketimbang romantis. Para sineas Thailand jeli dalam mengambil kesempatan. Tidak hanya sukses di negerinya sendiri, Love Story dan Stranger pun sempat membuat heboh masyarakat Indonesia. Belakangan, demam Korea berubah menjadi demam Thailand. Jika sebelumnya Rain atau Won Bin dielu-elukan oleh para perempuan, maka sekarang giliran Mario Maurer yang naik daun. Maurer sudah cukup lama berkecimpung di dunia seni peran sebenarnya. Pernah berlakon secara apik dalam The Love of Siam, namanya baru melesat di negeri tercinta ini setelah tampil menggemaskan dalam Crazy Little Thing Called Love.
Plot yang dihadirkan oleh duo Puttipong Pormsaka Na-Sakonnakorn dan Wasin Pokpong terbilang sangat sederhana, atau lebih kasarnya, super klise. Melihat tampilan poster, mengintip trailer dan membaca sinopsisnya yang tampak biasa tak menggugah hati saya untuk segera menontonnya. Justru yang membuat saya penasaran adalah mengapa setiap orang membicarakan film ini. Kisahnya tak jauh berbeda dengan film romantis atau FTV kebanyakan. Nam (Fern Pimchanok Lerwisetpibol) menyukai seniornya yang tampan dan idola di sekolahnya, Shone (Mario Maurer). Bagi gadis dengan penampilan buruk seperti Nam, mendapatkan Shone bagaikan pungguk merindukan bulan. Mustahil. Belum lagi lawannya adalah gadis-gadis berparas ayu dan berbakat. Satu-satunya yang bisa dibanggakan oleh Nam adalah kemampuannya dalam berbahasa Inggris. Tapi bukan Nam namanya jika menyerah begitu saja. Sang ayah menawari Nam tiket ke Amerika jika dia bisa meraih ranking 1. Ini mencambuk semangat Nam. Dengan bantuan ketiga sahabatnya, Nam berusaha keras untuk mendapatkan Shone sekaligus ranking 1. Selesai begitu saja ? Tidak, perjalanan Nam masih panjang dan berliku. Ketika Nam yang gelap itu bertransformasi menjadi Nam dengan kulit bening, segalanya tidak menjadi lebih mudah. Top (Acharanat Ariyaritwikol), sahabat Shone yang menyukai Nam, menjadi penghalang antara Shone dan Nam. Hadirnya Pin juga turut membuatnya menjadi semakin rumit. Nah, nah, nah...
Melihat ulah Nam dan ketiga sahabatnya yang begitu polos sungguh membuat gemas. Puttipong Pormsaka Na-Sakonnakorn dan Wasin Pokpong membuat penonton kembali bernostalgia dengan kisah cinta monyet masing-masing saat masih duduk di bangku SMP. Ayo mengaku, siapa yang pernah naksir dengan kakak senior sampai rela mengikuti ekskul yang sebenarnya tak disukai dan membaca tips-tips mendapatkan cowok, lalu pura-pura ke toilet hanya untuk mengintip kelas orang yang disukai? Itulah yang dilakukan Nam dan konco-konconya ini. Saya dibuat tertawa terbahak-bahak melihat betapa polos dan konyolnya cara mereka, namun saya tertawa juga karena beberapa diantaranya pernah mengalaminya, hikikiki. Masih ditambah dengan ulah guru bahasa Inggris mereka yang galak namun sebenarnya baik hati dan konyol. Puttipong dan Wasin mencoba menghadirkannya dengan realistis dan santai sehingga film pun enak dinikmati. Tapi saya kurang sreg dengan transformasi Nam. Kerja departemen make-up memang sangat bagus karena bisa menyulap Fern Pimchanok Lerwisetpibol yang sedemikian cantiknya menjadi susah dikenali. Namun ketika Nam yang buruk rupa itu berubah menjadi gadis yang cantik dan modis, prosesnya terlalu cepat dan unbelievable. Mungkin terjadi, tapi tak secepat dan sedrastis itu. Pada akhirnya malah agak mengganggu plotnya itu sendiri, meski saya tak ingin munafik bahwa Fern Pimchanok Lerwisetpibol membuat saya klepek-klepek. Hihi. Tapi akang Mario Maurer tetap paling oke kok... *ah, jadi malu..
Menjelang ending, Puttipong dan Wasin langsung membelokkan stir. Dari awalnya berhaha hihi, menukik menjadi mendayu-dayu. Persahabatan Nam dengan ketiga sohibnya retak dan Shone juga tak kunjung mendekat. Saat segalanya terlihat mulai membaik, sebuah pernyataan meretakkan impian Nam. Bagi yang sensitif dengan adegan tearjerker seperti ini, siapkanlah tissue sebanyak mungkin. Bahkan saya pun berhasil dibuat bercucuran air mata olehnya. Bukan karena Nam-Shone, tapi melihat persahabatan yang terajut indah mendadak buyar karena masalah cinta. Chemistry yang terjalin diantara pemain memang kekuatan utama Crazy Little Thing Called Love. Syukurlah Pimchanok dan Maurer serta ketiga pemeran sahabat Nam bermain apik dan chemistry-nya terasa menyatu. Film romantis tanpa adanya chemistry sama saja dengan bohong. Setelah dibuat tertawa gegulingan karena lawakan khas Thailand yang cenderung cablak, penonton langsung digiring menuju adegan penguras air mata.
Crazy Little Thing Called Love berani menawarkan romansa yang beda, cinta monyet para ABG. Bosan lah ya kalau terus dijejali kisah roman dua insan yang sudah matang. Bagaimanapun, kisah kasih di sekolah memang lebih seru untuk diceritakan. Pahit manis konyol, semua bercampur aduk. Harus diakui, cinta pertama susah untuk dilupakan. Rasanya kita semua pasti pernah mengalami apa yang dialami oleh Nam. Menyukai lawan jenis untuk pertama kalinya tetapi tak berani untuk mengungkapkannya. Ada yang kemudian memilih untuk mengagumi dari jauh saja tetapi ada juga yang berusaha untuk mencuri perhatiannya dengan hal-hal konyol. Crazy Little Thing Called Love memang tidak menawarkan sesuatu yang baru, plotnya terbilang sangat sederhana dan sudah usang. Tapi eksekusi Puttipong dan Wasin lah yang menentukan. Butuh film romantis yang menghibur dan bisa membuat tertawa di kala stres menerjang? Maka film inilah yang menjadi jawabannya. Sangat menghibur.
Trailer :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar