Rabu, 16 Juni 2010

REVIEW : PRINCE OF PERSIA : THE SANDS OF TIME

Di mata pecinta film, film adaptasi video game telah memiliki citra buruk lantaran dari sekian banyak adaptasi tak satupun yang bisa dikategorikan sebagai film bagus. Ada satu dua yang bisa dibilang lumayan, tapi jumlahnya kalah telak jika dibandingnkan dengan yang gagal. Masih teringat di benak kita betapa buruknya kualitas Street Fighter : The Legend of Chun Li, Max Payne hingga yang disutradarai oleh Uwe Boll macam House of the Dead. Seperti sudah menjadi adaptasi kutukan karena hingga saat ini belum ada satupun yang bisa menyajikan film adaptasi video game yang memuaskan bagi penikmat game-nya, atau setidaknya bagi para penonton awam. Bisa dibilang hanya Resident Evil dan Tomb Raider yang lumayan sukses. Di tahun 2010 ini kembali hadir sebuah film yang diadaptasi dari video game populer, Prince of Persia. Disokong oleh Walt Disney dan munculnya nama Jerry Bruckheimer sebagai produser serta Mike Newell bertindak sebagai sutradara, muncul secercah harapan akan kebangkitan dari genre ini. Tapi, apakah kenyataannya seperti itu ?

Pada abad ke-6 Kerajaan Persia memiliki daerah kekuasaan yang sangat luas dan terkenal memiliki tentara yang kejam. Selain memiliki raja yang bijaksana, kerajaan Persia saat itu memiliki para pangeran yang gagah berani dan menjunjung tinggi hukum. Dastan (Jake Gyllenhaal) adalah anak yatim piatu yang tiba-tiba berubah nasibnya setelah diadopsi oleh raja Persia. Walau telah memiliki dua orang putra, sang raja tetap memutuskan membawa Dastan kecil ke dalam istananya raja yang megah. Ada sesuatu dalam diri Dastan sehingga Raja mengangkatnya jadi putra ketiganya. Seiring waktu, para pangeran yang dulu kecil kini telah menjadi dewasa dan siap memimpin salah satu tentara yang paling ditakuti saat itu. Pangeran Tus (Richard Coyle) yang bakal mewarisi kursi sang ayah akhirnya memimpin pasukan Persia untuk menyerang kota suci Alamut yang dipimpin oleh seorang putri cantik bernama Tamina (Gemma Arterton). Ternyata penyerangan ke kota suci Alamut ditentang sang Ayah yang juga Raja Persia. Karena menurutnya, Raja Sharaman (Ronald Pickup), butuh lebih dari sekedar petunjuk untuk menyerang kota suci itu. Tapi pesta kemenangan tetap berlanjut dan petaka muncul pada hari perayaan jamuan besar untuk sang raja. Kematian menjemput Raja Sharaman yang dikenal bijaksana itu. Dastan yang merasa dijebak oleh Tus akhirnya diburu dan dikejar-kejar oleh pangeran Garsiv (Toby Kebbell). Dengan bantuan putri Tamina akhirnya Dastan berhasil kabur dan mencoba menjelaskan kepada sang paman Nizam (Sir Ben Kingsley) bahwa ia tidak bersalah. Kunci kebenaran Dastan terdapat pada sebuah belati milik putri Tamina yang ternyata memiliki kekuatan yang sangat besar. Berhasilkah Dastan mengungkap siapa pembunuh Sharaman dan bagaimana nasib kerajaan Persia selanjutnya?

Mengharapkan Prince of Persia : The Sands of Time sebagai sebuah film adaptasi video game yang bagus adalah suatu kesalahan yang besar. Film ini memang tidak seburuk film yang telah disebutkan di atas, tapi masih jauh jika dibandingkan dengan Resident Evil maupun Tomb Raider, setidaknya bagi saya. Dari segi special effect dan adegan aksi, Prince of Persia memang unggul. Adegan Parkour yang ditampilkan dalam sebuah scene juga lumayan memukau. Hanya saja naskah garapan tim penulis skenario, Jordan Mechner – Boaz Yakin – Doug Miro – Carlo Bernard, terasa sangat dangkal dan datar. Parahnya, hal ini berimbas ke hampir semua sektor, kecuali adegan aksi tentunya. Menonton sebuah film petualangan dengan sajian aksi yang memukau tapi didukung naskah yang lemah bukanlah suatu pengalaman yang menyenangkan. Meski saya dibuat terpukau di beberapa scene, tapi tetap saja terasa ada yang kurang.

Departemen akting, sayangnya, juga tidak membantu banyak. Bisa dibilang hanya Alfred Molina yang bermain bagus disini, sementara Ben Kingsley seperti kehilangan pesonanya. Jake Gyllenhaal dan Gemma Arterton hanya bagus saat mereka berpasangan, cukup menghibur. Tapi setelah berpisah, mereka seperti kebingungan memainkan karakter mereka, bahkan Gemma masih terlihat seperti Gemma, alih – alih Princess Tamina. Nuansa romantis di film ini nyatanya juga gagal diwujudkan oleh Mike Newell. Padahal selama ini om Newell dikenal jago dalam meracik adegan romantis dalam film besutannya. Ketimbang sibuk memikirkan naskah yang penuh dengan lubang dan membuat adegan romantis, Mike Newell justru sibuk memikirkan cara menghadirkan adegan aksi yang spektakuler. Sepertinya beliau enggan menyia-nyiakan bujet yang sedemikian besar hanya untuk sajian drama romantis. Akibatnya, Prince of Persia hanyalah menjadi bagian dari pembuka sajian summer movies biasa yang mudah dilupakan. Saat ini mungkin kita dibuat terpukau olehnya, tapi beberapa tahun ke depan mungkin tak ada yang mengingat film ini. Harapan pecinta film dan game akan hadirnya film adaptasi video game yang bagus sekali lagi gugur. Sepertinya, adaptasi gim memang lahan terlarang yang harus dijauhi oleh para filmmaker yang ingin menghadirkan hiburan berkualitas ke penonton.

Nilai = 5/10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar