Senin, 23 Agustus 2010

REVIEW : EXAM

How far would you go to win the ultimate job ?

Delapan kandidat berbakat akhirnya mencapai tahapan akhir untuk mendapatkan sebuah posisi penting di sebuah perusahaan besar nan misterius. Untuk menggapainya, mereka harus melalui sebuah ujian dan diberi waktu 80 menit saja untuk mendapatkan jawaban. Ada tiga peraturan yang haram hukumnya dilanggar jika tidak ingin didiskualifikasi ; dilarang berbicara kepada pengawas ujian dan petugas keamanan, dilarang merusak kertas dan dilarang meninggalkan ruangan. Sepintas terlihat tak ada bedanya dengan ujian yang diberikan oleh perusahaan lain, kecuali tak ada pertanyaan dalam ujian ini. Ya, mereka hanya diberi secarik kertas kosong dan sebuah pensil saja. Bagaimana bisa mereka mendapatkan jawaban dalam waktu 80 menit jika tak ada pertanyaan ? Disitulah intinya. Mereka habiskan waktu untuk mencari pertanyaan, bukan jawaban. Saking depresinya, salah seorang peserta nekat menulis essai di atas kertas kosong tersebut yang ujung - ujungnya dia malah dinyatakan gagal karena telah dianggap merusak kertas. Akhirnya peserta yang tersisa pun memutuskan untuk bekerja sama demi mendapatkan pertanyaan. Didera perasaan stres, frustrasi dan kebingungan karena tak kunjung memperoleh pertanyaan seiring dengan sisa waktu yang terbatas, sifat asli dari para peserta pun bermunculan. Mereka rela melakukan apapun demi menyingkirkan lawan termasuk berbuat tidak manusiawi.


Sejak awal kemunculannya Exam langsung menarik perhatian saya karena plotnya yang mengundang rasa penasaran. Bayangkan jika kita sedang ujian dan tak ada pertanyaan apapun sementara kita dipaksa untuk mendapat satu jawaban jika ingin lolos. Ide cerita dari Stuart Hazeldine dan Gareth Unwin ini terbilang unik meski tak seratus persen orisinil karena banyak film sejenis yang memiliki ide cerita yang hampir mirip, misal Saw. Ya, Exam memiliki alur yang hampir sama dengan film sadis tersebut. Hanya saja tak ada adegan penyiksaan penuh darah disini, meskipun masih ditemui beberapa scene yang terbilang bikin miris. Bergenre psychological horror, Exam lebih menyoroti kepada perilaku karakternya. Penonton diajak untuk melakukan studi karakter. Apa yang akan dilakukan oleh sekelompok manusia saat mereka berada dalam kondisi yang penuh tekanan demi mendapatkan sesuatu yang mereka idamkan ? Akankah kita melakukan hal yang sama dengan mereka jika kita berada dalam posisi yang sama ?

Menonton Exam adalah salah satu pengalaman yang menyenangkan bagi saya apalagi saya memang menggemari film bergenre ini. Sepanjang film kita dibuat penasaran dengan pertanyaan misterius tersebut, tegang saat melihat para kontestan berusaha memecahkan pertanyaan tersebut dengan berbagai cara namun semuanya berujung pada kegagalan dan gemas melihat kelakuan beberapa kontestan yang egois dan tak tahu terima kasih. Emosi kita terus diaduk hingga film berakhir. Hazeldine dan Unwin juga menyisipkan sedikit twist di beberapa bagian agar penonton tetap bertahan sampai misteri terpecahkan. Cara ini memang perlu dilakukan mengingat untuk sebagian orang Exam bukanlah film yang menyenangkan, cenderung membosankan malah. Namun itu tak berlaku bagi saya karena saya selalu menemukan sisi menarik dari film ini. Dengan mengandalkan 10 karakter dan satu setting saja, diperlukan keahlian seorang penulis dan sutradara untuk menjaga tensi film sehingga tidak jatuh menjadi film yang membosankan. Untuk ukuran sutradara baru, Hazeldine tergolong berhasil . Dia mampu menghadirkan atmosfir yang pas dan menjaga ketegangan dengan sangat baik. Tak heran jika kemudian mendapat nominasi sebagai sutradara pendatang baru terbaik di BAFTA.

Akting dari para pemainnya pun terbilang menawan. Luke Mably tampil sangat menyebalkan sebagai White, Colin Salmon berhasil menghidupkan karakter pengawas ujian yang misterius, Adar Beck bermain bagus sebagai Dark yang cerdas dan tentu saja Jimi Mistry yang berakting cemerlang sebagai Brown yang sulit ditebak karakternya. Semua pemain memberi kontribusi yang baik kepada film. Gemma Chan yang tampil sebentar pun bermain apik. Sulit mencari cela dari departemen akting karena semuanya kompak bermain bagus. Pujian kembali dialamatkan kepada duo penulis yang memberi porsi akting berimbang kepada tiap pemain sehingga mereka bisa mengeksplor kemampuan akting mereka. Siapa sangka Luke Mably yang bermain tanpa kesan di Prince & Me bisa terlihat sangat menonjol disini ? Para pemain sanggup mengeluarkan emosinya dengan pas, tepat sasaran dan tidak overacting. Mereka berhasil menyatu dengan karakter mereka dan terlihat memang seperti sedang berada dalam tekanan. Sebagai informasi tambahan, karakter di Exam tidak memiliki nama. Mereka dipanggil sesuai dengan warna kulit dan ras mereka, terkesan rasis memang.

Sebenarnya Exam berpotensi menjadi film yang sukses karena film ini memiliki cukup banyak faktor penunjang seperti trailer dan desain poster yang menarik, premis cerita yang membuat penasaran dan penggarapan yang bagus. Namun sayangnya Exam menjadi produk gagal, bahkan hanya segelintir orang yang menyadari keberadaannya. Film buatan Inggris ini memang dilirik oleh distributor dari US untuk ditayangkan di wilayahnya, tapi percuma saja jika pada akhirnya cuma dirilis untuk konsumsi DVD. Betapa mengenaskannya. Konon kabarnya, film panjang pertama dari Stuart Hazeldine ini memang dibikin dengan bujet yang kecil sehingga maklum saja promonya tak kencang. Satu hal yang pasti, Exam sangat sayang untuk dilewatkan bagi kalian yang menggemari genre psychological horror. Exam adalah salah satu yang terbaik di tahun ini.

Nilai = 7/10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar