Saat pertama kali hadir di layar lebar, The Blair Witch Project berhasil menggemparkan dunia perfilman terutama di wilayah Amrik. Kala itu film ini berani tampil beda dengan menggunakan teknik handheld camera yang membuatnya seolah-olah film dokumenter. Kehebohan dimulai saat pihak distributor mengumumkan bahwa film ini adalah kisah nyata, sontak masyarakat penasaran dan Blair Witch menjadi pembicaraan dimana - mana. Saat segalanya mulai diluar kendali, maka pihak yang bertanggung jawab dengan semua ini turun tangan dan mengklarifikasi bahwa semua ini hanyalah taktik promosi semata. The Blair Witch Project telah menginspirasi banyak filmaker untuk membuat film dengan memakai teknik yang serupa, salah satunya ya film yang Cinetariz resensi ini. Kebetulan saya baru sempat menyaksikkannya semalam. Masih hangat lah, haha. Meski diberi embel-embel based on true story, masyarakat sudah terlanjur kebal dengan film semacam ini jadi kebenarannya diragukan.
Olga (Olga Lidya) memiliki ide gila bersama sahabatnya, Monique (Monique Henry) untuk membuat sebuah film horor. Mereka menyewa sebuah rumah kosong yang letaknya terpencil untuk mencari inspirasi dalam pembuatan naskah skenario. Belakangan Jupe (Julia Perez) ikut bergabung bersama mereka di rumah tersebut. Olga memasang kamera di setiap sudut rumah dan secara bergantian bersama Monique membawa handycam dengan tujuan untuk behind the scene. Sejak berada di rumah ini, Monique sudah mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres terutama saat dia menemukan sebuah kolam renang kosong yang bentuknya seperti kuburan. Olga dan Jupe tidak mempercayainya, mereka menganggap Monique parno. Namun pada kenyataannya apa yang Monique ucapkan memang benar adanya, rumah itu berhantu. Ketiga sahabat ini terjebak dalam teror rumah berhantu selama 2 hari lamanya.
Awalnya sempat meragukan Terekam terutama saat melihat nama bung Koya Pagayo tercantum sebagai sutradara. Aduh, film macam apa lagi nih yang dia buat, pikir saya. Namun semua keraguan sirna saat Terekam mulai bergulir, ternyata filmnya tidak seburuk yang saya pikirkan. Cenderung bagus malah. Untuk ukuran film horor lokal, Terekam bolehlah disebut sebagai salah satu yang terseram meski idenya tak lagi orisinil. Terekam tak mengandalkan seks dan komedi garing sebagai jualan utamanya, murni horor meski masih ditemukan tubuh wanita berbalut pakaian seksi disini. Pemilihan setting tempat sangat tepat, kesan spooky sangat terasa sejak awal film bahkan sebelum teror dimulai penonton sudah dibikin merinding. Akting dari para pemainnya juga bagus, terutama Julia Perez! Bahkan kalau boleh saya bilang, dia adalah salah satu amunisi film ini. Tanpa dia, Terekam bakal garing kriuk kriuk. Gaya bicaranya yang ceplas-ceplos dan tingkah lakunya mampu bikin penonton tertawa terbahak-bahak, sangat natural. Mampu sedikit mencairkan ketegangan.
Kelemahan dari film ini justru terletak dari sound-nya. Sepertinya sudah menjadi peraturan tak tertulis bahwa film horor harus menggunakan sound yang mengejutkan dan bikin telinga sakit. Padahal tanpa adanya sound horror yang berlebihan, Terekam bakal terasa lebih menyeramkan. Suasana spooky sudah berhasil dibangun lewat setting tempat, bakal lebih seru jika suara sunyi senyap sehingga lebih meneror penonton. Ah, sayang sekali bung Koya tidak memperhitungkan hal ini. Padahal saya cukup kagum dengan kemajuan yang beliau buat di film ini. Terhitung semenjak Lewat Tengah Malam, tak ada lagi film dari bung Koya yang bisa dibilang lumayan. Tapi secara keseluruhan sih saya cukup puas dengan film ini, beyond my expectation =)
Nilai = 6/10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar