Jumat, 20 Mei 2011

REVIEW : SOURCE CODE

"What would you do if you knew you only had one minute to live?" - Colter Stevens

Apa yang akan Anda lakukan jika memiliki waktu 8 menit untuk kembali ke masa lalu? Premis sederhana namun menarik ini lantas diterjemahkan ke dalam skenario yang rumit oleh Ben Ripley. Summit Entertainment yang belakangan ini naik daun berkat kesuksesan Twilight Saga yang luar biasa berusaha mewujudkan ide jenius Ripley ke dalam bentuk film layar lebar. Ditunjuk sebagai sutradara adalah Duncan Jones, sutradara asal Inggris yang memulai debutnya dengan manis melalui Moon. Film yang disebut-sebut memiliki kemiripan dengan Inception dan Groundhog Day ini memasang Jake Gyllenhaal, Michelle Monaghan, Vera Farmiga dan Jeffrey Wright sebagai bintang utama. Yang paling menyenangkan dari hadirnya Source Code adalah saya bisa kembali ke bioskop setelah berminggu-minggu lamanya malas sekali melangkahkan kaki kesana! Source Code yang sedianya rilis April ini terpaksa ditunda-tunda penanyangannya demi mengisi slot film musim panas yang kosong. Pilihan yang tepat, 21.

Source Code memulai kisahnya dengan Colter Stevens (Jake Gyllenhaal) yang terbangun dari mimpi di sebuah gerbong kereta. Di depannya ada seorang wanita cantik bernama Christina (Michelle Monaghan) yang terus mengajaknya berbicara. Colter tak paham apa yang dibicarakan oleh Christina. Apalagi Christina terus memanggilnya Sean. Colter menekankan, dia bukan Sean. Dia adalah anggota militer yang ditugaskan di Afghanistan. Christina merasa aneh. Bingung, Colter menuju ke toilet. Saat berkaca, dia mendapati bahwa dirinya berada di tubuh orang lain. Apa yang sedang terjadi? Tidak lama setelah itu, kereta meledak dan menewaskan ratusan orang, termasuk Christina dan Sean. Lalu, bagaimana dengan nasib Colter? Dia terbangun di sebuah ruangan sempit yang sangat dingin dan dilengkapi dengan plasma screen. Belakangan diketahui bahwa Colter sedang dalam sebuah misi. Goodwin (Vera Farmiga), seorang kapten dari angkatan udara, meminta Colter untuk mencari tahu siapa pelaku pengeboman kereta. Caranya, melalui Source Code. Program baru rancangan Dr. Rutledge (Jeffrey Wright) ini memungkinkan Colter untuk kembali ke masa lalu dengan ‘meminjam’ tubuh seseorang di 8 menit terakhir kehidupannya.

Dibutuhkan kerjasama yang solid antara pemain, penulis naskah, sutradara, editor hingga penata artistik. Naskah Ripley menuntut kedetailan. Setiap detail memiliki arti. Disinilah sutradara dan editor harus berhati-hati dalam mengeksekusi. Perhatikan bagaimana adegan awal di gerbong kereta diulang hingga ke sekian kali. Posisi duduk Christina, kopi yang tumpah dan petugas kereta api yang memeriksa tiket. Terjalin rapi. Sedikit kesalahan, fatal akibatnya. Dalam film semacam ini, editor memang memegang peranan paling penting. Berulang kali Source Code menyajikan repetisi kilas balik. Paul Hirsch kudu jeli dalam merangkai setiap adegan, jangan sampai membuatnya kusut dan berakhir dengan kebingungan penonton. Bagi Anda yang kerap mengunjungi toilet saat film tengah diputar, disarankan untuk menuntaskan ‘urusan belakang’ sebelum film dimulai. Terlewat satu menit saja sudah berabe. Dibutuhkan konsentrasi untuk menontonnya. Tidak serumit Inception, tapi tetap membutuhkan pemikiran untuk bisa mencerna jalan ceritanya.

Source Code memang bukan jenis film pengisi musim panas yang penuh dengan aksi dan ledakan yang mengagumkan. Sajian pamer special effect masih ada, namun bukan menjadi porsi utama. Lebih tepat disebut sebagai science-fiction/ thriller. Ketegangan ditawarkan, namun Ripley justru lebih asyik memainkan unsur drama. Inilah yang membedakannya dengan Inception. Source Code lebih ‘kalem’ dan ‘hangat’ dalam menuturkan kisahnya. Ripley dan Jones tidak hanya sekadar membuka identitas Colter lalu melupakannya begitu saja, mereka mencoba untuk menggali lebih dalam mengenai kehidupan Colter termasuk berbagai masalah personal yang menghinggapinya. Justru disinilah letak kekuatan Source Code. Sangat jarang ada sebuah film science fiction/thriller yang mendekatkan penonton dengan karakter utama. Akibatnya, ikatan emosional pun terbentuk. Simpati muncul, penonton dibuat terharu dan merasa mengenal Colter. Voila, film pun bisa dikatan berhasil. Satu momen paling menyentuh adalah ketika Colter berhasil mewujudkan impiannya untuk bisa berbicara dengan ayahnya. Colter pernah mengatakan, jika dia memiliki sisa waktu semenit dalam kehidupannya, dia akan menelepon sang ayah dan meminta maaf kepadanya. Tissue, please..

Apakah itu berarti Source Code justru berakhir menjadi drama penguras air mata? Ah, tenang saja, tidak seperti itu. Sekilas, Source Code berpotensi menjadi film yang menjemukan karena terus mengulang 8 menit terakhir sebelum kereta meledak. Anggapan yang sama ketika saya hendak menyaksikan Vantage Point. Tentu Ripley, Jones dan tim tak akan membiarkan hal itu terjadi. Yang ada justru sebaliknya. Walaupun selalu mengulang adegan yang sama, tidak identik sama sebenarnya, film malah justru menjadi semakin seru untuk diikuti. Kejeniusan Ripley, kecermatan Hirsch, kepandaian Don Burgess dan tentu saja kepiawaian Jones, adalah kuncinya. Ripley mengolah skrip sedemikian rupa, selalu menambahkan bumbu di setiap menitnya agar Source Code makin terasa sedap untuk disantap. Tidak lupa disisipi sedikit twist. Burgess mengambil setiap gambar dengan cantik dan detail. Kekompakannya bersama Hirsch menjadikan skrip Ripley tidak sia-sia dan malah justru menjadikannya semakin menarik. Jones patut bangga dengan hasil kerja keras timnya. Apalagi, sejauh ini, Source Code adalah film terbaik di tahun 2011 yang telah saya tonton. Sangat mengesankan.

Outstanding!

Trailer :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar