Rabu, 11 Agustus 2010

REVIEW : THE LAST AIRBENDER


Sejak pertama kali proyek ini diumumkan, saya sudah merasa tidak yakin akan hasilnya. Bukan karena diarahkan oleh M. Night Shyamalan yang belakangan film - filmnya flop, melainkan trauma akan film sejenis, Dragonball Evolution, masih membayangi benak saya. Saya pribadi termasuk penggemar karya - karya Shyamalan meskipun beberapa film terakhir dia dicaci maki oleh kritikus dan penonton, namun bagi saya film buatan dia cukup menghibur. Lantas bagaimana dengan The Last Airbender yang merupakan film non horror / thriller pertama dari Shyamalan ? Kepesimisan saya terhadap film ini semakin didukung oleh buruknya review yang diterima oleh The Last Airbender saat tayang di US. Kebetulan The Last Airbender tayang terlambat di negara kita sehingga saya punya banyak waktu untuk membaca ribuan kritikan yang mayoritas bernada negatif. Seburukkah itu filmnya ? Makin ciutlah hati saya dan sempat bimbang untuk tetap menontonnya di bioskop atau tidak.

Versi live action-nya ini diangkat berdasarkan musim pertama dari serial animasinya, Avatar : The Last Airbender, yang bertajuk Book One : Water. Dikisahkan Aang (Noah Ringer), sang pengendali udara yang belakangan diketahui identitasnya sebagai reinkarnasi dari Avatar, penyeimbang dari empat bangsa besar pengendali air, bumi, api dan udara, melarikan diri dari negaranya karena enggan menjadi Avatar yang nantinya berdampak pada dirinya yang tidak bisa lagi memiliki keluarga. Aang terjebak dalam es dan ditemukan oleh Katara (Nicola Peltz) dan Sokka (Jackson Rathbone). Selama Aang menghilang, ternyata bangsa pengendali api menguasai dunia dan berhasil melumpuhkan bangsa elemen yang lainnya, termasuk udara yang sukses diberanguskan hingga tak bersisa dengan harapan tak akan ada lagi reinkarnasi Avatar. Sementara itu, Zuko (Dev Patel) yang tengah diasingkan oleh ayahnya karena dianggap lemah, berusaha menangkap Aang agar statusnya sebagai pangeran diakui dan dia disegani oleh rakyatnya. Sepanjang sisa film kemudian bercerita mengenai petualangan Katara dan Sokka dalam menemani Aang untuk mempelajari tiga elemen lain ; air, api dan bumi, yang ternyata belum dikuasai oleh Aang untuk bisa menjadi Avatar dan bangsa Api / Zuko yang mengejar Aang.

Sebelumnya saya ingin beritahukan kepada kalian bahwa saya bukanlah fans dari Avatar : The Last Airbender dan hanya pernah menontonnya sesekali, jadi ulasan berikut tak akan membandingkan filmnya dengan versi serial animasinya. Saya menulis ulasan ini berdasarkan apa yang saya lihat dari kacamata seorang penggemar film, bukan fans serialnya. Menulis ulasan film ini sendiri cukup membingungkan bagi saya karena saya tidak tahu harus memulainya darimana. Satu hal yang pasti, saya tidak menemukan kenikmatan dan kepuasan saat menyaksikan The Last Airbender. Film ini sukses membuat saya merasa depresi, bosan, mual, pusing dan menyesal. Di awal film memang The Last Airbender cukup enak untuk dinikmati dan lumayan menjanjikan, namun menginjak pertengahan hingga akhir, penggarapannya malah semakin semrawut saja. Bahkan Dragonball Evolution masih lebih mending jika saya dipaksa untuk membandingkannya dengan film semenjana ini. Mengutip dari komentar yang biasa diucapkan oleh Simon Cowell, "terrible".

The Last Airbender buruk hampir di semua segi, utamanya dari kasting. Seakan pihak kasting asal comot peserta audisi tanpa mempertimbangkan kecocokannya dengan karakter yang hendak diperankan. Bisa dibilang, semua pemeran utama disini salah kasting. Yang paling aneh tentu saja dari segi wajah yang terlalu bule untuk karakter yang memiliki wajah sangat Asia. Entah atas dasar apa mereka memilih pemain dengan wajah untuk memerankan karakter yang berasal dari Asia, rasis kah ? rasanya tidak. Hanya Zuko yang sedikit cocok dengan gambaran. Itu berdasarkan kasting, lantas bagaimana dengan akting ? Jujur, mengenaskan. Noah, Nicola dan Jackson terasa sangat kaku dan tidak bisa mendalami peran mereka secara sempurna. Noah Ringer yang memiliki tanggung jawab terbesar sukses membuat saya menjadi kesal terhadap Aang alih - alih simpati. Tak masalah bagi saya jika Shyamalan memang berniat merubah karakterisasi Aang dari ceria menjadi pemuram, itu hak dia. Tapi akting Noah yang begitu buruk membuat saya gemas dan rasanya ingin saya timpuk dia dengan kacamata 3D yang mengesalkan pula. Dari sekian banyaknya bakat di Hollywood, tak adakah yang lebih baik dari dia ? Jika saya menjadi dia, mungkin saya sudah menangis saking malunya. Untunglah Dev Patel bermain cukup bagus sebagai Zuko, begitu pula dengan Shaun Toub yang berperan sebagai paman dari Zuko.

Special effect sepertinya menjadi andalan utama The Last Airbender. Berharap menyajikan adegan aksi yang spektakuler dan visualisasi yang menawan, saya kembali menelan pil pahit bernama kekecewaan. Memang ada satu dua scene yang lumayan keren, tapi secara keseluruhan tak ada yang baru, hanya pengulangan dari film sejenis. Adegan pertarungan di akhir film antara bangsa api dengan air mungkin yang paling cihuy dan terlihat digarap serius, namun sialnya baru muncul setelah kebosanan saya sudah mencapai ubun - ubun. Tetap terlihat menawan sih, cuma hasilnya akan beda jika di pertengahan juga disisipi sedikit pemanasan untuk membuat mata penonton menjadi melek. Untuk 3D, tak ada yang spesial. The Last Airbender tak ubahnya kebanyakan film Hollywood lain yang dengan pedenya memakai 3D namun penggarapan teknologi 3D-nya ala kadarnya, seperti hanya ingin mendapat keuntungan tambahan saja. Tak masalah bagi kalian untuk menontonnya dalam versi 2D karena tak ada perbedaan yang signifikan.

Mungkin The Last Airbender akan terlihat bagus bagi mereka yang tak mau ambil pusing soal teknis dan tetek bengek lainnya. Penonton cilik pun rasanya juga mudah menyukai tontonan semacam ini. Namun bagi saya The Last Airbender hanyalah film yang membuang - buang uang dan waktu secara percuma, bahkan saya menangisi hilangnya uang saya setelah film ini selesai. Rasanya tak tega uang makan untuk dua hari dibuang secara percuma untuk menonton The Last Airbender *meratapi perginya duit di pojokan ruangan* Baiklah, the life must go on. Saya tak bisa menyesali sesuatu yang telah terjadi. Intinya, The Last Airbender hanya membuat kepala saya pusing, perut saya mual dan merasa depresi selama di dalam gedung bioskop. Akting mengenaskan, special effect biasa saja, pengarahan yang semrawut, editing yang loncat sana loncat sini, chemistry yang anyep (baca : hambar), adegan romantis yang menggelikan, naskah yang penuh lubang hingga bloopers yang terlihat begitu jelas. Saya menikmati film ini hanya di paruh awal, tengah hingga akhir pikiran saya sudah diserap habis oleh Dementor yang mendadak nongol di depan saya.

nilai = 3/10. Tapi jika kalian ingin menggantinya dengan angka favorit kalian, silahkan saja, monggo, saya ikhlas kok. beneran. saya sudah terlalu depresi untuk memikirkan rating.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar