Jumat, 27 Mei 2011

REVIEW : LIMITLESS


"Your powers are a gift from God or whoever the hell wrote your life script." - Carl Van Loon

Sejatinya, manusia normal hanya bisa memanfaatkan kinerja otak hingga 20 % saja. Maka betapa hebatnya jika 100 % otak bisa dikuasai. Segalanya dapat dengan mudah diraih, tanpa perlu bersusah payah hingga jungkir balik. Kalau perlu, dunia pun berada dalam genggaman. Nah, lagi-lagi ide cerita unik semacam ini dimunculkan oleh Hollywood setelah sebelumnya sukses memukau penonton melalui Source Code. Tapi ide ini tak sepenuhnya orisinil. Leslie Dixon, sang penulis skenario, mengadaptasinya dari novel buatan Alan Glynn yang berjudul The Dark Fields. Hollywood kembali memainkan perannya sebagai Tuhan melalui Limitless. Yang perlu diketahui, Limitless bukanlah film superhero maupun action yang mengumbar banyak adegan aksi yang menakjubkan. Seperti halnya Source Code, Limitless lebih tepat dimasukkan ke dalam genre thriller. Neil Burger yang sebelumnya mengarahkan Edward Norton dalam The Illusionist didapuk menjadi sutradara. Ditunjuk sebagai pemeran utama adalah Bradley Cooper yang mendadak menjadi komoditi panas Hollywood setelah gila-gilaan di Las Vegas lewat The Hangover.

Nah, Cooper pun seakan ber-deja vu dengan kembali mengalami hangover di Limitless. Jika dalam The Hangover efeknya berupa kekacauan, maka dalam Limitless apa yang akan terjadi kemudian tak diketahui. Inilah bahayanya. Eddie Morra (Bradley Cooper) bahkan sempat menjadi tersangka pembunuhan. Dia tidak tahu apa yang telah dia lakukan sebelumnya. Ini tidak terjadi sekali dua kali, namun berulang kali. Parahnya, terkadang Eddie sama sekali tidak bisa mengingat bagaimana dia bisa berada di suatu tempat dan apa yang sedang dia lakukan. Kekacauan ini bermula tatkala Eddie menerima sebuah pil yang disebut NZT-48 dari mantan iparnya. Setelah dicampakkan oleh kekasihnya, Lindy (Abbie Cornish), dan bukunya tak kunjung selesai, pikiran Eddie menjadi semrawut. Saat ditawari pil yang kabarnya mampu memaksimalkan kinerja otak hingga 100 %, Eddie tak kuasa menolak. Hasilnya memang luar biasa. Eddie mampu menyelesaikan bukunya hanya dalam hitungan hari. Eddie pun menyambangi mantan iparnya tersebut untuk 'mengisi stok' NZT-48. Namun dia justru menemukan mantan iparnya dalam kondisi tak bernyawa dan apartemennya diobrak-abrik. Sepertinya bukan hanya Eddie yang kecanduan pil ajaib tersebut.

Untungnya sang pelaku tak menemukan NZT-48. Persediaan masih utuh. Eddie pun menjarahnya disamping mengambil segepok uang. Sejak saat itu, Eddie mengonsumsi NZT-48 secara rutin. Hidupnya mulai berubah. Status sosialnya meningkat drastis. Lindy kembali menghubunginya. Seorang pengusaha yang berpengaruh, Carl Van Loon (Robert DeNiro), tertarik dengannya. Pada tahap ini, Eddie merasa bahwa kehidupannya telah berakhir 'happily ever after'. Namun tentu saja Dixon dan Burger tak mengakhirinya begitu saja. Eddie kemudian mengetahui efek samping dari NZT-48 dan ada sejumlah pihak yang mengancam nyawa Eddie demi mendapatkan NZT-48. Selama 30 menit pertama, Limitless enak untuk disantap. Penonton disuguhi proses from zero to hero dari Eddie. Hingga titik ini, saya berhasil dibuai oleh Burger yang menyajikan Limitless dengan tampilan visual yang indah dan editing cepat yang menakjubkan. Memang membuat pusing, akan tetapi dua jempol saya acungkan. Burger sukses dalam misinya untuk mengajak penonton larut ke dalam film. Kita, sebagai penonton, tidak hanya disuguhi cerita mengenai kehidupan Eddie saja tetapi juga diajak untuk menyelami pikirannya, terutama saat Eddie dikuasai oleh NZT-48. Nampaknya Burger memang sengaja menempatkan visual yang memberi efek pusing agar penonton merasakan bagaimana efek samping dari NZT-48.

Setelah film memasuki bagian di saat Eddie berjaya dalam bisnisnya, tempo menjadi sedikit melambat. Inilah saat paling tidak menarik dari Limitless. Dialog dipenuhi dengan istilah-istilah dunia bisnis, saham dan ekonomi yang njelimet dan susah dicerna oleh masyarakat awam. Saya bisa saja sudah tertidur jikalau Dixon tidak segera mengakhiri 'lagu nina bobo' ini dengan segera. Konflik di dunia bisnis yang sungguh sangat tidak menarik bagi saya ini untungnya cepat diakhiri dan laju film kembali ditingkatkan. Efek NZT-48 mulai bereaksi, munculnya sejumlah pihak yang mengincar nyawa Eddie hingga terlibatnya Lindy ke dalam 'petualangan' Eddie. Ketegangan perlahan kembali dibangun dan berhasil dipertahankan oleh Burger hingga menit terakhir. Limitless jelas mengedepankan efek visual dan editingnya yang unik sebagai jualan utama. Ide ceritanya menarkik namun eksekusinya tidak seperti yang diharapkan. Bradley Cooper tak mengalami peningkatan dalam aktingnya, tak jauh berbeda dengan The Hangover dan The A-Team. Justru Abbie Cornish dan Robert DeNiro yang bermain kuat. Penampilan sejenak dari Johnny Whitworth sebagai ipar Eddie juga lumayan mengesankan.

Limitless tidak menyuguhkan sesuatu yang luar biasa seperti yang diharapkan. Cukup banyak lubang yang dibiarkan menganga oleh Dixon di bagian naskah dan Burger tidak mencoba untuk menambalnya. Bertumpu pada kekuatan visual, editing dan akting, Limitless terselamatkan. Sempat terseok-seok di pertengahan film, ritme yang melambat diisi dengan asupan energi yang cukup sehingga kembali melesat saat mendekati akhir. Pada akhirnya, Limitless memang tidak menghadirkan sebuah tontonan yang mampu membuat penonton berdecak kagum, tapi tetap menyenangkan untuk dijadikan sebagai tontonan hiburan. Apalagi tampilan visualnya yang mirip Google 3D Map mampu memanjakan mata.

Acceptable

Trailer :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar